BAB 3 - DEKAT

1758 Words
Berkali-kali Saira membaca email yang ia terima untuk memastikan bahwa si pengirim email adalah Gibran yang ia kenal, juga untuk memastikan bahwa alamat emailnya tidak palsu, resmi email sekolah. Setelah menyadari bahwa surat eletronik tersebut adalah asli, Saira yang meskipun sering ceroboh, tidak langsung membalas. Ia juga tidak mau langsung kegeeran dan menjadi malu di akhir, maka diambilnya telepon genggamnya dan langsung menekan tombol call ke nomor Aliyyah.             “Assalamualaikum, Sar,” jawab suara di sebrang, tanpa Saira harus menunggu waktu lama.             “Waalaikumsalam, Aliyyah. Kamu dapat email dari Kak Gibran gak?” tanya Saira langsung tanpa basa-basi. Ia juga tidak segan menyebut nama Gibran, tidak takut Aliyyah curiga bahwa ia menyukai kakak kelasnya itu.             Tidak menjawab dalam waktu lumayan lama, Saira memanggil Aliyyah lagi, “Al?”             “Sebentar Sar, aku cek email dulu ya. Tadi baru matiin laptop soalnya,” jawab Aliyyah.             “Oke.” Saira membiarkan sambungannya masih terhubung dengan Aliyyah. Ia kemudian kembali lagi mengecek email dari Gibran melalui netbook putihnya. Semakin membacanya, Saira semakin senang.             “Aku enggak ada email nih, Sar,” kata Aliyyah kemudian setelah beberapa menit.             Mendengar jawaban dari Aliyyah, tanpa sadar Saira tersenyum, “Oke, makasih ya Al. Bye.” Saira menutup telepon, kemudian bergegas membalas email dari Gibran. From: Saira Bayu X.IPA4 (sairabayuipa4@smaspm.co.id) To: Gibran Radu XI.IPA4 (gibranraduipa4@smaspm.co.id) Hi Kak! Anything I can help with? Sincerely, Saira Bayu X IPA 4 SMA Swasta Pelita Mulia Saira menjawab dengan singkat. Lebih tepatnya, ia tidak tau harus balas apa. Dia bahkan tidak menemukan tujuan Gibran menghubunginya lewat email. Meskipun senang, Saira tidak ingin memperlihatkannya. Ia akan terlihat sedatar mungkin.             Tidak perlu menunggu waktu lama, Saira mendapatkan jawaban email dari Gibran. Cuma mau memastikan kalau ini email Saira dan sampai besok! Good night!             Seumur-umur Saira baru pertama kali diucapkan selamat malam seperti ini oleh seorang laki-laki. Bahkan kakak-kakaknya pun tidak pernah memperlakukannya seperti itu. Ya untuk apa juga kan?             Saira mempertimbangkan apakah harus ia balas atau tidak pesan dari Gibran. Tidak ada pertanyaan dan tidak ada yang perlu Saira jawab. Apa good night harus dibalas good night juga ya? Tanya Saira dalam hati. Gadis berumur 16 tahun yang belum pernah pacaran itu bingung bagaimana harus menghadapi kakak kelas laki-laki menawan yang tiba-tiba menghubunginya. Waktu SMP, jangankan pacaran, teman dekat laki-laki pun Saira tidak punya. Ia bukanlah anak perempuan dengan wajah cantik seperti Aliyyah yang terus menerus membuat sekelilingnya melirik. Saira pun tidak memiliki tubuh tinggi semampai, ataupun prestasi-prestasi di luar akademik yang membuatnya terkenal di sekolah, seperti bernyanyi, dance, ataupun olahraga. Satu-satunya yang Saira tekuni adalah ekskul paskibra, yang dimana dengan tubuhnya yang tidak tinggi dan dibawah rata-rata anggota paskibra lain, ia tidak akan masuk dalam barisan. Awalnya, ia pun memilih paskibra karena rekomendasi dari Fatih. Jelas saja Fatih betah mengikuti ekskul paskibra di SMP, tubuh kakaknya satu itu terbilang tinggi dan tegap, sementara Saira lebih sering dikira masih SD ketika sudah SMP, dan sekarang sering dikira anak SMP saat sudah SMA.              Saira kemudian naik ke lantai atas dan mengetuk kamar Fatih, “Mas, masak mie yuk.”             Fatih bergegas keluar dari kamarnya dan menemukan adik satu-satunya sedang menunggu di depan pintu, tapi bukan dengan wajah lapar. Fatih yang sudah sangat mengenal adiknya ini langsung mencubit pipi Saira karena gemas dan menanyakan perihal adiknya.             “Besok Mas Fatih ke kampus jam berapa?” tanya Saira akhiranya.             “Mas ada kelas jam 10, paling jalan dari rumah jam 8,” jawab Fatih. Kampus Fatih memang masih berada di daerah Jakarta, namun jadi terasa lebih jauh karena Fatih selalu membawa motornya, tidak ada kereta yang bisa mengantar Fatih ke kampusnya. Perguruan Tinggi Swasta yang lumayan mahal itu tidak dikelilingi oleh fasilitas-fasilitas kendaraan umum seperti kampus Salman yang merupakan Perguruan Tinggi Negeri.             “Yah, pulangnya enggak bisa jemput Saira juga dong?” kata Saira dengan kecewa.             “Sayangnya tidak.” Fatih mengakui. Ia sebenarnya penasaran ada apa dengan Saira. Tidak seperti biasanya Saira naik ke lantai atas, khusus untuk minta dijemput pulang dari sekolah untuk besoknya. Biasanya Saira hanya akan mengirim chat lewat aplikasi 15 menit sebelum minta dijemput.             Saira menyudahi percakapannya dengan kakaknya itu dan turun ke lantai bawah kembali ke kamarnya. Di dalam kamar, Saira hanya tidur-tiduran dan membatalkan niat awal untuk masak mie instan, sambil memikirkan besok akan bertemu dengan Gibran yang tadi mengucapkan “sampai besok” di email. Ia tidak tau apa maksudnya. Sebenarnya Saira meminta Fatih untuk menjemputnya besok, karena ingin memiliki alasan untuk duduk-duduk di pinggir lapangan basket sambil menonton anggota club basket latihan. Saira ingat bahwa besok adalah hari Selasa, hari yang sama saat dulu Gibran menyapanya kali pertama dan memberinya botol air mineral yang sekarang Saira simpan di dalam kamarnya dan ditempeli sticky notes bertuliskan, “Tuesday, Nov 13th”, Saira yakin besok club basket akan latihan juga. Sesekali Saira memeriksa isi kotak masuk email sekolahnya lagi, berjaga-jaga kalau Gibran mengirim email lain. Tapi tidak ada. Jika dipikir lagi, Saira memang merasa dirinya aneh, untuk apa Gibran mengirim pesan lain kalau email terakhir dari Gibran saja tidak dibalas?             Esoknya Saira berangkat pagi-pagi sekali dengan ojek online menuju ke sekolahnya. Saira tidak tau apa yang dia pikirkan, hanya saja Saira tidak bisa tidur dan terbangun sebelum langit terang dan azan subuh berkumandang. Biasanya, Saira sholat subuh ketika Bunda sudah marah-marah dan langit sudah hampir terang.             Pukul enam Saira sudah sampai di sekolah, lengkap dengan tas hitam simple kesukaannya dan sepatu hitam bertali yang juga merupakan kesukaannya. Hari ini Saira sengaja membiarkan rambut hitam sebahunya terurai dan hanya ia jepit dengan jepitan hitam—yang label harganya baru ia buka setelah lama ia beli—untuk mencapit setengah volume rambutnya. Ia juga sengaja membiarkan anak rambutnya berkeliaran agar terlihat natural dan ia juga memakai bedak tipis—seperti biasa—dan tidak memakai pewarna bibir sama sekali. Jangan sampai terlihat berbeda, pikirnya.             Saat melewati gerbang menuju ke kelasnya, Saira melirik ke arah deretan pintu anak kelas dua jurusan IPA dan memang terlihat masih sepi. Saira melanjutkan perjalanannya dan iseng berjalan hendak ke kantin sambil menunggu bel masuk.             Di kantin, Saira hanya melihat dua anak kelas tiga, yang satunya sedang membaca sebuah buku tebal, sementara anak kelas tiga yang satunya lagi memakai earphone di telinga dan sibuk dengan telepon genggamnya. Sesekali anak kelas tiga yang sedang mendengarkan entah-apa dari handphone­-nya itu menguap. Selain dua anak kelas tiga itu, Saira hanya melihat para penjaga kantin sedang sibuk membereskan dagangannya atau sedang mengangkat barang jualan yang baru datang. Saira hendak berjalan ke sebuah stand penjual cemilan, ketika seorang laki-laki dengan jaket biru dan berbadan tinggi menghampirinya.             “Kemaren terlambat, hari ini kepagian?” Saira menoleh dan ternyata Gibran. Pupil mata Saira membesar seperti seorang yang sedang kehausan di gurun tiba-tiba menemukan sumber mata air. Giliran enggak dicari, ketemu! Saira membatin. Belum sempat Saira menjawab omongan Gibran, Gibran sudah lebih dulu menambahkan, “Atau gak sabar ketemu….,” Gibran tiba-tiba menyeret kata-katanya dan membiarkannya terputus begitu saja. Membuat Saira jengkel karena malu ketahuan tak sabar bertemu dengan Gibran. “…temen-temennya Saira? Gak sabar ketemu temen-temen kamu?” Gibran menyambung lagi perkataannya. Membuat Saira makin jengkel.             “Kepagian, Kak. Kak Gibran ngapain pagi-pagi udah di sekolah?” tanya Saira, menandakan ia telah maju satu langkah lebih berani menanyakan Gibran duluan. Saat ini mereka sudah duduk di bangku kantin.             “Tadinya pingin kerja,” jawab Gibran tersenyum sambil tertawa. “eh, ternyata ketemu Saira, jadi pinginnya ngobrol aja sama Saira.”             “Apaan sih, Kak,” Saira menjawab santai padahal hatinya sudah akan meledak.             “Saira hari ini cantik, deh. Mau ketemu siapa?” Gibran bertanya lagi.             Cukup! Cukup gombalnya! Kata Saira dalam hati.             “Udah ah, cukup kali ya gombalnya? Jadi bercanda mulu nih, Saira. Maaf, ya,” kata Gibran sambil tersenyum. Sampai saat ini Saira bingung kenapa Gibran selalu tersenyum. Sepertinya Gibran hanya diam pun, wajahnya sudah selalu seperti tersenyum.             Saira tertawa mendengar perkataan Gibran. Ia senang Gibran bercanda seperti itu dengannya. Terasa seperti dua orang teman dekat. Dan saat melihat Saira tertawa pun, Gibran ikut tertawa.             “Jadi, kenapa hari ini kepagian? Bagus deh kalo kepagian, berarti doa saya dikabulin,” kata Gibran.             “Hah?” respon Saira bingung.             “Iya, kemarin saya doa supaya hari ini dikasih hal yang menyenangkan, eh dikasih ketemu Saira pagi-pagi”             Saira tidak tau harus menjawab apa dan hanya bisa merespon dengan wajah bingung.             “Hahaha Saira lucu banget sih mukanya kalau lagi bingung.”             “Kak Gibran, kok panas-panas gini pakai jaket sih?” tanya Saira mengalihkan pembicaraan. Ia tidak tau harus bilang apa kalau ada yang menyebutnya lucu.             “Soalnya saya belum pakai baju seragam. Masih pakai kaus biasa.”             “Oh…”             “Kenapa? Ganteng gak?” tanya Gibran iseng sambil mendekatkan wajahnya ke arah Saira.             “Enggak,” jawab Saira cepat karena dia mulai salah tingkah.             “Biasa aja dong bilang enggaknya,” bibir Gibran melengkung ke atas tanda kecewa. Tapi beberapa saat kemudian kembali tersenyum.             “Kenapa gak pakai seragam dari rumah, Kak?”             “Biar kalau keringetan, seragamnya gak basah.”             “Emang keringetan ngapain?”             “Saira pasti cita-citanya jadi wartawan ya? Penuh pertanyaan dan penasaran. Cocok!,”  kata Gibran bercanda.             “Salah! Saya cita-citanya jadi Pak Didi, karena selalu nanya pertanyaan yang pasti murid gak bisa jawab,” Saira menyebut Pak Didi, guru matematika killer, sambil bercanda. Gibran tertawa, kemudian menambahkan, “Saira pasti pernah ditanya ya?” Saira mengangguk, “Pernah, Kak. Untung waktu itu bisa jawab.” “Terus?” “Abis itu, saya gak pernah ditanya lagi. Aneh banget kan?” “Kalau saya waktu itu pernah ditanya, terus saya bilang kalau saya gak tau. Eh, Pak Didi malah ngacungin jempol, terus bilang ‘Ya, paling enggak kamu jawab pertanyaan saya. Gak kayak anak lain yang diem aja kalau gatau. Yaudah lanjutin lagi main basketnya.” Padahal, saya kan lagi di kelas, gak lagi main basket. Lebih aneh lagi kan?” Gibran memperagakan Pak Didi. Kemudian mereka tenggelam dalam obrolan mereka tentang Pak Didi dan guru-guru lain. Juga tentang bagaimana rasanya ada di sekolah ini. Sampai akhirnya pertanyaan Gibran membuat Saira mendadak tidak ingin melanjutkan obrolan. “Temen-temen Saira belum dateng? Siapa kemarin namanya? Aliyyah ya?” Mendadak Saira jadi malas menjawab, tapi kemudian ia sebut juga nama temannya, tapi bukan Aliyyah, “Iya sama Bian kan?” “Kalau Bian sih saya udah kenal lama. Yang satu lagi? Yang pakai kerudung?” Saira diam, kemudian dengan sedikit kesal, Saira menjawab dengan ketus, “Yang cantik?” *** “Katanya Gibran suka tebar pesona dan bikin perempuan-perempuan salah mengartikan kebaikannya.” – Bian
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD