BAB 2 - PESAN DARI TOKOH UTAMA

1716 Words
            Dalam waktu 20 menit, tiga serangkai Saira, Aliyyah, dan Bian sudah sampai di rumah Saira. Saira ingat bahwa harusnya hari ini yang pulang cepat dan sudah pasti ada di rumah hanya Fatih, karena Salman, kakak pertama Saira sedang sibuk-sibuknya mengurus tugas akhir di kampus. Tidak jarang Salman tidak pulang karena menginap di kosan teman dengan pertimbangan, bila harus pulang ke rumah, akan membuang waktu setidaknya 1,5 jam perjalanan pulang-pergi. Menurut Salman, waktu di perjalanan itu bisa dia gunakan untuk memperbaiki tugas akhirnya yang terus menerus direvisi oleh dosen pembimbing, atau tidur di kampus.             Rumah Saira, Fatih, Salman, dan Bunda adalah rumah sederhana dan pekarangannya pun tidak luas. Hanya muat untuk satu buah mobil sedan milik bunda dan dua motor bebek yang diparkir berdekatan seadanya, yang satu milk Fatih, dan lainnya milik Salman. Kedua motor tersebut sedang tidak dipakai, karena Salman sudah jarang menggunakan sepeda motor sejak lulus SMA, ia lebih memilih naik kereta atau bis ke kampusnya yang berada di Depok, sementara rumah mereka di Jakarta. Sedangkan motor Fatih ada di tempatnya, menandakan Fatih yang sedang ada di rumah. Mobil sedan keluaran Eropa milik bunda pun terparkir rapih dan ditutup dengan cover berwarna silver, karena bunda sedang di luar kota.             Satu langkah memasuki rumah Saira, Bian dan Aliyyah langsung merasa sejuk karena AC dengan watt kecil yang justru dihidupkan setiap jam tiga sore dan dimatikan ketika penghuni rumah sudah akan tidur. AC itu bekerja memenuhi ruang tamu, yang sekaligus merupakan ruang keluarga dan ruang tv karena rumah mereka memang kecil dan sederhana, dengan udara dari tiupan blower melalui diffuser. Di dalam rumah, langsung terlihat jelas dua pintu kamar dan sebuah ruangan yang hanya ditutup oleh pintu geser transparan yang langsung diketahui bahwa itu adalah musholah kecil, serta lorong yang menuju ke kamar mandi, dapur, dan gudang. Tepat di depan lorong terdapat tangga yang menuju ke lantai dua. Kepada Aliyyah, Saira bercerita bahwa dua kamar di lantai satu adalah kamar bundanya dan Saira, sementara kamar di lantai dua adalah kamar Salman dan Fatih. “Kapan-kapan kalo kamu cuma main sendiri ke rumah aku, kita main di kamar ya, kalo sekarang enggak enak soalnya ada Bian,” kata Saira.             Saat baru sampai di rumah, Saira tidak melihat seorang pun ada dan tanda-tanda keberadaan makhluk lain, sementara pagar dan pintu depan tidak dikunci. Meski begitu, Bian tetap buru-buru pamit ke kamar kecil karena sudah ingin buang air sejak di sekolah, namun enggan karena malas. Ia langsung saja berlari ke sebuah pintu berwarna coklat setelah Saira menunjukkannya melewati lorong yang searah dengan dapur dan gudang.             “Mas Fatih!” teriak Saira, setelah Bian masuk ke kamar mandi. Masih jelas di ingatan Saira kekesalannya tadi pagi karena tidak dibangunkan.             “Oi,” sahut Fatih dari dalam kamarnya di lantai atas. Dalam beberapa menit, ia sudah turun dan berdiri di depan Saira dan kedua temannya. Fatih terkejut karena menemukan seorang yang tidak dikenal berada di rumahnya, sementara ia hanya memakai kaus oblong putih dan celana pendek hitam polos, serta rambutnya acak-acakan. Terlebih lagi, perempuan yang tidak dikenal Fatih ini adalah perempuan yang paling cantik yang pernah ia temui secara langsung, “Eh, ada tamu?” Fatih muncul dengan pertanyaan yang tidak perlu dijawab.             “Ini siapa? Cantik banget enggak kayak adiknya Mas,” kata Fatih tanpa berpikir panjang. Ia tidak bercanda, Aliyyah memang cantik, dan sifat malu-malunya yang membuat orang-orang gemas. Fatih memperhatikan Aliyyah yang menunduk dan tidak memandang Fatih, mungkin karena Fatih memakai celana pendek.             “Yang cantik ini namanya Saira,” Saira menunjuk ke dirinya sendiri dengan telunjuknya.             Fatih menoyor kepala adiknya, “tadi pagi enggak kesiangan, kan?”             “Enggaklah, Saira ditelpon sama Aliyyah makanya langsung bangun. Syukur banget, kan?” kata Saira menepuk pundak Aliyyah pelan sebagai tanda bahwa orang yang di sebelahnyalah yang sedang ia bicarakan.             “Jadi namanya Aliyyah?” tanya Fatih, salah fokus.             Sedang asik menggoda Aliyyah, Bian keluar dari kamar mandi dan menghampiri kedua temannya, serta satu orang tidak dikenal yang ia yakini adalah salah satu dari pemilik rumah.             “Saira sama Bian mau ngobrol-ngobrol di ruang tamu. Mas Fatih jangan berisik, ya,” Saira langsung memotong pembicaraan Fatih yang dijawab pendek-pendek oleh Aliyyah dengan sesekali tersenyum malu-malu. Saira juga bermaksud untuk memperingatkan Fatih untuk tidak bersuara yang akan mengganggu ia dan tamu-tamunya.             “Iya, Mas juga mau belajar. Have fun ya adik-adik,” kata Fatih bercanda dan bersikap ramah sebagai tuan rumah.             Aliyyah tersenyum untuk menghargai Fatih, juga terlihat ia nyaman dengan keramahan Fatih, tapi masih menghindari memandang Fatih secara langsung. Sedangkan Bian ikut tertawa dan menjawab, “Oke Mas.”             “Apa sih Al, rasanya jadi orang cantik?” tanya Saira tiba-tiba sambil meletakkan satu botol besar minuman bersoda di meja. Kini Aliyyah dan Bian sudah duduk di bangku ruang tamu dan sedang melepaskan lelah mereka sepulang sekolah. Bian sengaja duduk di depan AC agar udara sejuk langsung mengenai dirinya.             Mendengar pertanyaan Saira, Bian tertawa dan bertanya balik, “Lo ngerasa jelek, Sar?”             Saira, yang sedang tidak ingin berbohong, menjawab cepat, “Iya.”             “Ya ampun Saira, kamu tuh cantik. Aku aja minder kalo jalan sama kamu,” kata Aliyyah halus. Saira merasa bahwa Aliyyah mengatakan itu hanya karena teman dekatnya itu ingin Saira merasa percaya diri, bukan karena Saira memang cantik.             “Buat apa sih cantik kalo enggak baik?” tanya Bian tiba-tiba.             “Kalo disuruh milih, lo pilih gue atau Aliyyah?” Saira balik bertanya dan disambut oleh tatapan Bian yang membeku. Aliyyah juga tertegun dan tidak berkutik.             Bian diam beberapa saat, kemudian menjawab, “Apaan sih, kan kita temenan.”             “Jadi?” Saira masih bertanya memburu.             “Gatau ah,” sebut Bian asal, kemudian menambahkan, “Pokoknya lo gaboleh minder.”             “Bian, lo deket ya sama Kak Gibran?” Saira akhirnya mengungkapkan rasa penasarannya yang sejak tadi ia simpan. Ia mengganti topik pembicaraan.             “Ya suka ngobrol aja pas latihan basket. Gak akrab-akrab banget juga.”             “Ada apa sih sama lo dan Kak Gibran? Kenapa tadi dia nanyain Aliyyah? Dia suka sama Aliyyah?” Saira bertanya langsung tanpa basa-basi.             Aliyyah menenggak minuman sodanya sambil mendengarkan dengan seksama. Jikalau pun Gibran suka padanya, Aliyyah pasti tidak kaget lagi karena bisa jadi Gibran adalah orang ke-100 yang menaruh hati pada Aliyyah di sekolah.             Bian kembali membeku, “Ada apaan? Enggak!” dan kali ini Saira yakin, bahwa Bian sempat melirik ke arah Aliyyah.             Bian suka sama Aliyyah? Atau Kak Gibran suka sama Aliyyah terus minta bantuan sama Bian? Beberapa kemungkinan hinggap di pikiran Saira.             Akhirnya Saira, Aliyyah, dan Bian menghabiskan waktu mereka di rumah Saira untuk mengobrol hal lain dan tidak lagi membicarakan Gibran.             Malamnya, Saira tidak bisa belajar ataupun tidur karena memikirkan ada apa antara Aliyyah, Gibran, dan Bian. Saira selalu memperhatikan ada sesuatu antara Bian dan Aliyyah. Sementara tadi, Saira memperhatian bahwa ada sesuatu antara Gibran dan Bian yang berkaitan dengan Aliyyah. Di satu sisi, Saira akan senang jika Bian menyukai Aliyyah dan mereka berpacaran, tapi bagaimana dengan pertemanan mereka bertiga? Tentu saja Saira tak akan senang jika harus terlempar di saat-saat mereka berpacaran dan Saira menjadi sendirian. Di sisi lain, Saira mulai menyukai setiap kali Gibran mengajaknya bicara dan keramahannya, tapi bagaimana kalau ternyata Gibran menyukai Aliyyah? Bukan tidak mungkin Gibran menyukai Aliyyah. Gibran meskipun tidak tampan, pesonanya sebagai angota club basket tidak perlu diragukan, dan Aliyyah pun, semua murid di sekolah sudah tidak asing dengan kecantikan Aliyyah, seorang anak lulusan pesantren, pemalu, dan sangat cantik. Bukan hanya cantik fisiknya, cantik pula hatinya.             Saira teringat ketika dulu masa orientasi sekolah, Aliyyah kewalahan karena banyak kakak kelas yang mengincarnya, yang laki-laki ingin menarik perhatian Aliyyah dengan bersikap usil, mengerjai Aliyyah, berharap Aliyyah dapat luluh dan berbalik memperhatikan mereka, ada pula yang bersikap sok baik dan datang seperti pahlawan kesiangan setiap kali Aliyyah sedang dikerjai. Sedangkan kakak kelas yang perempuan pun berbeda lagi perlakuannya kepada Aliyyah. Beberapa dari mereka tidak peduli, beberapa hanya diam tapi jika diperhatikan terlihat iri dan memandang Aliyyah dengan wajah tidak suka, sementara yang lainnya berkali-kali membujuk Aliyyah untuk bergabung di club ektrakurikuler mereka, untuk menaikkan pamor tentu saja. Club yang menawarkan pun banyak yang tidak sesuai dengan Aliyyah, mulai dari cheerleader, paintball, gaming, jurnalistik, web design, paskibraka, pramuka, photography, sampai modern dance. Tentu saja, pada akhirnya Aliyyah bergabung di club Hafidz Quran, dan konon Aliyyah harus menyetor beberapa ayat yang telah ia hapalkan setiap hari Jumat di akhir pekan.             “Aliyyah maunya sama siapa ya?” tanya Saira kepada diri sendiri. Ia benci pada dirinya sendiri karena sudah tega menaruh perasaan iri pada teman terbaiknya di sekolah. Teman yang sampai saat ini belum pernah menyakitinya, meskipun Saira sendiri sering merepotkannya dan sering manja kepada temannya, typical anak bungsu yang disayang oleh satu keluarga dan tidak sempat merasakan kasih sayang seorang ayah, karena ayahnya sudah meninggal saat Saira masih didalam perut Bunda.              Saira kini sedang ada di kamarnya, sendirian, dan mencoba mengerjakan tugas lewat netbook miliknya. Kedua kakaknya berada di kamar mereka masing-masing, Fatih pasti sedang asik bermain game dan Salman sudah tidur, meskipun jam baru menunjuk ke angka 8 malam. Salman terlihat sangat letih saat sampai di rumah tadi, ia mengaku sudah begadang berhari-hari dan hanya tidur setidaknya total dua jam di setiap harinya. Dua jam itu pun jumlah dari waktu yang dia curi-curi saat habis sholat wajib di masjid kampus, sekitar setengah jam.             Karena tidak bisa menemukan jawaban dari kegundahannya, Saira mengecek email resmi sekolah-nya. Di sekolahnya, SMA Swasta Pelita Mulia, setiap murid memang diberikan akun email resmi untuk mengirim tugas dan keperluan administrasi, serta ektrakurikuler dan lainnya. Saira menemukan sebuah surat elektronik baru di kotak pesannya. Email tersebut bukan dari Bian seperti biasanya untuk memberikan materi, tugas atau kisi-kisi sebagai ketua kelas, melainkan dari alamat email yang tidak familiar. From: Gibran Radu XI.IPA4 (gibranraduipa4@smaspm.co.id) To: Saira Bayu X.IPA4 (sairabayuipa4@smaspm.co.id) Hi Saira. It’s Gibran. Hope it’s not too late to catch you up. Saya coba cari alamat email Saira di address book sekolah, dan ketemu Saira Bayu. Karena kelasnya sama kayak Bian, X IPA 4. Please kindly reply my email, Saira!             Di bawah email tersebut, terdapat signature Gibran yang biasa dipakai oleh siswa untuk mengirim tugas ke guru yang dimaksud. Thank you Ms/Mr, Best Regards, Gibran Radu 11 IPA 4 SMAS Pelita Mulia Jakarta Mata Saira membesar, jantungnya benar-benar berdegup kencang! *** “Saira hari ini cantik deh, mau ketemu siapa?” – Gibran
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD