Quartet

1262 Words
    Riri terbangun dari tidur tanpa mimpinya. Ia mengedarkan pandangan menilit ruangan yang ia tempati. Tapi tak banyak yang bisa ia teliti karena ruangan itu cukup gelap. Riri bingung, sebenarnya apa yang terjadi padanya. Ia merasa ada ruang kosong dalam kepalanya, sebuah memori yang seharusnya ia miliki telah hilang. Riri menjambak rambutnya frustasi. Terakhir yang ia ingat adalah kemarin malam ia sedang bekerja, dan ada yang menyewa jasa ojek payungnya, lalu ia kehilangan kesadaran.     Sebuah ketukan terdengar. Perlahan pintu disebelah Riri terbuka, muncul seorang pria yang ia kenali muncul. Pria itu yang menyewa jasanya.     "Anda sudah bangun Nona?" Pria itu menunduk hormat lalu berjalan ke sisi kamar yang lain berniat membuka gorden tebal yang menutupi jendela. Dan cahaya matahari yang terasa hangat merambat dan menyentuh kulit Riri.     Riri belum menjawab, matanya masih belum lepas meneliti pria di hadapannya ini. "Tu-tuan aku di mana? Kenapa aku bisa disini? Dan sebenarnya ini dimana?" tanyanya. Pria itu berbalik dan tersenyum walau hanya membentuk garis tipis. "Sebelumnya perkenalkan, saya Hendrik kepala pelayan dirumah ini." Ia kembali membungkuk, Riri merasa tak enak karena pria yang di hadapannya ini lebih tua darinya. Bahkan mungkin pria dihadapan Riri sudah cocok dipanggil paman olehnya.     "Dan kini Anda berada di kediaman tuan saya. Kemarin malam saya menyewa payung Anda. Anda kehilangan kesadaran karena demam tinggi, karena saya harus cepat kebali, saya tidak ada pilihan lain selain membawa Anda ke sini."     Riri berkedip mulai mencerna informasi, dan mengangguk ketika ia mengerti. "Terima kasih atas pertolongannya Tuan Hendrik," Riri berujar lalu turun dari ranjang.     "Cukup dengan Hendrik saja, Nona Riri."     Riri menggeleng, itu tidak sopan pikirnya. Tapi baru saja ia akan menyanggah, Hendrik kembali berucap. "Sebaiknya Nona cepat membersihkan diri, tuan-tuan saya mengajak Nona untuk sarapan bersama di bawah. Saya harap Nona tidak terlambat. Nanti akan ada pelayan wanita yang menjemput, saya permisi." Hendrik melangkah pergi.     Riri berkedip, apa barusan? Riri menelengkan kepalanya dan berpikir ia memang harus mandi. Ia berjalan kesebuah pintu yang ia anggap sebagai pintu menuju kamar mandi, dan betul.     Riri terperangah. Ini kamar mandi? Riri bertanya dalam hati. Pasalnya kamar mandi yang ia masuki sangat besar. Bahkan lebih besar dari rumah kontrakan yang kakaknya miliki. Riri melihat sebuah bak rendah tapi luas, Ah sepertinya itu yang dinamakan bathup? Bathub? Batupb? Ah entahlah yang Riri tahu itu pasti tempat berendam seperti di film.     Riri tak memiliki waktu untuk terkagum, ia beranjak dan berdiri di bawah sower. Mulai mandi meskipun ia rasa, ia lebih memilih mandi dengan gayung, terasa lebih bersih baginya.     Dengan berbekal sebuah handuk tebal yang membelit tubuhnya, Riri melangkah dengan malu-malu keluar dari kamar mandi, dan berniat berbalik ke kamar mandi ketika ia mendapati seorang wanita yang tak ia kenali tersenyum padanya.     "Nona Riri, maafkan saya lancang masuk ke kamar Anda tanpa izin. Saya sudah mengetuk pintu tapi tidak ada jawaban." Wanita berpakaian hitam-putih, khas pelayan wanita itu menjelaskan dengan tersenyum ramah. Riri mengerutkan kening.     "Lancangnya saya belum memperkenalkan diri, saya Merita. Ini pakaian Anda Nona, sebaiknya Nona segera berpakaian. Karena Tuan sudah menunggu." Merita menyodorkan sebuah kantung kertas bermerek pada Riri, yang disambut ragu. Riri berbalik kembali ke kamar mandi memakai pakaian yang baru saja ia terima. ***     Riri melangkah dengan hati-hati. Sebuah gaun rumah terusan berwarna kuning lembut ia kenakan. Rambut hitamnya ia gerai. Ia tampak kurang nyaman dengan apa yang ia pakai, mungkin karena selama ini Riri hanya memakai pakaian bekas kakaknya ataupun pakaian murah yang diobral besar-besaran.     "Nona silakan." Merita membuka sebuah pintu yang terlihat besar dan tinggi. Riri menatap tangan Merita yang terulur, lalu mengikuti arahannya. Riri melangkah pelan. Suara ketukan sepatu flat yang ia kenakan bergema di ruangan yang Riri tebak sebagai ruang makan itu.     Riri terperangah dengan apa yang ia lihat. Sebuah meja panjang yang dapat memuat 30 orang terletak ditengah ruangan. Sedangkan dinding ruangan itu terbuat dari sepenuhnya kaca tebal, yang memungkinkan kita melihat apa yang ada di seberang kaca itu. Riri melangkah tanpa menghiraukan keadaan, ia terpaku dengan pemandangan dibalik jendela. Sebuah Padang bunga yang penuh warna. Riri ingin ke sana, gumamnya dalam hati.     "Duduklah!" Sebuah suara menyadarkan Riri. Riri mencari sumber suara, dan melihat seorang pria yang duduk di kepala meja.     Dia tuan rumahnya.     Riri melangkah mendekati kursi, ia melirik Hendrik yang berdiri di samping pria yang tampak dewasa itu. Hendrik menunduk sedikit ketika Riri tersenyum padanya. Riri membungkuk memberi salam.     "Selamat pagi Tuan," ucapnya lalu duduk di kursi yang telah ditarik oleh Hendrik.     "Nona kita tunggu Tuan yang lain sebelum memulai sarapan," Hendrik menjelaskan sambil menuangkan air putih untuk Riri. Riri hanya mengangguk, karena ia hanya tamu. Ia menunduk karena bingung harus berbicara apa menatap jemari yang ia mainkan diatas pahanya. Lalu tak lama beberapa langkah kaki terdengar. Riri masih bertahan pada posisinya, sebelum ia merasakan tiupan dipuncak kepalanya.     Riri mendongak dan matanya membulat ketika matanya bertubrukan dengan manik mata lainnya yang hanya berjarak beberapa centi darinya. Hampir saja Riri terjengkang jika saja tidak ada yang menahan punggungnya. Riri menengok akan mengucapkan terima kasih, tapi kembali Riri tersentak ketika matanya melihat sesuatu yang aneh.     Matanya mengedar menatap empat pria asing yang terlihat serupa! Garis bawahi serupa! Mereka … kembar empat?! Riri mengerjapkan matanya. Lalu kekehan terdengar bersahutan.     "Sepertinya Riri kita kebingungan." Sebuah suara terdengar di samping kanan Riri, disusul sebuah elusan di puncak kepalanya.     "Kami yakin kaubelum pernah melihat yang seperti kami,” pria di hadapan Riri menimpali. Riri mengangguk dengan ragu. Ia melirik pria di samping pria yang baru berbicara, pria itu masih terkekeh keras.     "Kenapa tak bicara? Aku tidak suka bahasa isyarat." Suara yang berhembus disebelah kiri Riri membuat ia tersentak. Lalu tawa kembali meledak.     "Hei Farrell kau membuatnya terkejut."     "Diamlah Fathan jangan tertawa terus!"     "Kau juga Brisan, jangan mengelus Riri terus!"     "Apa masalahmu Hugo?!"     Suara adu mulut memenuhi ruang makan itu. Riri hanya diam, tak mengerti apa yang mereka perdebatkan. Sedangkan Hendrik dengan tenangnya menuangkan air putih disetiap gelas tuanya yang masih beradu mulut.     "Diam!" Farrell berdesis marah. Dan seketika mereka diam. Canggung terasa mengudara.     "Sebelum sarapan sebaiknya kita perkenalkan diri dulu. Dari kau dulu." Pria disamping kanan Riri melirik pada pria yang beada disamping kiri Riri, tepatnya pada pria yang duduk di kepala meja.     "Aku, Ferrell Alexio Dawson."     "Hanya itu? Kau payah Farrell!" Pria dihadapan Riri mencela.     "Diamlah Hugo! Perkenalkan, aku Abrisan Alexio Dawson. Kaubisa memanggilku Bri,” Pria di samping kanan Riri memperkenalkan dirinya.     Riri mengangguk. Lalu pria di hadapannya kini memperkenalkan diri. "Aku Hugo Alexio Dawson. Kaubisa memanggilku apa saja sesukamu." Riri tersenyum ketika Hugo tersenyum.     Lalu pria yang selalu terkekeh kecil itu mulai memperkenalkan diri. "Kalau aku, Fathan Alexio Dawson. Khusus kau, panggil aku Athan." Riri mengangguk mengerti.     "Selamat sarapan." Farrell membuka acara sarapan itu. Semuanya telah mulai memakan sarapan mereka masing-masing.     Sedangkan Riri melihat piring sarapannya dengan tak berminat. Bri yang menyadari paling awal bertanya, “Apakah kau tak suka dengan menunya?" Bri bertanya lembut, Riri menengok lalu melirik pada piring sarapannya yang terisi dengan roti isi, khas untuk sarapan ala modern.     "Emm apakah ada nasi?" Riri bertanya dengan malu-malu, dengan wajah merah.     Hening     "A-aku tidak suka roti. A-aku tidak bisa makan roti." Riri mulai menunduk ia takut membuat para tuan rumah marah karena menolak suguhan sarapan dari mereka.     Lalu tawa Fathan meledak. "Ah kau sangat lucu. Jangan takut. Kita tidak akan memakanmu. Ini belum waktunya," Fathan berceloteh jenaka.     "Hendrik bawakan apa yang Riri minta," Farrell memerintah dengan wajah yang tampak tak peduli.     "Hei tak perlu takut okay? Minta apa pun yang kau mau," Hugo berujar sembari melemparkan senyum menenangkan.     Riri mengangkat kepalanya ketika merasakan tepukan lembut dipuncak kepalanya, tepukan yang berasal dari telapak tangan lebar Bri. Entahlah Riri rasa, di sini lebih hangat daripada ketika ia bersama kakaknya sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD