Rumah Satu-Satunya Riri

1510 Words
"Hendrik tolonglah, aku harus pulang sekarang. Aku sudah tidak sakit." Riri merengek pada Hendrik yang masih melangkah dengan kedua tangan yang ia simpan di belakang punggungnya. Riri berlari-lari kecil mencoba menyejajarkan langkahnya dengan Hendrik yang masih setia tak menjawab permintaan Riri, dan lebih memilih mengarahkan bawahannya agar melakukan tugas dengan baik.     Riri menghentikan langkahnya. Sudah tiga hari Riri tidak diperbolehkan pulang, mereka semua mengatakan jika Riri masih sakit. Dan kabar menyebalkan yang lainnya adalah, Riri tidak diperbolehkan keluar dari rumah besar ini. Matanya mulai berkaca-kaca. Ia rindu kakaknya. Ia rindu kebisingan kontrakan kumuhnya. Ia rindu berlarian di bawah hujan untuk mencari sesuap nasi.     Riri berbalik, tapi keningnya terbentur sesuatu yang keras. Riri sedikit terhentak kebelakang, ia mengusap keningnya yang terasa nyeri. "Hati-hati ketika berjalan! Kaubisa terluka." Riri mendongak dan melihat Farrell yang juga menatapnya.     Ya tiga hari Riri di sini, Riri telah bisa membedakan setiap pria kembar itu. Riri pertama kali bisa mengenal mereka dari iris mata yang mereka miliki. Lalu dari warna rambut yang sengaja mereka bedakan agar Riri tidak kebingungan.     Farrell beriris hitam dengan rambut sekelam malam. Hugo beriris kecokelatan dengan rambut merah gelap. Bri beriris biru gelap dengan rambut sewarna pasir. Sedangkan Fathan beriris kehijauan dengan rambut cokelat.     "Sakit?" tanya Farrell datar ketika Riri masih saja mengusap keningnya. Riri mengangguk, lalu tak disangka Farrell mengulurkan tangannya dan mengelus lembut kening Riri.     "Maka dengarkan apa yang kubilang."     Riri berubah kaku. Ia tak pernah mendapatkan perlakuan seperti ini dari Farrell. Selama ini hanya ketiga saudara kembarnya yang bersikap manis pada Riri, berbeda dengan Farrel yang tampak menjaga jarak dengannya.     Setelah ia menarik tangannya dari Riri. Farrell berdehem kaku. "Sepertinya tadi kaumengganggu pekerjaan Hendrik," ucap Farrell dengan suara datar khas miliknya.     "Aku hanya meminta untuk diantar pulang. Aku rindu kak Linda." Riri menunduk dan memainkan kakinya. Farrell mengembuskan napasnya keras.     "Tunggu yang lain. Nanti malam, kita bicarakan bersama." Farrell berlalu, kemudian berhenti ketika mendengar suara Riri.     "Terima kasih, Kak El."     Hangat. Farrell menyentuh dadanya. Ada perasaan hangat yang menyebar di dadanya ketika Riri memanggilnya dengan panggilan itu, Kak El. Farrell menarik bibirnya lurus, berniat tersenyum. Tapi hasilnya jauh dari senyum yang diharapkan. Tarikan itu hanya menghasilkan sebuah garis lurus yang terkesan tajam. ***     Perdebatan alot terjadi antara kembar Dawson setelah makan malam mereka. Riri yang berada di tengah-tengah mereka merasa tak enak ditambah dengan dirinya yang menjadi penyebab perdebatan ini.     "Sudah cukup! Riri memang harus kembali ke rumahnya. Kita tak bisa menahannya di sini lagi," Farrell memutuskan.     "Benar, apalagi Riri sudah sehat seperti semula," Bri menambahkan, ketika ia melihat Hugo dan Fathan yang masih kesal karena harus berpisah dengan Riri.     "Tapi kami tidak mau berpisah dengan Riri!" Fathan meninggikan suaranya. Sebenarnya Riri sedikit bingung, mereka baru saja bertemu tapi seakan-akan mereka sudah sangat menyayangi Riri. Terasa aneh bagi Riri, tapi ia senang karena bertambah orang yang kini menyayanginya.     "Riri bisa bermain ke sini. Atau kak Athan yang menemui Riri." Riri mencoba membujuk Fathan, sedikit aneh di lidahnya ketika harus memanggil para pria kembar ini dengan sebutan kakak ketika umur mereka yang hampir dua kali umur Riri. Jika ada yang bertanya umur Riri, Riri masih berumur 15 tahun. Pasti bisa menebak umur kembar Dawson bukan?     "Sayangnya kami tidak akan bisa bertemu denganmu lagi Riri, tadinya kami berniat membawamu. Kami akan kembali ketempat asal kami, dan itu berada di luar negeri," Hugo berujar dingin. Untuk pertama kalinya Riri melihat Hugo sedingin ini.     Riri menunduk. "Tapi Riri masih punya Kak Linda." Ia memilin ujung baju tidurnya.     "Besok kami akan mengantarmu. Kami belum berhak menahanmu di sisi kami. Sekarang lebih baik kautidur," Bri mengelus punggung Riri lalu memberikan isyarat pada Hendrik agar mengantar Riri.     Setelah Riri pergi. Fathan mendengus. "Aku benar-benar tidak setuju dengan keputusanmu Farrell!"     "Ini demi kebaikan Riri, jangan egois Fathan!"     "Riri milik kita! Tidak ada yang lebih baik selain dia berada di samping kita!" Fathan berdiri dan berseru keras.     "Jaga sikapmu Fathan!" Hugo berseru.     "Ini sudah keputusanku. Jangan mendebat." Farrell berdiri lalu berlalu meninggalkan ketiga saudara kembarnya. ***     Keesokan harinya Riri telah siap dengan gaun polos berwarna pink pastel. Ia sudah bersiap di depan pintu utama, menunggu kembar Dawson muncul. "Sudah lama menunggu?" Sebuah suara yang Riri kenal menghampiri. Riri menengok dan melihat kembar Dawson dengan pakaian santainya sedang menghampiri Riri.     "Tidak." Riri menggeleng lucu. Hugo yang merasa gemas langsung mencubit kedua pipi tembam Riri.     "Aw sakit!" Riri memukul kedua tangan Hugo dan mengusap pipinya yang memerah. Hugo dan yang lainnya kecuali Farrell tertawa gemas. Fathan merangkul Riri dan membawanya ke luar dari pintu utama. Seketika Riri terperangah.     Wahh ini mah bukan rumah. Tapi istana! Liat tamannya saja sangat luas, istana presiden mah lewat. Gumam Riri dalam hati.     Riri terkagum. Fathan membuka pintu belakang mobil lalu mempersilahkan Riri masuk. Fathan duduk disebelahnya sedangkan Hugo duduk disisi yang lain. Farrell sebagai pengemudi, sedangkan Bri berada di kursi depan.     Riri kembali terperangah ketika mobil telah melewati gerbang besar kediaman Dawson. Ini indah. Pohon-pohon pinus menyambut Riri untuk pertama kali.     "Sebaiknya kautidur. Perjalan akan sangat lama." Hugo memecahkan keheningan.     "Kalau Riri tidur, nanti tidak ada yang menunjukan jalan." Riri menjawab.     Tapi, setengah jam kemudian, Riri sudah tidur-tidur ayam. Kepalanya manggut-manggut pelan. Fathan yang menyadarinya meraih kepala Riri dan meletakkannya di pundaknya. Riri langsung mencari posisi yang nyaman di bahu Fathan. Sedangkan Hugo meraih tangan Riri dan menyelipkan jemarinya di sela-sela jari Riri. Ia menggenggam telapak tangan mungil Riri dengan hangat.     Di tengah perjalanan Riri merasakan belaian di sepanjang tulang belakangnya. Riri mencoba membuka mata tapi terasa sulit. Lalu sebuah belaian yang lain terasa merayap di paha atasnya. Sebuah hisapan Riri rasakan pada daun telinga kanannya lalu turun pada lehernya. Sebuah remasan lembut di dadanya membuat Riri terlonjak, tapi tertahan oleh sesuatu.     Riri menggerakkan kepalanya panik. Ia sedang dilecehkan! Lalu sesuatu yang lembut terasa menyentuh celana dalamnya. Dan seketika Riri mengejang. Riri menangis, ia tak mengerti apa yang sedang terjadi kini.     Remasan-remasan di dadanya terasa makin intens. Kecupan juga ia rasakan di wajah dan lehernya. Sesuatu yang baru Riri rasakan. Perut bawahnya terasa tegang. Riri ingin pipis! Riri ingin merintih tapi tak bisa. Riri mulai terisak.     “Lepaskan sayang, jangan ditahan.”     Lalu punggung Riri melengkung, melepaskan sesuatu yang Riri anggap sebagai pipis yang sedari tadi ia tahan. Napasnya terengah-engah. Riri membuka matanya. Lalu tersentak, ketika melihat kembar Dawson menatapnya khawatir.     "Mimpi buruk?" Hugo bertanya sembari mengusap keringat di dahi Riri. Riri masih mengatur napasnya yang berkejaran.     "Minumlah!" Bri menyodorkan sebuah botol air mineral yang diterima oleh Fathan. Fathan membantu Riri minum, ketika ia melihat tangan Riri yang masih bergetar hebat.     "Kita sampai," ucap Farrell.     Riri menengok, dan melihat gang yang memang menuju rumah kontrakannya.     "Terimakasih sudah mengantarkan Riri. Dan terimakasih untuk bantuannya selama ini. Semoga kalian selamat hingga tujuan." Riri bicara dengan suara sedikit bergetar ketika mengingat mimpi anehnya tadi.     Riri turun diikuti kembar dawson. Riri sedikit limbung ketika ia merasakan bagian diantara pahanya yang lembab, ia menggerakkan kakinya tak nyaman.     "Sebelum berpisah, berikan kami pelukan terakhir." Suara Bri menyadarkan Riri. Riri tersenyum dan menghampiri satu persatu kembar Dawson dan memberikan pelukan hangat, hingga ia tiba dihadapan Farrell. Ia memberikan pelukan hangat yang sedikit kaku.     "Terima kasih sekali lagi. Dadah!!" Riri melambaikan tangannya dan berlari memasuki gang rumahnya. Riri berlari ingin cepat sampai rumah dan mandi. Bagian bawahnya terasa sangat tidak nyaman. Lembab dan … ah sulit untuk Riri jelaskan. Sampai di pintu kontrakan kakaknya yang terlihat sepi Riri mengetuk pintunya.     "Kak, Riri pulang! Buka pintunya!"     Perlu beberapa menit sampai pintu yang ia ketuk terbuka, dan munculah kakak perempuannya diikuti seorang pria asing dibelakangnya. Riri menunduk, ketika ia mendapati kakaknya yang menatapnya tajam sembari membenarkan lengan dasternya yang melorot, dan pria asing yang tak Riri kenal itu memeluk dan menciumi leher putih kakaknya dari belakang. Kembali mimpi aneh yang Riri alami berkelebat dikepalanya.     "Kenapa pulang? Bukankah kau menjual diri?" Bagai belati, perkataan kakaknya sangat tajam menyayat hati Riri.     Riri mendongak. "Nggak gitu Kak. Riri gak jual diri."     "Sialan! Jangan berbohong, lalu darimana pakaian yang kau pakai? Tidak mungkin dari hasil ojek payung murahan mu!!" Linda memekik. Dengan kasar ia menarik tangan Riri kedalam kontrakannya tanpa mempedulikan pria yang sedari tadi menciumi dirinya.     "Kau menghina tawaran baikku untuk memberikan pelanggan terbaikku. Dan lihatlah sekarang, kaumalah menjual diri di luar sana!" Linda menghempaskan Riri hingga Riri terjatuh ke lantai. Linda meraih wedges miliknya yang tergeletak didekat sofa usang diruang tamu. Lalu memukuli Riri dengan brutal.     "Sialan! Dasar jalang cilik!" Linda memukul punggung Riri keras.     Bugh!     Bugh!     Bugh!     Sedangkan Riri dengan sekuat tenaga menahan teriakan yang akan keluar dari bibirnya. Ia tidak boleh berteriak. Atau kakaknya akan lebih marah. Ia tahu, karena ini bukan yang pertama kalinya. Linda menyeret tubuh Riri yang telah penuh memar kedalam kamar Riri.     "Kautidak boleh ke luar kamar! Dan tidak boleh makan untuk tiga hari," Linda mendesis, lalu menghempaskan pintu kamar disusul suara pintu yang dikunci. Riri meringis, merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Terutama di punggungnya, ia rasa esok tubuhnya akan penuh memar.     Riri mulai menangis sesenggukan, ia membekap mulutnya keras agar suaranya tak terdengar ke luar. Riri tahu ini yang akan ia terima jika pulang, tapi ia tak punya pilihan lain, hanya Linda keluarganya. Hanya Linda tempat pulang satu-satunya untuk Riri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD