“Ma, apa keputusan pernikahan ini menurut Mama sudah benar?” tanya Nafla pada malam hari saat mereka baru saja menyelesaikan makan malamnya.
Sandra menatap putrinya bingung. “Memang kenapa? Kamu ragu?”
“Iya, Ma. Apalagi masa lalu Pak Asgaf yang masih berkeliaran diluar sana. Nafla jadi takut sendiri.”
Meletakkan piring bersihnya, Sandra memilih duduk di sebelah Nafla. Wanita paruh baya itu tersenyum. “Kamu jangan prasangka buruk gitu deh. Mama yakin Asgaf adalah orang yang menjaga amanahnya. Jadi, percayakan semua padanya, ya?”
“Tapi, Ma...”
“Sayang, setiap ketentuan jodoh itu Allah-lah yang mengatur. Mungkin memang sudah rencana-Nya mempertemukan Asgaf dengan Rena sebelum akhirnya ketemu kamu. Mungkin juga itu adalah cara Allah mendewasakan Asgaf dengan pengalaman pahit yang pernah dilaluinya,” gumam Sandra seraya tersenyum. “Dan ketika bersamamu nanti, Asgaf lebih tahu caranya mendekati dan memanjakan seorang perempuan.”
Nafla terdiam. Semoga saja itu benar. Tapi, bagian memanjakan Nafla agak ragu mengingat betapa kerasnya laki-laki itu membiarkannya memasak dan menggosok. Bahkan, Asgaf memintanya untuk di rumah daripada bekerja sebagai guru yang telah menjadi cita-citanya selama ini.
“Percayalah, Sayang... Mama yakin Asgaf akan menjagamu sebaik mungkin. Bahkan, lebih baik daripada saat Papamu menjagamu,” gumamnya pelan saat mengingat sang suami yang telah menceraikannya karena perselingkuhan.
Nafla menunduk sedih saat mengingat sang ayah. Ia tidak pernah mendapatkan perhatian ayahnya itu sama sekali karena memang ayahnya jarang pulang ke rumah dan sibuk bekerja. Sampai suatu hari, Nafla mendengar bahwa ayahnya memiliki wanita lain yang membuatnya semakin membenci sang ayah. Bahkan, ayahnya diam-diam memiliki anak dengan wanita itu.
Kisah yang miris untuk diceritakan karena Nafla tidak benar-benar mengenal sosok ayahnya.
Tapi, satu yang Nafla tahu bahwa ia bukanlah anak tunggal. Ia memiliki saudara kandung yang sama sekali tidak pernah Nafla kenal. Ia hanya bisa melihat sosok saudaranya itu dari album-album lama keluarganya.
Dan Nafla tahu, bertanya tentang sang kakak hanya akan membuat ibunya bertambah sedih. Sehingga ia memutuskan untuk segera tidur.
●●●
Pak Rizal DP 2
Jumpain saya di lab jam 11 ya.
Nafla membaca pesan dari dosen pembimbing keduanya. Melirik jam yang ada di pergelangan tangannya, Nafla masih memiliki waktu sekitar 45 menit lagi untuk berjumpa dengan Pak Rizal. Ia mengambil semua berkas yang diperlukan. Berniat cepat-cepat menyelesaikan segala urusan yang ada agar Nafla bisa kembali berbaring di kasur empuknya.
Nafla meminta diantar oleh Pak Sardi yang sedang mengelap kaca depan mobil. Tampaknya, Pak Sardi langsung pulang setelah mengantar ibunya ke kantor.
Jalan dari rumahnya menuju kampus hanya memakan waktu lebih kurang 20 menit. Sehingga Nafla masih bisa mempersiapkan diri sebelum bertemu Pak Rizal. “Perlu di tunggu, Non?”
Nafla menggeleng pelan. “Nggak perlu, Pak. Saya pulang sendiri saja.”
“Ya sudah, kalau ada apa-apa hubungi saya aja ya, Non.”
Nafla mengangguk mantap. “Siap, Pak. Assalammu’alaikum,” pamitnya lalu melambaikan tangan dan segera masuk ke dalam kampus.
“Wa’alaikumsalam,” jawab Pak Sardi pelan sambil menggelengkan kepalanya sebelum melajukan kembali mobilnya.
Nafla menatap prodi yang tampak kosong tidak ada orang, kecuali Kak Frida. Nafla segera mendekat dan mengetuk kaca agar Kak Frida membukanya.
“Kak, aku mau nanya... Untuk sidang apa-apa saja syaratnya?”
Kak Frida yang sebelumnya mengotak-atik komputer, kini memfokuskan dirinya pada sosok Nafla. “Kamu siapin abstrak terus sama skripsinya. Kalau bisa cepat ya, Na. Soalnya, yang sidang bulan ini akan dibatasi jadi, takutnya kuota penuh terus kamu terpaksa sidang pas semester baru.”
Mata Nafla membelalak lebar, “Yah, jangan dong kak...,” serunya tidak percaya. “Kalau bisa semester ini juga aku sidang. Ini aku mau konsul Bab IV langsung sama kesimpulan, terus ntar aku urus abstraknya dan kasih ke kakak langsung. Gimana?”
Kak Frida terlihat mengangguk. “Boleh. Kakak disini sampai jam 5. Usahakan sebelum jam 5 ya?”
“Siap, Kak. Ini masih 11 kurang, mungkin siap dzuhur ntar udah kelar. Makasih Kak,” gumam Nafla lalu membuka macbook yang dibawanya dan melihat kembali hasil revisi dari Pak Asgaf beberapa hari lalu.
Semoga langsung di acc... Bisik batin Nafla sambil bersikap optimis.
Sekali lagi, Nafla melirik jam tangannya yang hampir menunjukkan pukul 11. Ia memasukkan kembali macbook miliknya dan merapikan skripsinya untuk beranjak ke ruangan lab dimana Pak Rizal berada.
Dengan langkah tergesa, Nafla naik ke lantai atas melalui tangga karena lift terlalu jauh dari tempatnya berada. Ruangan lab bahasa inggris letaknya di sudut. Dahinya seketika menyipit saat melihat begitu banyak sepatu di depan ruangan.
Apakah para dosen sedang rapat?
Nafla menarik napas lalu menghelanya pelan. Berharap bahwa tidak ada pria bernama Asgaf di dalam sana karena ia belum siap untuk kembali menemui Pak Asgaf.
Ia mengucapkan salam sebelum masuk ke dalam ruangan yang terlihat horor karena dipenuhi oleh banyak dosen. Bahkan, disana ada ketua prodi yang membuat Nafla semakin segan. Lalu, matanya melirik Pak Rizal yang menyambutnya dengan senyuman.
“Kemari, Na...”
Nafla mengangguk sopan dan beranjak perlahan untuk pergi ke kursi Pak Rizal yang terletak di tengah ruangan.
“Jadi, ini calonnya Pak Asgaf?” seru seorang dosen yang membuat langkah Nafla seketika membeku. Ia melirik ketua prodi yang memberikan senyuman lebarnya. “Wah, semoga kalian langgeng ya...”
Dahi Nafla berkerut. Darimana Pak Burhan tahu bahwa ia dijodohkan dengan Pak Asgaf? Lalu, dimana Pak Asgaf duduk saat ini? Seketika ia merasakan punggungnya seakan terbakar oleh tatapan seseorang, membuat Nafla segera menoleh dan menatap kaget pada sosok Asgaf yang ternyata duduk di sudut ruangan yang dikelilingin oleh dua orang dosen lainnya.
“Jadi, kapan pernikahan kalian?” kali ini Pak Fahri yang bertanya. “Jangan ditunda terlalu lama, nggak baik.”
Nafla meringis pelan tanpa menjawab. Ia lantas duduk di hadapan Pak Rizal yang tersenyum menggodanya. “Kayaknya mereka masih malu-malu, Pak Fahri.”
Pipi Nafla seketika merona. Ia meraih skripsi lalu memberikannya kepada Pak Rizal. “Ini, Pak.”
“Maaf, Nafla... Saya sengaja menyuruhmu kemari hanya untuk menggoda kalian.”
Nafla tersenyum segan. “Tidak apa-apa, Pak. Oya Pak, kalau bisa saya ingin sidang semester ini, Pak. Saya berharap Bapak bisa segera meng-accnya karena takut kuotanya keduluan penuh.”
“Ingin cepat menikah?” Lagi-lagi Pak Rizal menggodanya yang membuat Nafla semakin malu saja. Dan untungnya, perkataan Pak Rizal tidak di dengar oleh dosen lainnya.
“Nggak, Pak. Saya hanya tidak ingin menghabiskan uang untuk membayar SPP kembali.”
Tampaknya, Pak Rizal mengerti dan membaca kembali skripsi Nafla. Ia mengangguk-angguk kepalanya melihat Bab IV dan juga kesimpulan yang sudah benar. “Ini sudah bagus. Apa kamu bawa abstrak? Biar sekalian saya periksa.”
“Ada, Pak. Tapi, di dalam flash saya. Apa sebaiknya saya print sekarang?”
“Sebentar,” gumam Pak Rizal sambil membuka laptop miliknya dan menghidupkan printer. “Kemarikan flash kamu. Biar saya yang print.”
Mata Nafla membelalak lebar sebelum memberikan flash dan mengucapkan kata terima kasih berulang kali kepada dosennya itu. Yang dikatakan oleh teman-temannya benar. Pak Rizal adalah dosen yang care dan juga ramah. Untung saja ia dibimbing oleh Pak Rizal.
Setelah abstraknya di print, Pak Rizal memberikan kembali flash milik Nafla. Lalu, ia membaca dengan seksama dan mengangguk pelan. “Saya rasa kamu bisa langsung kasih ini ke Frida. Usahakan SK sidangmu keluar lusa, karena jadwal keluar SK dan jadwal sidang biasanya hanya berselang dua hari.”
Nafla mengangguk, lalu mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya sebelum izin untuk pamit. Ia bahkan pamit kepada dosen lainnya secara umum, mengabaikan tatapan tajam seseorang yang menusuknya dari awal hingga akhir.
Nafla menghela napas lega setelah ia menutup pintu ruangan. Ia menatap abstrak lalu melihat jam di ponselnya yang menunjukkan pukul 12. Sudah waktunya istirahat dan Kak Frida dipastikan sedang makan siang sebelum shalat dzuhur. Nafla memilih untuk ke kantin sambil menunggu dzuhur, ia melirik kantin yang terlihat agak penuh dan hanya menyisakan beberapa kursi kosong.
“Nana,” seru Gea sambil melambaikan tangannya. Membuat Nafla melangkah dan duduk di depan Gea yang duduk seorang diri.
“Sendirian dari tadi?” tanya Nafla bingung.
Gea mengangguk dan menyuapkan nasi ke dalam mulutnya.
“Ngapain?”
Gea menelan nasinya sebelum menjawab pertanyaan Nafla. “Konsul sama Pak Fahri. Gila ya Bapak itu! Masa aku nggak kelar-kelar Bab III.”
Nafla terkekeh pelan dan memanggil pelayan lalu memesan makanannya. Setelahnya, ia kembali menatap Gea yang terlihat begitu lahap.
“Kamu kesel, tapi lahap. Laper?”
“Hooh. Habis, perang sama Pak Fahri bikin laper.” Gea tak lama menatap Nafla seketika ia mengingat sesuatu. “Eh, Na, denger-denger kamu ada hubungan sama Pak Asgaf?”
Nafla terdiam. Ia tahu, cepat atau lama pasti akan semuanya akan tahu. Namun, Nafla tidak menyangka jika secepat ini kabar itu menyebar cepat.
“Haris lihat kamu berduaan sama Pak Asgaf kemarin lusa di parkiran.”
●●●