“Hari ini fitting baju kamu ya?” ajak Sandra melihat putrinya yang baru saja bangun tidur. “Kan kamu hari ini nggak ke kampus, terus juga SK sidangmu keluar besok, ‘kan?”
Nafla menutup mulutnya yang menguap lebar. Mengucek matanya pelan sebelum duduk di kursi meja makan. “Fitting apaan sih, Ma?” serunya lalu meraih s**u putih dan meminumnya mengingat subuh ia selalu menyempatkan menyikat gigi sebelum shalat. “Mama aja deh yang pergi sama Mama Viona. Aku mau leha-leha di rumah.”
“Ya nggak bisa gitu dong, Sayang.” Sandra meletakkan roti panggang selai coklat kesukaan Nafla. “Asgaf juga ntar nyusul setelah ngajar.”
Nafla memegang kepalanya yang terasa pusing. “Ma, aku perlu belajar untuk sidang yang sudah di depan mata! Masa mau fitting baju, sih.”
“Ya mau gimana? Pernikahan kamu itu tinggal hitungan minggu, Nafla. Lagipula, pembimbing kamu ‘kan calon suamimu sendiri, pasti kamu di lulusin deh.”
Nafla berdecak tidak suka. “Aku nggak suka di lulusin cuma gara-gara dia calon suami aku! Lalu, dimana jerih payah aku sendiri selama ini?”
Sandra tampak merenungi apa yang putrinya katakan. Ia mengangguk lalu menelepon Viona dan mengatakan bahwa fitting baju pengantin untuk Nafla ditunda hingga ia selesai sidang.
“Mama sudah tunda fitting baju kamu. Jadi, setelah sidang nanti nggak ada alasan untuk nolak cari baju.”
“Iya, Ma.” Nafla memakan dengan lahap roti bakar selai coklat tersebut. “Ma, apa perlu kita memberitahu Papa?”
“Terserah kamu. Mama bisa temani kalau kamu mau. Memangnya kamu nggak keberatan?” tanya sang ibu yang tahu bahwa sejak dulu Nafla tidak pernah akur dengan ayahnya yang pergi meninggalkan mereka.
Nafla mengedikkan bahunya. Ia tidak bisa menjawab pertanyaan sang ibu dengan jujur. Namun, jika memang ia menemui ayahnya. Apakah ayahnya akan mau mendengar ceritanya? Atau ayahnya justru tidak mau menemuinya?
●●●
Pagi ini, Nafla disibukkan dengan semua barang-barang yang akan dibawanya untuk sidang. Ia mengenakan almamater dan mengikat rambutnya agar tidak mengganggu konsentrasinya ketika presentasi kelak.
Bahkan, Nafla sengaja membawa sendiri mobilnya tanpa disupiri oleh Pak Sardi karena ia benar-benar tidak ingin merepotkan siapapun. Gadis itu menggigit plastik snack lalu menenteng keluar dua buah plastik lainnya yang berisi buah-buahan dan juga berkas skripsinya.
Tak jauh dari sana, Asgaf yang melihat Nafla tampak keteteran memilih mendekat. Ia menggelengkan kepalanya sebelum mengambil alih kantong plastik yang digigit oleh Nafla.
“Apa kamu nggak bisa minta tolong?” tanya Asgaf sambil melirik isi kantong sebelum mengambil satu kantong lagi yang berada di tangan gadis itu. “Lagian ngapain kamu bawa makanan sebanyak ini? Kamu mau sidang atau mau pesta?”
Nafla mengerucutkan bibirnya, menatap jengkel pria yang kini berjalan disampingnya. “Bisa kali, Pak kalau ngebantu nggak usah cerewet!” sungutnya sambil menghentakkan kaki. “Lagian saya bisa sendiri juga tanpa Bapak bantu.”
“Oh ya?” tantangnya lalu meletakkan kembali kantong plastik yang ia pegang di depan Nafla. “Coba bawa. Saya mau lihat!”
Sialan!
Mengepalkan tangannya erat, Nafla segera mengambil dua kantong plastik. Walau berat dan sedikit susah, ia berjanji tidak akan meminta tolong pada dosen kurang ajarnya itu! Lalu, dengan segera Nafla meninggalkan Asgaf begitu saja yang tampak menahan senyumnya.
Sampai di depan prodi, barulah Nafla menghela napas lega. Meletakkan semua barangnya kemudian membuka SK sidangnya yang tertulis tempat dan jadwal disana. Sama seperti Putri, Nafla kena di ruang diseminasi bawah. Saat ia hendak beranjak, suara nyaring milik Ifa terdengar.
“Nana... Sorry, aku telat,” gumamnya dengan napas tersengal. “Sini sini, biar aku bantuin.”
“Dari tadi kenapa sih?” ujarnya kesal. “Aku tadi sampai—”
Dahi Ifa mengernyit saat tiba-tiba sahabatnya itu membungkam mulutnya. “Sampai apa?”
Nyaris saja Nafla keceplosan mengatakan bahwa Pak Asgaf membantunya setengah jalan.
Astaga...
“Udah, nggak pa-pa. Kita langsung atur aj—”
“Oi, Na!” seru Gea yang berjalan bersisian bersama Raya dan juga Putri. “Jadi sidang juga? Siap-siap kena bantai sama Pak Deri,” kekeh Gea yang tahu bahwa penguji Nafla adalah dosen dengan nilai paling objektif setelah Pak Asgaf.
“Rese ya, Ge,” ejeknya sebelum menatap ketiga temannya itu. “Bantu ambil taplak sama in focus dong.”
Putri mengangguk, “Ya udah, kamu bawa itu aja dulu. Biar aku sama Raya ambil in focus. Gea, kamu bantu Nana bawa tuh cemilan sama kuenya.”
“Iya-iya!” Gea meraih satu kantong yang ada di tangan Ifa sebelum ketiganya berjalan bersisian sementara Putri dan Ifa menuju prodi untuk menemui Kak Frida.
“Kamu nggak takut, Na? Dua dosen yang sama-sama pelit nilai nguji kamu. Eh, satunya malah jadi pembimbing.” Ifa membuka suara. “Syukur-syukur kalau Pak Asgaf bantu kamu ngejawab, lah, kalau dia bantu bantai gimana? Contoh kayak Pak Defri dan Pak Fahri tuh. Mereka yang bimbing, masa mereka juga yang ikut nanya. Gila kan?”
“Nyindir itu nggak usah terang-terangan kali, Fa,” sela Gea dengan jengkel mengingat sampai saat ini Pak Fahri masih belum juga meng-acc skripsinya.
Dalam hati Nafla langsung berdecak. Kalau memang Pak Asgaf mempersulitnya, maka Nafla hanya tinggal membatalkan pernikahan mereka. Gampang ‘kan?
Tak lama, Raya dan Putri masuk mengantarkan proyektor dan juga taplak meja. Mereka menyusun semuanya hingga menjadi rapi, lalu, tak lama setelah itu para dosen yang mengenakan jas hitam khusus untuk menyidang mahasiswa masuk satu persatu dan dudu di tempat yang telah disediakan.
“Jadi, kamu calonnya Pak Asgaf?”
Mata Nafla seketika membelalak lebar. Tidak menyangka jika Pak Defri akan bertanya terus terang, apalagi di depan teman-temannya yang sudah menatap Nafla dengan shock.
“S-saya bu—”
“Hubungan pribadi saya dengan saudari Nafla tidak ada sangkut pautnya dengan sidang ini, Pak Defri,” sela Asgaf cepat membuat semua orang semakin yakin bahwa memang ada sesuatu antara Nafla dan Pak Asgaf. “Jadi, saya minta kepada Bapak-bapak dan Ibu sekalian untuk tetap bersikap profesional, karena saya yakin saudari Nafla juga menginginkan seperti itu.”
Pak Rizal yang duduk di sebelah Pak Asgaf hanya tersenyum simpul menatap mahasiswa bimbingannya tampak tersipu. “Pak Asgaf benar. Hubungan pribadi sebaiknya jangan dicampuri dengan urusan kampus.”
Baik Pak Defri maupun Miss Julia yang bertugas sebagai penguji Nafla mengangguk pelan.
“Kalau begitu, saya tidak akan menahan diri,” gumam Pak Defri yang membuat Nafla seketika merasa gugup dan takut.
●●●
Persidangan Nafla sudah berjalan setengahnya. Presentasi yang Nafla lakukan jelas berhasil mengingat otaknya yang encer dan juga ingatannya yang kuat. Apalagi, selama ini ia melalui bimbingan yang dibilang cukup ketat dengan kedua dosen yang membantunya selama ini.
Sesi pertanyaan dari Pak Defri juga dijawab lancar tanpa hambatan, seakan Nafla benar-benar menguasainya tanpa melewatkan setiap kata yang ada di dalam skripsi hasil karyanya sendiri. Sedangkan dari Miss Julia, hanya beberapa saran yang diberikan tanpa pertanyaan berlebih. Dosen wanita itu memberikan apa-apa saja yang harus Nafla tambah dalam skripsinya.
“Overall is good. I believe that you make this script with on your own. I just want you need to see the references, maybe you should interpolate between year and title. That’s it from me, Nafla.” Miss Julia tampak melirik dosen Pak Defri yang duduk disebelahnya. “Any comment from Mr. Defri?”
Dilihatnya Pak Defri menggeleng membuat Miss Julia seketika tersenyum menatap Nafla. “May I ask you something, Nafla?”
“Of course, Miss.”
“Why do you want to marry Mr. Asgaf? We all know that he’s old, of course...” Dan perkataan Julia menimbulkan tawa disela ketegangan tersebut. “But you’re so young. You have ability to reach your dream before you get married. I need to know, what’s your reason?”
Nafla menggigit bibir bawahnya ragu. Alasan apa yang digunakannya untuk menjawab pertanyaan Miss Julia? Apalagi saat ini teman-temannya juga sedang menatapnya, sebelum menyerbunya dengan pertanyaan-pertanyaan seputar pernikahannya dengan Pak Asgaf.
“I think marriage needs no reason, Miss. With Allah's permit, it shall happen anyway. Therefore, I’m sorry that I'm not able to answer your question.”
Tanpa Nafla duga, Pak Rizal bertepuk tangan atas jawabannya. Lalu, diikuti dengan senyuman oleh Miss Julia dan juga Pak Defri.
“Anda beruntung mendapatkan gadis seperti Nafla, Pak Asgaf,” gumam Miss Julia sambil tersenyum lebar.
Sementara Asgaf masih dengan wajah datar menatap Nafla yang tampak salah tingkah dengan jawaban yang meluncur begitu saja keluar dari kepalanya.
“Ya, saya memang beruntung,” sahutnya pelan tanpa siapapun yang mendengarnya.
●●●