BAB 12

1152 Words
“Congratulations, Sayang...,” seru Ifa sebelum memeluk Nafla erat saat sidangnya selesai. Kini, mereka hanya tinggal berlima karena dosen lebih dulu keluar setelah berfoto dengan Nafla. “Nggak nyangka udah ramai yang sidang. Tinggal aku, Gea, sama Raya doang yang belum di grup kita.” “Aduh, aku pusing mikir Pak Fahri yang sok sibuk,” gumam Gea sambil membantu Nafla merapikan sampah-sampah makanan serta melipat kembali taplak meja hijau yang telah digunakan. “Kapan mau siap kalau Bapak itu sibuk terus?” Nafla mengernyit pelan, “Kamu kan masih bisa konsul sama Miss Diana, Ge. Dia pembimbing dua kamu, kan?” “Ya kali Miss Diana mau!  Miss Diana itu terlalu nurut sama aturan. Kalau Bab III aku belum di acc sama Pak Fahri, mana mau dia acc.” Raya seketika menyela. “Aku sering lho lihat Pak Fahri di lab. Mending kamu jumpain langsung. Nggak usah pakai janji temu sama dia.” “Kalau di usir gimana?” “Nggak bakal,” Ifa menyahut sambil mematikan proyektor. “Soalnya banyak kakak kelas yang konsul sama dia itu nggak perlu pakai janji. Kalau ketemu ya sikat aja. Daripada pesanmu nggak pernah dibalas setiap minta ketemu, mending temui langsung.” “Ifa benar.” Putri menatap Gea dengan yakin. “Kalau kamu nunggu Pak Fahri balas pesan, percayalah semester depan kamu masih stuck di Bab III.” “Amit-amit. Jangan sampai!” Gea merinding mendengarnya. “Aku coba deh besok jumpain dia langsung. Soalnya, lama-lama di Bab III bikin aku alergi liat itu metode penelitian. Sampai hafal diluar kepala setiap kata-katanya.” Jawaban sungut itu membuat teman-temannya terkekeh. Setelah selesai merapikan ruangan itu, Nafla mematikan air conditioner lalu menutup dan mengunci kembali ruang diseminasi. Ia membawa semua perlengkapan yang digunakan untuk dikembalikan di prodi. “Kak, ini ada brownies untuk kalian,” Nafla memberikan sekotak brownies utuh yang memang disisakannya untuk staff prodi yang berjumlah 2 orang. “Makasih, Na,” ujar Kak Frida lalu menatap Nafla sambil tersenyum, “Udah selesai ya? Gimana? Lancar?” Nafla mengangguk, “Alhamdulillah lancar, Kak. Oya, syarat untuk yudisium nggak banyak kan kak?” “Nggak kok, cuma upload abstrak, pas poto, sama jurnal.” Nafla tampak mengangguk. Berarti setelah ini, ia akan mengetik jurnal dan mencuci fotonya. “Baik, Kak. Terima kasih.” “Sama-sama, Na.” Nafla keluar dari prodi yang sudah di tunggu oleh teman-temannya. Mereka duduk di kursi sambil menatap Nafla seakan meminta penjelasan. “Na, masih ada waktu satu jam sebelum dzuhur,” gumam Raya tiba-tiba yang membuat dahi Nafla berkerut seketika. “Jadi, bisa kamu jelasin sekarang apa hubunganmu dengan Pak Asgaf?” Dan tampaknya Nafla tidak bisa langsung pulang mengingat ia memang harus menjelaskan hubungannya dengan Pak Asgaf kepada teman-temannya. ●●● Sepulangnya dari kampus, Nafla memilih untuk berbaring di ranjang empuknya. Meraih ponselnya yang tidak ada pemberitahuan panggilan ataupun pesan dari siapapun, Nafla mencari satu nama kontak yang bertahun-tahun tidak diliriknya. Apakah nomor ini masih digunakan? Pikirnya sambil menarik napas dalam-dalam karena tiba-tiba saja ia merasa gugup. Tak lama, Nafla menekan panggilan tersebut. Mencoba untuk mengetahui apakah nomor itu masih aktif? Atau justru diganti? Nada sambung terdengar tiba-tiba yang membuat mata Nafla membelalak lebar. Seketika Nafla gugup dan panik, hendak mematikan ponselnya, namun suara berat nan tegas itu menyapa lebih dulu. “Halo? Dengan siapa ini?” Apa Nafla perlu menjawabnya? Ah, tidak. Ia yakin pria itu pasti sudah melupakannya. Apalagi, saat ini ada keluarga baru yang menemani sosok ayahnya dan juga anak ayahnya yang lain bersama ibu tiri yang sampai kapanpun takkan pernah Nafla anggap. Lama Nafla tidak menjawab karena ia yakin, betapapun ia rindu, ayahnya sama sekali tidak berusaha untuk mencarinya. Tidak pula meminta maaf kepada ibunya. Apa mungkin ayahnya malu karena memiliki anak sepertinya? Atau justru memang tidak menginginkannya sejak awal?  Hingga pada akhirnya, Nafla memilih untuk menjauhkan ponsel dan mematikannya tapi, lagi-lagi suara berat itu mengganggu pendengarannya serta memompa jantungnya kian cepat. Rasa rindu menyeruak begitu saja kala ia mendengar namanya terpanggil ragu. “Nafla? Kamukah itu, Nak?” Air matanya seketika bergulir begitu saja. Ia bahkan tidak mampu menjawab sehingga akhirnya Nafla benar-benar memilih untuk mematikan ponselnya dan terisak pelan. Ia tidak boleh seperti ini! Bukankah ia sudah berjanji kepada ibunya untuk terus hidup tanpa mengingat sosok yang hanya menumpang memberikan s****a di rahim ibunya? Lalu, meninggalkan mereka begitu saja hanya karena wanita lain. Apakah pantas laki-laki seperti itu dimaafkan? Kembali ponsel Nafla bergetar menandakan pesan masuk. Nafla menarik napas dalam-dalam untuk menetralkan emosinya sebelum melihat isi pesan dari Pak Asgaf. Pak Asgaf DP 1 Saya tunggu kamu di sekolahan Caca, sekarang! Minta antar sama Pak Sardi karena kita akan keluar bertiga. ●●● “Rena,” desis Asgaf melihat mantan istrinya kembali mendatanginya saat ia sedang menjemput Caca. “Mas,” gumamnya pelan. “Aku rindu kamu, Mas. Aku rindu anak kita.” Asgaf segera menepis tangan Rena yang meraih lengan berototnya. “Rindu? Sebaiknya kamu pergi sekarang juga sebelum aku mengusirmu paksa, Re!” Dengan kuat Rena menggeleng, “Nggak, Mas. Aku nggak akan pergi dan aku nggak akan nyerah sama kamu. Aku menyesal, Mas. Kumohon, maafkan aku,” serunya lemah sambil terisak pelan. Rena benar-benar menyadari kesalahan yang dulu ia lakukan. Menyelingkuhi pria yang sudah memberikan cinta, hati, bahkan hartanya hanya untuk Rena, namun dengan tidak tahu diri, ia malah mengkhianati Asgaf dan kini Rena benar-benar menyesal. “Aku ingin kita kembali lagi,” pintanya memelas karena ia tahu mantan suaminya itu akan menikah sebentar lagi dan Rena tidak bisa membiarkannya. “Kumohon, Mas... Demi anak kita, demi Caca. Aku yakin di hati kamu masih ada nama aku, ‘kan?” “Jangan bermimpi kamu, Rena!” tukas Asgaf cepat. “Nama kamu memang ada tapi bukan di hati aku melainkan di otak aku, sebagai pengingat bahwa aku menyesal telah menikahi perempuan kotor macam kamu!” Sejak dulu Rena tahu bahwa mantan suaminya ini memang bermulut pedas. Namun, itu biasanya ditujukan untuk wanita-wanita yang mencari perhatian mantan suaminya. Rena tahu benar bahwa Asgaf tidak pernah ingin ia cemburu sehingga selalu memasang wajah sangarnya yang ditakuti oleh wanita manapun, kecuali untuk wanita-wanita tidak tahu diri. Namun, ia tidak menyangka bahwa Asgaf juga akan mengatakan hal sekejam itu padanya karena yang Rena tahu bahwa laki-laki ini selalu menjaga perasaannya agar tidak tersakiti. “Nggak, Mas. Aku menyesal, Mas... Sungguh, aku menyesal!” serunya saat melihat Asgaf memberikan punggung lebarnya dengan berjalan menjauh. “Mas!” teriaknya kala laki-laki itu tetap mengabaikannya. “Aku bersumpah akan terus kembali sampai kamu mau terima aku lagi!” janjinya pasti yang tidak sengaja di dengar oleh Nafla yang berdiri tidak jauh dari sana. Apa ini? Tanyanya bingung dengan badan sedikit linglung. Mantan istri Pak Asgaf ingin kembali? Permohonan itu bahkan terdengar pilu di telinga Nafla. Saat melihat Rena berjalan ke arahnya, Nafla segera sembunyi dibalik mobil. Ia memperhatikan punggung Rena yang melewatinya. Wanita itu terisak keras... Pakaian rapinya bahkan terlihat kacau saat ini. Nafla memegang jantungnya yang berdetak keras. Rasa sesak itu kembali memenuhi rongga dadanya. Sebelum kemudian, ia merasakan seseorang memperhatikannya dari kejauhan. Mata Nafla bergerak mencari seseorang yang tak lain Pak Asgaf. Ia menatap pria itu nanar sebelum berjalan mendekat. Melirik kembali ke belakang dimana Rena sudah menghilang. “P-pak—” panggil Nafla dengan perasaan kacau. Menatap sendu pada sosok Asgaf yang hanya diam menilainya. “M-mantan istri—” Nafla menelan ludah saat dilihatnya tatapan Pak Asgaf menajam. “Saya...” Dan tiba-tiba saja, Nafla merasakan tubuhnya hangat saat ia menerima pelukan yang mampu menenangkan pikirannya yang kacau. “Jangan katakan apapun,” gumamnya pelan saat melihat gadisnya begitu tertekan. “Percaya sama saya, Na,” pintanya kemudian sambil mengusap ubun-ubun kepala Nafla yang hanya sebatas dadanya. “Saya nggak akan khianati kamu,” janjinya pasti yang diiringi dari hati. Kenapa? Kenapa harus serumit ini, Tuhan? Kenapa? ●●●
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD