Bab 6

1041 Words
* Flashback Monalisa menatap Hardin dari jauh. Dia tersenyum kecil melihat punggung seluas samudra itu. Hardin masih sama, pria tampan yang penuh dengan pesona. Hanya saja dia sangat dingin dan tidak seramah dulu. Apa Hardin sudah melupakan aku? Tanpa sadar sekarang sudah siang dan sudah waktunya untuk makan. Hardin menghela napas, sudut matanya menatap Monalisa yang tengah tertidur sangat pulas. Hardin terlihat menahan senyum, tidak ada yang tahu dengan apa yang dia pikirkan. Pria itu seperti tak ingin, tapi membuat Monalisa tetap berada di sisinya. Krucuk, suara perut Monalisa terdengar sangat jelas dari jarak yang cukup jauh. Hardin menatap Monalisa kembali, entah apa yang dia pikirkan sekarang yang jelas Hardin terlihat tidak ingin makan siang dan akan terus membiarkan Monalisa seperti itu. Hardin menatap layar laptop yang kini ada di hadapannya, wajahnya kembali berubah menjadi dingin. Pria ini sepertinya bukanlah Hardin yang dulu, waktu telah banyak merubah seseorang. “Hardin, kau di sini!” Jantung Hardin berdebar mendengar namanya di panggil, sudut matanya kembali menatap Monalisa. Ternyata dia masih tidur dalam posisi yang sama. “Hardin, aku mau jadi pacarmu.” Monalisa sudah terbiasa memimpikan Hardin dan bergumam seperti ini setiap harinya jika mata gadis itu mulai terpejam. Dia kembali ke masa lalu, dimana Hardin yang duduk di kelas 7 selalu mendapat perhatian kelas. Dia siswa yang tampan, berkulit putih dengan tubuh yang profesional. Di mata Monalisa tidak ada yang kurang dari Hardin, dia benar-benar pria idaman. Sebenarnya Monalisa dan Hardin tinggal di lingkungan yang sama, perumahan yang paling elit di kota. Hanya saja Hardin baru pindah dari London dan akhirnya menetap di swiss saat memasuki kelas 7. Sikap Hardin yang dingin membuat Monalisa penasaran. Dia adalah gadis yang sangat ceria dan selalu ingin mendapatkan apapun yang dia mau. Hingga akhirnya Monalisa bertekad untuk membuat Hardin bicara padanya Untuk pertama kali setelah kelas mereka satu kelas, Monalisa yang di kenal cantik, pintar dan supel memberanikan diri menyatakan cinta pada Hardin. “Hardin, aku akan jadi pacarmu.” Pemuda tampan yang sangat sibuk membaca buku itu mengangkat wajahnya melihat Monalisa yang kini tersenyum. Rambut yang panjang sampai hampir pinggang, mata yang bulat, dengan kulit seputih kapas membuat siapa saja yang melihat Monalisa akan jatuh hati. Belum lagi dia adalah golongan orang elit yang ada di kota. Siapa yang tidak ingin memiliki Monalisa! Tapi semua itu berbeda dengan Hardin, dia tidak berniat melakukan apapun. “Apa kau tak salah bicara?! seharusnya gunakan kalimat tanya. Bukankah orang-orang bilang kau siswi tercerdas di sekolah ini?!” Monalisa menelan saliva, ternyata Hardin sangat kasar. Wajahnya saja yang tampan dan berkharisma. Namun mulutnya pedas bagaikan cabai rawit. “Maaf, Hardin apa kau mau jadi pacarku?!” “TIDAK MAU.” Hardin menjawab begitu cepat hingga Monalisa rasanya bisa berhenti bernapas. Dia bukan marah karena Hardin menolaknya, tapi karena Hardin tidak berpikir lagi sebelum menjawab seolah dia memang sudah menyiapkan jawaban ini sejak lama. “Kenapa tidak mau?!” “Karena kita tidak saling mengenal.” Monalisa mengepalkan tinju, wajahnya mengkerut dan alisnya hampir saja menyatu. “Kita tetangga dan aku sudah hampir satu tahun jadi teman sekelasmu. Apanya yang tidak saling mengenal? Kenapa mengatakan hal buruk! Jika tak suka, harus ada alasan yang tepat.” Hardin tidak menjawab, dia langsung pergi begitu saja. “Hardin.” Tanpa sadar Monalisa berteriak dan dia membuka matanya. Semua lampu di kamar hotel itu sudah hidup, dan jendela juga sudah di tutup. Itu tandanya sekarang sudah malam. Seluruh tubuh Monalisa sakit karena berjam-jam dia tidur di lantai. Monalisa memang sangat suka sekali tidur jika senggang, jika dia mulai memejamkan mata maka akan sangat sulit membangunkannya. Mata Monalisa menatap ke arah Hardin. Dia masih sibuk dengan laptop yang kini ada di hadapannya. Monalisa melihat ponsel dan ternyata ini pukul dua siang! Hanya saja sepertinya sedang hujan deras dan langit begitu gelap. Makanya semua lampu di kamar hidup. Apa dia tak makan siang? Aduh aku lapar sekali. Apa aku harus mendekatinya lagi? OH Hardin kenapa kau membuat aku seperti ini?! Monalisa menggigit bibirnya, dia takut di sembur oleh Hardin dengan kalimat pedas atau hanya di diamkan begitu saja seperti tadi. Monalisa bingung, harga dirinya sungguh tidak ada lagi saat ini. Hardin benar-benar membuatnya seperti makhluk transparan yang tidak terlihat. Kini Monalisa sudah berdiri tepat di samping Hardin. Kau tampan sekali! Wajahmu dan kacamata itu sangat cocok Hardin. Kenapa tidak menggunakannya saja terus, Aku suka sekali. Monalisa kembali menggigit bibirnya, dia menatap Hardin dengan sangat lamat hingga pria itu tidak konsentrasi sama sekali karena tatapan maut Monalisa. Aku harus bilang apa? Kenapa dia begini?! aku harus keluar, aku lapar dan aku tak mungkin menjadi batu selamanya. “Hardin, apa aku bisa minta tolong? Buka pintu itu untukku.” Hardin masih berdiam diri, tak bicara sama sekali. “Hardin.” Monalisa memegang tangan Hardin. “Bisakah kau membuka pintu? Aku sangat lapar.” Pria ini berdiam sendiri sejenak, lalu dia mengangkat wajahnya menatap Monalisa. “Bukankah aku tidak mengundangmu? Aku tak membuka pintu untuk orang lain. Bagaimana cara kau masuk tadi?! lakukan saja seperti itu juga.” jawab Hardin pada Monalisa dan sekarang dia menuju kulkas yang penuh dengan bahan makanan. Monalisa tidak bisa menahan dirinya lagi, dia juga lapar. Terserah Hardin mau bagaimana, yang jelas Monalisa akan ikut makan bersamanya. Dia tak ingin penyakit lambungnya kambuh dan mati sia-sia sebelum melihat sang adik bahagia. “Biarkan aku yang melakukannya, kau duduk saja!” Hardin seperti tak peduli dengan apa yang Monalisa katakan. Tapi dia akhirnya memilih mundur karena Monalisa bekerja dengan sangat cepat. Malah wanita berumur 22 tahun itu memasak apapun yang dia inginkan saat ini. Padahal Hardin hanya mengeluarkan sayur dan ikan, tapi tanpa ragu Monalisa mengambil daging dan memasaknya tanpa izin pada Hardin. “Nah, akhirnya semua sudah siap! Hardin ayo makan.” Pria itu masih tidak ingin bicara padahal Monalisa sudah berusaha dengan sangat baik. Setidaknya puji dia sedikit saja, tapi Hardin sangat masam dan tak akan mungkin melakukannya. Dalam diam mereka berdua makan dengan lahap. Hardin yang tak bicara sejak tadi pun berulang kali mengambil makanan yang ada di atas meja. Sungguh Monalisa sangat senang! Tanpa sadar Monalisa terus memandangi wajah Hardin yang selalu dia rindukan. Rasanya ini seperti mimpi saja! Monalisa ingin menyentuh bibir Hardin yang selalu mencium dirinya tanpa permisi. Tapi untuk saat ini rasanya akan sangat sulit!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD