1. New World

1771 Words
Langit mendung, tapi hujan tak kunjung turun. Hanya sedikit cahaya matahari yang bisa menerobos gumpalan awan-awan itu, dan hati Rozen semakin gelisah setiap harinya. Rozen menatap ke atas, memandangi ibundanya tercinta yang tengah berdiri anggun di dekat jendela besar puncak menara. Entah ibunya sedang memikirkan apa, wajahnya tampak tak secerah biasanya. Ratu Agalia. Ibu nan cantik dan penuh cahaya, kebanggaan Rozen, akhir-akhir ini sering murung dan melamun. Rozen sering mendapati ibunya berdiri sendirian di puncak menara istana, terdiam, memandang tak tentu arah seperti orang linglung. Namun, ketika Rozen mencoba untuk tahu, Ratunya itu hanya akan menghela napas sembari memijit pelipis, kemudian tak menghiraukan Rozen dengan memilih untuk diam atau pergi. Apa sebenarnya yang dia khawatirkan? Kenapa tidak mau membagi kesedihannya bersamaku? Rozen hanya akan menggerutu dalam hati. Memikirkan hal itu, tak urung membuat Rozen ingin menghela napas dalam-dalam. Pada akhirnya, karena tidak bisa memikirkan apa pun lagi, ia kemudian membereskan beberapa pedang yang berserahkan di tanah, sisa-sisa latihannya hari ini.  Ia pun berjalan ke dalam istana dengan menggeret peti berisi pedang miliknya. Beberapa pengawal membantunya saat mereka berpapasan. “Hari ini aku ingin berburu. Siapkan pedang dan panah,” perintahnya pada para beberapa pengawal. “Siap, Pangeran.” Mungkin berburu bisa sedikit mengurangi kegelisahannya. Melihat ibundanya bersedih malah akan membuat hatinya sakit, jadi ia lebih memilih berjalan-jalan ke luar untuk menyegarkan pikiran    .                                                                                         ...                                                                                         ...                                                                                         ... Jika tidak segera kau temukan penyihir terpilih. Negeri ini akan hancur. Sebuah wajah di dalam mangkuk emas sedang berbicara. Ratu Agalia menanggapi dengan memasang raut resah di wajahnya. “Aku paham betul apa yang kubutuhkan untuk rakyatku, Paman. Tapi, bagaimana caranya aku menemukan penyihir-penyihir terpilih?” Agalia meninggikan suaranya di akhir kalimat. “Sudah beratus-ratus penyihir kuat yang kubawa ke tempat itu, tapi tak satu pun dari mereka adalah penyihir terpilih,” lanjutnya putus asa. Masihkah kau tidak paham, Agalia? Sang Terpilih adalah mereka yang datang bukan dari dunia ini. “Maksud Paman?” Agalia mengernyit. Hanya mereka yang datang dari tempat lain yang bisa menjadi Sang Tepilih. Takdir akan membawa mereka ke Agalaia, tapi perlu usaha darimu untuk menemukannya. Sang Ratu berusaha memahami. Ia berpikir sesaat. “Jika tidak kutemukan mereka?” Jangan selalu mencari penyangkalan Agalia. Kau tahu betul kekuatanmu melemah, cahaya dalam tubuhmu perlahan-lahan memudar. Begitu pula rakyatmu. Mustahil dari kalian berhasil sampai ke tempat para Naga Ratu Agalia menghela napas. Rautnya kembali bersedih. Lily Merah di puncak gunung Athanasia, gunung milik para Naga. Hanya bunga itu yang bisa menyelamatkanmu dan rakyatmu. Jika tidak kau temukan, negeri ini hanya akan tinggal nama. Wajah di dalam mangkuk emas pun menghilang, meninggalkan Agalia dalam kesendirian dan kesedihan. Agalia beranjak ke jendela, matanya menatap entah ke mana. Pikirannya kacau balau seperti negerinya.                                                                                             ...                                                                                             ...                                                                                             ... Langit masih mendung, tak ada yang berubah. Rozen sedang mengintip dari balik semak, menunggu rusa atau babi hutan lewat untuk kemudian dijadikan sasaran panahnya. Meskipun sudah dua jam dia seperti ini dan tak ada satu pun hewan terlihat oleh matanya, ia tak berkutik dari sana. Ke mana para hewan itu bersembunyi sebenarnya? Apa mereka tahu bahwa Rozen sedang ingin memburu mereka, kemudian hewan-hewan itu bersepakat untuk menyembunyikan diri? Rozen menghela napas. Mengapa hidupnya susah begini? Ingin mencari hiburan pun sesulit ini. SRAK SRAK! Namun, Rozen kembali fokus setelah ia mendengar bunyi sesuatu yang bergesekan dengan daun kering dan ranting di tanah. Ah, jika tak ada rusa atau babi, kelinci pun sudah cukup membuatnya puas. Setidaknya dia tidak pulang dengan tangan kosong. Dari balik semak, ia melihat semak lain tak terlalu jauh di depannya bergerak-gerak. Bisa dipastikan kalau ada sesuatu di sana. Tanpa ragu, Rozen melesatkan panahnya. Setelah memastikan tidak ada gerakan lagi dari semak di depannya, ia pun keluar dari persembunyian. “Cepat periksa apa yang baru saja kita dapat,” perintah Rozen pada seorang prajurit yang diajaknya berburu. Si prajurit menurut. Ia berlari ke semak-semak untuk melihat hasil buruan Rozen. “Bagaimana? Aku yakin kalau tadi sepertinya mengenai sesuatu.” Rozen menyusul prajuritnya. “Pa-Pangeran.” Rozen mengernyit ketika prajuritnya memanggilnya gelagapan. “Apa?” tanya Rozen sewot. “Yang Pangeran panah ... bukan hewan, tapi ... manusia,” jawab si prajurit gugup. “Manusia?!” Rozen segera mempercepat langkahnya. Setelah sampai di tempat korbannya, mata Rozen membelalak terkejut. Korbannya kali ini ternyata seorang manusia, seorang gadis dengan rambut hitam terurai dan kulit sepucat mayat. Gadis itu sedang terduduk di tanah sambil memegangi kepalanya, tampak pusing dan kesakitan. “Ck, sial.” Rozen bisa mendengar gadis itu menggerutu. Sebagai laki-laki dia tentu harus mempertanggungjawabkan kesalahannya. Ia pun dengan cepat menghampiri si gadis pucat, dan dengan raut khawatir dia bertanya, “Anda tidak apa-apa, nona? Maafkan keteledoran saya, saya kira tadi ada kelinci di balik semak ini. Saya benar-benar tidak menduga ada orang di hutan seperti ini.” Gadis itu menatap Rozen, tapi matanya masih tampak tidak fokus. Rozen pikir, mungkin luka panah di kaki gadis itu terlalu menyakitkan, terlebih Rozen juga memberi sedikit racun pelumpuh pada ujung panahnya. Mungkin sebentar lagi, gadis itu akan pingsan. “Hn, lain kali berhati-hatilah.” Namun, Rozen keliru. Bukannya pingsan, gadis itu mencabut anak panah di kakinya begitu saja, Rozen sampai terbelalak melihatnya. Setelah meletakkan anak panah yang dicabutnya ke tanah, si gadis pucat mencoba berdiri, tapi sepertinya kepalanya sangat pusing, ia terlihat sempohyongan untuk sekedar berdiri. “Nona, sebaiknya Nona ikut dengan saya. Saya akan mengobati luka di kaki Nona. Anak panah itu ada racunnya, jadi Nona harus segera diobati. Lihat, sekarang Nona tidak bisa berdiri dengan benar ‘kan?” Rozen berusaha membujuk. Ia mengkhawatirkan si nona pucat yang berdirinya sudah seperti orang mabuk. “Racun bukan menjadi masalah.” Rozen tidak mengerti dengan gerutuan gadis di depannya ini. Selain itu ia juga tak habis pikir, mengapa ada manusia yang menggerutu tapi ekspresinya tak ada, datar seperti tak merasakan apa-apa. “Baiklah, baiklah. Kalau begitu Nona bisa katakan apa yang bisa saya bantu? Sebagai ucapan maaf karena sudah melukai Nona,” bujuk Rozen lagi. Ia benar-benar tidak tega pada si gadis pucat yang kakinya berdarah gara-gara kecerobohannya. “Siapa namamu?” tanya si gadis tiba-tiba. “He?” “Namamu,” ulang si gadis. “Rozen. Rozen de Agalaia,” jawab Rozen sedikit ragu. Ia berpikir, bagaimana mungkin ada yang tidak tahu siapa dia. Apa gadis ini pendatang dari negeri nan jauh, sampai tak tau nama pangeran negeri ini? Atau, mungkin karena masih linglung sehingga gadis tersebut tidak mengenalinya. “Aku Gekko Hakai,” ujar si gadis sambil menepuk-nepuk pipinya, mungkin ingin mengembalikan kesadarannya yang sempat terombang-ambing. “Jadi, untuk menebus kesalahanmu, kau bisa menolongku mencari teman-temanku. Seorang laki-laki berambut pirang dan juga dua orang gadis seumuran denganku berambut pirang. Mereka sepertinya ada di sekitar sini. Kemungkinan pingsan,” lanjutnya panjang lebar dan tak berekspresi. Meskipun masih kurang paham, tapi Rozen mengangguk menyanggupi. “Baiklah. Akan segera saya cari.” Rozen mengalihkan diri pada prajuritnya. “Kau dengar apa yang Nona ... Hakai ini inginkan? Sekarang cepat laksanakan!” “Baik, Pangeran.” Prajurit Rozen itu pun bergegas pergi mencari teman-teman Gekko. Sedangkan Rozen mengikuti Gekko yang dengan seenaknya berjalan berlawanan arah dari prajuritnya, masih dengan terhuyung-huyung tentu saja. “Kenapa kau mengikutiku?” tanya Gekko dengan suara rendah dan seakan tak suka. “Eh?” Pertanyaan tiba-tiba itu membuat Rozen tak siap menjawab. “Sebenarnya saya tak tega meninggalkan Nona Hakai sendirian dengan kaki terluka seperti itu,” jawab Rozen pada akhirnya. “Hn, tidak perlu khawatir. Luka ini sedikit menolongku untuk mengembalikan kesadaranku. Setidaknya mataku sudah tidak terlalu berkunang-kunang.” Rozen mengangguk-angguk. Mereka pun lanjut berjalan dalam keheningan. Sebenarnya banyak hal yang ingin Rozen tanyakan tapi itu bisa ditunda. Lagi pula Gekko Hakai ini sepertinya juga sedang tidak sehat, dia mengatakan tentang sakit kepala dan pandangan yang berkunang-kunang sejak tadi. Ditambah luka dari Rozen bonus racunnya. Rozen semakin merasa bersalah, tapi karena yang bersangkutan tidak menginginkan segera diobati, Rozen tidak bisa memaksa.                                                                                         ...                                                                                         ...                                                                                         ... “Apa yang kau lihat?” tanya Gekko pada Rozen yang sekarang sedang naik ke atas pohon untuk melihat keadaan sekitar. “Hmm.” Rozen hanya menggumam, matanya menjelajah setiap sudut hutan yang bisa dijangkau. Tak berapa lama, ia pun mengernyit dan tersentak senang ketika matanya menemukan sesuatu. “Ada! Seorang gadis dengan rambut pirang dan pakaian aneh,” seru Rozen. “Hm? Pakaian aneh?” Rozen melihat ke bawah, menatap Gekko dengan gugup, ia merasa kurang sopan karena menyinggung-nyinggung selera berpakaian orang lain. Tapi, dari tadi sebenarnya dia memang merasa aneh dengan pakaian yang dikenakan Gekko. Asing sekali. “Um, maaf. Saya tidak bermaksud menyinggung. Hanya saja saya merasa pakaian yang Nona Hakai gunakan sangat tidak umum,” ujar Rozen jujur. Ia perlahan turun dari pohon dan mendarat dengan mulus di atas tanah. Mendengar komentar Rozen, Gekko jadi kepikiran sesuatu. “Kau tau, hutan ini berada di wilayah mana?” “Eh?” Sekarang malah Rozen yang kebingungan. “Tentu saja di Agalaia.” “Agalaia? Apa ada nama negeri seperti itu di Bumi?” Rozen kembali mengernyit, ia dibuat bingung berkali-kali oleh gadis Hakai ini. “Bumi? Tempat apa itu? Di sini Threasyiluem, Nona.” “Threasyiluem?” Rozen mengangguk. Sambil kembali berjalan, Rozen pun berceloteh. “Masa’ Nona lupa dengan nama planet sendiri. Jangan bilang, Nona Hakai juga lupa bahwa Threasyiluem dikuasai oleh tiga kerajaan besar. Leifia penguasa barat, Trygvia penguasa utara dan Maknaria penguasa selatan. Sementara sisi timur adalah area bebas. Nona sekarang berada di Agalaia, salah satu sub kerajaan yang ada di Maknaria.” Rozen berhenti bicara sejenak untuk mengambil napas. “Itu adalah pengetahuan dasar, ‘kan? Bahkan makhluk yang tidak suka belajar pun pasti tahu,” lanjutnya. Gekko mengedikkan bahu. Ia hanya memberi “Hn,” sebagai respon. Ia sebenarnya kepikiran banyak hal, tapi memilih bungkam saja untuk menyembunyikan ketidaktahuannya. Jika bisa, ia harus mendapat informasi sebanyak-banyaknya mengenai tempat ia kesasar ini. Setelah sepuluh menit berjalan. Gekko dan Rozen akhirnya sampai di tempat seorang gadis pirang yang sedang tidur melingkar seperti kucing kedinginan di tepi sungai. Gekko sangat tahu siapa gadis pirang itu, Alice Russell, si nona paling dicintai di sekolah, teman atau mungkin pengikut terbaiknya yang selalu mengkhawatirkannya. Cepat-cepat Gekko menghampiri Alice, mengambil kepala temannya untuk dibaringkan di pangkuannya. “Hei, Alice, kau bisa mendengarku?” tanya Gekko berusaha menyadarkan Alice. Ia menyingkirkan helaian pirang milik Alice yang terlihat acak-acakan menutupi wajah temannya itu. “Akan kuambilkan air.” Rozen berinisiatif mengambil air dari sungai dengan sebuah daun besar sebagai wadahnya. Dengan cepat, ia pun memberikan air itu pada Gekko. Namun, bukannya diminumkan ke temannya, Gekko malah menyiramkan air ke wajah temannya. “A-apa yang kau lakukan?!” Rozen sampai tak habis pikir. “Dia harus disadarkan dengan cepat. Saat ini dia mungkin merasakan pusing dan mual-mual. Bahkan kalau bisa, akan kuceburkan dia ke sungai.” Rozen diam, kehilangan kata untuk berkomentar. Namun, memang yang dikatakan Gekko sepertinya ada benarnya, karena setelah itu, si gadis pirang yang dipanggil Alice itu membuka matanya. “Gekko?” tanya Alice lirih. “Hn. Kau bisa melihat?” Gekko mengibas-ngibaskan satu tangannya di depan wajah Alice. “Ya. Meskipun masih sedikit kurang jelas.” Alice kembali menjawab lirih. “Perutmu mual?” “Sudah tidak terlalu.” “Bisa berdiri?” Alice menggeleng pelan. “Sepertinya tidak. Aku sama sekali tak bertenaga,” jawabnya lemah. Rozen hanya melihat interaksi kedua gadis di depannya dengan diam. Ia pun menyimpulkan bahwa dua gadis ini baru saja mendapatkan musibah atau apa pun itu yang membuat mereka tersesat dan lemah seperti ini. Tak berapa lama, Rozen pun dikagetkan kembali dengan pengawalnya yang membawa kabar seputar teman-teman Gekko yang lain. . . 05 Januari 2015 (w*****d) 12 Mei 2020 (Dreame)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD