1.2 New World

1980 Words
Hujan di luar sangat deras. Rozen memutuskan untuk tidak kembali ke istana. Lagi pula, di pondoknya kini ada empat orang asing yang sedang butuh bantuan. Dua di antaranya sudah dia ketahui namanya, Gekko Hakai dan Alice Russell. Sedangkan yang dua lagi masih tidak diketahuinya. Sementara itu, pengawalnya sibuk memanaskan s**u di teko menggunakan sihir. Bukan berarti Rozen tidak bisa menggunakan sihir, hanya saja tipe elemen sihirnya sangat tidak bisa digunakan untuk memanaskan s**u. “Apa yang dilakukan pelayanmu?” “Hm?” Rozen memandang Gekko tak mengerti. Kira-kira apa yang salah dengan kelakuan pelayannya? “Maksudmu?” Rozen balik bertanya. “Hn, bukan apa-apa.” Gekko kembali diam. Matanya memperhatikan gerak-gerik pelayan Rozen dengan cermat. Rozen mengawasinya tidak kalah cermat. Setelah menghangatkan s**u, pelayan Rozen menuangkannya dari dalam teko ke setiap gelas yang sudah ditata di atas nampan. Ia pun berlanjut membagikan gelas-gelas itu untuk Rozen, Gekko, dan Alice yang sudah duduk manis di kursi kayu dengan meja kayu persegi panjang di tengahnya. “Jika ada yang dibutuhkan lagi, silakan panggil saya. Saya akan berjaga di depan pondok,” ujar si pelayan setelah membagikan gelas-gelas s**u. Ia berjalan meletakkan nampan ke sebuah meja kecil di sudut ruangan kemudian beranjak ke luar untuk berjaga. Alice mengambil gelas susunya, kemudian meneguknya sekali. Matanya melirik-lirik Gekko yang baru saja meneguk habis segelas s**u. Ia ingin bicara berdua saja dengan Gekko, tapi Rozen ada di depannya. Sementara jika ia berbisik, mereka akan dicurigai dan dianggap tidak sopan. “Jadi, bisa saya tahu, kalian ini dari mana?” Akhirnya Rozen membuka suara. Ia melihat Gekko dan Alice bergantian. s**u yang sudah disediakan untuknya sama sekali tidak ia sentuh. Alice ketar-ketir antara ingin menjawab dan tidak, ia tahu bahwa sekarang ia ada di tempat lain yang sama sekali asing baginya. Ia melirik Gekko, dan ia menghela napas tenang saat tahu bahwa Gekko sama sekali tidak menampakkan raut cemas. Alice tahu, ketika Gekko sangat tenang, maka semuanya pasti akan baik-baik saja. Entah sejak kapan, kepercayaannya menjadi terlalu tinggi pada teman pucatnya itu. “Sebelum menjawab, ada satu hal yang ingin kupastikan darimu,” ujar Gekko kalem. Rozen mengernyit penasaran. “Memastikan apa?” “Apa kau orang yang bisa dipercaya?” Gekko balik bertanya. “Maksudmu?” Sekarang gantian Rozen yang balik bertanya. “Ada banyak hal yang ingin kukatakan padamu seandainya kau bisa dipercaya, tapi jika tidak maka aku akan melakukan sesuatu padamu.” Rozen diam sebentar. Menatap Gekko kemudian Alice, lalu beralih pada dua orang yang masih terbaring tak sadarkan diri di sudut lain ruangan itu. “Ehem.” Rozen berdehem, ia merasa orang di depannya ini selain tidak sopan pada seorang pangeran tapi juga mencurigakan. “Hal yang sama juga berlaku pada kalian. Memangnya kalian bisa dipercaya?” Rozen diam sejenak. “Aku berbuat baik pada kalian hanya untuk menebus keteledoranku, tapi kalau kalian ternyata penjahat, maka beda lagi ceritanya.” Alice lagi-lagi melihat Gekko dengan cemas. Menunggu apa yang akan Gekko katakan setelah ini. “Kami bukan kriminal, tenang saja.” Rozen mengangguk-angguk. “Meskipun aku kurang percaya, tapi baiklah ... untuk sekarang aku tidak akan bertanya lagi.” Rozen menyecap sedikit s**u di gelasnya. “Sekarang apa yang ingin kalian sampaikan? Aku berani mempertaruhkan namaku sebagai pangeran untuk menyimpan apapun rahasia yang akan kalian katakan,” ucap Rozen bersungguh-sungguh. “Anda seorang pangeran?” tanya Alice kaget. “Kalian tidak tahu?” Alice menggeleng. “Pangeran atau bukan, itu bukan masalah. Asal kau bisa dipercaya aku akan mengatakan sesuatu padamu.” Gekko bicara lagi. Rozen dan Alice menjadi diam dan memperhatikan Gekko dengan serius. “Kami dari London, sebuah kota di planet Bumi.” “Huh?” Rozen berekspresi seperti orang bodoh. Masih belum paham, barusan Gekko mengatakan apa. “Tunggu ... tunggu sebentar ya ....” Rozen mencoba berpikir, mengingat-ingat, apakah ada sebuah tempat bernama London atau Bumi. “Kau tidak akan tahu,” ucap Gekko memaklumi. “Ah ya, aku memang benar-benar tidak tahu.” Rozen nyengir sambil menggaruk pelan pipinya menggunakan jari telunjuk. “Intinya, kami juga tidak tahu sekarang ini ada di mana,” lanjut Gekko. Rozen mengangguk. “Sedikit kaget sih ... tapi memang beberapa orang ada yang bisa menggunakan portal untuk ke dimensi lain,” ujarnya tenang. “Anda tidak merasa kaget?” Kini Alice yang bertanya. Padahal, sebagai orang yang menyukai hal-hal berbau sihir, ini adalah pertama kalinya ia mengalami hal semenakjubkan ini. Meskipun dia juga ngeri karena bingung bagaimana caranya mencari jalan untuk pulang. “Hm?” Rozen menatap Alice tak mengerti. “Sedikit ... tapi di sini sudah cukup biasa ada berbagai macam orang yang datang dari dimensi lain. Karena beberapa penyihir atau ras makhluk tertentu memang bisa membuat portal.” Alice mengangguk. “Aku jadi sedikit paham tempat seperti apa ini,” ujarnya sambil memandang Gekko. “Untuk bisa beradaptasi, aku ingin kau menjelaskan dunia seperti apa di sini. Cara hidup masyarakatnya, kebiasaan-kebiasaan, status sosial, dan lain-lain.” Menanggapi Gekko, Rozen mengangguk paham. “Dan juga, rahasiakan asal-usul kami. Aku tidak ingin terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Bilang juga pada pengawalmu.” Gekko melanjutkan. Sekali lagi, Rozen mengangguk menyanggupi. . . . Gin membuka matanya, kepalanya sedikit pusing dan badannya pegal-pegal. Ketika ia menoleh ke samping, ada Lizzy yang masih tertidur pulas. “Syukurlah ... Gin sudah sadar.” Alice menghampiri Gin yang menatapnya linglung. “Memangnya apa yang terjadi?” tanya Gin pelan dengan suaranya yang sedikit serak. “Banyak hal sudah terjadi.” Alice mengambil kain basah dari mangkuk besar di atas meja kecil di samping tempat tidur, kemudian mengusap-usap wajah Gin dengan kain basah tersebut. “Biar kubersihkan wajahmu dulu, agar kau benar-benar bangun,” ujarnya lembut. Gin diam saja. Ia bahkan tidak berkomentar apa-apa saat Gekko memberikan segelas s**u hangat padanya. Ia meneguk s**u hangatnya sambil sesekali berdehem untuk meringankan tenggorokannya. “Setelah Lizzy sadar, kita cari cara untuk kembali. Sekarang istirahat saja. Aku tahu proses perpindahan dimensi ini membuat tubuh kalian kaget,” ujar Gekko tenang dan tetap dingin seperti biasanya. Alice mengangguk, sedangkan Gin yang masih bingung hanya bisa menatap Gekko di depannya. Seakan ingin menanyakan banyak hal, tapi tak paham harus bertanya apa. “Simpan pertanyaanmu sampai kau kembali sehat,” lanjut Gekko sebelum akhirnya ia kembali duduk di kursi yang tadi ditempatinya. Diam-diam Rozen tersenyum gembira melihat interaksi orang-orang di depannya. Ia sangat suka melihat orang-orang yang berteman, mereka saling berbagi senang maupun susah. Namun, terkadang ada rasa iri di sudut lain hatinya, karena dia bukan salah satu dari lingkaran pertemanan orang-orang itu, dan rasanya ia tidak berani berharap berada di sana. “Malam ini dan sampai beberapa hari ke depan, kalian di sini saja dulu.” Rozen beranjak berdiri. “Aku harus pulang agar orang-orang di istana tidak khawatir padaku. Besok aku akan kembali dengan beberapa bekal untuk kalian.” Ia berjalan ke pintu pondok, diikuti Alice di belakangnya. “Terima kasih banyak karena sudah berbaik hati pada kami,” ucap Alice ketika sudah ada di luar pondok. Ia mengantar Rozen sampai luar bahkan menunggui Rozen yang menunggangi kudanya. “Tidak usah dipikirkan.” Rozen tersenyum ramah di atas kuda hitamnya. Pengawalnya ada di kuda lain yang berwarna coklat. Rozen melihat sekilas ke pintu pondok di mana Gekko sedang berdiri di sana dengan wajah dingin dan mata gelap yang kadang membuat Rozen merinding saat menatapnya. “Sampai jumpa,” ujarnya pada Alice masih dengan senyumnya. “Sampai jumpa,” balas Alice tak kalah ramah. Rozen melajukan kudanya bersama pengawalnya, memasuki hutan gelap yang diterangi oleh kunang-kunang biru. Alice bahkan sangat terkagum-kagum melihat kunang-kunang yang bersinar mengikuti kepergian Rozen. “Aku baru tahu ada tempat seindah ini,” gumam Alice pelan. “Tapi ....” Ia mendongak ke langit gelap di atasnya. “Tetap saja ... aku ingin pulang.” “Kukira kau akan kerasan di tempat seperti ini.” Gekko tiba-tiba sudah berada di samping Alice, membuat Alice berjengit sedikit karena terkejut. “Tetap saja, ini tidak seperti aku liburan ke luar negeri. Sekarang kita bahkan masih tak tahu bagaimana caranya bisa pulang.” Alice tersenyum getir. “Kalau kita tidak bisa pulang bagaimana ... aku khawatir dengan Ayahku, sejak ditinggal pergi Ibu, dia jadi terlihat kesepian. Aku tidak tega meninggalkannya sendiri di rumah.” “Kalau begitu, anggap saja kau sedang berlibur ke luar negeri.” Gekko melangkahkan kakinya kembali ke dalam pondok. “Aku berjanji padamu, kita pasti akan pulang.” Alice mengangguk. Ia pun menyusul Gekko kembali ke dalam pondok. . . . Ketika Rozen kembali ke istana, seorang pelayan wanita sudah menjemputnya di pintu gerbang. Pelayan itu sepertinya sedang cemas, terlihat dari sikapnya yang tidak bisa tenang. “Pangeran ... Pangeran!” Rozen menghentikan laju kudanya. “Ada apa?” dan bertanya pada si pelayan wanita. “Ratu tadi tiba-tiba pingsan, sekarang sedang dirawat di puncak menara.” Tanpa bicara apapun, Rozen segera melajukan kudanya kembali. Sampai di depan menara putih di istananya, dia membiarkan kudanya terparkir sembarangan karena ia sudah melangkahkan kakinya untuk berlari ke puncak menara. . . . Di puncak menara, ada sebuah ruangan yang pintu masuknya saja dijaga oleh dua orang berjubah putih. Mereka mengenakan topeng putih polos, juga membawa tongkat perak dengan bentuk lingkaran di atasnya. “Apa kali ini kalian akan melarangku masuk?” tanya Rozen agak kesal. Dia biasanya sering berusaha menemui ibunya di ruangan ini tapi selalu saja dicegat oleh dua penjaga berjubah putih di depannya ini. Namun, tidak seperti biasanya. Dua penjaga itu kali ini membukakan pintu untuk Rozen. Meskipun agak kaget, tapi dengan cepat Rozen masuk ke ruangan ibunya sebelum dua penjaga berjubah putih itu berubah pikiran. Saat dia sampai di dalam, pintu pun kembali ditutup oleh dua penjaga tadi. “Kau sudah pulang?” Rozen mendengar suara seseorang yang sangat disukainya. Ibunya. “Ya. Maaf karena meninggalkan Ibu sendirian. Aku tidak tahu kalau Ibu sedang sakit,” ujar Rozen kalem. Ia mendekat ke tempat ibunya sedang berbaring, yaitu sebuah gumpalan awan dengan sulur-sulur biru yang menopangnya. Tubuh ibunya dililit oleh cahaya putih yang menyerupai sulur. Cahaya putih yang bergerak-gerak tak tentu arah. Seperti anemon laut yang mengikuti arus air laut. “Salah ibu karena tak pernah membiarkanmu menemui ibu.” Rozen menggeleng. “Tak apa. Aku tahu banyak hal yang sedang Ibu pikirkan.” “Mau menggenggam tangan ibu?” Agalia tersenyum kalem. Ia mengulurkan tangannya pada Rozen. Rozen dengan cepat memegang tangan Ibunya dan menggenggamnya erat. “Ada apa?” Rozen sangat tahu, jika Ibunya seperti ini, berarti ada hal serius yang ingin dibicarakan. “Ibu sudah terlalu lelah.” “Huh? Ibu bicara apa? Aku tidak paham.” Agalia tersenyum menanggapi sikap Rozen yang sengaja seperti tak mau tahu itu. “Kau pasti juga merasakannya, anakku. Kekuatan ibu sudah tidak cukup untuk menopang negeri kita. Lily putih yang ibu pertahankan semakin lama semakin layu. Jika terus dibiarkan, negeri yang sudah seperti hidup Ibu ini bisa hilang. Negeri ini dibangun dengan kekuatan sihir sebuah bunga Lily, tapi sudah lima ratus tahun bunga itu menopang negeri ini dan sekarang kekuatan sihirnya mulai pudar.” Rozen terdiam. “Bisa ibu katakan di mana aku bisa mendapatkan Lily yang sama? Seberat apa pun rintangannya, pasti bisa kuatasi.” Agalia menggeleng, ia tersenyum pahit. “Tidak bisa semudah itu. Kekuatanmu tidak akan sanggup untuk mengambil bunga penggantinya, anakku.” “Kenapa?! Apa aku kurang kuat?! Jika memang begitu, aku akan lebih giat berlatih.” Agalia lagi-lagi menggeleng. “Hanya orang yang dipilih bunga itu sendiri yang bisa mengambilnya.” “Lalu, di mana aku bisa menemukan orang itu?!” Agalia menggeleng untuk ke sekian kalinya. “Ibu tidak tahu.” Rozen terduduk lemas di lantai masih dengan menggenggam tangan ibunya. “Lalu, bagaimana dengan Ibu?” tanyanya lirih. “Aku memang anak yang tidak berguna,” ujarnya putus asa. Ia meletakkan tangan ibunya di dahinya karena tidak tahu harus melakukan apa. “Ibu lah yang paling tidak berguna.” . . . Saat pagi kembali datang, Lizzy ternyata sudah membuka matanya. Sama seperti Gin yang linglung di awal-awal, Lizzy pun mengalami hal yang sama. “Simpan semua pertanyaanmu. Sekarang minum yang banyak agar setelah ini otakmu bisa digunakan dengan baik.” Lagi-lagi, Gekko sudah mengultimatum seperti itu. Mau tidak mau Lizzy pun nurut saja. Gekko melangkahkan kakinya ke luar untuk melihat keadaan sekitar. Langit lebih mendung daripada kemarin, tanah pun agak becek, beberapa katak melompat-lompat di depan pondok. KAAAKK! Sebuah suara terdengar dari atas. Gekko mengalihkan pandangannya ke langit dan ia menjumpai seekor burung ... atau mungkin manusia, ah entahlah. Setahu Gekko, yang dilihatnya adalah seekor burung seukuran manusia, dengan pinggang ke atas adalah tubuh manusia tapi pinggang ke bawah adalah burung. Sedangkan kedua tangannya digantikan oleh dua buah sayap yang digunakan untuk terbang. Makhluk separuh manusia separuh burung itu bersuara lebih keras daripada yang seharusnya. Makhluk itu melihat ke bawah, tepat di mana Gekko berdiri. Namun, ia menelengkan kepala, sedikit bingung karena tadi ia seperti melihat manusia tapi saat diperhatikan lagi ternyata tidak ada apa-apa. Makhluk itu pun kembali terbang lebih tinggi mengarah ke utara. “Ada apa, Gekko?” Alice bertanya dengan berbisik karena Gekko tiba-tiba ada di dalam pondok sambil menyuruh semua orang diam dengan isyarat tangannya. “Mungkin sebaiknya kalian tidak keluyuran di luar dulu. Banyak makhluk tidak jelas yang sepertinya bisa membahayakan,” ujar Gekko tenang setelah memastikan bahwa siluman burung yang dilihatnya tadi sudah pergi jauh. “Makhluk tidak jelas?” Gin yang sekarang sudah tampak bugar bertanya penasaran. Gekko tidak menjawab. Ia melihat satu demi satu teman-temannya, kemudian menghela napas panjang. Ah, sepertinya akan cukup merepotkan melindungi teman-teman polosnya di tempat seperti ini. Gekko harus lebih banyak bersabar. . 16 Mei 2020 (Dreame)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD