Kisah Wanita Simpanan

2516 Words
JAM istirahat tiba juga. Setelah berdebat panjang dengan manager program, rasanya ingin cuti saja. Riska namanya. Perempuan keras kepala yang sulit diajak kerjasama. Opininya aneh. Masa aku disebut orang yang tidak memiliki idealisme, saat aku tidak menyetujui pembelian program baru itu. Dia tidak paham, bahwa perkataanku tidak asbun. Sebagai manager pemasaran, aku selalu mempertimbangkan peluang pasar. Aku punya strategic marketing plan yang matang. Aku bisa membaca prospek rating. Tidak sembarangan. Penayangan program itu bisa berpengaruh juga pada nilai saham perusahaan. Cukup sudah untuk menyimpulkan bahwa Riska itu tidak memiliki yang namanya the ability to produce or buy programs with audience appeal. "Selamat siang, Pak... bisa saya bantu melayani pesanannya?" gadis muda, pelayan cafe, sudah berdiri di depan meja. "Tolong minta hot cafe latte tanpa gula ya," jawabku. "Baik, Pak... mohon ditunggu," ucapnya seraya bergegas menuju tempat peracikan kopi. Aku memutuskan untuk duduk menyendiri di pojok cafe ini. Berharap nomor Randi segera aktif. Aku sudah kirim WA, masih ceklis satu. Dihubungi dengan layanan selular pun tidak aktif nomornya. Ponsel bergetar. Aku pikir dari Randi. Ternyata sebuah pesan WA dari Riska. [Mas Panji, bisa kita ngopi bareng?] demikian isi pesannya. [Next time saja Bu Ris. Aku lagi banyak kerjaan...] langsung kujawab. Untuk yang kesekian kalinya aku menolak ajakan Riska. Entahlah. Malas rasanya ngobrol dengan wanita dingin nan keras kepala. Apalagi di masa krusial seperti ini, masa aku malah ngopi-ngopi sama Riska. Riska itu sebenarnya memiliki paras yang cukup menarik. Meski usianya sudah kepala empat, tapi Riska punya pesona elegan dan profesionalisme tinggi. Dengan tubuh yang tetap ramping dan proporsional, Riska selalu tampil percaya diri dalam balutan busana kerja yang berkelas. Wajahnya masih terlihat awet muda, dengan garis-garis halus yang justru menambah kesan matang dan karismatik. Apalagi dengan posisinya sebagai manager, Riska memiliki aura kepemimpinan yang kuat. Sayang sekali, ia sangat dingin. Tiba-tiba aku teringat Nindia. Di meja kafe ini, ya, tepat di meja kafe ini, aku pernah duduk sambil ngopi dengan Nindia. Dia secara jujur dan terbuka menceritakan perjalanan hidupnya terkait dengan suami Riska, seorang politisi yang kini menjadi salahsatu komisaris salahsatu BUMN. Nindia adalah bawahannya Riska. Atau bisa disebut salahsatu staff Riska yang sangat diandalkan. Ia seorang perempuan muda, usianya dua tahun di lebih muda dariku. Nindia itu seorang wanita bertubuh tinggi semampai, proporsi tubuhnya ideal yang memeilik aura keanggunan luar biasa. Rambut Nindia yang panjang tergerai indah atau tertata rapi dalam gaya yang simpel namun mewah. Wajahnya begitu memesona dengan kulit yang halus, mata yang bercahaya, dan senyum yang selalu memberikan kesan ramah dan bersahabat. Di lingkungan kerja, Nindia dikenal sebagai sosok yang cerdas, cekatan, dan berorientasi pada detail. Ia mampu menjalankan tugasnya dengan profesionalisme tinggi, membuatnya dikagumi oleh rekan kerja dan atasan. Tak hanya cantik secara fisik, Nindia juga memiliki daya tarik dari dalam—karakter yang kuat, kepribadian yang menyenangkan, dan sikap yang selalu positif. Itu sebabnya aku juga sering meminta bantuannya untuk menyelesaikan pekerjaan. Jujur saja, aku punya perhatian khusus pada Nindia, tetapi perasaan itu hanya kuungkapkan dalam sikapku. Kadang, aku sengaja menyentuhnya dengan lembut, mencari celah untuk lebih dekat dengannya. Anehnya, Nindia seperti mengerti perasaanku, tapi tetap menjaga jarak dengan caranya sendiri. Ia adalah tipe wanita yang jinak-jinak merpati. Ya, di kafe ini, Nindia menceritakan hubungannya dengan suami Riska. BEGINI CERITA NINDIA: Suatu hari ketika Nindia sedang merapikan map dan berkas di meja kerjanya. Hari itu terasa begitu panjang, dan pikiran Nindia melayang ke berbagai masalah yang tengah dihadapinya. Namun, semua itu mendadak menguap ketika ponselnya bergetar. Nama di layar membuatnya tertegun. Pak Jatma. Suami dari Riska, atasannya sendiri. Dengan ragu, ia mengangkat panggilan itu. "Halo, Pak Jatma?" suaranya lirih. "Nindia, saya ingin bertemu denganmu. Ini penting. Tolong rahasiakan pertemuan ini, bahkan dari Riska sekali pun. Bisa?" suara pria paruh baya itu terdengar tenang, tapi ada ketegasan yang tak bisa diabaikan. Nindia terdiam sejenak. Pikirannya berkecamuk. Mengapa suami atasannya ingin bertemu dengannya secara diam-diam? Ada perasaan waspada yang muncul, tapi di sisi lain, rasa penasaran juga tak bisa dihindari. "Baik, Pak. Di mana kita bisa bertemu?" tanyanya akhirnya. "Nanti saya share lokasinya ke WA kamu, kita bertemu jam delapan malam," jawab Pak Jatma. Dan begitulah, beberapa jam kemudian, Nindia sudah duduk di hadapan Pak Jatma di sudut kafe yang remang. Pria itu tampak berwibawa dengan setelan rapi, meski usianya sudah 60 tahun, sorot matanya masih tajam. "Saya sering membuka HP istri saya, Nindia," ujarnya tanpa basa-basi. "Dan saya membaca pesan-pesanmu. Tentang kesulitan yang kau hadapi. Saya ingin menolongmu." Nindia menelan ludah. Jantungnya berdebar. "Menolong... bagaimana maksud Bapak?" Pak Jatma menatapnya lekat. "Masalah ekonomi yang melilit keluargamu, akan saya atasi. Tapi, saya ingin menikahimu. Secara siri." Dunia Nindia serasa berhenti berputar. Matanya melebar. Tak ada yang bisa diucapkannya selain kebisuan panjang. "Saya paham ini mengejutkan. Tapi saya serius. Kau butuh uang, dan saya bisa memberikan itu. Dengan syarat, pernikahan ini tetap menjadi rahasia. Kau kan tahu, saya adalah pejabat publik, dan saya tak ingin ada skandal." Nindia menggigit bibirnya. Ia memang sedang terhimpit ekonomi. Orang tuanya yang sakit-sakitan, adik-adiknya yang masih sekolah, semuanya butuh biaya besar. Tapi menjadi istri dari pria yang lebih tua dari ayahnya sendiri? Bayangan itu membuatnya bergidik. "Apa yang aku dapatkan?" tanyanya akhirnya, suaranya nyaris berbisik. Pak Jatma tersenyum tipis. Ia tahu Nindia sedang mempertimbangkan tawaran ini. "Katakan saja. Apa yang kau inginkan?" Nindia menarik napas dalam-dalam, lalu dengan suara mantap ia menyebutkan syaratnya, yakni: Sebuah rumah di perumahan Summarecon Bekasi untuk orang tua dan adik-adiknya; Sebuah apartemen di Jalan MT. Haryono untuk dirinya sendiri; Sebuah mobil HRV; Dan uang satu miliar rupiah. Pak Jatma menatapnya sesaat, lalu mengangguk. "Saya setuju." Dan seminggu kemudian, pernikahan itu berlangsung secara tertutup. Sah di mata agama, tapi tidak di mata hukum. Malam itu, di apartemen barunya, Nindia duduk di tepi ranjang. Pak Jatma duduk di sofa, menatapnya dengan lembut. "Kau gugup?" tanyanya. Nindia tersenyum kecil. "Menurut Bapak?" Pak Jatma menghela napas. Ia bangkit dan berjalan mendekati Nindia, duduk di sampingnya. "Aku tidak ingin kau merasa terpaksa. Aku ingin kau bahagia." Bahagia. Kata itu terasa asing di hati Nindia malam itu. Ia tahu, ia telah menjual dirinya demi uang. Demi keluarganya. Demi masa depannya. Jari-jari Pak Jatma menyentuh dagunya, mengangkat wajahnya hingga mata mereka bertemu. "Saya akan membuatmu nyaman, Nindia. Saya janji." Dan malam itu, dalam remang kamar apartemen, Nindia pasrah saat pria tua itu mencumbuinya dengan penuh kelembutan. Nindia membalas dengan sentuhan setengah hati, serasa masih ada sekat yang tak bisa dilewati. Bibir Pak Jatma menyentuh pipi dan leher Nindia dengan kehati-hatian yang terasa asing. Ada jeda di antara setiap gerakan. Nindia memejamkan mata, mencoba mengabaikan suara napas berat pria di dekatnya. Ia merasa seperti boneka porselen yang dipajang, disentuh. Hatinya menggigil lebih karena kebisuan yang menyelimuti kamar itu dibandingkan udara dingin yang merambat dari jendela apartemen. Nindia ingin merasakan sesuatu—apa pun itu. Mungkin gairah, mungkin harapan. Namun yang ada hanya kehampaan. Sentuhan-sentuhan itu tidak membuatnya merasa dicintai, hanya diinginkan. Dan bahkan keinginan itu pun terasa samar, hanya dirasakan sebagai kewajiban yang harus dituntaskan. Ketika akhirnya Pak Jatma merengkuhnya, Nindia tetap diam. Ia membiarkan tubuhnya mengikuti arus, meski hatinya terasa kosong. Pak Jatma sendiri pun sepertinya merasakan getir yang tak bisa ia ungkapkan. Ada semangat di awal, ada keinginan untuk membuktikan bahwa ia masih bisa, bahwa tubuhnya masih berdaya. Namun, usia tak bisa berbohong. Tubuhnya tak lagi seperti dulu. Pak Jatma tampak ingin lebih lama, ingin merasakan gairah muda yang sudah lama sirna dari hidupnya, tapi tubuhnya menyerah terlalu cepat. Dengan helaan napas panjang, Pak Jatma akhirnya terkulai lemas di samping Nindia, menatap langit-langit kamar. Nindia menghela napas panjang, menatap langit-langit kamar dengan mata kosong. Malam itu berlalu begitu saja, meninggalkan jejak yang sulit dihapus dari hatinya. “Maafkan saya. Sayang. Mungkin besok saya akan berjuang untuk bisa lebih lama…” bisik Pak Jatma. Nindia mengangguk. Padahal Nidia sebenarnya sangat senang Pak Jatma segera menyelesaikannya dengan cepat. Hari-hari berlalu, dan pertemuan mereka menjadi rutinitas yang melelahkan bagi Nindia. Pak Jatma hampir setiap malam datang ke apartemennya. Jika tidak bisa malam, ia akan datang pagi-pagi sebelum Nindia berangkat kerja. Tidak ada kata cinta, tidak ada perasaan yang berkembang—hanya kewajiban yang harus dituntaskan. Suatu pagi, saat Nindia sudah mengenakan pakaian kerja dan bersiap berangkat. Ia mengenakan blouse putih dan rok selutut berwarna navy, berdiri di depan cermin, merapikan riasannya yang sederhana tetapi elegan. Bel apartemen berbunyi. Saat pintu terbuka, Pak Jatma berdiri di sana dengan wajah lelah namun penuh harapan. "Saya ingin bersamamu sebentar," katanya singkat. Nindia terdiam, menatap pria itu dengan perasaan bercampur aduk. Ia tahu maksud dari kedatangan Pak Jatma. Sejenak, ia ingin menolak, ingin mengatakan bahwa ia harus bekerja. Tapi akhirnya, seperti biasa, ia mengalah. Nindia menarik napas. "Baiklah, tapi di kursi saja, ya," katanya. Pak Jatma mengangguk, lalu ia duduk di kursi. Kemudian tangan Pak Jatma menarik tangan Nindia hingga ia duduk di pangkuannya. Keheningan singkat menyelimuti mereka, hanya terdengar detak jam dan napas mereka yang perlahan menyatu. Pak Jatma mengusap lembut pipinya, menatapnya dengan penuh kasih. Ia menyingkap rambut Nindia dan mengecup tengkuknya. Nindia menutup mata, mencoba menikmati sentuhan hangat itu, meski tetap sulit. Tangannya perlahan melingkari leher Pak Jatma, membiarkan kehangatan di antara mereka mengisi ruang pagi itu. Bukan karena Nindia menginginkan, melainkan Nindia ingin segera mengakhirinya. Pak Jatma mengecup bibir Nindia dengan rakus. Ciuman yang awalnya ringan, perlahan mendalam, membawa mereka dalam gelombang perasaan yang lebih dalam. Nindia merasakan debaran jantung Pak Jatma. Ia melepas roknya perlahan, ingin segera selesai. Namun, tiba-tiba, suara keras menggema di apartemen itu. BRAK! Pintu apartemen didobrak dengan kasar. Nindia terkejut, buru-buru menarik roknya kembali, sementara Pak Jatma menoleh dengan wajah kaget. Di ambang pintu, berdiri seorang wanita dengan wajah merah padam, penuh amarah. Mata Nindia membelalak saat mengenali siapa sosok itu. Sosok yang sangat tidak asing baginya. "Bu Riska...?" bisiknya, nyaris tak percaya. Riska berdiri dengan tangan terkepal. Matanya menatap tajam ke arah mereka berdua, penuh kemarahan yang membara. "Jadi ini yang kau lakukan di belakangku?" suaranya bergetar. Nindia tercekat. Ia bisa merasakan kemarahan Riska. Pak Jatma bangkit dengan wajah pucat. "Riska, dengarkan aku—" "Tidak ada yang perlu kudengarkan!" potong Riska tajam. "Pulang sekarang juga! Kita selesaikan hari ini juga!" Nindia menggigit bibirnya, berusaha tetap tenang. Ia menunduk, merasa dirinya telah terseret dalam badai yang tak pernah ia duga. Ruang apartemen Nindia kini berubah menjadi medan perang yang dipenuhi kemarahan dan pengkhianatan. Dan hari itu juga, Nindia memutuskan untuk mengundurkan diri dari kantor. ** BEGITULAH Nindia menceritakan perjalanan kisahnya dengan Pak Jatma, suami Riska di kursi kafe ini. Kucoba fokus lagi pada persoalan yang sedang kuhadapi. Persyaratan yang diminta Kristianto: cari dan dapatkan Randi. Hari ini, ancaman Kristianto bertambah. Ancaman yang membuat dadaku terbakar cemburu. Kristianto akan mempersilahkan Pak Wata meniduri Rida, jika hari ini aku tidak berhasil membawa Randi. Kristianto benar-benar gila. Pak Wata, bos Kristianto di kantornya. Menurut Rida, Pak Wata memang sudah berkali-kali mengunjungi unit apartemen Kristianto. Biasanya Kristianto yang sengaja mengundang makan malam ke unitnya. Gelagat Pak Wata sudah terbaca oleh Rida sejak pertemuan pertama. Kerdipan nakal, curi-curi pandang atau sikap Pak Wata yang lainnya sangat jelas mengisyaratkan hasratnya kepada Rida. Kadang Pak Wata hampir lepas kendali. Pernah suatu kali Pak Wata pura-pura terpeleset saat jaraknya begitu dekat dengan Rida. Dengan nakalnya tangan Pak Wata meraih pinggang Rida agar tidak terjerembab. "Maaf Bu... maaf..." ucap Pak Wata setelah berhasil menyentuh tubuh Rida. Ada beberapa peristiwa lainnya yang diceritakan Rida mengenai kekurang ajaran Pak Wata. Berkali-kali Rida menyebutnya sebagai lansia yang menjijikkan. Dari gelagatnya itu, Kristianto pun rupanya sudah dapat membaca apa yang ada dalam pikiran bosnya. Randi harus didapatkan. Hanya itu cara satu-satunya menyelamatkan Rida. Kristianto merindukan Randi setelah ia menampar Randi dan mengusirnya. Pada saat itu, Randi pernah ketahuan sedang meniduri Rida. Rida pernah menceritakannya apa adanya. Dia tak pernah menutupi, meski harus mempermalukan dirinya sendiri di hadapanku. Rida wanita yang sangat jujur. BEGINI CERITA RIDA TENTANG RANDI: Malam ini di kamar Rida yang temaran, Randi sedang tenggelam dalam lautan gairah di atas tubuh Rida. Napasnya memburu, matanya terpejam, dan tubuhnya bergerak mengikuti irama nafsu yang menggebu-gebu. Sementara itu, di ambang pintu, Kristianto berdiri mematung dengan wajah pias, matanya membulat dipenuhi amarah yang hampir tak tertahankan. Rida melihatnya. Ia tahu suaminya berdiri di sana, menyaksikan semuanya. Namun, ia tetap diam, membiarkan Randi menyelesaikan hasratnya tanpa menghentikannya. Ada sesuatu dalam hatinya yang membuat Rida menikmati situasi ini—entah itu pembalasan atau justru kejatuhan yang ia sendiri sengaja ciptakan. Saat akhirnya Randi mencapai klimaks, Rida mendorong tubuh pria itu dengan ekspresi terkejut yang dibuat-buat. Ia meraih selimut, menutupi tubuhnya yang setengah telanjang. “Apa-apaan ini?!” teriaknya dengan suara yang seakan pecah oleh keterkejutan. Kristianto melangkah cepat mendekati Randi. Tangannya melayang, menampar keras pipi pria itu. Suara tamparan menggema di ruangan. “Kurang ajar! Enyah kau dari sini! Aku tak mau melihat wajahmu lagi!” pekiknya penuh kebencian. Randi, yang masih kaget, buru-buru memunguti pakaiannya. Tanpa sepatah kata pun, ia melangkah keluar dari kamar, lalu pergi meninggalkan lantai 19 apartemen mewah itu untuk selamanya. Setelah itu, Kristianto berubah menjadi sosok yang tak lagi sama. Setiap malam, ia duduk termenung di depan kaca jendela, menatap kosong ke gemerlap kota yang tak lagi bercahaya di matanya. Gelas-gelas berisi minuman keras berserakan di atas meja. Sesekali, ia bahkan menghisap rokok—sesuatu yang tak pernah ia lakukan sebelumnya. Rida hanya mengamati suaminya dalam diam. Suatu hari, ponsel Rida bergetar. Sebuah pesan dari nomor asing muncul di layar. [Maafin aku, Rida. Aku lepas kendali. Kamu benar-benar wanita yang luar biasa. Jika berkenan untuk kesempatan kedua, aku tak akan menyia-nyiakannya...] Rida membaca pesan itu berulang kali. Jelas itu dari Randi. Entah bagaimana ia mendapatkan nomornya, tapi kemungkinan besar dari ponsel Kristianto. Ia tidak membalasnya. Namun, jauh di dalam hatinya, ia mulai mempertimbangkan segala kemungkinan. Hingga pada suatu hari, aku bertemu dengan Rida di tempat fitnes. Dari sanalah kisah cinta kami bermula—sebuah kisah yang perlahan menghapus nama Randi dalam lubuk hati Rida. ** DEMIKIAN cerita Rida, hingga akhirnya ia bertemu denganku. Aku merogoh ponselku. Lalu kucoba lagi melakukan panggilan ke nomor Randi. Sejak pagi, tidak pernah tersambung karena tidak aktif. Kali ini nomornya aktif. Lama tidak diangkat. Wajar saja, karena nomorku pasti tidak akan dikenali. Barulah panggilan yang kelima diterima. “Hallo, siapa ini?” tanya Randi. “Aku Santo, saudaranya Rida,” kusamarkan namaku. Tidak sepenuhnya berbohong, karena namaku Panji Santoso. “Rida? Rida mana ya?” “Jangan pura-pura, Bro. Rida istrinya Kristianto. Dia titip pesan kepadaku…” “O ya, hahaha… pesan apa?” “Gak bisa lewat telepon. Sebaiknya kita ngobrol langsung,” “Boleh, tapi aku harus yakinkan dulu kau bukan mau menipuku. Bisa kau aktifkan kameranya?” “Bisa!” Perbincangan berlanjut dengan video call. Aku dapat melihat wajah Randi untuk pertama kalinya. Sebagai lelaki, Randi memang memiliki paras yang lumayan tampan. “Gini saja, aku biasanya jam 5 sore sudah di stasiun Bekasi. Di sana ada tempat ngopi yang enak. Kau naik kereta saja, biar tidak macet,” “Oke, siap!” jawabku sambil mematikan ponsel. Naik commuter line? Cukup lama aku tak pernah naik kereta. Sudah terbayang bagaimana berdesak-desakannya di dalam gerbong. Apalagi jam pulang kerja. Tapi, demi mencari solusi, sepertinya ide Randi benar. Aku mendingan naik kereta saja, bisa naik dari Stasiun Sudirman.***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD