Pertemuan Empat Mata

2316 Words
SULIT menerapkan protokol Kesehatan di kereta. Penumpangnya tetap penuh. Dalam hal ini, benar anjuran satgas covid, cara yang dapat ditempuh adalah tetap mengenakan masker. Di sisi lain, aku melihat kemajuan yang begitu pesat dalam pengelolaan transportasi masal ini. Dalam segala hal sudah tertata dengan cukup rapi. Bahkan masinis pun pesat kemajuan. Aku terkagum-kagum saat mendengar suara masinis yang pasih menggunakan Bahasa Inggris. Masinis itu berkali-kali terdengar suaranya, menginformasikan kepada para penumpang mengenai stasiun yang akan menjadi tempat pemberhentian, mengingatkan agar waspada dan hati-hati menjaga barang bawaan, dan juga himbauan agar memberikan kursi duduk kepada lansia dan ibu hamil. Sayang sekali, faktanya banyak anak muda yang malah duduk sambil begitu asiknya mengutak-atik gadget. Aku memilih berdiri. Bukan karena penumpangnya penuh. Bahkan kalau pun ada kursi kosong, aku akan tetap berdiri. Setiap hari aku duduk nyaman di kursi empuk. Kursi sudah bukan barang langka bagiku . Masinis menjelaskan bahwa Kereta pertama dan terakhir dikhususkan untuk kaum hawa. Namun bukan berarti gerbong kereta lainnya dikhusukan untuk laki-laki. Tidak ada gerbong khusus untuk laki-laki. Itulah penghormatan terhadap kaum perempuan. Aku sangat sepakat dengan kebijakan tersebut. Perempuan harus mendapatkan tempat yang nyaman dan terhormat. Perempuan itu harus dikasihi. Harus dicintai. “Maaf, Kak…” tiba-tiba seorang wanita berkata sambil membungkukan badannya. Aku sangat kaget. Bukan karena kakinya menginjak kakiku, karena aku yakin itu pasti tidak sengaja. Yang membuatku kaget, ketika melihat sosoknya yang sangat mirip dengan Nindia. Meski separuh wajahnya ditutupi masker, tetapi aku yakin wajahnya cantik, dan kenapa tipe wajahnya, rambutnya, benar-benar mendekati Nindia? Aku membalasnya perempuan itu dengan senyum dan menganggukan kepala. Meski aku tahu, senyumanku tak akan dilihatnya, karena aku pun mengenakan masker. “Kak, silahkan duduk!” seorang lelaki tiba-tiba beranjak dari tempat duduknya sambil memberi isyarat mempersilahkan wanita di sebelahku untuk duduk. “Terimakasih, itu masih banyak orangtua yang berdiri,” jawabnya. Tampak dari pancaran matanya, wanita itu kurang menyukai sikap laki-laki yang sejak tadi duduk. Secara logika, kalau benar dia memiliki empati dan ingin memberikan tempat duduk, mestinya diberikan kepada orangtua sejak tadi. Ini malah dikasih ke wanita muda. Sangat kentara kalau dia ingin mencari perhatian. Maka tak heran jika wanita di sebelahku tetap memilih berdiri. “Mau turun dimana, Kak?” tanya perempuan itu tiba-tiba. “Di… di Bekasi,” kaget juga mendapat pertanyaan itu. “Kalau begitu, nanti di Manggarai transitnya kan? Aku juga mau ke arah sana,” “Oh iya… betul… Kamu mau ke Bekasi juga?” “Bukan. Aku turun di Cakung,” jawabnya. Sampai di Stasiun Manggarai, aku dan wanita itu, juga puluhan atau mungkin ratusan penumpang lainnya turun. Ada yang tujuannya memang ke Manggarai, ada pula yang transit untuk berpindah ke kereta yang menuju Bekasi. Sebab, kereta yang aku naiki dari stasiun Sudirman, akan melanjutkan rute perjalanannya ke arah Depok dan Bogor. Tanpa kusadari, langkahku mengikuti wanita itu. Masalahnya, memang aku agak kikuk juga beradaptasi dengan suasana stasiun. Selain itu, aku benar-benar seperti melihat Nindia pada perempuan itu. Hingga pada saat naik kereta jurusan Bekasi, aku tetap berdiri di sebelah perempuan itu. Sepanjang perjalanan hanya ngobrol hal-hal yang ringan, sedikit berbisik-bisik. Ada juga penumpang lain yang berbincang-bincang dengan sesama penumpang. Tapi kebanyakannya mereka asik dengan gadgetnya masing-masing. Ada yang main game, nonton film, atau bahkan video call. Aku tahu, perempuan itu sering mencuri pandang saat aku melepaskan tatapan menembus jendela kereta yang transparan. Bukan hal yang aneh. Sekretaris atau staf wanita bawahanku juga sering melakukan hal yang sama. Secara tak sengaja, aku pernah mendengan perbincangan diantara para staf. Mereka memuji bentuk tubuhku. Tapi aku hanya tertarik kepada Nindia. Dan… perempuan yang berada di dekatku, sosoknya sangat mirip dengan Nindia. Hingga ingatanku kembali melayang menuju kafe tempat Nindia menceritakan kisah perjalanannya dengan suami Bu Riska. Nindia menceritakan kejujuran itu karena pada saat itu aku bingung, kenapa Nindia tiba-tiba mengundurkan diri? Selain itu, aku masih berharap Nindia tetap bekerja, karena, sulit untuk berbohong pada hatiku sendiri, aku menaruh perhatian yang lebih kepada Nindia. Bahkan cukup mendalam. Hanya saja, aku tidak pernah mengungkapkannya. Hingga akhirnya di suatu sore saat langit meredup, aku duduk berhadapan dengan Nindia di kafe dekat kantor. Tangan-tangannya yang lentik memutar cangkir kopi yang tak lagi mengepulkan uap. Suaranya lirih, tapi kata-katanya tajam, menusuk lebih dalam dari yang bisa kubayangkan. "Aku tidak bisa berbohong lagi," katanya. "Aku... aku adalah wanita simpanan. Dan laki-laki itu adalah suaminya Bu Riska. Semua ini aku lakukan karena aku memang butuh uang." Aku terdiam, mendengar pengakuannya dengan d**a yang terasa remuk. Hatiku seakan jatuh dari ketinggian, menghantam tanah dengan keras. Aku telah lama memendam perasaan untuknya, meski tak pernah berani mengungkapkan. Namun, bukankah sikapku selama ini cukup jelas? Bukankah dia tahu bagaimana aku selalu memperhatikannya, menjaga jarak tapi tetap ingin dekat? Apakah semua itu tidak cukup untuk membuatnya berpikir dua kali sebelum mengambil keputusan itu? Aku menghela napas panjang, berusaha meredam guncangan di dalam hati. Perlahan, aku berdiri, mencoba mengatur ekspresi agar tidak memperlihatkan betapa hancurnya aku saat ini. "Aku pamit, Nindia. Aku hanya penasaran saja kenapa kamu tiba-tiba resain. Sebab, kamu adalah partner kerjaku yang baik. Tapi kalau itu masalahnya, aku tidak bisa komentar apa-apa." kataku dengan suara yang kubuat setenang mungkin. "Semoga kau baik-baik saja." Tapi sebelum aku bisa melangkah pergi, tangannya menangkap pergelangan tanganku. Sentuhan itu sehangat dulu, tetapi kini terasa penuh beban. "Datanglah ke apartemenku malam ini," bisiknya. "Aku ingin memberikan kenangan terbaik kepadamu. Aku tahu perasaanmu. Anggap saja ini adalah tebusan atas kesalahanku." “Kalau kamu tahu perasaanku, kenapa kau lakukan itu?” tanyaku dalam hati. Ya, hanya berani bertanya di dalam hati. Aku menatapnya. Matanya berkabut, seperti ada sesuatu yang ingin ia sampaikan lebih dari sekadar kata-kata. Namun, aku menggeleng pelan. "Tak perlu," jawabku. "Kau tidak salah apa-apa." Aku menarik tanganku dengan lembut dan berbalik pergi. Setiap langkah yang kuambil terasa berat, seolah hatiku tertinggal di sana. Tapi untuk pertama kalinya, aku harus menerima kenyataan itu. Namun, malam setelah pertemuan dengan Nindia, aku bimbang. Aku tidak ingin melihat lagi wajah Nindia, tetapi undangannya terus terngiang di pikiranku, membuat jantungku berdegup tak karuan. Aku duduk lama di depan jendela apartemen sambil memandangi ponsel, membaca ulang pesan WA terakhir darinya. Hingga akhirnya, entah karena dorongan apa, aku akhirnya berangkat ke apartemen Nindia. Saat aku berdiri di depan pintunya, ia membuka dengan senyuman hangat. Tanpa berkata banyak, ia langsung menarik tanganku ke dalam. Apartemennya harum, remang, dan terasa begitu intim. Aku duduk di sofa, bersebelahan dengan Nindia. Cahaya lampu yang temaram membuat wajahnya tampak samar, tetapi sorot matanya tidak bisa menyembunyikan kegundahan. Aku masih berusaha mencerna kenyataan yang baru saja tadi sore ia sampaikan. "Seandainya kau bilang kepadaku, aku pun sanggup membantu kesulitan ekonomi keluargamu, Nindia," kataku, suaraku parau menahan gejolak di d**a. Nindia menunduk, jemarinya saling meremas di pangkuan. "Aku malu, Panji," ujarnya lirih. "Kau tak pernah mengatakan perasaanmu." Aku menghela napas panjang. "Bukankah sikapku kepadamu lebih jelas dari sekadar kata-kata?" tanyaku, berusaha menahan getir yang menggumpal di tenggorokan. Nindia mengangkat wajahnya, matanya berkilat, entah oleh rasa bersalah atau sekadar refleksi dari lampu meja yang temaram. "Sudahlah, Mas Panji. Kita bukan mau berdebat tentang yang sudah terjadi. Nasi sudah jadi bubur. Malam ini... biarkan aku menebus kesalahanku." Kata-katanya membuat jantungku berdegup lebih cepat. Ia merapat, tangannya menyentuh lenganku dengan lembut, dan sebelum sempat kuhindari, ia telah memelukku erat. Aroma tubuhnya menyelinap ke hidungku, membangkitkan ribuan kenangan yang pernah kubangun bersamanya. Aku bisa merasakan detak jantungnya, cepat, gelisah. Aku ingin menolaknya. Aku ingin berdiri, meninggalkan tempat ini, membiarkan semua kesedihan ini larut dalam malam. Tapi tubuhku tetap diam, tak bergerak. "Nindia..." bisikku, nyaris seperti rintihan. "Biarkan aku..." ucapnya sekali lagi, tangannya mengusap wajahku, memaksa aku untuk menatapnya dalam-dalam. Aku melihat ada sesuatu di matanya—kesedihan yang sama, kehancuran yang serupa. Nindia menggandengku, membawaku ke kamarnya. Di atas kasur yang empuk, ia mulai menepati janjinya—memberikan kenangan terindah kepadaku. Namun, sesuatu terjadi. Aku tidak bisa. Tubuhku tidak merespons. Ada sesuatu dalam diriku yang menolak. Aku ingin, tetapi aku tidak mampu. Keringat dingin mengalir di pelipisku. Aku sangat malu. Aku sangat kecewa pada diriku sendiri. Nindia pasti paham apa yang terjadi denganku. Ia tidak menyerah. Tangannya kembali menggenggam jemariku, mengusapnya dengan penuh kasih. Aku bisa melihat sorot matanya, penuh ketulusan, penuh harapan. Ia mendekatkan tubuhnya, membisikkan sesuatu yang hangat di telingaku. "Kita coba lagi, sayang…" suaranya lembut, hampir berbisik. Aku menelan ludah, menatap wajahnya yang begitu cantik. Wajah yang selama ini selalu aku bayangkan. Ada perasaan bersalah yang menghantui, ada ketakutan yang terus membayangi. Nindia mendekapku dengan erat, tangannya perlahan turun, menyentuh tubuhku dengan lembut, penuh cinta. Aku benar-benar ingin merasakan gairah yang selalu kuimpikan, ya, bersama Nindia. Hanya Nindia. Tapi tubuhku tetap diam, tak bereaksi. Nindia kembali menciumi leherku, menyusuri d**a, memberikan setiap sentuhannya dengan penuh kasih. Tangannya berusaha membangkitkanku, mengusap, menstimulasi dengan sabar. Namun tetap saja, tidak ada perubahan. Aku menarik napas panjang, menatap langit-langit kamar. Perasaan putus asa kembali menyelimutiku. Aku ingin memberinya segalanya, tetapi tubuhku seakan menolak. "Nindia..." bisikku pelan. "Ssst... jangan berpikir terlalu keras, jangan katakan apapun" katanya sambil tersenyum. "Aku masih di sini, aku masih bersamamu." Ia lalu turun lebih rendah, dengan segala kelembutan dan kesabaran yang ia punya. Bibirnya menyentuhku, hangat dan penuh gairah. Ia berusaha sekuat tenaga, memberikan seluruh dirinya untukku. Tapi tetap saja, tubuhku tetap sama—lemah, tak merespons. Nindia mengangkat wajahnya, menatapku dengan senyuman yang ia paksakan agar aku tidak merasa bersalah. Aku tahu ia lelah, aku tahu ia kecewa, tetapi ia tidak ingin membuatku lebih sakit lagi. Aku memejamkan mata, menggenggam tangannya erat. "Aku minta maaf..." suaraku hampir tak terdengar. Ia tersenyum, lalu berbaring di sampingku. Ia menatapku, matanya masih tampak penuh hasrat. "Kenapa minta maaf? Kita masih punya banyak waktu, kan?" Aku menoleh, menatapnya. Ia masih tersenyum, meskipun aku tahu dalam hatinya ia pasti menyimpan kekecewaan. Tapi Nindia, dengan segala kelembutannya, tidak ingin membuatku merasa lebih hancur. Aku menariknya ke dalam pelukan, mencium keningnya dalam-dalam. "Terima kasih, Nindia..." Tangannya mengusap rambutku dengan lembut, dan ia tersenyum tipis, seolah memahami apa yang sedang terjadi. "Mungkin hatimu masih terlalu sakit," bisiknya. "Atau mungkin, kau tidak sekejam itu." Aku tidak menjawab. Aku hanya bisa diam, bertarung dengan rasa yang berkecamuk dalam dadaku. Malam itu, aku menyadari sesuatu: Aku terlalu mencintai Nindia, dan aku terlalu sakit, terlalu kecewa dengan apa yang dilakukan Nindia. ** “Kak, aku duluan ya …” ucap perempuan itu ketika kereta berhenti di Stasiun Cakung. Aku terkejut, lamunanku buyar. Dan aku menyadari yang di depanku bukanlah Nindia. Aku menganggukan kepala dan tersenyum, meski lagi-lagi senyuman bibirku tak akan dilihatnya. Tak terasa, Kereta sudah sampai di Stasiun Bekasi. Aku segera turun, mempersiapkan kartu e-money. Lalu, aku berjalan menuju warung kopi yang ciri-cirinya sudah diberitahu Randi. Tak terlalu sulit menemukannya. Aku memasuki sebuah warung kopi. “Santo kan?” seseorang menepuk bahuku. Aku langsung mengenalinya. Tak salah lagi, dia adalah Randi. “Ya, betul, Bro…” jawabku. “Kita ngopi di pojok itu..” ucap Randi sambil menunjuk meja kosong. AKu mengangguk dan langsung melangkah ke arah meja tersebut. “Kamu pesan saja kopi dan makanan sesukamu. Aku tolong pesenin Vietnam driv saja,” “Siap, Bos!” jawab Randi. “O ya… bolehkah aku ambil rokok sebungkus?” Tanya Randi lagi. “Boleh,” jawabku. Randi bergegas memesan kopi dan dan makanan. Lalu dia menghampiriku. Duduk berhadapan. “Aku sudah menikah. Sekarang istriku sedang hamil dua bulan lebih,” kata Randi, memulai perbincangan. “Lantas, kenapa?” “Takutnya aku akan dijodohkan sama Rida…” jawabnya sambil terkekeh. Ucapannya itu sedikit membuat rasa cemburuku bergemuruh. Bagaimanapun juga Randi pernah menikmati tubuh Rida. “Bukan itu maksud kedatanganku…” itulah yang terucap dari bibirku. “Langsung saja, Bos. Apa kira-kira yang bisa kubantu?” “Sebelumnya… aku penasaran juga. Boleh bertanya sesuatu?” “Boleh, boleh… tanyain saja…” “Kamu jangan marah,” “Enggak lah, Bos. Mana mungkin aku marah sama saudaranya mantanku…” “Apakah benar Kristianto pernah memberikan laptop bekas untuk kau pakai?” Randi mengangguk sambil tersenyum kecil. “Oh, itu. Iya, bener. Dia kasih gitu aja, bilang udah nggak dipakai lagi. Tapi laptopnya udah aku jual sih, beberapa bulan lalu.” Aku diam sejenak. Rasanya lidahku kelu. “Kenapa, emang?” tanya Randi, mulai curiga dengan ekspresiku. Aku menarik napas panjang. “Kamu tau nggak, Kristianto lagi nyari-nyari kamu sekarang. Katanya dia butuh laptop itu lagi, penting banget.” Randi mengernyit. “Lah, kenapa nggak dari dulu bilang penting? Laptop biasa aja, layarnya aja retak.” Aku memandang keluar jendela. “Kemana kamu jual laptop itu?” “Aku jual ke toko komputer di Pasar Minggu.” Aku memejamkan mata, mencoba menahan campuran rasa kaget, kesal, dan iba. Tapi rasanya aku tidak perlu menjelaskan segalanya. Jelas Randi tidak paham harta karun di dalam laptop itu. “Kita harus cari laptop itu,” kataku akhirnya. “Mungkin aja belum dijual lagi sama toko itu. O ya, apakah kamu pernah mengganti perangkatnya sebelum kau jual? Misalnya keyboard atau hard drive?” “Aku pernah ganti hard drive, karena waktu itu hard drive mati, sudah tidak bisa diperbaiki lagi…” jawabnya. “Dimana kau simpan hard drive itu?” “Ada di rumah, tapi aku lupa naruh di mana…” jawabnya dengan enteng. Aku tertegun bercampur dengan penuh harapan. Randi tidak tahu, bahwa di rumahnya tersimpan harta karun yang bernilai pantastis. Otakku segera menyusun rencana. “Urusan laptop butut saja jadi persoalan, dan itu sudah jelas-jelas dikasih cuma-Cuma. Apa karena aku ketahuan bercinta sama Rida?” “Kamu memperkosanya, bukan bercinta dengannya!” “Ya, ya… bisa dikatakan begitu. Bisa juga tidak…,” “Ngomong-ngomong, kenapa kamu gak ragu-ragu bertemu denganku?” “Maksudnya?” “Apa kamu tidak takut ulahmu dilaporkan ke polisi?” “Hahaha…. mana mungkin si bos mau mencelakakan aku…” “Mungkin saja…” “Tapi aku punya kartu as keluargamu…” “Kartu as? Apa maksudmu?” Aku penasaran. “Apakah aku harus menceritakan semuanya?” Randi balik bertanya. “Ceritakan saja…” jawabku. “Begini…” Randi kemudian menceritakan insiden yang terjadi sebelum ia “memperkosa” Rida.***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD