Seperti yang sudah-sudah, aku memakaikan pakaian untuk Sousuke setelah kami bergumul.
Aku masih tidak ingin kalau sampai anak gadisku melihat bagaimana ibu –nya telanjang bulat di atas kasur, lalu bertanya yang tidak-tidak.
Lagi pula, kenapa aku bisa sekesal itu hanya karena melihat Arata Kenichi?
Seharusnya aku bertingkah biasa saja, bersikap biasa saja dan bertingkah seolah aku tidak melihat apu pun, karena di sini bukan hanya ada aku dan Sousuke, tapi ada Yuuki juga Hiro. Ah, benar-benar menyebalkan.
Kuusap rambut Sousuke yang sedikit basah oleh keringat.
Dia benar-benar tertidur setelah kami melakukan itu, dan sekarang, mungkin Yuuki sudah tidur di kamar Hiro tapi, kurasa aku tidak perlu memastikan itu, mungkin besok pagi aku melihat mereka di kamarnya.
Tapi, karena dia belum makan malam, kurasa aku harus memesan makanan untuk kami setelah ini. Jadi kutinggalkan Sousuke setelah menyelimutinya, menelepon layanan kamar dan memesan makanan, sebelum aku ke luar untuk mencari udara segar.
Tapi tiba-tiba Sousuke bangun dan kesulitan untuk duduk, jadi aku bergegas menghampiri dia dan membantunya, menaruh beberapa bantal di punggung sebelum aku mulai mendengarkan apa yang dia mau.
“Sudah tidak marah lagi?” tanyanya.
“Kalau aku masih marah, bagaimana?”
“A— ya, sudah, ayo tidur!” ajaknya sambil menarik tanganku, tapi dengan tingkah seperti itu, aku jadi tidak merasa mengantuk sama sekali.
“Kenapa? Tidak mau satu ronde lagi?”
“Ti—tidak! Aku mau ti—“
“Hahaha ... aku tidak akan melakukan itu lagi, kau tenang saja.”ujarku sambil meraangkul bahunya dan membawa dia ke dalam pelukan, sebelum kusapu rambutnya lembut.
“Kenapa kau jadi sangat menyebalkan?” gerutunya, dan aku hanya membalas itu dengan sebuah senyum yang mungkin tidak akan bisa dia lihat.
“Itu karena aku sedang kesal.”
“Kesal apanya? Kenapa kesal pada Hiro dan kesal padaku benar-benar berbeda?” dia protes.
“Bedanya?”
“Kenapa pada Hiro kalian masih bisa tertawa, berkelahi seperti tadi dan kau yang tertawa setelahnya, begini? Sementara denganku? Kau akan memelototiku seharian, irit bicara dan seperti mau menelanku hidup-hidup?”
“Apa aku begitu?”
“Tentu saja kau begitu, ini benar-benar tidak adil!” kali ini dia menggerutu dengan suara yang bahkan bidak bisa kudengar dengan jelas. Tapi kuabaikan, aku kembali merangkulnya dan mencium kepalanya.
“Hari ini aku menemui ayahku.” Ucapku memulai percakapan kami.
“Ada sesuatu terjadi dengan pekerjaanmu?”
“Bukan pekerjaan, tapi di luar itu.”
“Soal Hiro?” tanyanya dan aku mengangguk, “lalu apa kata ayah?”
“Dia bilang kalau dia akan tetap menjodohkan Hiro dengan anak koleganya, tapi yang aku tidak tahu itu, anak koleganya ayahku itu seperti apa, bagaimana pola hidupnya dan seperti apa kelakuannya.”
“Kenapa tidak mencari tahu saja?”
“Dan menerimanya?”
“Kalau anak itu baik, kenapa tidak?”
“Dan menerima seperti apa yang ayahku lakukan pada Hiro? Kurasa tidak.”
Sousuke berbalik dan menatapku lekat-lekat. “ Kalau Hiro menerima dan suka pada pria itu bagaimana?”
Aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu.
Benar juga, bagaimana selama aku tidak melihat anak itu, Hiro sudah bertemu dengannya, sering bertemu hingga akhirnya jatuh cinta? Apa yang akan kulakukan?
Aku mendengus mendengarnya. Kemudian kutarik kembali Sousuke untuk masuk ke dalam pelukanku, kuelus lagi rambutnya sebelum menjawab apa yang dia tanyakan padaku.
“Akan kucoba.”
“Tentu saja kau harus mencobanya, bagaimana pun, Hiro itu adikmu satu-satunya, kan?”
“Ya, dia adikku, tapi dulu ada yang percaya kalau dia itu tunanganku dan selalu cemburu saat aku membahas tentangnya.”
“Karena dulu aku sempat tidak tahu kalau Hiro itu adikmu, makanya aku sangat cemburu saat Kuroda-san menerima telepon, berbohong pergi Tokyo menemui inspektur Oogaki dan banyak lagi.”
“Banyak lagi?”
“Ya, banyak lagi.”
“Seperti apa?”
“Aku tidak ingat, tapi yang jelas banyak.”
“Sebanyak apa?”
“Banyak sekali~” Sousuke meregangkan tangannya seperti memperagakan bahwa apa yang dia lihat memang sangat banyak hingga kalau dikumpulkan akan sebesar itu.
Seperti bocah.
“Oh, iya, apa besok kita akan benar-benar pulang?”
“Hm, aku ingin pergi dari tempat ini.”
“Kenapa?”
“Tidak.”
“Melihat hantu?” dia menebak asal dan sukses membuatku memandang ke arahnya.
“Kau lebih menakutkan daripada hantu untuk sekarang.”
“A—apa maksudnya ini dengan hantu? A—apa wajahku mengerikan sekarang? Apa badanku sangat besar, atau, atau a—“
“Kau menyebalkan karena kau sudah membuatku ingin memakanmu lagi.”
Kupeluk lagi Sousuke dan malam itu kami habiskan dengan mengobrol, bahkan saat makan malam kami yang datang sangat larut datang pun, kami makan dengan santai juga kami masih mengobrol dengan santai sambil berjalan-jalan ke luar dari kamar.
Dan pagi ini, saat aku bangun dan Yuuki masuk bersama Hiro untuk mengajak sarapan, aku sedang mengancingkan kemeja yang kupakai.
“Papa~” pekik anak gadisku sambil berlari dan memeluk kakiku kemudian.
“Bagaimana tidurmu? Nyenyak?” tanyaku sambil mengelus pucuk kepalanya.
Anak gadisku sudah sangat rapi, bahkan rambutnya sudah dikuncir dengan baik, terlihat sangat manis dan cantik.
“Yuu bobo nyengnyak, bibi celita ban-nyak! Yuu ketawa teylus bibi peyluk Yuu thama kaya Maachan peyluk Yuu kalor mau bobo.”
“Benarkah, sudah bilang terima kasih sama bibi?” tanyaku dan dia mengangguk penuh semangat sebelum berbalik dan naik ke atas ranjang di mana ada Sousuke yang masih belum bangun.
“Aniki, kau tidak kunci pintu semalaman?”
“Barusan kubuka.”
“Apa kalian tidur dengan benar semalam?”
“Kenapa?”
Hiro menunjuk Sousuke yang masih bergelung dalam selimut, sementara Yuuki terus saja mengganggunya tapi, kakak iparnya itu tap tidak bangun. “Terus itu kenapa sampai tidur mirip orang mati, begitu?”
“Sembarangan.” Ujarku sambil memukul kepalanya. Hiro mengaduh, tapi aku tidak menghiraukan itu.
“Hei,”
“Hm?”
“Siapa nama pria yang diberikan ayah padamu? Bekerja di mana dia? Berapa usianya?”
“Kau tertarik?”
“Ya, aku tertarik.”
“Untuk apa?”
“Untuk melihat apa yang kau lihat sama seperti dengan apa yang kau lihat.”
Hiro memiringkan kepalanya, menatapku dengan wajah aneh hingga akhirnya kusentil lagi dahinya dan kubuat dia mengaduh untuk kesekian kali.
"Yuu, mau ikut ke restoran? Kita sarapan." Ajakku, lalu tiba-tiba Sousuke mengangkat tangannya. Sepertinya dia sudah bangun sejak tadi, saat Yuuki mengganggunya.
"Aku ikut." Ujar Sousuke sambil bangun.
"Akan kubawakan makanan nanti."
"Tidak, aku mau jalan-jalan."
Aku tidak bisa menolak keinginannya, karena akhir-akhir ini dia sedikit sensitif, jadi kalau aku menolak dan melarangnya, bukan tidak mungkin dia akan marah dalam waktu yang tidak sebentar. Apalagi sekarang aku sedang marah pada adik semata wayangku ini dan aku tidak boleh kalau sampai aku juga harus bertengkar dengannya.
"Baiklah, bangun dan cuci mukamu." Ujarku, lalu dia bangun dibantu Yuuki dan kami pergi ke restoran bersama-sama.
Hanya saja, saat kami tiba di pintu masuk restoran, seseorang tidak sengaja menabraknya dan nyaris jatuh kalau tidak langsung kutangkap.
"Maafkan aku." Ujarnya.
Dia seoeang pemuda, cukup tinggi dan tampan, hanya saja di memang kelihatan seperti bocah dari sisi manapun aku melihat.
"Kau tidak apa-ap—" kalimatnya terputus saat dia melihat wajah Sousuke.
"Kenapa?" Tanya Sousuke untuk ekspresi pemuda itu.
"A—ah, tidak apa-apa. Aku benar-benar minta maaf." Ucapnya lagi sebelum pemuda itu pergi.
"Nora, ayo pergi, pesawat kita akan segera take off." Teriak seorang pria dari ujung lorong, lalu pemuda itu langsung meminta maaf lagi dan berlari menghampiri sumber suara tersebut.
"Anak itu kenapa malah memandangiku seperti itu? Kuroda-san, apa aku terlihat aneh?"
"Hm, kau seperti badut."
"A—apa?!"
Aku tersenyum. "Sudahlah, ayo makan."
_