Bab 44 [ Sousuke Iharasi POV ]

1126 Words
"Souchan, Aniki kenapa?" Bisik Hiro padaku setelah dia dan Yuuki selesai mandi Aku menggeleng sebagai jawaban. Ah benar-benar tidak tahu dia kenapa, juga tentang sikapnya yang aneh setelah kembali dengan sekaleng minuman di tangannya. Kulihat Yuuki yang sudah berpakaian rapi dibantu Hiro, lalu kembali pada Kuroda-san yang tertelungkup seperti orang yang berusaha bersembunyi dari dunia, tapi alasan apa yang mendasarinya, aku benar-benar tidak paham. Apa hanya karena Hiro yang mau dijodohkan lalu dia berubah jadi seperti ini? Ah, kurasa bukan, tapi ... apa iya, hanya karena itu Kuroda-san jadi begini? "Bisa kau bawa Yuuki makan malam, lalu tidur di kamarmu?" "Kalian berdua marahan?" Aku menghela napas kemudian menggeleng. "Tidak, mungkin Kuroda-san sedang banyak pikiran." Jawabku, tapi respon Hiro malah sebaliknya Dia malah menjulurkan lidahnya ke arah Kuroda-san, sepertinya mereka berdua benar-benar saudara yang akur dalam banyak artian. "Sudah, sana kalian pergi makan." Aku mendorong punggung Hiro agar segera pergi dari sana bersama Yuuki. Tapi sekali lagi, Hiro malah meledek kakaknya "Aniki manja! Maunya sama Souchan terus, berduaan terus~ manja~" ejek Hiro, sontak saja dia langsung mendapat lemparan bantal dari kakaknya, dan bantal itu mendarat tepat di wajah Hiro. "K—kau tidak apa-apa?" Tanyaku khawatir pada adik iparku itu. Tapi bukannya menjawab pertanyaanku, Hiro malah terlihat marah dan mengambil bantal yang baru saja mendarat tepat di wajahnya dan melemparnya kembali ke arah Kuroda-san, setelah itu perang bantal pun dimulai diikuti tawa Yuuki yang sangat riang, penuh semangat sambil menghampiri ayahnya kemudian duduk tepat di punggung Kuroda-san yang masih tertelungkup, memperlakukan ayahnya seperti mainan kuda-kudaan, sementara Hiro terus memukul kepala kakaknya dengan bantal karena kesal. "Rasakan! Aniki menyebalkan!" "Ahahaha~ Papa nyebeylin~ nyebeylin~" Melihat dua orang itu seperti itu aku hanya bisa menggeleng dan menghela napas. Sungguh, pemandangan seperti ini benar-benar tidak biasa untukku. "Kalian semua sudah, Hiro cepat bawa Yuuki makan malam sana." Aku menarik Yuuki turun dari punggung ayahnya dan menaruh bantal yang sejak tadi digunakan Hiro untuk memikul kakaknya, kemudian menyuruh mereka untuk keluar dari kamar. "Souchan, bilang pada Aniki, dia menyebalkan!" "Iya, iya, baik ...." Jawabku kemudian menutup pintu kamar itu rapat-rapat sebelum menguncinya. "Tingkah mereka benar-benar mirip anak-anak." Gumamku sambil mendesah. Kualihkan pandanganku ke arah ranjang di mana masih ada Kuroda-san di sana, tertelungkup seperti bocah lima tahun yang marah karena mainannya diambil orang lain. Kudekati dia dan duduk tepat di sebelahnya. Awalnya aku hanya melihat bagaimana Kuroda-san masih menyembunyikan wajahnya pada bantal, namun aku memutuskan untuk mengulurkan tanganku dan mengelus kepalanya. "Kalau masih marah karena Hiro dijodohkan, kenapa tidak kenalkan saja anak itu dengan Alpha kenalanmu yang bisa kau percaya menjaganya." Ucapku berusaha membuatnya berhenti berbuat seperti anak kecil begitu. Sungguh, bertahun-tahun aku mengenal Kuroda-san, ini pertama kalinya aku melihat di berbuat seperti ini, meski bukan rahasia lagi kalau di depan Hiro sifat kekanak-kanakannya keluar, tapi ini adalah pertama kalinya Kuroda-san memperlihatkan hal seperti ini di hadapanku, mungkin di depan Hiro sudah sering tapi, di depanku, ini benar-benar pertama kalinya. "Hei," panggilku lagi sambil mengelus rambutnya, "yang benar saja, masa kau ingin terus bertingkah begini? Bagaimana kalau anakmu yang akan lahir nanti itu laki-laki?" "Dia tidak boleh kau manjakan." Jawab Kuroda-san sambil berbalik menatapku masih dari posisinya. Melihat dia meresponku, aku tersenyum tapi tanganku masih tetap mengelus rambutnya yang terasa sangat lembut. "Aku ibu -nya, tentu aku akan memanjakan dia." Jawabku. "Kalau kau memanjakan anak laki-lakiku, aku akan membawanya darimu dan menaruhnya di keranjan cucian." "Huh, apa-apaan itu? Kenapa harus di keranjang cucian? Kau pikir dia pakaian kotor, begitu? Menyebalkan." Gerutuku. Tapi, Kuroda-san malah tersenyum kemudian bergeser dan memeluk perut besarku masih dari posisinya. "Besok pagi kita pulang. Aku tidak mau di sini lagi." "Kau masih khawatir dengan Hiro?" Tanyaku tapi dia masih menggeleng. "Lalu kenapa kau bertingkah seperti bayi besar, Kuroda-san?" "Aku hanya sedang marah pada sesuatu." "Ceritakan padaku." Lagi, Kuroda-san menggeleng. "Kalau kau marah, baiklah, aku tidak akan bicara lagi, tidurlah." Ujarku dan mencoba melepaskan pelukan Kuroda-san dariku, karena menurutku, tidur adalah hal yang paling baik saat sedang marah, karena seperti itulah aku, kalau aku sedang marah padanya. Hanya saja, saat aku mencoba menarik tangannya dari pinggangku, aku malah dibanting olehnya ke atas kasur dan giliran dia yang berada di atasku. "A—aku mau menyusul Yuuki ke resto—" "Kau mengunci pintunya?" "Ha?" Tanpa menjawab pertanyaanku, Kuroda-san menarik tanganku dan menaruhnya di s**********n dia. Sontak wajahku terasa sangat panas saat telapak tanganku merasakan gundukan di sana. "K—" "Sudah tidak masalah, kan?" Bisik Kuroda-san tepat di telingaku sebelum dia menggigitnya. "Ngh!" Aku mendesah. dan mendengarku mendesah, Kuroda-san jadi semakin bernafsu padaku. Dia terus menciumiku, menggelitik pinggangku sampai aku menggeliat macam cacing yang baru keluar dari tanah. "A—ah, ngh...ah,nghh~" Aku terus mendesah saat Kuroda-san berhasil membuka kaos ukuran jumbo yang kupakai dan dengan telapak tangannya yang lebar, Kuroda-san terus mengelus perutku yang sudah tidak punya penghalan, rasanya geli dan aneh. Ya, rasanya sangat aneh saat kami melakukan ini dengan perutku yang besar. Memang sudah cukup lama kami tidak berhubungan, tapi bukan berarti aku harus menolaknya, bukan? Jadi, aku membiarkan Kuroda-san menciumi leherku, meremas dadaku, memelintir p****g susuku yang rasanya sedikit bengkak. Kuroda-san membuka celanaku, melemparkannya ke lantai begitu saja, sementara dia hanya mengeluarkan penisnya dari lubang resleting, hanya seperti itu, tapi aku yakin kalau p***s itu pasti rasanya sangat sakit karena tertekan dalam tempat sempit cukup lama. Jadi, saat Kuroda-san mencoba mengangkat kakiku, aku menahannya dan bangun dari posisiku sebelum aku meraih penisnya dan menungging di selangkangannya. "Aku merindukan ini...." Ucapku tanpa melepaskan penisnya. Dari posisi itu, aku bisa dengan jelas melihat bagaimana wajah Kuroda-san yang sangat merah dengan sedikit keringat yang mulai mengucur turun dari dahi dan terus turun ke wajahnya. Mengabaikan tatapan seduktif yang Kuroda-san berikan, aku mulai memasukkan p***s besar dan melengkung miliknya ke dalam mulutku, menjilatinya sebelum memaju-mundurkan kepalaku agar p***s itu menyentuh tonsilku, sangat dalam dan menusuk. Aku bisa merasakan bagaimana lidahku mulai kebas, dan bibirku terasa bengkak setelah beberapa lama aku bermain dengan penisnya di mulutku, bahkan aku bisa merasakan air liurku terus menetes tapi, aku belum ingin berhenti. Hanya saja Kuroda-san langsung menarik kepalaku saat aku merasakan penisnya semakin besar dalam mulutku, semakin panas dan berkedut. "Cukup." Ucapnya kemudian membaringkanku lagi di kasur. Mengangkat sebelah kakiku dan perlahan, dia mulai mendorong penisnya masuk ke dalam tubuhku. Aku mendesah, tapi aku tidak boleh bertingkah berlebihan agar tidak melukai anakku. Kurasa, begitu juga dengan Kuroda-san, dia sangat berhati-hati dan seperti sedang menahan diri untuk tidak berlebihan padaku. "Ah, ngh...ah, ah, ah, ha—ngh!" Rasanya sangat nikmat, hanya saja sesuatu terasa sangat menusuk di ujung perutku dan membuatnya sedikit sakit. Aku mencoba meraih bahu Kuroda-san saat aku mencapai klimaksku, begitu juga dengannya, Kuroda-san mendekatkan wajahnya kemudian melumat bibirku hingga akhirnya dia menarik keluar penisnya dan memuntahkan semua pejuhnya di perutku. "Kurasa, kita harus mandi." Bisik Kuroda-san tepat di telingaku. "Ada pemandian khusus pukul sebelas nanti, mau coba ke sana?" "Hm." Kuroda-san menjawab oetrbyaanku dengan sangat singkat, dia bahkan menarik selimut dan menggulungnya di dengan kami di sana. Meski sebenarnya Yuuki bisa kapan saja mendobrak masuk, tapi kurasa itu tidak akan terjadi malam ini karena bibinya—Hiro ada bersamanya. Jadi, untuk malam ini, aku berbalik ke arahnya dan memeluk Kuroda-san sebelum aku memejamkan mataku sebentar, meski aku masih penasaran dengan alasan kenapa dia bisa semarah itu. _
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD