Pertemuan

1358 Words
              Fani dan Wildan Latief datang ke rumah sakit dua jam setelah Bamantara menelepon. Saat itu Renata sudah dipindahkan ke ruang rawat inap VIP. Wanita dan pria paruh baya itu mengamati Renata dengan saksama bahkan sejak pertama kali kemunculan mereka di ambang pintu. Rambut Renata yang di cat kecoklatan dan memiliki model potongan yang terlihat sesuai dengan perkembangan zaman. Selama ini Laura selalu membiarkan rambutnya legam dan memiliki model sederhana. Tatapan Fani berpindah pada kuku-kuku di jemari tangan Renta yang terlihat terawat dan di cat dengan warna nude. Tampak serasi dengan kulitnya yang putih. Fani mulai meragukan apakah yang sedang menatap balik ke arahnya ini adalah Laura? Sementara Wildan memilih untuk mengalihkan tatapannya dari Renata.             Bamantara yang menyaksikan kekauan yang tiba-tiba tercipta sejak kedatangan mertuanya itu memilih untuk membuka suara, “Ma, tadi kan aku bilang ada hal yang akan aku sampaikan terkait kondisi Laura….” Bamantara terdiam sejenak. Sengaja menggantung kalimatnya. Menunggu reaksi dari mertuanya. Bukankah ini adalah Laura anak mereka yang hilang selama enam bulan? Bukankah seharusnya mereka bersemangat dan memeluk Laura? Bukannya malah menatap wanita itu dengan keheranan seolah yang sedang ditatap itu adalah alien?             “Ya…bagaimana Nak Bara?” Fani mengalihkan tatapannya dari Renata. Renata yang sedari tadi memandangnya dengan tatapan menelisik dan mengintimidasi sekaligus. Demi Tuhan Laura tidak berani memandangnya seperti itu sebelumnya. Ada apa sih dengan Laura? Kemana saja dia selama enam bulan ini? Menghilang dan sekarang datang lagi setelah kami pikir dia sudah mati terbawa arus sungai.             “Begini, Ma,” Bara melanjutkan. Melirik sekilas ke arah Alya yang hanya mematung di sudut ruangan menyaksikan seluruh peristiwa yang tengah terjadi. Seperti halnya kepada Laura, Alya memang tak pernah menyukai mertua Bamantara itu, “Laura mengalami kecelakaan seperti yang aku katakan beberapa hari yang lalu. Kepalanya luka dan karena itu dokter bilang, Laura mengalami amnesia.”             “Amnesia!?” Fani mengulang ucapan Bamantara dengan nada terkejut. “Maksudmu, bagaimana Bara?”             Bamantara mengangguk sambil menarik napas panjang. Berusaha memenuhi rongga dadanya dengan oksigen, berharap dengan begitu dia bisa lebih tenang dan menguasai keadaan, “Jadi karena amnesia itu maka Laura tidak bisa mengingat apa pun. Kecuali sepotong ingatan masa kecilnya.”             Fani mengernyit keheranan sementara Wildan justru tampak gugup. “Ingatan masa kecil?”             “Ya. Laura bilang dia mengingat sesuatu dari ingatan masa kecilnya.” Bamantara mengalihkan tatapannya pada Renata, “Iya kan, Sayang? Ayo coba ceritakan kepada Mama.” Pemuda itu tampak tak peduli dengan peringatan Renata sebelumnya untuk tidak memanggilnya dengan sebutan ‘Sayang’.             “A…aku….” Renata tergagap. Dia memandangi Fani dan Wildan bergantian. Benarkah ini kedua orang tuanya? Benarkan mereka berdua yang muncul dalam potongan-potongan ingatan Renata? Kenapa rasanya tidak? “Aku ingat peristiwa di taman bermain. Banyak wahana permainan. Lalu seorang wanita mengulurkan tangan kepadaku. Seorang pria kemudian menggendong tubuh kecilku di pundaknya. Kami tertawa.”             Fani memandang wajah Renata sekilas lalu secepat itu juga mengalihkan tatapannya pada Wildan, sang suami. Keduanya saling berpandangan sambil sama-sama sepakat dalam diam bahwa mungkin Laura sedang mengingat hal yang tidak dia alami bersama mereka. Taman bermain? Mereka bahkan tidak ingat pernah membawa Laura ke tempat seperti itu. Laura sangat pendiam. Dia lebih senang menghabiskan waktu di kamarnya daripada harus keluar rumah.             “A…apa kamu yakin, Ra?” Untuk pertama kalinya sejak kedatangannya, Fani memutuskan melangkah mendekati ranjang Renata. Dia hendak menyentuh pundak Renata namun entah untuk alasan apa wanita paruh baya itu malah urung untuk melakukannya.             Renata kini memusatkan perhatian sepenuhnya pada Fani. Menelusuri setiap garis di wajahnya. Bamantara bilang ini ibunya. Benarkah? “Kenapa? Apakah aku tidak pernah kalian ajak ke tempat seperti itu?”             Kentara sekali ekspresi keterkejutan di wajah Fani. Wanita paruh baya itu sedikit mengkeret mendengar pertanyaan tajam Renata. Laura tidak pernah berani berkata seperti itu kepadanya. Apakah karena amnesia maka dia sekarang berani berbicara seperti itu?             “Laura, jaga sikapmu!” Wildan menghardik yang seketika itu juga langsung ditanggapi dengan perubahan gestur tubuh Bamantara menjadi waspada. Apa pun yang mengancam Laura, berarti mengancam dirinya.             Sementara Renata, yang sepertinya mulai terbiasa dipanggil dengan nama Laura, berbalik menghujam manik mata Wildan. Pria yang Bamantara katakan sebagai ayahnya. Wildan berbadan gemuk dangan perut buncit. Siluet pria dalam potongan ingatan Renata berpostur tinggi dan berbadan proporsional. Dalam ingatan Renata, pria itu tidak kesulitan untuk menggendong Renata kecil di atas bahunya. Sementara Wildan, membawa tubuh besarnya sendiri itu saja mungkin dia kesulitan. Apakah puluhan tahun yang berlalu telah membuat tubuh ayahnya itu menjadi demikian gemuk?             “Sikapku yang mana?” Renata nenyahut dengan nada yang rendah namun terdengar sangat mengganggu di telinga Wildan. Sejak kapan wanita muda ini berani menatap dan berbicara seperti itu padanya? Laura selalu takluk padanya. Laura selalu memandangnya penuh ketakutan. Laura selalu berada di bawah kendalinya. Sedari gadis itu kecil hingga beranjak dewasa Laura selalu patuh pada apa pun perintahnya.             “Pa. Ma.” Bamantara menengahi, “Maaf tapi Laura sedang kehilangan ingatan. Dia tidak ingat apa pun. Tolong maklumi sikapnya.”             Renata berbalik menatap wajah Bamantara yang terlihat kaku sepanjang waktu namun sekaligus memiliki daya tarik yang tidak bisa kaum hawa mana pun sangkal. “Jangan pernah meminta maaf atas namaku. Terutama ketika aku tidak merasa berbuat buat salah.”             Kini semua orang yang berada dalam ruangan rawat inap VIP itu benar-benar dibuat terperangah. Apakah amnesia juga bisa membuat sikap dan tingkah laku orang berubah? Hanya Alya yang sedari tadi membisu di sudut ruangan yang tampak menyunggingkan senyum tipis. Entah kenapa dia suka versi diri Laura yang ini.             Fani memaksakan senyum di wajahnya. Kelihatan sekali tampak dibuat-buat. “Sudah. Sudah. Iya, Mama dan Papa mengerti dengan kondisi Laura. Mama harap kamu cepat pulih dan ingatanmu cepat kembali, Ra. Mama, Papa dan saudara-saudaramu sangat mengkhawatirkan keadaanmu. Untung saja kamu punya suami sebaik Bara yang selalu setia mendampingimu.”             Alya kembali menyunggingkan senyum sinis. Kali ini Bamantara bisa melihatnya. Saat mata kedua kakak beradik itu bertemu, Bamantara sengaja membelalakkan bola matanya sebagai peringatan agar Alya juga menjaga sikap. Demi Tuhan, gadis itu sudah tiga puluh tahun, tapi kelakukannya kadang-kadang masih serupa remaja yang memiliki pengendalian diri buruk.             “Dokter bilang, selain amnesianya ini, sebenarnya kondisi Laura sudah membaik. Mungkin satu dua hari ini bisa pulang. Tapi tadi Laura bilang, akan menunggu Mama dan Papa datang dulu lalu memutuskan untuk pulang dengan siapa.” Bamantara kembali membuka suara saat dirasa suasana sudah kembali terkendali.             “Maksudmu?” Fani bertanya tak mengerti. “Tentu saja dia akan pulang ke rumah kalian, kan?”             Bamantara mengangguk pelan, “Tapi, Laura tidak mengingatku sama sekali. Kalau dia lebih nyaman untuk tinggal bersama Papa dan Mama selama masa pemulihannya, maka aku tidak keberatan.” Bamantara berkata demikian, namun sebenarnya yang dirasakannya di dalam hati sama sekali berbeda. Dia ingin Laura pulang bersamanya. “Siapa tahu di rumah tempat Laura tumbuh, ingatan Laura bisa cepat kembali.”             “Ah…begitu. Bukannya Mama dan Papa tidak mau, tapi….” Fani tampak mencari-cari alasan.             “Tidak perlu.” Renata kembali menyela. “Aku sudah memutuskan untuk ikut pulang bersama suamiku.” Renata memang tidak ingat apa pun, tapi instingnya mengatakan bahwa pasangan paruh baya di hadapannya ini, yang Bamantara katakan sebagai orang tuanya, jelas tidak mengharapkan kehadirannya.             Senyum tipis tercetak di wajah Bamantara saat dia mendengar ucapan Renata.             “Ra, Mama dan Papa….” Fani mencoba menjelaskan.             “Tidak perlu menjelaskan apa pun.” Renata segera menyela, “Aku sudah memutuskan demikian. Kalau kalian mau mengunjungiku, datanglah ke rumah Bara.”             Fani dan Wildan hanya bisa membungkam. Apa yang terjadi dalam enam bulan ini? Kenapa sikap dan penampilan Laura berubah 180 derajat? Apa yang sebenarnya telah menimpa dirinya?[] =+= Halo teman-teman, Mirror Mirror on The Wall ini adalah karya orisinal saya yang hanya exclusive ada di Innovel/Dreame/aplikasi sejenis di bawah naungan STARY PTE. Kalau kalian membaca dalam bentuk PDF/foto/video atau ada di platform lain, maka bisa dipastikan cerita ini sudah DISEBARLUASKAN secara TIDAK BERTANGGUNGJAWAB serta melanggar hak cipta (copy right). Jika kalian menemukan penyebarluasan illegal ini, saya mohon dengan sangat untuk dapat memberitahukan kepada saya melalui DM ** @sabrinalasama agar oknum penyebar novel illegal tersebut dapat saya tindaklanjuti melalui jalur hukum. Terima kasih atas pengertian teman-teman semua. (Nina Ang)             
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD