Enroute Chart

1472 Words
Vuela tan alto como puedas sin olvidar de donde vienes (@vincentkmposc) [Terbanglah setinggi mungkin tanpa melupakan dari mana asalmu]                         Seluas apa pun langit, seorang pilot tidak akan pernah sampai kehilangan arahnya. Setiap pilot dibekali dengan instrumen canggih dan manual dokumen yang bahkan mendikte secara detail jalur-jalur udara mana yang harus kami lalui untuk mencapai tujuan. Aku menyukai saat-saat di mana aku menginput enroute dan flight plan ke dalam FMS sebelum pesawat mulai diterbangkan. Hal itu membuatku optimis bisa mengantarkan para penumpang hingga di tujuan, bertemu dengan orang-orang terkasih, atau melanjutkan perjalanan lagi, asalkan aku dapat mengendalikan burung besi itu dengan baik.             Sebaliknya, aku tidak menyukai kondisi di mana aku tidak memiliki kendali terhadap keadaan di sekitarku. Seperti yang terjadi sepuluh menit yang lalu ini. Dokter Harun, dokter yang menangani Laura, mengatakan kepadaku hal-hal yang mendadak sulit dicerna oleh otakku. Sesuatu tentang amnesia disosiatif yang biasanya muncul pasca trauma, bahkan tidak mesti trauma fisik katanya, dan menyebabkan beberapa memori penderitanya hilang. Astaga! lebih baik aku menghitung kebutuhan bahan bakar pesawat saja dari pada harus mendengarkan penjelasan medis tentang kondisi Laura yang penuh ketidakpastian ini.             “Tidak masalah. Ini umum terjadi. Nanti berangsur-angsur ingatannya akan segera membaik. Yang penting Ibu Laura tetap dapat dukungan dari keluarga.” Dokter Harun menyudahi pemeriksaan fisiknya pada tubuh istriku yang masih tampak bingung itu. “Luka di kepala Ibu Laura juga sudah membaik. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.”             Bagaimana mungkin tidak ada yang perlu dikhawatirkan kalau mengingatku saja Laura tidak bisa!? Rasanya aku ingin meneriakkan kalimat itu di depan wajah Dokter Harun, tapi aku memilih untuk tidak melakukannya.             “Mungkin bisa dijadwalkan untuk melakukan pengecekan ke dokrer jiwa kalau setelah post trauma di kepalanya sudah benar-benar pulih, tapi amnesianya belum membaik.” Dokter Harun sepertinya paham dengan ekspresi wajah yang aku tunjukkan. Tapi, tunggu dulu! Dokter jiwa?             “Dokter jiwa?” aku bertanya seolah-olah kalimat yang dilontarkan Dokter Harun barusan tadi adalah lelucon belaka.             “Ya, dokter jiwa akan melihat what can they do untuk mempercepat amnesianya membaik. Kita bisa melakukan langkah itu kalau memang Bapak Bamantara merasa perlu untuk itu.” Dokter Harun menyahut seolah tanpa beban dan seolah permasalahan hilangnya ingatan Laura bukanlah sesuatu yang urgent. “Tapi, untuk saat ini saya merasa kondisi Ibu Laura sudah sangat baik. Hari ini kita bisa pindah ke rawat inap biasa dan mungkin besok Ibu Laura sudah bisa pulang. Nanti saya jadwalkan untuk kontrol jahitan di kepala.”             Suster yang mendampingin Dokter Harun tergesa-gesa menuliskan sesuatu di kertas catatan yang sedang dipegangnya. Dan ketika Dokter Harun menyebutkan beberapa obat yang harus Laura minum, suster itu kembali mencatat dengan tergesa-gesa sambil mengangguk-anggukkan kepala.             “Oke, saya tinggal dulu, ya.” Dokter Harun tersenyum ke arahku sekilas kemudian berbalik pergi dan menghilang di balik pintu ruangan disusul sang suster di belakangnya.             “Jadi, Kak Laura hilang ingatan?” Alya yang sedari tadi terdiam menyaksikan seluruh rangkaian peristiwa yang terjadi, kini menyahut sinis. Aku bisa merasakan nada sinis itu di dalam suaranya. Demi Tuhan Alya, jangan mulai lagi!             “Bagaimana perasaanmu?” Aku memilih mengabaikan Alya dan menghampiri Laura. Menyentuh pundaknya pelan dan terkejut karena dia tersentak oleh sentuhanku. Aku menarik tanganku dari bahunya karena kentara sekali bagaimana dia tidak suka sentuhan itu. Astaga, Laura! “Kamu benar-benar tidak ingat apa pun?”             Laura yang saat ini masih dalam posisi duduk di ranjang pasien, menoleh sekilas ke arahku dan mengangguk pelan. “Ya. Aku tidak ingat apa pun. Kecuali…”             “Kecuali apa?” Aku mengejar.             “Kecuali bayangan taman bermain. Ada banyak wahana permainan. Seorang laki-laki menggendong tubuh kecilku di pundaknya. Seorang wanita mengulurkan tangannya padaku.”             Aku mengernyit mendengar ucapan Laura yang serupa bualan itu. Apakah dia mengingat sesuatu yang terjadi di masa lalunya? Taman bermain? Apakah itu ingatan masa kecilnya?             “Rasanya menyenangkan.” Laura kembali bergumam. “Dan membuat hatiku hangat.” Aku bisa melihat matanya yang tampak mulai berkaca. Sejak kapan memikirkan masa kecil membuat hatinya hangat?             Tidak ada yang menarik untuk diingat dari masa kecilku. Semuanya suram dan semuanya seperti hitam dan putih saja. Aku ingat sekali bagaimana kalimat Laura di awal-awal pernikahan kami. Mungkin menikah denganmu adalah kenangan indah pertama yang akan aku miliki, Bara.             “Apakah kamu mau aku menelpon orang tuamu dan meminta mereka kemari? Mungkin kehadiran mereka bisa membantumu memulihkan ingatanmu.” Aku bertanya pelan. Sebenarnya ragu-ragu dengan kalimatku sendiri.             “Kak Bara? Seriously? Mereka mana mau datang kalau hanya untuk dibikin susah seperti ini? Mereka kan datang kalau ada maunya saja.” Suara Alya lagi dengan kadar kesinisan yang sama dengan kalimat terakhir yang dia lontarkan sebelumnya.             “Alya!” Aku menghardik adik semata wayangku itu atas attitude yang tidak pada tempatnya. Tapi, dalam hati sebenarnya aku membenarkan apa yang diucapkan Alya. Laura tidak memiliki hubungan yang baik dengan kedua orang tua dan kedua saudaranya. Dia selalu mencari-cari alasan jika harus bertemu dengan mereka dan justru memilih menghindarinya. Tapi, Laura bilang dia mengingat sesuatu yang menyenangkan dari masa kecilnya. Laki-laki yang menggendonya di pundak dan seorang wanita yang mengulurkan tangan padanya. Apakah itu kenangan tentang orang tuanya?             “Otang tuaku?” Laura bergumam lirih. “Apakah aku boleh bertemu dengan mereka?”             “Tentu saja, Sayang!” Aku menjawab cepat. Terlampau cepat mungkin. Jika dia memintaku untuk membawanya bertemu dengan presiden sekali pun aku akan mengusahakannya. Apa pun asal Laura segera pulih. “Aku akan menelpon mereka untuk datang sekarang.”             Laura mengangguk. Selama tiga hari dirawat tidak ada satu pun keluarga Laura yang datang padahal aku sudah mengabarkan kepada mereka. Hubungan Laura dan keluarganya memang masih menjadi tanda tanya besar bagiku. Lima tahun pernikahan kami tidak cukup untuk mengurai misteri itu. Laura sangat tertutup jika itu sudah menyangkut keluarganya. Dia memilih untuk tidak pernah membahasnya denganku.             “Halo, Ma. Laura sudah sadar.” Aku berbicara begitu sambungan teleponku pada Mama Fani, Ibu Laura, terhubung. “Mama bisa kemari dengan Papa?”Aku mengernyit karena Mama Fani tampak tergagap mendengar kabar dariku. Bukankah harusnya dia senang Laura sudah sadar? Anak mereka yang hilang enam bulan lalu sekarang sudah kembali. “Laura baik-baik saja, Ma. Tapi, ada beberapa kondisi yang mungkin Mama harus tau. Mama bisa datang ke sini, kan? Nanti akan aku ceritakan semuanya.”             Aku segera menutup sambungan telepon begitu mendapat kata ‘ya’ dari Mama Fani. “Mereka akan segera datang,” kataku sambil mengarahkam tatapan pada Laura.             “Terima kasih.” Laura bergumam. “Terima kasih karena sudah menolongku dan membawaku ke rumah sakit.”             Aku tersenyum mendengar ucapan Laura, “Sayang, kamu kan….”             “Tolong,” Laura menjeda ucapanku, “Sampai dengan ingatkanku kembali jangan memanggilku begitu.”             Aku menautkan kedua belah alis dan bisa melihat Alya yang terperangah akan ucapan Laura melalui ekor mataku, “Maksudmu?”             “Tolong jangan panggil aku dengan sebutan itu.” Laura mengulangi ucpannya, “Aku tau, aku mungkin saja istrimu dan kamu terbiasa untuk memanggilku demikian….”             “Mungkin?” Berganti aku yang menyela kalimatnya, “Kamu memang istriku, Laura!”             “Tapi, aku tidak ingat apa pun tentang itu!” Mata cemerlang itu kembali menghujamku. Aku tidak pernah tahu Laura memiliki tatapan setajam itu.             “Kamu sedang amnesia. Kamu dengar sendiri kan yang dokter tadi bilang? Kamu tidak mengingat apa pun saat ini tidak berarti lantas menjadikanmu bukan lagi istrku!” Ya, Tuhan! Aku jarang kehilangan kendali. Tapi, kini aku merasa benar-benar marah. Menghilang enam bulan lalu saat kembali tidak ingat apa pun? Yang benar saja, Laura!             “Kak Bara.” Alya berujar. Mungkin dia bermaksud menengahi. “Barangkali Kak Laura memang tidak nyaman. Mengertilah kondisinya.” Aku tahu Alya baik dan adikku itu tidak benar-benar membenci Laura.             “Oke, istirahatlah,” kataku akhirnya. “Dan berdoa saja semoga kita bisa pulang besok.”             “Kita? Pulang ke mana?” Laura bertanya. Dia tampaknya senang sekali menguji kesabaranku.             “Ke rumah kita. Rumahku dan kamu.” Aku menekan setiap kalimat yang kuucapkan.             “Aku akan menunggu orang tuaku datang lalu memutuskan akan pulang ke mana.” Laura menyahut. Ringkas dan membuat kendali diriku nyaris hilang lagi.             “Kak Bara, sebaiknya Kak Bara keluar dan cari makan siang dulu. Kakak pasti belum makan dari pagi.” Alya merespon cepat situasi yang terjadi dan berhasil membungkam seluruh kalimat yang sudah siap aku muntahkan. Sebagai gantinya aku mengangguk.             “Oke. Aku benar-benar lapar sekarang.” Aku berbalik pergi tanpa menunggu tanggapan apa-apa lagi dari Laura.[]   ==Catatan Kaki==   Pesawat tidak akan kehilangan arah karena dilengkapi dengan berbagai instrumen canggih. Sebelum pesawat diterbangkan, pilot bertugas untuk menginput data-data dari flight plan dan enroute (dokumen yang dibekali sebelum terbang) pada instrumen bernama FMS (Flight Management System) data itu mencakup banyak hal di antaranya jalur udara yang akan dilewati pesawat, kecepatan saat take off, cruising dan landing, ketinggian, bahan bakar, bahkan kota-kota yang akan dilalui sepanjang rute yang ditempuh. (Dari berbagai sumber)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD