Memori

1429 Words
              Kedua kelopak mata Renata membuka dan yang pertama kali tertangkap oleh irisnya adalah wajah Bamantara. Bahkan bekas kecupan lelaki itu di bibirnya itu pun masih terasa. Sementara Bamantara justru terpaku menyaksikan kedua manik yang cemerlang itu. Ada jeda belasan detik di mana keduanya hanya saling bersitatap dalam kebisuan, namun itu rentang waktu yang seolah seperti berabad bagi seorang Bamantara. Demi Tuhan, dia pikir dia telah kehilangan istrinya.             “Laura?” kata itulah yang akhirnya lolos dari bibir tipis pria itu. “Kamu sudah sadar?”             Renata mengerjapkan matanya. Suara Bamantara terasa asing di telinganya. Seperti digaungkan dari kedalaman hutan tropis di Borneo sana. Lalu, apa katanya tadi? Laura? Siapa pula Laura yang dia maksud? Namanya kan….             “Aku di mana?” Renata tersentak. Kesadaran seperti berlomba-lomba menyeruak ke permukaan ingatannya.  Renata mengerjep-ngerjapkan matanya sekali lagi. Berusaha bangkit dari tidurnya, yang mana langsung dicegah oleh Bamantara dan mau tidak mau wanita itu menurut karena dirasakan kepalanya begitu pening.             “Tenanglah, Sayang. Kamu di rumah sakit.” Bamantara bergumam pelan. Mencoba menyalurkan ketenangan pada kepanikan yang ditampakkan wanita itu. “Kamu sudah tiga hari tidak sadar.”             “Tidak sadar?” Renata membeo.             “Kamu tertabrak karena menyelamatkan Dion. Anak kita.”             “Anak?” Astaga! Ada begitu banyak informasi yang menyerbu Renata dalam hitungan menit ini.             Belum sempat Bamantara menyahut kembali, pintu ruangan UGD terbuka dan seorang wanita muda muncul di sana. Di kedua tangannya keranjang berisi aneka buah-buahan dia dekap. Langkahnya terhenti tepat saat pintu UGD menutup di belakangnya.             “Alya?” Bamantara menyambut kedatangan adiknya. Sudah tiga hari Bamantara menghabiskan waktu di rumah sakit, menjaga wanita yang dianggapnya sebagai istrinya itu. Namun selama itu pula, baik ibunya atau pun Alya tak ada yang datang menjenguk. Bamantara memaklumi sikap kedua wanita tersebut. Hubungan mereka dengan istrinya memang tidak pernah baik. Untuk itu hari ini, ketika gadis itu muncul di ambang pintu, Bamantara cukup terkejut dibuatnya.             “Ibu suruh aku datang melihat kondisi Kak Bara.” Alya menyahut seolah dapat membaca pertanyaan Bamantara yang tak dilontarkannya. Orang-orang terdekat Bamantara memang memanggilnya dengan nama kecil ‘Bara’ sementara kolega-kolega di perusahaan penerbangan tempatnya bekerja memanggilnya dengan Captain Bamantara atau Captain Bam. “Kak Bara cutinya sampai kapan? Sudah tiga hari tidak terbang.”             “Bagaimana Dion?” Bamantara memilih untuk tidak membahas pekerjaan. Pemimpinnya di perusahaan cukup memahami kondisinya. Kehilangan istri enam bulan yang lalu dan sekarang istrinya kembali dalam kondisi mengalami kecelakaan. Hal itu cukup membuat pemimpin Bamantara memberinya cuti terbang selama dua minggu.             “Dion baik-baik saja. Ibu dan aku bergantian mengantaranya ke sekolah.” Alya masih berdiri di ambang pintu. Matanya sesekali teralihkan ke arah ranjang pasien tempat Renata terbaring. “Kak Laura sudah sadar?”             Laura lagi? Menyadari yang sedang menjadi topik pembicaraan adalah dirinya, Renata berbalik menghadap gadis yang dipanggil Alya itu.             “Kemana saja Kak Laura selama ini?” Mata Alya nyalang, seiring dengan langkahnya yang gegas menghampiri ranjang pasien tempat Renata berbaring. “Tahu tidak betapa paniknya Kak Bara saat Kaka Laura hilang enam bulan yang lalu? Tau tidak, betapa frustasinya Kak Bara mencari Kak Laura selama enam bulan ini? Hanya dia satu-satunya yang tidak pernah putus harapan mencari Kak Laura. Hanya dia satu-satunya yang percaya Kak Laura masih hiudp. Kami semua pikir Kak Laura sudah mati.”             “Alya!” Rahang Bamantara mengeras demi mendengar rangkaian kalimat yang diucapkan adik semata wayangnya itu. Istrinya ini baru saja sadar. Sungguh tidak pantas dia mengucapkan semua kalimat itu. “Jaga bicaramu!”             Alya tidak terima dengan interupsi yang Bamantara layangkan padanya. Gadis berambut sebahu itu lantas mengalihkan pandangannya pada Bamantara, “Kak Bara memang tidak pernah berhenti membela Kak Laura. Sudah jelas berbuat salah pun masih Kak Bara bela.”             Bamantara mengusap dengan kasar wajahnya. Gestur yang dia tampakkan jika menghadapai sesuatu yang membuatnya frustasi. Terbang dalam cuaca buruk tidak pernah sekali pun sampai membuatnya begini. Satu-satunya hal yang mudah membuatnya tertekan adalah hubungan istrinya dengan Alya dan ibunya. Mereka bahkan sudah tidak menyukai Laura sejak pertama kali bertemu dengan wanita itu. Apa salahnya Laura? Bamantara tak habis pikir.             “Sebaiknya kamu pulang saja kalau datang kemari hanya untuk membuat keributan.” Suara Bamantara pelan namun mengandung hawa dingin kutub utara. Alya seketika membeku dibuatnya. Gadis itu kemudian berjalan mendekati nakas yang terletak tak jauh dari ranjang pasien Renata, meletakkan keranjang buah yang dipegangnya sedari tadi dengan sedikit kasar.             “Siapa kalian sebenarnya?” Renata bergumam. Dia bingung menyaksikan pertengkaran dua orang di depannya ini. Lebih bingung lagi karena mereka semua menyebutnya Laura. Who the hell is she?             Alya berbalik menghadap Renata sekali lagi. Terkejut.             Sementara Bamantara langsung refleks menyentuh lengan Renata. Sisi lengan yang tidak dipasangi infus. “Laura….”             “Aku bukan Laura!” Renata menyahut antara yakin dan tidak.             “Apa maksudmu?” Bamantara menautkan kedua belah alis tebalnya. Matanya yang sipit nyaris hilang ditelan keheranan.             “Aku bilang aku bukan Laura!” Suara Renata naik satu oktaf. “Aku….” Kalimat Renata terhenti. Dia ingin mengungkapkan jati diri sebenarnya tapi dia kehilangan satu informasi pun di kepalanya. Renata memijit pelipisnya. Berusaha menggali ingatan apa pun yang terlintas di otaknya. Renata memejamkan matanya dan yang muncul hanyalah kepingan-kepingan kenangan di taman hiburan. Ada banyak wahana permainan. Dia ingat dia tertawa. Dia ingat seorang wanita mengulurkan tangan padanya. Dia ingat seorang pria menggendong tubuh kecilnya di pundak.             “Aku….” Renata membuka kembali kedua kelopak matanya. Saat ini yang Bamantara lihat di sana hanyalah ketakutan dan kecemasan. “Aku siapa?” Saat mengucapkan kalimat terkahirnya dua bulir bening jatuh dari kelopak mata itu. Bukan atas kesedihan, tapi karena upaya mengingat sesuatu yang tak kunjung berhasil. Bagaimana rasanya ketika mengitahui bahwa kau tidak mengingat satu pun informasi tentang dirimu sendiri? Renata kehilangan semua memorinya. Dia benar-benar panik saat ini.             Sementara itu wajah Bamantara menjadi pias seketika. Dia bahkan juga turut kehilangan seluruh perbendaharaan kata untuk sekadar menenangkan wanita yang dia pikir istrinya ini. Apakah ini efek benturan di kepala yang wanita itu dapatkan saat kecelakaan?             Keterkejutan yang sama tampak di wajah Alya. Namun wanita tiga puluh tahun itu cukup bisa mengendalikannya, “Aku panggilkan dokter untuk memeriksa keadaan Kak Laura.” Alya berinisiatif berbalik dan keluar dari ruang UGD. Yang benar saja! Menghilang selama enam bulan lalu ketika muncul lagi dia dalam kondisi hilang ingatan? Memangnya ini drama Korea?             “Laura….” Begitu tubuh Alya menghilang, Bamantara berusaha keras menenangkan dirinya. Dia menatap wajah wanita yang dia pikir istrinya itu. Cemas. Kalut. Rindu.             “Jangan panggil aku dengan nama itu!” Desis Renata,”Aku bukan Laura!” Meski tidak ingat siapa dirinya, Renata sangat yakin dirinya bukanlah Laura. Dirinya bukanlah wanita yang disebut-sebut oleh dua orang asing itu.             “Kamu Laura.”             Renata menatap wajah Bamantara. Tajam. Dalam beberapa detik Bamantara terpaku. Dia tidak pernah ditatap setajam itu oleh Laura sebelumnya. Mata dan tatapan Laura selalu sayu. Selalu sendu.  “Kamu siapa?”             “Aku Bamantara. Suamimu.”             “Suami?” Renata nyaris memekik.             Bamantara mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Menggeser-geser layar ponsel itu dan ketika sudah menemukan apa yang dia cari, dia menghadapkan layar itu pada Renata. “Kamu Laura, istriku.” Sebuah foto pernikahan ada di sana. Pria dalam balutan tuxedo hitam dan di sampingnya, Renata ingin menyangkal, tapi bukankah itu dirinya dalam balutan gaun putih sederhana? Background taman bunga di belakang sepasang pengantin itu. Pernikahan berkonsep outdoor. Ada banyak bunga warna-warni dan senyum lebar di wajah sang mempelai wanita.     +++   Hai kesayangan aku. Maafkan saya yang baru update cerita ini sekarang ,ya. Heheh. Mulai hari ini saya akan update rutin cerita Mirror Mirror on The Wall. Tapi, untuk bulan April ini tidak bisa setiap hari. Saya akan update pada hari Senin, Kamis dan Minggu paling lambat jam 12.00 WIB. Semoga bulan Mei saya bisa rutin update tiap hari.  Nah, saya selalu kasih info soal upadate-an cerita saya (atau jika saya memang sedang tida update cerita) di **. Untuk itu jangan lupa follow ** saya @sabrinalasama (kalau mau di follback, tolong DM saya ya. Heheh.)   Happy reading. XOXOXO                =+= Halo teman-teman, Mirror Mirror on The Wall ini adalah karya orisinal saya yang hanya exclusive ada di Innovel/Dreame/aplikasi sejenis di bawah naungan STARY PTE. Kalau kalian membaca dalam bentuk PDF/foto/video atau ada di platform lain, maka bisa dipastikan cerita ini sudah DISEBARLUASKAN secara TIDAK BERTANGGUNGJAWAB serta melanggar hak cipta (copy right). Jika kalian menemukan penyebarluasan illegal ini, saya mohon dengan sangat untuk dapat memberitahukan kepada saya melalui DM ** @sabrinalasama agar oknum penyebar novel illegal tersebut dapat saya tindaklanjuti melalui jalur hukum. Terima kasih atas pengertian teman-teman semua. (Nina Ang)                         
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD