Valentino 'Tino' Edward

964 Words
"Lo yakin jadi dateng wawancara hari ini No?" Jarvis menatapku tidak percaya saat melihatku tengah memasang dasi. Dia sampai menghentikan langkah sesaat setelah keluar dari kamarnya. Ck, respon yang lebay sekali.. "Yes. Why? Udah gw bilang gw tetep bakal coba ikut tes ini. Gw bakal buktiin sama bokap kalau gw mampu dari bawah tanpa bantuan siapapun apalagi dia!" Jawabku mantap sambil kembali merapihkan pakaian formal yang ku kenakan. Rambutku disisir rapih dengan sisir milik Jarvis karena aku biasanya hanya menggunakan sela jemariku. Aku bukan pria yang mengutamakan penampilan. Toh, tanpa berusaha maksimal pun, dengan mudah aku dapat mendekati gadis manapun. Haha. Jarvis menggelengkan kepalanya lalu mengangkat satu tangannya dan aku menyambutnya. "Well, good luck mate.. see you at office. Lo masih inget ruangan gw kan?" Aku hanya menyeringai ketika dia keluar dari apartemen kami. Aku tinggal di apartemen ini bersama Jarvis, sahabat sekaligus sepupuku. Kenalkan, namaku Valentino Edward Oetama. Keluarga dan orang terdekat biasa memanggilku Tino. Nama yang terdengar kampungan tapi aku lebih senang dipanggil dengan nama klasik itu. Umurku 27 tahun. Tinggi 192 cm dengan berat ideal membuat tubuhku terlihat proposional. Aku tidak terlalu gemar nge-gym. Tapi aku sering melakukannya dengan Jarvis beberapa hari sekali demi menjaga kebugaran tubuhku. Mantanku? Tidak banyak. Hanya 1 saat SMA dan 3 saat kuliah hingga kini. Terakhir punya pacar 1 tahun lalu. Sisanya hanya untuk senang-senang atau sekedar ONS. Tapi tenang, aku menjunjung tinggi penggunaan kondom untuk pencegah penularan penyakit. Apakah bisa dibilang playboy? Terserah kalian. Haha. Aku belum berniat cari pacar lagi. Aku ingin menikmati apa yang sedang dan akan aku jalani saat ini. Lingkungan baru yang siapa tau akan menemukanku dengan banyak gadis-gadis yang lebih dewasa dibanding hubunganku sebelumnya. Hari ini aku akan melakukan sesi wawancara di anak perusahaan Papaku. Dua tahap sebelumnya aku lolos tanpa bantuan siapapun. Aku tidak menggunakan nama belakang papaku, Oetama saat melamar kerja. Aku anak kedua. Sebenarnya anak ketiga karena sebelum aku lahir Mama pernah punya anak perempuan tapi meninggal saat usianya 4 bulan karena sakit. Kakakku Varellio Andrew Oetama sudah terbang lebih dahulu masuk ke perusahaan keluarga milik keluarga papa. Jarvis adalah anak adiknya Papa, Oom Yogie Oetama. Sedangkan papaku, Yudhian Oetama merupakan CEO Sinar Oetama Jaya. Aku melamar kerja di anak perusahaan yang oom Yogie pegang, Sinar Oetama Abadi. Sepupuku Jarvis sudah setahun lebih dulu masuk dunia kerja setelah 5 tahun sebelumnya kami bersama membuka gerai kopi di beberapa mall di Jakarta dan sekitarnya. Padahal bisa dibilang gerai kopi kami booming tapi Papa tetap menganggap aku masih main-main dalam mencari uang. Aku dan Jarvis tinggal di gedung penthouse milik keluarga kami. Tidak ada yang tinggal disebuah rumah. Kami hanya beda tower. Apartemen ini hasil kami membuka gerai kopi ditahun pertama buka. Kami lulus kuliah mengambil jurusan Entrepreneur difakultas yang sama. Sejak dulu aku dan Jarvis memang dekat. Tadinya Papa menyuruhku untuk kuliah ditempat Varel di San Francisco tapi aku menolak. Aku merasa tidak perlu kuliah jauh-jauh untuk ilmu tinggi. Kampus dalam negeri pun bagus. Apalagi aku tidak terlalu berminat menekuni perusahaan Papa, sudah ada Varel pikirku. Tapi apa salahnya mengembangkan keahlianku setelah sukses membuka gerai coffe diperusahaan oom Yogie dengan melamar di bagian Public Relation yang nanti ya akan menjadi bekalku untuk membuka usaha lainnya. Mamaku, Valerie, sering datang ke apartemen sekedar mengisi kulkas kami. Dia juga yang menyediakan asisten untuk masak dan beres-beres apartemen. Padahal aku dan Jarvis lebih sering makan di luar. Hampir setiap malam aku makan di cafe tempat usahaku. Jarvis lebih penurut dibanding aku, dia selalu mengikuti apa yang kedua orangtuanya katakan. Makanya lebih banyak aku yang mengelola kedai kopi itu karena Jarvis sambil bekerja. Aku mengenakan sepatu, lalu mengambil tas, memeriksa kembali situasi apartemen sebelum keluar itu penting. Tepat saat aku memasuki lift untuk turun, pengemudi ojol yang kupesan mengabari jika dia sudah dibawah. Aku sengaja naik ojol ke kantor agar tidak terlalu menonjol. Masa melamar sebagai PR staff naik VW Golf? Ck ck ck... Perjalanan memakan waktu hampir 40menit, cukup membuat pinggangku kaku, karena kakiku yang panjang seringnya ikut turun menahan motor jika sedikit macet, kasihan si Bapak ojolnya, agak terbanting dengan tubuh besarku yang duduk dibelakang. Aku memberi uang lebih yang dia terima dengan wajah bingung. "Buat ngopi n makan siang Pak." Sahutku sambil mengucapkan terima kasih. Sesampainya di lobby aku menukar ID dengan kartu tamu akses menuju lantai wawancara. Si mba resepsionis sempat menyernyitkan dahi menatap tanda pengenalku, lalu tersenyum semanis mungkin tapi aku tidak menghiraukan. Lift cukup padat dan lucky me, walau berdesakan aku menempel dengan wanita cantik yang berdiri tepat diantara dadaku dan temannya. Bau parfumnya lembut tapi memabukkan. Aku sedikit menunduk tapi tidak dapat menatap wajahnya dengan jelas karena dia juga menunduk mengutak atik handphonenya. Rambut sebahunya tergerai lembut berwarna dark brown kesukaanku. Lift berhenti di lantai 8 dan kulihat dia melambai pada temannya yang keluar ruangan. Saat tiba di lantai 10 dia pun keluar, lalu aku berjalan ke toilet mengikuti papan tanda dan merapihkan penampilanku. Lalu aku berjalan menuju ruang wawancara. Setelah memberi tahu pada orang yang duduk disana aku menunggu sampai namaku di panggil. Aku mengetuk pintu dan membukanya perlahan saat diijinkan masuk. Sedikit gugup tapi rasa percaya diriku lebih dominan. Bau wangi parfum di lift tadi tercium saat aku membuka pintu. "Selamat siang. Saya Valentino Edward". Dan aku tertegun sesaat ketika kali ini dengan jelas aku melihat wajah si dark brown. Aku yakin kalau itu dia. Cantik.. Wanita disebelahnya mempersilahkan aku duduk. Aku berdehem sesaat untuk menyadarkan diriku sendiri agar tidak terus menatap si cantik dark brown. Dan aku menampilkan senyum terbaikku. "Selamat siang mas Valentino. Saya Keira, asmen PR. Ini Lilianne dari HRD." Aku mengangguk. Kemudian aku menjawab berbagai pertanyaan dari mereka berdua tapi mataku lebih fokus pada wanita itu. Lilianne.. Aku rasa aku jatuh cinta pada pandangan pertama. ******************TBC***************** Hmmm... Tertarik kah dengan cerita ini? Kalau tertarik ku lanjutkan.. ditunggu responnya yaaa...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD