Meet Him

1031 Words
Lilianne pov "Gila tu cowok keceh abis Lil.. bening, gagah. Tapi herannya!! Dia ngeliatin lo terus tau ga?" Suara Keira memekakkan telingaku saat tugas wawancara kami selesai. Dia mengikutiku ke ruangan setelah menghubungi Pamela agar bergabung bersama kami menggosipkan si Tino, calon karyawan PR. Aku hanya menggeleng mendengar celoteh tidak jelas sahabatku itu "Gw pasti mau banget dia "dibawah" gw.." Keira menekankan kalimat dibawah dengan menggerakan jari telunjuk dan jari tengahnya. "Lo tuh ya heran deh gw! Suru cari yang capable buat staff malah cari buat temenin lo tidur." Ketusku. Aku akui pemuda bernama Tino itu memang tampan, luar biasa tampan malah! Aku tidak perlu melihat dari dekat bahwa matanya menenggelamkan saat dia menatapku. Tapi fokusku bukan seperti Keira. Dan aku tidak mau mengambil resiko menjalin hubungan di kantor. Pamela masuk membawa tiga buah kopi s**u. "Gw pesen kopi dude online nih. Satu udah gw kasi Sari." Dia menyerahkan satu gelas padaku. "Thanks Pam." "Gimana.. gimana? Ada yang nyangkut Kei?" Pamela menggoda sambil duduk dan mengerling penasaran. "Ada Pam, sayang dia ngelirik Lil terus. Padahal gw udah flirting-flirting gitu pas tanya-tanya dia. Ah, tapi masi ada yang marketing tadi si Keenan sama Armand." Aku menggeleng lagi sambil meminum kopi dengan sedotan. Soal cowok memang Keira banyak pengalamannya. Entah apa yang membuatnya tidak ingin mencari pria yang serius. Mungkin karena perceraian kakaknya yang dihiasi KDRT membuatnya trauma untuk menikah. Sedangkan Pamela, suaminya Gavin sangat sabar dan setia. Semua orang dikantor ini tahu aku single parent. Aku tidak pernah menutupi statusku itu. Tidak ada yang salah menjadi single parent. Aku hanya yah, kurang beruntung dalam percintaan. Kami bubar satu jam kemudian setelah pembicaraan menyimpang Keira mendominasi dan aku kembali ke mejaku untuk menyortir 8 orang kandidat yang lolos dan mulai bekerja besok. Aku membaca kembali nama pria yang terang-terangan terus menatapku. Well, bukannya sombong, banyak orang menyangka aku masih lajang, padahal aku janda beranak satu. Tubuhku tidak banyak berubah setelah melahirkan. Dan aku termasuk tipe tidak gampang gemuk. Mungkin aku tidak terlalu suka ngemil. Ukuran bajuku hanya naik satu nomor dibanding saat aku belum menikah. Dan aku bersyukur dengan wajahku yang tidak perlu perawatan mahal, wajahku tidak rewel dan aku lebih suka terlihat natural. "Sar, tolong hubungi orang-orang ini dan mulai senin suruh mereka mulai bekerja. Tolong siapkan id pegawainya ya." Aku menyerahkan berkas pada asistenku dan berjalan ke bagian equipment. Aku mengetuk kubikel Leon, staff HRD. "Hi.. ini copy data karyawan yang kita terima. Tolong siapin meja untuk mereka. Untuk PR hubungi bagiannya dan kasih tau hal yang sama." "Baik Bu." Pria muda itu bergegas melakukan perintahku. Aku berjalan ke arah ruanganku saat aku mendengar suaraku di panggil. "Pak Ryan." Aku tersenyum. "Hi Lian. Kamu busy sore ini? Boleh aku ajak kamu dinner?" "Maaf Pak. Saya sudah janji untuk pulang cepat karena harus mengantar Mama saya belanja." "Apa mau saya antar?" Dan seolah mengenalkan kamu yang entah siapa gitu? Fiuh.. aku berusaha terlihat biasa. "Terima kasih sebelumnya tapi kami mau maun kerumah saudara dulu." Pria itu mengusap bahuku sekilas. "Next time maybe." Aku hanya mengangguk pelan. Next time? Never!! Semua orang di kantor tau Ryan terang-terangan mendekatiku. Tidak setiap waktu tapi dia sering mengajakku pulang bersama setidaknya dua kali dalam seminggu. Aku tidak tertarik padanya jadi untuk apa memanfaatkan keadaan? Aku berjalan ke ruanganku dan melihat jam. Sudah setengah jam lewat dari waktu pulang. Aku memang terbiasa pulang pukul 17.30 agar tidak berdesakan di lift dan mengantri saat keluar jalanan. Aku menunggu lift saat melihat Jarvis, anak CEO kantorku mendekat. "Bu Lian" Pria muda itu menyapa. Aku tersenyum. "Pak Jarvis, baru pulang?" Dia mengangguk. Sudah satu tahun pria muda itu bergabung dengan perusahaan kami. Tapi dia memegang divisi produksi sehingga aku jarang bersinggungan dengannya. Paling saat meeting atau makan siang kami bertemu di kantin. Dia mempersilahkan aku keluar duluan dan aku mengangguk saat dia berjalan ke arah yang berlawanan denganku. Dia terlihat menghampiri pria yang tadi wawancara bernama Tino. Sekilan pemuda itu melihatku dan tersenyum tapi aku tidak terlalu memperhatikan dan berjalan ke mobilku. Aku melajukan kendaraan dan berharap sore ini tidak terlalu macet karena aku langsung ke supermaket menyusul mama dan Liv. ^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^* Senin ini agak sibuk, selain ada meeting dadakan aku juga harus mengurus karyawan baru yang masuk di divisi marketing dan PR. Kedelapan orang baru itu terdiri dari tiga wanita dan lima pria. Mereka rata-rata berumur dibawah 30 tahun tapi aku memang mencari yang sudah pengalaman dibidangnya masing-masing. Aku mengantar lima orang marketing staff pada Paul dan tiga orang PR staff ke tangan Keira. Sahabatku itu tidak berhenti tersenyum melihat pemuda-pemuda gagah yang akan bekerja di bawah pengawasannya. Astaga!! Keira bahkan tidak sungkan menunjukkan ekpresi senangnya. Ck.. Saat jam makan siang Pamela membawa masakan rumahnya. Kami makan diruangannya. "Ini tahu lada garemnya enak banget, Pam." Pujiku. Dia tersenyum senang kalau masakannya cocok dilidah kami. "Eh Lil. Tau gak si Tino, dia temennya mas Jarvis loh.." Keira mencomot ayam panggang di piringku. "Kayaknya gitu. Waktu abis wawancara gw liat mereka balik bareng." Sahutku. "Hmmm... apa dia masuk sini ada koneksi Jarvis?" Aku hanya mengangkat bahu. "Yang penting kinerjanya lo liat aja Kei.." Dia manggut-manggut. "Tapi emang itu laki udah bikin pusing. Anak buah gw langsung banyak yang kesengsem. Dari pagi pada ngajak kenalan coba." "Wajar lah.. tempat lo kan garing. Ibarat gurun sahara kedatengan es batu ya haus doonk.." sahut Pamela. Kami tertawa mendengar perumpamaan Pamela. Setelah makan siang aku kembali ke lantaiku. Saat naik lift aku bertemu Tino. "Siang bu Lilianne." Sapanya. Aku tersenyum dan mengangguk kecil. "Wait, bukannya kamu di lantai delapan?" Dia menggaruk tengkuknya. "Ehm, ini bu saya bawain kopi buat Jarvis. Maksudnya pak Jarvis. Dia temen saya." Aku hanya membulatkan mulutku sejenak lalu kembali menatap angka di lift. Aku keluar duluan tapi dia memanggilku. "Bu, ini buat ibu." Dia menyodorkan gelas kopi untukku dan segera berlalu sebelum aku sempat menolak. Apa maksudnya? Kami belum mengenal dan dia juga tidak bekerja di divisiku, lalu untuk apa sok akrab?? Aku menggeleng cepat dan menyingkirkan pikiranku yang berlari kesana. Yah, tidak bisa dipungkiri sih, kehadiran pemuda itu membuat pandanganku sedikit cerah, lumayan buat cuci mata. Aku terkekeh dengan pikiranku sendiri kemudian kembali ke ruanganku. ******************TBC***************** Aku membayangkan sosok Lilianne ini Anne Hathaway, dia itu anggun n cantik bangets. lope-lope..
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD