hampir ketahuan

3529 Words
Tanggal merah hari raya Idul Adha membuat Jeremi Yudistira dan Kanadia Agraf sengaja sama-sama bangun siang. Tidak ada kelas, tidak ada janji untuk bertemu dengan siapapun. Kana menguap lebar, merentangkan kedua tangannya menyambut pagi seperti iklan-iklan di televisi. Kakinya turun dari ranjang dan bergegas membuka gorden. Matahari sudah terang-benderang ketika jendela dibuka, membuat Kana mengernyit akibat silau cahaya. "Mandi gak, ya?" Kana bergumam pqda dirinya sendiri, bermonolog. Tapi kemudian ingat bahwa ia tidak ada acara spesial, ia memutuskan untuk cuci muka dan gosok gigi saja.Tanpa mengganti piyamanya, ia keluar dari kamar, turun menapaki tangga-tangga dan mendapati Jeri sedang berdiri dengan satu tangan berkacak pinggang di depan wastafel. Merasa ada yang mengawasi, Jeri mengangkat kepala. "Baru bangun lo?" sinis Jeri. Tanpa menjawab pertanyaan Jeri, Kana mengajukan pertanyaan lain. "Ngapain di dapur?" "Menurut lo aja gue ngapain pagi-pagi di dapur dengan wajah kebingungan kayak gini?" Lalu Kana meringis. Tahu bahwa lelaki itu pasti kelaparan apalagi jam sudah menunjukkan pukul 10. Ia belum memasak apapun untuk sarapan mereka dan Jeri pasti sedang bingung mencari— "Lo belum nge- stok bahan masakan, ya?" Kana menyengir lagi. "Iye, lupa." "Lupa tapi tiap hari?" "Ya maaf, sih. Masih pagi ini buat dengerin lo ngomel." Kana menarik karet rambut yang ia jadikan gelang di pergelangan tangannya. "Lo keburu laper? Gue beliin bubur dulu aja, deh, ya? Abis beli bubur lo baru gue ke supermarket nge-stok makanan." Jeri diam terlihat berpikir. Tatapannya berpindah lagi kepada Kana yang menunggu jawaban. "Ribet. Gue temenin, deh, ke supermarket." "Lah? Katanya keburu laper?" "Makan bubur disananya aja langsung." Jeri mengamati penampilan Kana yang masih terbalut dengan piyama. Beda dengan Jeri yang walaupun sama-sama belum mandi tapi ia memakai celana panjang dengan kaos yang terbalut jaket hitam. "Lo gak ganti baju dulu?" Kana menunduk memperhatikan piyamanya, lalu mengedikkan bahu. "Sini-sono doang, elah. Lagian gue pake piyama doang juga bisa bikin kang bubur klepek-klepek." Jeri mendengus. Kana dan percaya dirinya yang tinggi memang dua hal yang tak bisa terelakkan. ✓ Berapa kali Jeri mendengus pagi ini? Telinganya terasa panas mendengar Kana yang sedari tadi tak berhenti mengeluh. Bukan Jeri sengaja ingin membuat gadis itu kelelahan, tapi karena jarak supermarket dan apartemen mereka berdua yang hanya terpisah jalan raya, makanya Jeri memilih berjalan kaki. Tapi sejujurnya Jeri sependapat dengan Kana yang mengatakan bahwa jarak keluar dari apartemen mereka hingga ke jalan raya adalah jauh. Jauh sekall. Apartemen mewah seharga 60 miliar itu memang memiliki luas yang luar biasa. Keluar dari gerbang utama saja jauh, belum melewati parkiran, air mancur, hall, dan lain sebagainya. Dan Kana yang terus-terusan mengomel sama sekali tak membantu. Yang ada malah memperburuk keadaan. "Gila, lo, Jer, betis gue bengkak ini mah udah pasti." "Panas banget, Ya Tuhan, padahal baru jam 10 rasanya kayak neraka bocor gak, sih, Jer?" "Anjtrit, gue lupa pake sunscreen!" "Ya Allah Jer, pelan napa jalannya!" "Kaki lo panjang bener sih, elah!" Dan lain sebagainya. Ketika Jeri merasa Kana mempercepat langkahnya untuk menyusul di samping lelaki jangkung itu, Jeri menoleh. Kana ikut menoleh. Perempuan itu menyengir, "boleh gendong aja, gak, Jer? Capek banget." "Ogah!" Setelah sampai di kedai bubur, keduanya mengambil duduk berdampingan. Kana menolak duduk berhadapan karena katanya identik dengan orang pacaran. Jeri mendengus tak percaya, bahkan mereka bukan pacaran lagi, menikah malah! Catat. Menikah! "Lo tim bubur di aduk, bukan?" Tiba-tiba pertanyaan random itu keluar dari bibir Kana. Jeri diam saja, ia fokus menikmati buburnya. Lagipula, Jeri heran dengan Kana yang tak bisa diam. Ia kira Kana hanya bisa marah-marah dan bersikap judes, nyatanya cewek itu berisik dan suka mengeluh. Ampun, deh. "Kalau gue, sih, lebih suka di aduk. Biar nyampur, gitu, bumbunya. Jadi sekali makan bisa kerasa semua—" Jeri menghadap ke kanan ke arah Kana, dengan tatapan datar, ia menyela ucapan gadis itu. "Kalau makan bubur diaduk jadi kayak makan eek." Kana melotot, "e*k lo bilang?! kalau makannya gak diaduk malah aneh! rasanya gak nyatu dan—" "Bukan buburnya yang aneh, elonya!" "Ye, santai aja dong, jangan ngegas!" "Gue santai ini. Lo, tuh, yang—" Ucapan Jeri terhenti karena ia tak sengaja menatap pelanggan di kedai yang menatap mereka berdua dengan tatapan memerotes. Jeri berdeham, pura-pura fokus pada buburnya lagi dan diam. Kana meringis sembari meminta maaf, sadar betul bahwa ia dan Jeri sudah memancing keributan. Setelah cepat-cepat menghabiskan makannanya, mereka berdua keluar dari kedai dan berjalan lagi ke arah supermarket. Keduanya lebih banyak diam. Kana pun juga tak banyak mengeluh seperti tadi. Memasuki pintu supermarket, Jeri dengan sigap mengambil troli, Kana memimpin jalan ke arah rak sayuran. Keduanya memilih makanan dalam diam. Jeri hanya beberapa kali menambahkan buah ke troli sedangkan catatan belanjaan bulanan dipegang Kana. Ketika melihat Kana terlalu banyak mengambil sayur sawi, Jeri langsung mengembalikan beberapa sawi ke rak lagi. "Jangan beli banyak-banyak. Gue gak suka sawi." Kana baru akan menyela tapi malas, jadi ia menurut. "Lo sukanya apa? Biar gue banyakin kesukaan lo." Kali ini Jeri memimpin jalan ke arah rak daging-dagingan. Ia menyendok udang sebanyak-banyaknya dan memasukkan ke dalam plastik sebelum ditimbang. Kana tercengang. "Yakin lo mau beli sebanyak itu, Jer?" Jeri mengangguk. Dan menemukan Kana yang menatapnya aneh, ia berdecak. "Emang kenapa, sih? Gue suka udang. Tiap hari lo masakin udang juga gak bakal kebuang. Gue yang bakal makan." Memasukkan toples sosis ke troli, Jeri menambahkan. "Lagian belanja juga pakai duit gue." "Iya-iya, pakai duit lo. Sombong amat." Mendengar Kana mengatakan kalimat terakhir dengan nada bicara ala t****k, Jeri tertawa. "Bisa ketawa juga lo? Kirain cuman bisa ngomel." "Kana bacooooot." Keduanya berganti ke rak buah. Kali ini Kana yang kalap mengambil banyak buah-buahan. Jeri segera mencegah tangan Kana yang akan menambahkan pepaya. "Kulkas kita gak bakal cukup nampung buah sebanyak ini, bego." Kana mengerjap. Benar juga, ya. Ia sudah mengambil banyak sekali buah anggur, stroberi, apel, jeruk, manggis, dan masih banyak lagi. Sedangkan kulkas Jeri juga harus dibagi untuk menaruh bahan masakan dan camilan. Kana merengut. Ia harus merelakan pepayanya untuk ditinggalkan.  "Bye-bye, pepaya." Kana melambai pada pepaya yang ditaruhnya dengan wajah merengut. Jeri berjengit, "lo gila, Kan?" "Lo gak tahu aje gue, tuh, cinta sama pepaya." "Lebay banget." "Lo mau udang lo gue balikin ke freeser tadi, hah?" Jeri merebut troli yang dipegang Kana. "Iya-iya kagak." "Ya kayak gitu rasanya jadi gue!" Aduh, kepala Jeri pusing lagi. Kenapa, sih, Jeri harus menikahi perempuan tidak jelas seperti Kanadia Agraf? Jelas-jelas kekasihnya sesempurna Mella Melonica, mengapa takdir malah menjungkir-balikkan nasibnya, coba? "Ya udah sana, ambil yang udah dibungkusin di sterofoam, kan, banyak, Kan! Jangan ambil yang gede begitu, kulkasnya kagak muat." "Yes! Oke, deh!" Kana bergegas kembali ke freezer buah, mengambil beberapa pepaya yang sudah tertakar di bungkus sterofoam. Berjalan cepat ke arah Jeri, dan segera memasukkan pepayanya. Jeri mendengus melihat Kana yang terlihat senang sekali. Ia menyenggol siku gadis itu. "Belanja apaan lagi, nih?" "Camilan?" "Camilan di kulkas tadi pagi masih banyak. Yang lain?" "Peralatan mandi?" "Oke." Jeri mendorong trolinya sementara Kana mengikuti dari belakang. Dengan cekatan, Jeri langsung mengambil beberapa produk peralatan mandi yang ia hapal karena memang sudah ia pakai sejak jaman SMA. Kana juga begitu. Ia mengambil peralatan mandi untuknya sendiri. Memasukannya pada troli, kemudian diam lagi mengamati rak-rak. Mengingat-ingat apa saja yang harus ia beli. Kana berjalan menuju rak lain, bola matanya bergerak melirik ke kanan dan ke kiri mencari sesuatu. Jeri mengikuti dari belakang. Tapi ketika ia melihat Kana yang seperti orang kebingungan, Jeri memutuskan untuk mencarikan. "Cari apaan, sih?" "Eung— bentar, deh, gue cari sendiri aja." "Elah, biar gak kelamaan. Gue bantu cariin." Kana diam, kakinya masih berjalan dan matanya masih menelusuri barang-barang pada setiap rak. "Apaan, sih, emang yang lo cari? Jodoh? Kagak ada jodoh lo disini. Jodoh lo di Zimbabwe sana." Kana mencibir. "Sembarangan amat lo kalau ngomong. Gue lagi cari pembalut, nih! Mau lo gue suruh cariin?" Bibir Jeri langsung terkatup rapat. Ia diam tak berkutik. Merasa menyesal menawarkan bantuan jika ternyata yang dicari gadis itu adalah sesuatu yang sangat privasi. Jeri sendiri juga tidak mau dan risih jika harus mencarikan benda tersebut. Apalagi harus bertanya pada karyawan disana. No way! Kana menyerah. Ia memilih bertanya pada karyawan supermarket saja. Dan hanya membutuhkan waktu beberapa menit, Kana sudah menemukan dimana tempat pembalut berada. Kana meringis lalu berterimakasih. "Makanya punya mata, tuh, di pakai!" ✓ "Karena hari ini lo gak ada acara, jadi lo harus bantuin gue bersih-bersih rumah!" titah Kana ketika mereka berdua sudah sampai di apartemen. "Hih, ogah! Emang tugas siapa bersihin rumah?" "Eit. Gak bisa gitu, dong? Katanya lo mau gue belajar jadi istri, jadi harus ngerjain pekerjaan rumah. Ya harusnya lo juga bantuin istri bersih-bersih, dong, kalau lagi liburan gini?" "Emang pinter lo, ya, kalau disuruh jawab." sarkas Jeri yang dibalas seringaian licik oleh Kana. Lagian, Kana kok dilawan? Lo ajak debat sehari semalam juga bakal dijabanin sama dia. Kana berjalan ke arah belakang, mengambil sapu dan pel lalu kembali ke ruang tengah. Ia menyerahkan sapunya kepada Jeri, sedangkan ia mengambil alih pel-nya. "Nih, tugas lo nyapu, gue yang ngepel. Seimbang, kan?" Jeri mendengus saja. Masih merasa tak rela disuruh-suruh begini. "Kalau bergotong-royong, tuh, pekerjaan jadi terasa lebih mudah, Jer!" "Lebih mudah kalau gak dikerjain, sih." balas Jeri. "Ye, lo mau apartemen lo banyak tikus, kecoa, jangkrik, lalat, nyamuk, dan kawanannya?" "Ini gue juga lagi ngomong sama temennya tikus."  Kana mengernyit, mencoba mencerna maksid Jeri. Sesaat kemudian ia sadar maksudnya, jadi ia memukul bahu kokoh lelaki itu. "Sialan. Dah sana lo sapu yang bersih, jangan sampai gak bersih nanti istri lo brewokan!" "Serah." Seusai Jeri mengepel semua lantai, Jeri menarik dan menghembuskan nafas keras-keras. Akhirnya selesai juga, mungkin begitu batinnya, karena Kana seringkali teriak hanya karena Jeri kurang bersih dalam mengepel. "Jeeeer, sebelah sini masih kotor!" "Jeeeer, yang bersih dong!" "Jer ini gimana sih kok masih lengket?!" "Jer ini lantainya basah banget gue gimana lewatnya?!" Keduanya ambruk di atas sofa ruang tengah. Bukan. Jangan membayangkan mereka berdua berada pada posisi atas bawah, tidak begitu. Keduanya duduk di sofa dengan kepala yang mendongak menatap langit-langit karena kelelahan. Jeri bahkan langsung memejamkan mata. Jeri memang jarang sekali turun tangan dalam membersihkan apartemennya. "Bi Atik lo pecat?" Tanpa menoleh ke arah Kana, Jeri menggeleng. "Pindah ke rumah nyokap lagi." "Kenapa? Lo sengaja biar gue aja yang bersih-bersih?" "Ck. Suud'zon mulu lo, ye, sama gue. Papa lo sendiri yang nyuruh gue buat gak pake pembantu." Kana diam. Keduanya diam. Saling memejamkan mata melepas penat. Hanya sebentar sebelum perut Jeri berbunyi. Kana yang mendengar itu langsung pura-pura mendengkur dan Jeri tertawa. "Kan, masakin, dong." ✓ "Lo sebenernya gak bloon-bloon banget, sih, urusan dapur." Kana yang sedang mengunyah udang krispi hanya tertawa sombong. "Siapa dulu, dong?" "Gak bloon bukan berarti pinter, ya? Ini masih keasinan." "Elah, bilang makasih aja susah amat." Kana menyendokkan satu sendok nasi ke dalam mulutnya. "Lo gak keluar kemana-mana? Hari ini bener-bener gak ada acara?" Sebenarnya, Kana juga tidak ada acara, sih. Tapi kalau Jeri di apartemen seharian, mending Kana keluar. Karena Kana yakin ia pasti akan disuruh ini dan itu kalau terus-terusan berada di radar Jeri. Daripada jadi pembantu, mending Kana main kemana gitu, kan? "Enggak ada." Kana manggut-manggut. "Gak ngapel ke rumah pacar lo gitu?" Sebenarnya lagi, Kana malas keluar rumah. Ia hanya ingin bersantai seharian di apartemen ini tapi dengan syarat tak ada Jeri di rumah. Jadi pilihannya hanya dua; ia yang keluar atau Jeri yang keluar. "Mella ada girls time sama temen kampusnya." Oh, nama ceweknya Mella? Mella goeslaw, kah? Atau Mellanie Ricardo? Kana terkikik geli. "Cewek lo sekampus sama kita?" Bukan Kana bermaksud kepo, dia hanya mengisi keheningan yang tercipta di ruang makan. Lagipula Kana memang cerewet dan tak bisa diam. Jadi ia memilih mengajak Jeri mengobrol. Jeri mengangguk. "Seangkatan sama gue. Tapi tua gue setahun." "Iyalah, orang elo nelat lulus setahun." Jelas Kana tahu soal yang satu itu. Sebelum menikah— atau bisa dibilang ketika perjodohan tersebut sedang dibicarakan, kedua orang tua mereka langsung mempromosikan anak masing-masing. Menceritakan kepribadian sang anak pada calon menantu dan membuka aib masing-masing. Beruntung Kana dan Jeri sama-sama tak tahu malu dan selalu bodo amat. "Cowok lo sekampus?" Kana tak mengangguk juga tak menggeleng. "Dia Fakultas Kedokteran. Semester 6." "Wow, calon dokter? Lo pacaran sama calon dokter? Keren, sih." Ada decakan kagum yang keluar dari bibir Jeri. Seperti tak percaya dengan apa yang dibicarakan Kana. "Kok dia mau sama lo?" Kana tertawa sarkas. "If it says so. Tapi kita cuman temenan." Dengan kurang ajarnya, Jeri tertawa terbahak-bahak. "Gokil. Harusnya gue tahu kalau dia gak bakal mau sama lo." Kana mengumpat. "Friendzone, dong?" "Yas." "Hmm. Kasian amat. Padahal sebenernya lo juga bisa, kan, cari cowok lain? I mean, it is Kanadia Agraf. Jijik to say but lo tahu sendiri banyak cowok yang rela sujud di kaki lo buat jadi pacar lo." Itu benar. Tapi Kana menggeleng. "Karena gue cantik. Gue punya badan bagus. Itu yang bikin mereka kayak gitu. And its called A LUST. Not a love." Kana menghela nafas pelan. Ia menggeser piringnya menjauh. "Sedangkan Richo gak memandang gue dari situ. That's why i love him, i guess?" "Gue gak tahu kalau lo bisa ngomongin cinta." Kana mengedikkan bahu. "Bukannya semua orang punya hati? Eh, kecuali lo, sih. Lo kan buaya." "Pffft." Jeri menahan tawanya. "Buaya mana yang setia? Gue gak pernah gonta-ganti cewek. Nakal gue bukan di bidang itu." Matahari semakin melangit, Kana yakin jika ia berada di ruangan terbuka, pasti panasnya semakin menyengat di kulit. Ia mengamati apartemen yang sudah bersih, sedikit rasa bangga bersemayam di hatinya. Iyalah, seumur-umur, baru kali ini Kana memegang sapu dan pel. Kecuali waktu piket di SD sampai SMA. "Kenapa lo setuju sama perjodohan ini? Selain karena lo jomblo dan kebetulan gue ganteng, ya." Kana mencibir. "Gak ada kesempatan buat ngomong tidak kalau sama bokap gue, tuh. Tahu sendiri, kan, dia orangnya keras? Tegaan." Jeri manggut-manggut. "Bodinya bokap lo aja segitu gede. Ngeri kadang ngeliatnya." "Lo sendiri gimana? Punya cewek tapi malah nikah sama yang lain? Katanya beneran cinta?" ejek Kana. "I am. Tapi bokap ngasih pilihan. Gue nikah sama lo atau gue berhenti kuliah." "Hah? Kenapa gitu?" Jeri mengedikkan bahu. "Mungkin dia sumpek ngeliat gue gak lulus-lulus." Keduanya berlanjut mengobrol ringan. Semua subjek dan objek dibahas. Walaupun sesekali ribut karena— bukan Jeri dan Kana kalau tidak seperti tikus dan kucing, kan?" Tanpa keduanya sadari, tembok yang keduanya bangun setinggi itu perlahan-lahan mulai menipis. Mencoba berteman memang tidak salah. Keduanya juga bisa cocok dalam mengobrol. Kita lihat saja. ✓ Jeri merasa suntuk. Tanggal merah kali ini memang membosankan. Ia hanya bergerak ketika menyapu rumah tadi saja, setelah itu yang ia lakukan hanya tidur-makan-tidur-makan. Jeri bosan. Dan ia tidak tahu harus apa. Lelaki itu mengecek ponselnya, berharap ada pesan masuk dari sang kekasih tapi hasilnya nihil. Mella masih belum ada kabar, yang artinya perempuan itu masih asik dengan teman kampus. Ia mengambil guling yang sempat ia tendang ke bawah ranjang tadi, menaruhnya untuk dijadikan bantalan padahal sudah ada bantal. Dengan random, ia membuka galeri. Melihat foto-foto hasil jepretan temannya ketika ia dan Mella liburan. Garis lengkung di bibir Jeri muncul. Selalu begitu ketika Jeri memikirkan Mella. Mella-nya yang cantik. Mella-nya yang pintar. Mella-nya yang baik. Mella-nya yang sempurna. Tepat ketika ia asik melamun, ponselnya berdering, nama Mella ada disana. Tak ingin membuat sang kekasih menunggu, ia segera mengangkat panggilan. "Halo, Mel?" Terdengar grasak-grusuk keramain di seberang telepon membuat Jeri menajamkan telinga. "Hai, Jer. Ini aku abis nonton sama temen-temen. Maaf baru ngabarin." Mendengar itu, Jeri tersenyum. "Iya, babe. Gimana? Seru?" "Seru, dong. Ini udah mau balik." "Oh, ya? Aku jemput kalau gitu." "Eh, enggak usah. Aku bawa mobil sendiri kesini." "Hah?!" Jeri paling tidak suka jika Mella menyetir mobil sendirian. Berkali-kali Jeri marah ketika Mella tetap bersikukuh menyetir. Bukan tanpa alasan, kecelakaan kecil yang pernah dialami gadis itu ketika keduanya masih pendekatan memang masih sangat membekas di ingatan Jeri. Dan Demi Tuhan, Jeri takut itu terjadi lagi. "Errr— maaf. Hehe. Jangan marah, dong?" Jeri menghela nafas. Memilih diam. Sejujurnya dia hanya tak ingin memarahi Mella. "Berarti kamu langsung balik ke rumah?" "Eng— kamu lagi di apartemen, kan? Aku mampir kesana dulu, deh, ya. Gak papa?" Jika biasanya Jeri akan dengan semangat mengiyakan pertanyaan Mella yang satu itu, kali ini tentu Jeri malah kelabakan. Panik. "Hah? Ke apartemen aku?!" "Iya. Kenapa? Kok kaget gitu?" "A-anu, Mel. Eng—" "Jer bentar, ya, udah di parkiran ini. Aku otw. Bye-bye, babe." "O-oke, bye-bye." Jeri meloncat dari atas kasur, berlari ke kamar Kana dan langsung membuka pintu. Kana melotot. Untung dia pas lagi rebahan, coba kalau pas lagi ganti baju? Dasar Jeri sialan! "Lo apaan, sih, masuk kamar orang asal nyelonong?!" Kana berdiri, hendak mengomel lagi tapi Jeri langsung membungkam mulut Kana dengan telapak tangannya yang besar. "Cewek gue mau kesini!" Kana meronta meminta dilepaskan. Ia menepis tangan Jeri kemudian melotot lagi. "Kan udah ada di perjanjian kalau gak boleh bawa pasangan ke apartemen!" "Ye, ini juga gak ada janji tiba-tiba dia mau kesini." Kana berkacak pinggang. "Terus gimana? Lo mau minta gue keluar dulu dari apartemen biar gak ketahuan? OGAH!" Jeri lupa kalau Kana memang tak pernah bisa diajak berkomunikasi. Kening lelaki itu berkerut, memikirkan cara agar Mella tak melihat keberadaan Kana di apartemennya. Tapi kemudian ia ingat bahwa ia sempat mengaku pada Mella bahwa Kana adalah sepupunya. Jadi, Jeri rasa ia harus memakai alasan itu. "Ya udah, terserah kalau gak mau keluar. Nanti kalau ketemu cewek gue, lo harus ngaku jadi sepupu gue yang tinggal sementara disini karena lo gak bisa bayar kos. Ngerti gak?" "Lo kira gue gak punya duit sampai gak bisa bayar kos?" "Astaga, Kan, gak ada waktu buat debat. Tolongin gue kali ini aja kenapa, sih?!" "Terus soal perjanjian gimana? Masa baru seminggu bikin perjanjian udah dilanggar, sih? Cowok macem apa lu." "Lo minta apa dah, gue kasih." Dengan berat hari Jeri harus berkata seperti itu. Sebenarnya Jeri juga merasa bersalah karena ia sendiri yang membuat perjanjian dan ia sendiri yang menjadi pelanggar pertama. Mata Kana berbinar semangat. "Bener, ya? Oke gue mau—" "Selain naikin uang belanja." Bibir gadis itu langsung memberengut. "Kok elo tahu, sih, gue mau minta apa?" Jeri mendorong kening Kana ke belakang. "Ketebak dari muka lo. Muka-muka mata duitan." "Woi, no skinship, woi!" "Jadi gimana. Lo minta apa?" Kana melipat kedua tangan di depan d**a. Pura-pura berpikir. "Belum tahu, sih. Nanti aja kalau udah nemu yang pas gue kasih tahu lo." Jeri memutar bola matanya jengah. Lalu bel apartemen berbunyi, yang membuat Jeri auto melangkah lebar-lebar untuk membukakan pintu. Kana, sih, santai saja. Ia malah kembali ke kamar untuk mengambil ponsel, lalu turun menapaki tangga dan menuju dapur. Mengambil minuman disana. Kana sempat melirik kekasih Jeri yang mengecup pipi Jeri. Bukan itu fokus Kana. Tapi penampilan Mella-Mella itu. Kana selama ini mengira bahwa kekasih Jeri adalah perempuan yang keluar masuk kelab seperti Jeri, bar-bar juga seperti Jeri, cewek dengan high heels setinggi lima senti, lipstik merah, rambut diblonde, serba mewah, dan hal-hal lain seperti itu. Tapi ternyata, Mella yang katanya seangkatan dengan Jeri malah terlihat lebih muda dari Kana sendiri. Wajahnya terlihat imut dan lucu, cantik, dan Kana tebak sangat lugu terlihat dari cara bicaranya. "Ehm." Tiba-tiba Mella sudah berjalan menghampirinya. Membuat Kana mengurungkan niat mengambil jus jeruk di pendingin. "Halo?" Kana mengerjap. Ia melirik ke belakang punggung Mella, disana Jeri melotot dan berkata sesuatu tanpa suara. Seperti mengancamnya sesuatu jika Kana bicara aneh-aneh. "Hai.. Kak?" Mella mengulas senyum. "Kamu sepupunya Jeri? Kanadia, ya?" "Iya." "Fakultas Psikologi, kan? Angkatan berapa?" "Maba dua tahun yang lalu. Hehe." Kana tertawa canggung. Duh, Kana, tuh, payah dalam berinteraksi dengan orang asing. Dia ingin segera kembali ke kamar dan melakukan me-time.. "Aku.. balik ke kamar ya, Kak? Harus ngerjain tugas." Jeri yang mendengar Kana berpamitan malah menghalagi jalan untuk gadis itu. "Bikinin minum dulu, kek, buat tamu." Kana sudah akan membalas kalimat Jeri dengan u*****n dan penolakan seperti biasanya. Tapi karena Mella adalah tamu yang baik, jadi Kana mengalah. Ia memaksakan senyum ke arah Jeri, melewati lelaki itu untuk mengambil gelas dan menginjak kaki telanjang Jeri. "Mau dibikinin apa, Kak?" Mella tersenyum lagi. Kana jadi heran, memang hobinya Mella ini tersenyum, ya? Demen banget dikit-dikit senyum. "Seadanya aja. Aku juga gak lama, kok." "Oh, gak lama?" Bodohnya Kana karena nada bicaranya terdengar terlalu semangat. Jadi secepat mungkin Kana menambahkan kalimatnya dan mengganti intonasinya menjadi sedikit sedih. "Kok cepet banget mainnya?" "Iya. Tadi cuman mampir doang, sih. Jengukin Jeri." Kana menangguk-angguk saja. Jika ia berhadapan dengan perempuan yang tak ia sukai, ia pasti akan julid dan membalas perkataannya dengan 'elah, dikira sakit pakai dijengukin segala?' Tapi Mella baik. Tak ada alasan untuk Kana mengeluarkan kalimat-kalimat pedas yang biasa ia gunakan. Tangan Kana bergerak cepat mengaduk gelas berisi minuman rasa jeruk untuk Kana. Ia melirik Jeri yang sedari tadi diam di meja makan mendengar percakapan Kana dan Mella. Kana menahan tawa. Mungkin Jeri merasa sangat sial karena istri dan pacarnya sedang mengobrol tanpa diketahui kekasihnya bahwa status Kana adalah istri sebenarnya. Kana meringis. Setelah menyerahkan gelas kepada Mella, Kana iseng mengedarkan pandangannya ke arah dinding di dekat tangga ke lantai atas. Dan tahu apa yang ia lihat? Figura kecil foto pernikahnnya dengan Jeri. Astaga, gawat! Ia menatap Jeri, berusaha menyampaikan kode lewat tatapan matanya, menyuruh Jeri menoleh pada dinding. Tapi sepertinya Jeri tak paham. Membuka mulut tanpa suara, Jeri malah bertanya. "Apa sih?!" Aduh, Kana ingin tenggelam ke rawa-rawa saja kalau begini. Sebenarnya jika ketahuan dengan status Jeridan Kana oleh Mella sekarang, Kana tidak ada masalah, sih. Tapi masa secepat ini? Kana kasihan juga pada Mella. Dia perempuan baik. Kana tidak tega melihat Mella patah hati jika tahu kebohongan besar yang disembunyikan pacarnya itu. Ketika Mella dengan ceria mengajak Jeri mengobrol, Kana yang dibelakang kursi Mella, langsung merentangkan tangannya lebar-lebar, menunjuk ke arah dinding dan Jeri langsung menoleh pada arah yang ditunjuk Kana. Awalnya lelaki itu tak paham. Karena memang banyak foto yang terpajang disana. Tapi ketika tatapannya menemukan foto berukuran lebih besar daripada yang lain dan terpasang ditengah-tengah dinding, jantung Jeri langsung berdetak dua kali lebih cepat. Sial, sial, sial! Dia memutar otak mencari cara. "Babe?" Mella menoleh. "Ya?" "Mau nolongin aku, gak? Coba cek ada siapa di depan pintu apartemen. Kayaknya aku denger ada yang mencet bel." Mella mengernyit, alisnya terangkat tinggi kebingungan. Sedangkan Kana benar-benar menahan bibirnya agar tak terbahak. Alasan macem apa yang digunakan Jeri itu? Sangat tidak masuk akal. Tidak ada yang memencet bel dan dia bilang ada tamu? Yang benar saja. Tapi sekali lagi tebakan Kana tentang Mella yang lugu memang benar. Nyatanya walau raut wajah kebingungan masih terpampang jelas, Mella tetap menuruti permintaan Jeri. Ia melangkah ke ruang tamu, dan dengan itu Jeri bergegas lari mengambil foto figura. Mencopot dengan tidak sabaran lalu lari ke kamar menyembunyikan figura tersebut. Hfft, hampir saja!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD