Hari yang ditunggu-tunggu Jeri telah tiba. Malam ini, pertandingan antara Juventus dan— entah klub sepak bola mana yang jadi saingannya kali ini, akan dimulai setengah jam dari sekarang. Maka dari itu, pukul sembilan malam, Jeri yang baru saja cuci muka langsung turun ke bawah. Dengan memakai celana panjang dan kaos oblong hitam, lelaki itu dengan semangat menapaki satu-persatu tangga yang membawanya ke ruang tengah.
Langkahnya memelan ketika menemukan sosok Kanadia Agraf dengan setelan piyama berwarna merah jambu disana. Sedang bermain ponsel dengan televisi menyala tapi tak dipedulikan. Tapi Jeri memilih tak peduli juga. Ia duduk disamping gadis itu. Tangannya meraih remote tv di samping paha Kana dan mengganti channel.
"Heh, gue lagi nonton!" gertakan di samping telinga Jeri itu sontak membuatnya kaget. Ia bahkan langsung menjauh di pojok sofa, terlonjak begitu saja. Kana merebut remote dari tangan Jeri dan lelaki itu mempertahankan benda persegi panjang tersebut ditangannya.
"Nonton apanya, sih! Orang lo main HP gitu?!"
"Ih, orang emang lagi iklan. Liat, dong!"
Tapi bukannya melihat televisi seperti yang diperintahkan Kana, Jeri malah melirik ke arah dinding, melihat jam yang sudah menunjukkan pukul sembilan lebih lima belas. "Udah, sih, lo nonton di kamar lo aja sana!" usir Jeri.
"Lo pura-pura amnesia apa gimana? TV di kamar gue rusak. Lo aja kenapa yang nonton dikamar!"
Jeri berdecak sebal. Sebenarnya bisa saja dia menonton tv di kamarnya. Toh, tidak ada alasan tertentu mengapa ia tidak menonton disana saja. Tapi karena Jeri memang ingin di ruang tengah. Tanpa alasan spesifik. Dan jangan harap Jeri akan mengalah dengan perempuan bar-bar untuk kesekian kalinya.
"Suka-suka gue, lah? Apartemen gue ini."
"Ye, bodo amat apartemen siapa. Suami, tuh, harusnya ngalah sama istri!"
"Lo kira gue tipe suami-suami takut istri!"
Karena geram, Kana menjambak rambut Jeri. "Lo kenapa, sih, ngeselin banget, Jer?!"
"ADUH, KANA! ANJIR, LEPAS GAK?!"
"Mana remote-nya dulu!"
"Kan, astaga, gue mau nonton bola! Lo ngerti dikit napa, sih? Masa gue mulu yang ngalah sama lo?!"
Mendengar itu, Kana merengut. Perlahan melepas tangannya dari rambut Jeri. Jeri mengangkat kepala yang tadinya menunduk karena dijambak, tangan Jeri mengusap rambutnya. Kana sendiri jadi merasa bersalah karena kalimat yang dilemparkan padanya. Benar juga, sebenarnya selama ini Jeri banyak mengalah pada Kana.
"Dasar, lo, ganggu aja!" Kana beranjak dari sofa, berdiri, dan membenarkan celananya yang sedikit melorot tanpa malu. Jeri tercengang, kakinya otomanis menendang— tidak kencang— p****t Kana. "Urat malu lo emang putus, ya, Kan?! Gue cowok ini."
Kana menoleh. Wajah merengut akibat remote tadi masih sama. "Suami sendiri juga."
"Oh, lo mau gue apa-apain?"
"Lo sendiri yang bakal ngelanggar perjanjian, kan?"
"Serah."
Kana mengedikkan bahu. Ia berlenggang pergi tapi Jeri memanggilnya. "Mau kemana lo?"
"Ke kamar, lah. TV udah lo kuasain, ngapain gue disini?"
"Bikinin mie dulu. Rasa soto. Pake cabe banyak, ya."
Kana menggeram. "Mulut lo mau, gak, gue cabein?!"
✓
Karena Kana juga lapar— bukan lapar, sih, tapi karena ingin nyemil saja, jadi ia memutuskan memasak dua bungkus mi instan— satu untuknya dan satu untuk Jeri. Ditambah dendam karena remote TV, Kana dengan sengaja memberikan cabe sekitar delapan— atau malah sepuluh, Kana tak menghitungnya, ke dalam mangkuk Jeri.
Dan karena ia juga memasak mi instan untuk diri sendiri, akhirnya disinilah Kana sekarang. Duduk di sofa berdua bersama Jeri, dengan dua mangkuk mi di tangan masing-masing, pertandingan bola di depan mata, serta suara berisik yang muncul dari sana.
Walaupun Kana tak mengerti bola, tapi daripada gabut di kamar, mending begini, kan? Toh Kana juga bukan tipe perempuan pecandu telepon genggam. Jadi berlama-lama bermain ponsel bukan sesuatu yang ia suka dan bukan Kana banget.
Detik-detik Kana menunggu Jeri menyuapkan sendok pertama ke mulutnya, menunggu Jeri kelabakan karena cabe yang ia masukkan, ternyata Jeri malah menikmati dengan tenang. Kana menatap lelaki itu yang asik menyeruput mi dengan tatapan fokus ke depan TV.
"Gue tadi kasih cabe sepuluh di mangkuk lo, Jer." Ujar Kana sembari menyeruput miliknya sendiri.
Jeri manggut-manggut. "Hmm. Gue biasanya juga segitu."
"Lah? Serius?"
"Iya."
Anying. Ini mah emang Jeri doyan pedes.
"Jer, lo yang cuci piring, ya?"
"Ogah. Udah gue bantuan nyapu, sekarang lo nyuruh gue cuci piring? Lama-lama gue juga yang nyuci baju lo."
Hhh. Kana menghela nafas kasar. Bisa tidak, sih, Jeri tidak cerewet? Tinggal bilang tidak saja harus muter-muter.
"Lagian suami bagiannya cuman kerja. Gue udah cari duit, lo minta gue naikin duit bulanan, sekarang masih berani nyuruh-nyuruh? Ck ck, Kana."
Nah, kan. Apa Kana bilang? Jeri itu memang cowok paling bawel yang pernah Kana kenal. Kana jadi mikir, bagaimana bisa Mella mau sama cowok modelan Jeri? Tapi, ngomong-ngomong soal kerja, Kana tak pernah tahu darimana Jeri mendapatkan uang untuk memberinya belanja bulanan. Tak mungkin, kan, Jeri meminta pada Papanya untuk keuangan urusan rumah tangga?
"Jer."
Jeri tak menoleh. Hanya berdeham. Karena iklan sudah selesai dan pertandingan bola sudah tayang lagi, jadi lelaki itu terlihat tak mau diganggu. Kana yang tadinya sudah berdiri dan mau ke kamar juga mengurungkan niat. Memilih kembali duduk dan meletakkan mangkuk kotor di atas meja.
"Lo ngasih gue uang bulanan dapet duit dari mana?"
"Serius, Kan, lo baru tanya itu sekarang padahal kita udah nikah berapa minggu?!"
"Ye, awal-awal, kan, kita masih sering berantem. Males, lah, gue mau nanya-nanya."
"Lo kira sekarang kita udah jarang berantem? Ini aja lagi ribut."
Tapi benar perkataan Kana. Jeri juga merasa hubungannya dengan Kana sudah lebih membaik daripada awal pernikahan dulu. Walaupun keduanya masih suka mempermasalahkan hal kecil dan berujung marah-marah, tapi Jeri dan Kana sudah tidak separah dulu. Benar kata orang, bahwa waktu memang bisa memperbaiki keadaan. Mereka hanya butuh terbiasa. Lagipula Jeri dan Kana juga tak butuh hubungan yang lebih dari ini, mereka bisa berteman saja sudah cukup.
"Gue punya kafe, sih, sama Gama. Kafe kecil-kecilan deket kampus."
Kana menoleh cepat. Terkejut. "Serius lo punya kafe sendiri?"
Jeri mengangguk. Dulu, ketika Jeri berada di semester tiga dan seringkali menghabiskan uang untuk berfoya-foya, apalagi ia belum bertemu dengan sosok Mella, Jeri benar-benar pribadi yang boros. Gama adalah saksi hidup betapa Jeri suka menghambur-hamburkan uang. Lalu ketika Gama tiba-tiba dengan randomnya mengajak Jeri membangun kafe kopi kecil-kecilan setelah menceramahi lelaki itu, hati Jeri jadi terketuk. Merasa bahwa uang yang akan ia keluarkan untuk kafe juga bisa berputar dan menghasilkan keuntungan. Jadi mengapa tidak?
Memang tidak mudah. Membangun kafe kopi yang kata Jeri kecil itu— nyatanya masih bisa menguras dompet dan kartu Jeri. Ia bahkan rela menjual satu motor besarnya untuk dijadikan modal usaha. Belum lagi dengan mencari karyawan, membayar gajinya, padahal pelanggan disana masih sembilan atau sepuluh orang di satu hari. Bayangkan saja. Dulu Jeri sudah sempat menyerah. Gama juga. Tapi kemudian Papa menyemangati lelaki itu. Menceritakan pengalaman Papa yang sama seperti sang putra ketika membangun bisnis.
Lalu Jeri bertekad menunggu satu tahun lagi. Jika benar kafenya tidak ada kemajuan, ia dan Gama memutuskan menjual kepada orang lain. Tapi takdir berkata lain. Lewat bantuan Papanya mempromosikan kafe milik Jeri dan Gama pada rekan kerjanya, kafe yang dinamai J&G itu dikenal meluas. Mulai ramai. Seminggu. Dua minggu. Sebulan. Dua bulan. Hingga tepat pada bulan ketiga di tahun kedua, pelanggan J&G membludak. Saking banyaknya hingga Jeri dan Gama memutuskan memperluas kafe, membangun cabang, dan memutar uang lagi. Tapi hasilnya layak dan memuaskan. Dan dari situlah, pemasukan Jeri didapatkan. Bahkan dari satu karyawan yang dipekerjakan pada awalnya, sekarang sudah sekitar dua puluh orang pada setiap kafe dan J&G ada di 3 kota besar ; Jakarta, Bandung, dan Surabaya.
Beruntung Jeri dibantu orang-orang yang bisa dipercayanya. Gama, Papanya, dan beberapa saudara mamanya yang ikut turun tangan mengatur kafe. Seperti ketika perombakan kafe, penambahan menu, atau mengurus meeting dan event yang diadakan di kota lain— karena Jeri juga sedang berkutat dengan skripsi dan tak bisa dua puluh empat jam mengurus kafe.
"Iya. Tahu J&G gak, lo?"
Kana mencoba mengingat nama familiar tersebut. Sedetik hingga ia melebarkan mata tak percaya. "J&G depan kampus? Jangan bilang itu punya lo?! Anjing, Jer, itu mah tongkrongan gue sama anak-anak!"
Jeri terkekeh melihat reaksi Kana yang berlebihan. "J&G itu Jeri dan Gama."
Kana menutup mulutnya yang ternganga lebar. Masih tak percaya. "Anjir, sumpah. Keren, sih, lo bisa punya kafe segede itu. Lo tadi bilangnya kafe kecil, anying! Gue kira warkop." Kana memukul lengan kekar Jeri. "Eh, ada cabangnya juga, gak?"
"Ada. Di Bandung sama Surabaya."
Kali ini Kana bertepuk tangan. "Oke-oke. Jadi sekarang gue gak kaget kenapa lo bisa ngasih gue duit segitu dalam sebulan."
Jeri berdecih sinis. "Sekarang ngerti, kan, lo, kenapa gue bilang untuk hemat?"
"Iya-iya. Sori, elah."
"Kalau gue baru cerita aja baru sori-sori."
Kana berdecak. Lalu ia kembali menghadap Jeri. Tatapannya masih penuh binar semangat. Seakan ingin menggali banyak informasi dari kafe J&G milik Jeri. "Eh, berarti mulai sekarang gue kalau kesana gratis, dong, ya? Gue, kan, bini lo."
Jeri mendorong kening Kana. "Ye, emangnya elo mau bilang ke kasirnya kalau lo bini gue? Yang ada semuanya bakal heboh tahu gue udah nikah."
"Oh, iya, ya." Kana mengangkat kedua kakinya ke atas sofa, memeluk lutut-lututnya. "Jadi gue gak bisa gratis, dong?"
"Duit mulu perasaan yang ada di otak lo "
"Ck ck, dengar, ya, anak muda. Uang emang bukan segalanya. Tapi segalanya butuh uang."
"Sok banget, lo, ngomong begituan."
"Hehe." Kana meringis. Lalu ia mengusap-usap kedua lengannya, merasakan dinginnya angin malam yang mulai menerpa. Apalagi ini sudah pukul sepuluh lebih. Biasanya Kana sudah tidur pulas di jam segini.
Jeri yang mengamati pergerakan Kana jadi berkomentar. "Tidur, sana. Mata lo udah merah gitu."
"Cie ngeliatin mata gue, ya?"
Hm. Seharusnya Jeri sudah hafal bahwa Kana adalah gadis tak tahu diri. Tapi baru Jeri akan mendebat, Kana sudah memotong pembicaraannya. "Iya-iya, gak usah melotot gitu, ah. Serem tau, bang."
Gadis itu beranjak dari sofa. "Gue balik ke kamar, ye."
"Hm." Jeri menatap gadis itu yang sudah bersiap pergi. Antara yakin dan ragu, Jeri dilema. Tapi tak apa, lah. Toh cuman ucapan. "Kan?"
"Apa?"
"Good night. Jangan lupa tutup pintu depan dulu."
✓
Apa yang lebih menakutkan dari terlambat masuk kelas sedangkan dosen yang mengajar adalah dosen killer?
Bodohnya Kana yang lupa memasang alarm kemarin malam membuat ia terbangun tepat pukul setengah tujuh pagi padahal pukul tujuh sudah harus di kelas. Kana tak mandi, ia akui. Hanya menggosok gigi dan mencuci muka. Mengganti baju. Lalu mengantongi semua make up nya ke dalam tas.
"Aduh, kenapa, sih, gue g****k banget?" Kana menggeram frustasi, bermonolog pada diri sendiri.
Perempuan itu keluar dari kamar, cepat-cepat menapaki tangga, dan tangannya sibuk mengetik mencari taksi online. Tapi langkahnya terhenti ketika suara Jeri terdengar. "Mau kemana lo?"
Tanpa menoleh, Kana menjawab. "Ngampus."
"Lo gak bikinin sarapan dulu?"
Astaga naga, Kana selalu lupa dengan tugasnya yang satu itu. Ia memasang wajah termelasnya dan menunjukkan pada Jeri. "Jer, ampun, deh. Gue udah telat ini. Lo makan dimana dulu, kek, ya?"
Tanpa menunggu jawaban Jeri, karena Kana yakin Jeri masih akan mendebatnya, dan Demi Tuhan, Kana tak punya waktu untuk itu, Kana langsung melenggang cepat ke arah rak sepatu, mengambil vans miliknya dan memasang cepat-cepat. Semua pergerakannya diamati Jeri dari kejauhan. Lalu entah apa yang merasuki Jeri, hingga laki-laki itu berceletuk.
"Ayo. Gue anterin."
Kana menoleh cepat. "Hah? Serius lo?"
Jeri berdeham saja. Kaki panjangnya melangkah ke tangga, berbelok ke kamar, mengambil jaket dan kunci mobil, lalu kembali ke bawah. Jeri kesambet, apa, sih? Batin Kana bertanya-tanya.
Tapi Kana tentu tak akan menolak. Toh, ia juga belum menemukan taksi online-nya. Kana mengikuti Jeri yang berjalan lebih dahulu.
"Makanya, jadi cewek, tuh, bangunnya pagi." omel Jeri ketika keduanya berada di lift.
"Gue kemaren baru bisa tidur jam dua, tahu! Biasanya juga pagian gue daripada elo."
Jeri mendengus. Tak menjawab. Ia keluar dari lift dan menuju ke parkiran, masih diikuti Kana yang hari ini hanya memakai jeans dan crop top hijau army dengan rambut tergerai. Sampai didalam mobil, Kana buru-buru masuk. Ia duduk dan merogoh tasnya, mencari perlengkapan make-up nya. Mengeluarkan satu-persatu dan mengaplikasikan di wajah.
Jeri melirik pergerakan Kana. "Masih sempet-sempetnya, ya, Kan?" sinisnya.
"Iyalah. Boleh aja gue gak mandi, tapi make up harus tetep on."
Memutar kemudinya dan keluar dari basement, Jeri menjawab cepat. "Lo gak mandi?!"
"Kagak sempet."
Jeri benar-benar tak habis pikir dengan perempuan ini. Gimana bisa dengan entengnya mengakui bahwa ia berangkat ke kampus tanpa mandi? Cuma Kana doang, emang.
"Bau, dah, mobil gua."
Gerakan Kana yang akan memasang soflens terhenti. "Ye, gue gak bau, ya. Orang kemarin malem juga gue sempet mandi, kok."
"Kemarin malem, mah, gak diitung, bego."
Kana mengeluarkan parfum kesayangannya dari pouch. Menyemprotkannya ke leher dan lengan. "Nih, nih, cium dah. Wangi, kan, gue?"
"Serah."
Dan satu hal lagi yang sudah Kana hafa dari Jeri. Lelaki itu suka sekali memutar bola mata sambil berkata 'serah'.
"Jer, ngebut, dong. Telat, nih, gue."
"Lo kira gue supir lo?! Udah dianterin bukannya makasih."
Tapi walaupun Jeri berkata sinis begitu, Kana tahu Jeri menambah kecepatannya.
✓
Kalau tadi pagi-pagi rasanya Kana sudah sport jantung karena takut terlambat, saat ini Kana merasakan kesal yang luar biasa. Setelah berlarian dari arah gerbang kampus ke gedungnya— karena Jeri tak mau mengantarnya ke depan gedung langsung dengan alasan ia harus segera menemui Mella— Kana akhirnya sampai di kelas, yang untungnya Pak Made— alias dosen killer yang ia sebutkan tadi pagi— belum datang. Kana mengambil duduk di kursi depan sendiri, tentu karena kursi-kursi dibelakang sudah terisi penuh.
Merasa tak ada teman yang dekat dengannya di kelas kali ini, Kana memutuskan mengeluarkan ponsel dari tasnya. Mengabaikan tatapan para lelaki yang sedari tadi mencuri lirik ke arahnya. Kana sudah biasa.
"Selamat pagi."
Suara itu menyentak Kana. Pak Made datang dari arah pintu dengan kacamata kotak yang selalu bertengger di pangkal hidungnya. Duh, kenapa, sih, Kana harus duduk di depan sendiri? Demi Dior terbaru yang akan keluar minggu depan, Kana paling ngeri sama Pak Made.
Bapak-bapak dari Bali yang satu itu memang tak pernah berkata dengan volume keras— bahkan suaranya sangat lirih, kalau kelas tak benar-benar diam, suara Pak Made akan kalah dengan yang lainnya— tapi segi killer yang Kana maksud adalah.. tugas. Pak Made suka gak tahu diri kalau memberi tugas. Dan spesial untuk mahasiswa tak tertib aturan, entah terlambat, atau bermain ponsel ketika kelas, dan lain sebagainya, Pak Made akan memberi tambahan tugas. 100 ribu words. Bayangkan.
"Pagi ini saya harus terbang ke Malaysia untuk beberapa acara. Oleh karena itu, saya menyuruh asisten saya untuk menggantikan. Dan khusus hari ini, kalian bisa pulang lebih cepat karena kalian akan mengerjakan kuis empat puluh soal dalam waktu satu jam. Mengerti?"
Kana tersenyum kalem dan mengangguk. Pergerakan yang munafik karena dalam hatinya ia mengumpat dan menyumpah-serapah atas apapun yang terjadi pagi ini. Sialan.
Dan bisa kalian tebak, dengan otak Kana yang pas-pasan, tentu kuis dadakan yang diadakan Pak Made berjalan sangat lancar. Saking lancarnya hingga Kana tidak ada yang tidak mengarang jawaban. Tapi satu hal yang ia syukuri, karena soal kuis tadi adalah soal pilihan ganda. Yah, walaupun tidak membantu banyak.
Kana keluar dari kelas setelah berpamitan dengan teman kanan dan kirinya— yang sejujurnya ia tak kenal walaupun sudah satu tahun berada di satu kelas yang sama. Ingat, kan, bahwa Kana memang pribadi yang ramah dan jutek dalam satu waktu? Dia dikenal sombong oleh beberapa orang yang memang tidak ia sukai. Tapi dia juga dikenal kelewat ramah, namun hanya pada orang yang tidak pernah berbuat salah padanya. Seimbang.
Ia membuka pesan di ponselnya ketika getaran berasal dari sana. Pesan dari Richo yang mengatakan bahwa ia berada di kantin selagi menunggu kelas siang, yang dibalas Kana bahwa ia akan segara kesana.
Kana jadi menyesal tadi pagi tidak mandi. Walaupun ia yakin ia tidak bau, bahkan sangat wangi, tapi tetap saja, ia harus tampil terbaik didepan gebetannya, kan Eh, gebetan? Ralat, teman. Kana mengambil cermin di dalam tote bag yang ia bawa, mengecek dandanannya sebelum ia memasuki kantin.
Omong-omong soal Richo, biar Kana perkenalkan siapa laki-laki tersebut dalam hidup Kanadia Agraf.
Richo Dicardo, mahasiswa semester lima di Fakultas Hukum— iya, satu fakultas dengan Jeremi Yudistira. Anak dari dokter spesialis jantung dan bidan. Memiliki dua adik laki-laki yang kembar. Tipe mahasiswa aktif, teman yang baik, kekasih yang setia— tapi sebenarnya dia jomblo. Richo pemuda yang baik, ramah, pengertian, dan penyayang. Seperti halnya Jeri dan Mella yang bertolak-belakang, begitulah Kana dan Richo.
Awal perkenalan mereka adalah ketika Kana menemani salah satu temannya yang meminta Kana mengantarnya ke kantin Fakultas Hukum dengan alasan ada keperluan. Lalu entah bagimana ceritanya— Kana lupa, dan ingatannya memang payah— ia berada di satu meja dengan Richo dan beberapa temannya. Simpel. Mereka berkenalan. Lalu mengobrol. Dan sangat tiba-tiba, juga sangat aneh, Kana merasa nyaman. Ia merasa berbeda ketika sedang bersama Richo. Lelaki itu dewasa, bisa menebak, mengerti, dan mencarikan solusi atas permasalahan yang dihadapi Kana. Lihat hasilnya sekarang, Kana ketergantungan dengan keberadaan lelaki itu. Sedangkan Richo masih nyaman dengan status pertemanan diantara mereka.
"Pagi." Kana mengambil duduk di depan Richo yang sendirian, melemparkan senyum dan menyapa.
Richo balas tersenyum. Sembari mendorong satu botol teh dingin yang sudah dibuka tutupnya oleh Richo, memberikannya pada Kana, ia mengamati penampilan perempuan didepannya. "Pagi. Tumben gak catokan dulu?"
Kana meringis. Jadi malu sendiri. Padahal semua orang juga bisa melihat, bahwa Kana masih cantik walaupun rambutnya tak seperti yang biasa. Toh, ia terlahir dengan rambut lurus. "Jelek banget, ya, rambutku?"
Richo menggeleng sambil tersenyum. "Enggak, kok. Masih cantik kayak biasanya. Cuman agak beda. Biasanya yang bawah dicurly gitu, kan?"
Ah, bisakah Richo tidak tersenyum semanis itu? Dan cara bicara lelaki itu sungguh membuat Kana meleleh. Jika sudah baper begini, siapa yang akan tanggung jawab dengan hatinya?
"Udah sarapan?"
Kana menggeleng. "Belum. Ini mau pesen ayam geprek. Kamu mau nitip?"
"Enggak. aku bentar lagi ada kelas."
"Oh..."
"Eh, Kan. Aku mau ngasih tahu kamu sesuatu, deh."
Kana tanpa sadar memajukan wajahnya, tangannya ia tumpukan di atas meja, terlihat bersemangat dengan topik yang akan dibahas Richo. "Apa?"
Richo meraih ponselnya di atas meja, mengotak-atik sesuatu disana, lalu menunjukkan layar ponsel pada Kana. Perempuan itu mengernyit, mencoba menajamkan penglihatannya karena cahaya matahari membuat ponsel tersebut terlihat silau.
"Coba cahayanya terangin, deh. Silau ini, gak kelihatan."
Richo mengangguk menurut. Menajamkan cahaya di ponsel, lalu kembali memperlihatkan ponsel pada Kana. "Kelihatan, gak?"
Kana mengangguk. Lalu matanya melihat foto yang diperlihatkan Richo padanya. Perempuan yang memakai celana boyfriend dengan atasan tank top yang dibalut cardigan berwarna putih, memakai flatshoes, eng— Kana bisa menyimpulkan perempuan tersebut bukan tipe cewek suka shopping dan update fashion.
"Cantik. Kelihatan cewek baik-baik." Ujar Kana, matanya menatap Richo. "Siapa? Adik lo?"
Richo terkekeh geli, kepalanya menggeleng. "Maba Hukum. Lagi deket sama gue."
Kana masih berusaha tenang ketika kalimat tersebut keluar dari bibir lelaki yang ia suka setahun belakangan ini. "Deket gimana? Lo yang nge-MOS dia dulu? Atau.. gimana?"
Tangan Kana tiba-tiba dingin. Perasaannya tak enak. Dadanya sesak. Padahal ia belum mendapat jawaban apapun. Tapi ketika mata Kana menangkap telinga Richo yang memerah dan senyum yang kian melebar dari wajah tampan tersebut, Kana tahu, Richo jatuh cinta.
"Gue suka sama dia."
Detik itu, Kana kalah. Kana patah.
✓
Hari itu, akibat patah hatinya melihat Richo yang berbinar-binar menceritakan sosok perempuan di foto— yang diketahui Kana bernama Indri Utari, Kana memutuskan membolos kelas sore. Suasana hatinya memburuk. Jangan tanya apakah Kana menangis, karena jawabannya tentu iya. Setelah Richo berpamitan ke kelas setelah dari kantin, Kana melarikan diri ke toilet. Menumpahkan air matanya disana.
Pernah merasakan bagaimana rasanya satu tahun menyukai lelaki yang malah menganggapmu sebagai teman dekat dan berujung melihatnya memilih perempuan lain? d**a Kana sesak. Hatinya sakit. Kana yang dikenal dewi kecantikan kampus itu terisak di dalam toilet, menumpahkan kesedihannya disana, karena lelaki bernama Richo.
Satu tahunnya tak membuahkan hasil.
Pukul setengah satu siang, Kana yang dari pagi tidak membawa mobil sendiri ke kampus, memutuskan mencari taksi untuk pulang ke apartemen. Matanya sembap. Ia tak punya gairah hidup rasanya. Kana hanya ingin merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Beristirahat. Walaupun ia yakin bayang-bayang Richo yang terlihat sangat-sangat bahagia setiap Richo menyebut nama Indri— akan selalu menghantuinya.
"Kita udah deket dua bulan belakangan." Richo memberitahunya.
Kana pura-pura merengut. "Kok baru cerita sekarang, sih?"
"Hehe. Maunya ngasih tahu lo pas udah jadian aja malahan."
Sepertinya Richo memang berniat menghancurkan hati Kana lebih dalam lagi. Kana tersenyum. "Kapan mau nembak?"
"Malem ini." Richo mengulas senyum. "Kebetulan dia pas ulang tahun juga."
"Wow. She is so lucky, i guess."
Richo menggeleng. Tidak sependapat. "No. Aku yang beruntung dapetin dia. Kapan-kapan aku bawa dia ke depan kamu, deh. Biar tahu Indri gimana."
Kana mengangguk setuju.
Kini, di tengah hari, matahari sedang panas-panasnya, hatinya juga terbakar. Lagi-lagi air matanya menetes, satu-persatu. Oh, begini rasanya sakit hati? Kana tertawa miris. Gadis itu jarang sekali bisa jatuh cinta. Tipe perempuan pemilih dan tidak mudah nyaman. Tapi sekalinya ia menaruh hati, nyatanya tak berakhir baik. Happy ending bukan miliknya. Bukan milik Richo dan Kana.
Ia tahu, tanpa harus diberi tahu, bahwa nanti malam ponselnya akan menerima pesan dari Richo. Lelaki itu akan memberinya kabar bahwa ia berhasil menyatakan cinta pada Indri dan si perempuan bersedia menjadi kekasihnya. Mereka akan resmi menjalin hubungan. Dan pertemanan sialan yang dijalaninya dengan Richo, sudah pasti tak akan berjalan sama.
✓