Jeri selesai kelas tepat pukul lima sore, lalu ia membawa aventadornya ke J&G menjemput Mella disana, serta mengecek pemasukan bulanan pada kafenya. Setelah beberapa rangkaian agenda ia selesaikan, lelaki jangkung itu sampai di apartemen pukul delapan malam. Beruntung perutnya sudah terisi tadi. Jika tidak, pasti ia pulang ke apartemen dengan suasana hati tak baik.
Setelah memasukkan kata sandi, pintu apatemen terbuka dan Jeri berlenggang masuk. Melepas sepatu dan kaus kaki, menaruhnya di rak, dan melanjutkan langkah. Tidak ada siapa-siapa ketika ia melewati ruang tengah, bahkan ketika Jeri mampir ke dapur untuk mengambil soda di kulkas, apartemennya terlihat sepi— yang artinya Kana berada di kamar atau perempuan itu belum pulang.
Jeri menapaki tangga, kakinya mengayun ke arah kamar. Namun karena letak kamarnya yang berhadapan persis dengan letak kamar Kana, dan melihat pintu kamar gadis tersebut terbuka lebar— padahal biasanya Kana tak pernah membuka pintu begini— Jeri jadi memutuskan unruk menengok. Bukan untuk aneh-aneh, benar-benar hanya ingin mengecek.
Tanpa perlu masuk ke kamar Kana, Jeri bisa melihat bahwa perempuan yang berstatus istrinya itu sedang meringkuk di ranjang, meringkuk dengan duduk, memeluk lutut, seperti posisinya kemarin ketika ia menemani Jeri menonton bola. Tapi kali ini, bedanya, perempuan itu tak menonton apapun di televisi. Jelas, karena TV di kamar Kana memang rusak. Namun bagaimana Kana memandang kosong ke arah televisi membuat Jeri was-was. Sial. Jeri parno. Takut Kana kesurupan.
Dengan lirih, Jeri mengetuk pintu Kana. "Kan..."
Tak ada sahutan. Padahal jelas sekali bahwa mata Kana terbuka. Jeri masuk ke kamar, tak mengambil langkah banyak. "Kana!"
"Apa!"
Kana terlonjak. Ia menoleh terkejut pada Jeri yang tahu-tahu sudah ada di dalam kamar. Jadi perempuan itu mengambil bantal disampingnya dan melemparkan ke arah Jeri. "Ngapain, sih, teriak-teriak! Bikin kaget aja."
"Ye, orang gue tadi manggilnya pelan. Lo aja yang b***k, jadi gue teriak."
"Lo ngapain di dalam kamar gue?!"
"Lo dari tadi diem aja gue kira kesurupan."
"Alesan. Lo mau modus, kan?"
Jeri ternganga tak percaya. "Modusin lo, tuh, modus apa, sih, Kan? Kayak ada yang bisa dimodusin aja, dah."
Kana mengejek Jeri. "Keluar, lo. Ganggu orang aja."
"Ganggu lo ngelamun?"
"Serah gue, dong?"
Jeri berdecak. "Malem-malem jangan ngelamun. Diganggu setan mampus lo."
"Hilih."
"Kamar tamu di apartemen ini dihuni mbak kunti, tahu!"
"Jangan nakut-nakutin!"
"Ya udah, kalau gak percaya, mah. Terserah."
Jeri keluar dari kamar Kana. Melenggang pergi ke kamarnya untuk mandi dan berganti baju. Ia sempat mengecek ponsel. Dan karena tak ada pesan penting disana— penting bagi Jeri hanya Mella, omong-omong— jadi Jeri memilih mengantongi ponselnya saja.
Setelah merasa segar dan badannya lebih nyaman, Jeri ke dapur, mengambil satu botol soda dan mengecek meja makan. Jeri menyeringai puas menemukan kari ayam disana. Pinter, dah, gue gak perlu marah-marah dulu biar Kana masak. Batin Jeri.
Lelaki itu mengambil mangkuk, mengisinya dengan kari ayam dan membawa ke ruang tengah. Menghidupkan televisi dan mencari tayangan film luar negeri. Ah, kapan terakhir kali Jeri bisa menikmati apartemen seorang diri seperti saat ini?
Makanan hangat, soda, ponsel, televisi, Jeri yang sudah mandi, dan keheningan adalah perpaduan sempurna.
Terlena dengan film yang ia tonton, tiba-tiba lampu mati. Jeri melihat sekeliling yang langsung gelap gulita, meraih ponsel dan menghidupkan senter, berjalan ke arah pintu dan mengecek apartemen lainnya. Iya, benar. Mati lampu serempak.
"Jeeeeeer!"
Teriakan Kana membuat Jeri kembali masuk ke apartemen. Menjawab sama teriaknya. "Apaaaaa?"
Disusul suara sesenggukan, Kana berteriak lagi. "Gue takut gelap! Lo dimana, sih?!"
Jeri yang berada di ruang tengah jadi berdiri, mencari liln dan alasnya karena ia mendapati baterai ponsel yang tak mampu bertahan lama. "Di ruang tengah. Cari lilin."
Tak lama, Kana berlari di anak-anak tangga, tergesa-gesa. Membuat Jeri berteriak lagi. "Jangan lari-lari! Lo jatoh, gue ketawain."
Tapi sayangnya Kana tak begitu memperdulikan peringatan Jeri. Dan benar saja. Suara berisik dari arah tangga membuat Jeri mau tak mau menghampiri Kana. Jeri hampir meloloskan tawanya melihat Kana terjatuh di anak tangga paling terakhir di bawah senter yang ia pegang.
"Udah gue bilang." ujar Jeri tanpa berniat membantu. Senter dari ponselnya senantiasa ia pegangi untuk menyinari Kana. "Bangun lo. Ceroboh, sih."
Kana tak menjawab. Hanya merengut dan kembali berdiri tapi sepertinya tungkai kakinya sakit dan keseleo hingga gadis itu merintih. "Aduh, Jer. Sakit, nih!"
Kana malah marah-marah, yang mana membuat Jeri jadi sebal. "Ya salah siapa, sih, orang udah dibilang jangan lari-lari?!"
Jeri mengulurkan tangan, meminta Kana berdiri tapi gadis manja itu kembali merengek. "Duh, gue gak bisa berdiri. p****t gue sakit!"
"Ya terus lo mau duduk disini sampai tahun depan?!"
"Gendong."
"Apa?!"
"Gendong, Jeeeeer. Elah, budek."
"Anj— ARGH! Pusing gue serumah sama lo."
Pada akhirnya Jeri mengalah. Kedua kalinya ia harus menggendong Kana. Walaupun perempuan itu kurus, tapi tetap saja bikin capek kalau harus gendong.
Jeri menyelipkan kedua tangannya di belakang leher dan betis Kana. Dengan lebar tangga yang sempit membuatnya sedikit kesusahan. Apalagi Kana selalu merintih kesakitan saat Jeri mencoba mengangkat tubuh perempuan itu.
"Diem dulu jangan ah ih uh aja dari tadi!"
"Ya gimana orang sakit!"
"Gue banting juga lo."
Jeri bergegas membaringkan Kana di sofa utama depan televisi di ruang tengah. Menurunkan perempuan itu dengan hati-hati dan tangan kanan di belakang leher Kana yang juga memegang ponsel.
"Enak, gak, posisinya?" tanya Jeri setelah berhasil menidurkan Kana.
"Hm."
"Iya, sama-sama." Sarkas Jeri.
"MAKASIH!"
Jeri memutuskan duduk di bawah sofa Kana, meluruskan kakinya, dengan tangan mengecek ponsel. "Anjing, low battery segala."
"Loh, Jer, hape gue dikamar!"
"Ya terus?"
"Ambilin.'
"Ogah."
Jeri berdiri untuk mengambil lilin yang ia siapkan tadi. Tahu bahwa ponselnya sebentar lagi akan mati, ia memutuskan mencari pemantik api untuk menghidupkan lilin. Meneteskan lelehan lilin ke atas piring kecil, menempelkannya, lalu menaruh di meja kecil di samping sofa tempat Kana.
"Mati lampunya serempak, Jer? Apa lo lupa bayar tagihan?"
Jeri bilang juga apa. Walaupun Kana sakit, sikap menyebalkan perempuan itu tak pernah luntur juga. "Lupa bayar tagihan."
"Udah gue duga."
Jer mendengus. Kok bisa, ya, semua sikap buruk di dunia Kanadia Agraf yang punya? Dan kalimat terakhir Kana, Jeri tak berusaha memperbaikinya. Biar saja perempuan itu terus-terusan berpikir jelek. Biar dosanya makin banyak. Biar kualat sama suami.
Keheningan menyelimuti keduanya. Ruangan gelap dengan satu batang lilin yang menerangi, tak ada suara yang terdengar kecuali denting jarum pada jam dinding. Kana memutuskan pelan-pelan bangkit dari posisi tidurnya, sedikit meringis tapi ia ingin duduk saja. Setelah berhasil menata posisi nyamannya, Kana kembali pada kesukaannya ; melipat lutut dan menumpukan dagu disana. Sunyi sepi malam ini membuat pikiran gadis itu melayang pada kejadian pagi ini. Tentang Richo, tentang patah hati Kana, tentang sosok Indri. Ah, sebagian hati Kana tertawa. Menertawakan kebodohannya selama satu tahun. Menunggu seorang teman akrabnya merubah status di antara mereka menjadi lebih jauh lagi. Tentu saja tak mungkin. Kana mendongak, menatap gelapnya ruangan, berusaha mencegah air matanya agar tak lagi menetes. Sudah cukup ia meratapi nasibnya sedari pagi. Sudah cukup Kana merasakan pahitnya menjadi yang kedua. Kana lelah. Tapi ia ingin berteriak. Ia ingin mencurahkan isi hatinya pada seseorang. Kana ingin mengeluh. Ingin menumpahkan air matanya.
Kana mengusap satu tetes yang terjatuh di pipinya, hatinya sakit lagi. Gadis itu memutuskan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, menumpukannya pada lutut yang ia tekuk. Mungkin Kana kira ia tak menimbulkan suara apapun. Padahal ia salah. Jeri yang duduk di bawah sofa mengamati itu. Dari cahaya kuning temaram dari lilin, ia bisa melihat raut sedih dan air mata yang meleleh di pipi Kana.
Jeri bukan tipe laki-laki yang suka ikut campur urusan orang lain. Tapi tentu Kana bukan orang lain, kan? Walaupun menyebut Kana sebagai istrinya adalah sesuatu yang tak pernah ikhlas ia ucapkan, namun melihat seorang perempuan sedang menangis dan hanya ada dia disana, tentu hati Jeri terketuk.
Lelaki itu memilih naik ke atas sofa. Duduk tepat di samping Kana. Tanpa menoleh ke arah perempuan itu, Jeri bersuara. "Lo bisa cerita ke gue. Ngeluh atau apapun itu."
Kana tentu saja terkejut. Tak tahu bahwa Jeri tahu ia sedang bersedih.
"Nangis aja kali. Gak bakal gue ketawain."
Dengan itu, Kana yang masih memeluk lututnya, membiarkan tangisnya pecah, air matanya luruh. Bukan Kana yang merengek seperti biasanya. Tak ada lagi Kana yang egois, manja, suka marah-marah, dan mau menang sendiri seperti biasanya.
Kali ini hanya ada Kana yang mati-matian menahan suara agar tak meraung. Agar tangisnya tak menciptakan suara. Ia mengigit bibirnya keras, air matanya terus menetes dan Kana tak berniat untuk mengusapnya. Biar malam ini jadi saksi patah hati pertama yang Kana rasakan. Biar gelapnya ruangan menertawakan atas satu tahun yang ia lakukan untuk pujaan hatinya.
Jeri menghembuskan nafas pelan. Sedikit merasa tersentuh karena Kana sampai begini. Ia ingin tahu apa yang menjadi alasan Kana menangis. Seberasa besar masalah yang perempuan itu angkat di pundaknya. Ada apa? Mengapa? Tapi Jeri tak mau tahu lebih jauh. Mungkin lelaki itu hanya bisa membantu begini. Menemani Kana menangis. Tanpa bersuara. Setidaknya Kana tahu ada telinga yang siap mendengar. Jeri mau Kana tahu bahwa lelaki itu tak lagi menolak berteman dengannya.
"Richo jahat, Jer. Richo jahat.."
Dan Jeri hanya butuh mendengar nama itu keluar dari bibir Kana sebagai alasan mengapa kini tangan Jeri bergerak ke belakang punggung Kana, menarik bahu gadis itu agar kepalanya bersandar di d**a Jeri. Menyuruh Kana bersandar disana, menangis disana, meluapkan sedih dan emosinya disana.
Kana terisak. Menangis di dalam dekapan Jeri. Menyebut nama Richo di antara tangisnya. Dan tangan kiri Jeri tak berhenti mengusap rambut Kana menenangkan. Menyuruh perempuan itu menangis sepuasnya dan berjanji pada diri sendiri bahwa malam ini adalah malam terakhir Kana boleh menangisi Richo.
Ditepuknya pundak Kana, lalu tangannya kembali mengusap kepalanya, menyusuri surai hitam legam dan kembut milik perempuan itu, dagu Jeri menumpu disana, berbisik lirih. "Ada gue, Kan. Luapin semuanya ke gue. Gue disini. Gue sama lo."
"Richo jahat, Jer..."
"Richo bahkan udah lama tahu kalau gue suka sama dia..."
Jeri diam. Membiarkan Kana meluapkan isi hatinya.
"Dia tahu gue suka sama dia tapi dia pura-pura buta."
"Dia bilang dia suka sama cewek lain, Jer..."
"Richo jahat..."
Jeri mengusap bahu Kana lembut. Membiarkan gadis itu semakin terisak memecahkan keheningan malam.
"Apa segitu gak layaknya gue buat bisa jadi pacar dia?"
"Sebanyak apa kekurangan gue sampai dia lebih milih suka cewek lain padahal jelas-jelas gue sayang sama dia?"
"Apa emang gue gak layak buat disukain balik—"
"Enggak, Kan," potong Jeri cepat. "Semua orang punya hak."
"Tapi elo juga pernah bilang kalau gak ada yang bisa—"
Entah apa yang ada dipikiran Jeri hingga lelaki itu memutuskan membungkam bibir Kana dengan bibirnya. Menghentikan segala omong kosong Kana tentang hak seseorang dicintai dan mencintai. Jeri hanya tak suka mendengar Kana yang selama ini terkenal dengan percaya dirinya yang melangit jadi Kana yang seperti ini. Ia tak suka Kana begini.
Tak ada lumatan disana. Jeri membiarkan bibirnya menempel di atas bibir Kana yang basah terkena lelehan air mata. Kana terang-terangan membuka matanya, menatap Jeri dengan pandangan tak terbaca, tapi Jeri juga tak tahu mengapa ia melakukan ini. Mengapa ia mencium Kana, Jeri tak tahu jawabannya.
Jeri memilih menutup matanya, bibirnya bergerak memagut milik Kana, merasakan asin disana, yang lagi-lagi Jeri tebak karena air mata. Kesalahan kedua adalah karena Kana menikmati bagaimana Jeri berusaha memberikan sensasi terlembut ketika melumat bibirnya, Kana ikut terpejam. Membalas pagutan demi pagutan yang diberikan Jeri.
Jeri menyudahi ciumannya. Menjauhkan bibirnya, dan tak memberi kesempatan Kana untuk melihat wajahnya karena ia langsung merengkuh lagi bahu Kana agar bersandar pada dadanya. "Lo bakalan baik-baik aja, Kan."
Setengah jam lamanya Jeri mengulangi pergerakan yang sama, menunggu Kana tenang, hingga kemudian nafas perempuan itu mulai beraturan, tak ada lagi isak tangs, bajunya sudah basah karena air mata Kana, sepertinya Kana terlelap di d**a Jeri.
"Kan?"
Tak ada sahutan. Jeri jadi terkekeh geli. Dikasih jantung minta hati, ya, gini, nih. Disuruh menangis dan menenangkan diri di bahu Jeri, malah kebablasan tertidur disana. Tapi sedetik kemudian raut wajah Jeri berubah kaku. Ia baru menyadari bahwa... apakah ini tidak berlebihan? Menyiapkan pundak dan dadanya untuk Kana padahal ia memiliki Mella yang masih resmi sebagai kekasihnya? Apakah... ini benar mencium bibir perempuan lain disaat ia memiliki status dengan yang lainnya lagi?
Jeri memejamkan mata. Seketika merasa menyesal dan dilema menyatu dan semakin menjadi. Tapi bukankah ini adalah salah satu bentuk toleransi antar manusia? Jeri hanya tak tega melihat Kana bersedih hingga menangis tersedu-sedu. Jadi.. manusiawi, kan, kalau Jeri memeluk gadis itu? Berusaha menenangkannya? Dan.. mencium bibirnya?
Jeri melirik sekali lagi ke arah wajah perempuan yang ada d dekapannya, dengan helai rambut yang menutupi mata dan hidungnya. Jeri mencoba menjauh, melepaskan Kana, tapi yang ada peremouan itu malah menggeliat mendekat, semakin menyerukkan hidungnya di d**a Jeri. Merasa nyaman dalam tidurnya.
"Kan... kalau tidur pindah ke kamar."
Kana tentu tak menjawab. Mungkin gadis itu sudah terbang ke alam mimpi dan betah disana. Tak ingin terusik suara Jeri yang tangannya mulai keram karena tertindih dan merangkul Kana. Baiklah, malam ini Jeri akan mengalah lagi.
Jadi malam itu, dimana Kana merasakan patah hati luar biasa, Jeri datang membawa obat penenang, memeluknya, mengusap rambutnya, hingga Kana tertidur, dan Jeri.. ikut terlelap tak lama setelah itu.
✓
Kana menggeliat, merasakan punggungnya sakit karena tak nyaman tertidur dalam posisi duduk, belum lagi lehernya yang terasa ingin patah karena miring ke kanan semalaman. Matanya mengerjap, perlahan membuka mata dan menemukan wajah Jeri begitu dekat dengannya. Kana terlonjak, sedikit menghindar karena terkejut. Apa-apaan ini? Ia mencoba mengingat apa yang terjadi kemarin. Lampu mati. Kana menangis. Jeri mendekat. Memeluknya. Menenangkannya. Dan menciumnya. Lalu mereka tertidur. Kemarin mereka berdua tertidur di sofa dengan posisi... seperti ini? Tangan Jeri merangkulnya dan kepala Kana berada di d**a lelaki itu? Astaga. Kana menampar pipinya sendiri. Masih tak percaya dengan apa yang terjadi semalam.
Merasa ada pergerakan dari sebelahnya, Jeri mengernyit dengan mata masih terpejam, lalu perlahan ikut membuka mata dan menegakkan punggung. Dengan raut muka bantal, ia menoleh ke samping kiri dan menemukan Kana yang sedang menatapnya dengan pandangan tak terbaca. Pada detik kemudian, Jeri melotot. Membuka matanya lebar. Yang kemarin terjadi...
"Ah... Ehm... Itu, kemarin gue bangunin lo, tapi elo gak bangun-bangun. Dan gue gak bisa berdiri karena lengan gue lo jadiin bantal..."
Jeri jadi kikuk sendiri. Ia tak berusaha menjelaskan ciuman yang terjadi kemarin, karena Jeri tak tahu harus menjelaskan apa, membela bagaimana. Ciuman yang terjadi kemarin murni terjadi tanpa rencana. Jeri hanya bermaksud menenangkan perempuan itu.
Kana memilih memalingkan wajah, pipinya memanas, matanya menatap kemana saja asal bukan wajah Jeri. Merasakan canggung yang luar biasa. "M-maaf, ya. Kemarin banyak ngerepotin elo."
Jeri mengangguk kaku. Apa-apaan ini? Mengapa atmosfirnya jadi berbeda begini di antara mereka berdua? Jeri benci dirinya yang tiba-tiba berdebar dan astaga, ia masih tak habis pikir mengapa bisa dirinya mencium Kana?!
"Soal ciuman kemarin..."
Kana menoleh cepat. Tangannya terangkat menyuruh Jeri berhenti bicara. "Jangan dibahas! Eung— a-anu, jangan dibahas, pokoknya!"
Jeri mengangguk. "Iya. Yang... kemarin itu... emm... kesalahan. Jangan diinget-inget."
"Oke. Deal. Jangan diinget-inget."
Kana menoleh pada Jeri tepat ketika lelaki itu memang sedang memandanginya. Lalu keduanya dengan cepat sama-sama memalingkan wajah dan beranjak dari sofa.
Ini salah!
✓
Ketika Jeri dan Kana membuat perjanjian yang tertulis di atas portofolio dan diberi materai enam ribu sebagai pengesahan, tertulis satu peraturan dimana keduanya sepakat untuk tak memberi tahu kepada orang lain selama teman terdekat dan keluarga, tentu saja.
Jika sebelumnya Jeri sudah melanggar peraturan dengan membawa Mella ke apartemen, juga ditambah satu peraturan lagi yang terlanggar yakni pasal yang berbunyi dilarang skin ship atau dalam hal sentuh-menyentuh, sebenarnya sudah sejak lama peraturan yang satu itu dilanggar. Pertama, Jeri suka mendorong kening Kana yang mana artinya telunjuk Jeri bersentuhan dengan kening perempuan itu. Atau Kana yang suka memukul lengan Jeri— tapi sebenarnya itu bukan bentuk skinship karena terhalang kaos oblong Jeri. Dan yang paling parah adalah kemarin. Jeri dan Kana masih sama-sama syok karena kejadian kemarin. Siapa yang bisa disalahkan atas ciuman kemarin?
Dan atas dua peraturan yang pernah dilanggar, sepertinya Jeri akan melanggar satu jenis lagi. Pernikahannya dengan Kana dulu memang hanya dihadiri oleh keluarga besar saja. Tak ada orang luar yang tahu, bahkan teman dekat. Alasannya karena ; pertama, Kana tak benar-benar memiliki teman dekat. Orang yang selama ini menjadi tempat berkeluh-kesahnya hanya mama dan Diana, yang mana Diana sekarang memilih tinggal di New York dan jarang pulang ke Jakarta.
Bukan berarti, Kana dan Diana tak pernah lagi saling mengirim kabar. Hanya saja keduanya susah menemukan waktu untuk saling menghubungi. Diana punya kekasih dan harus mengurusi studinya disana. Begitu pula dengan Kana yang malah sudah punya suami dan juga harus tetap menjalankan aktivitas sehari-hari sebagai mahasiswa.
Walaupun Diana tak datang ke pernikahan tertutupnya dengan Jeri, tapi gadis bule itu tahu bahwa Kana sudah menikah bahkan ia memberikan foto Jeri pada Diana. Sekedar memberi tahu 'ini loh suami gue.'
Alasan keduanya adalah, dari sekian banyak teman dekat Jeri, dari jaman SMA hingga kuliah, perbisnisan, dan lain sebagainya, mungkin hanya Gama yang benar-benar definisi sahabat karib. Tapi bukan berarti Jeri dekat dengan Gama seperti layaknya saudara, Jeri menceritakan pernikahannya dengan Kana pada Gama. Tidak. Jeri tidak melakukan itu.
Gama tidak tahu apapun tentang Kana. Yang Gama tahu adalah Jeri masih resmi berpacaran dengan Mella Melonica dan tak ada Kanadia Agraf di kamus lelaki itu. Gama tak tahu bahwa sobatnya itu sudah menikah.
Tapi hari ini, dimana pikiran Jeri kacau karena merasa bersalah atas apa yang ia lakukan pada Kana kemarin malam, membuat Jeri mau tak mau membeberkan semuanya pada Gama. Menceritakan dari awal. Dan tentu, Gama terkejut. Ia mengumpat seribu kali. Memerotes mengapa ia baru tahu tentang pernikahannya dengan Kana dan mengapa Gama baru diberi tahu sekarang.
Jeri pusing. Ia ingin berkeluh kesah dan hanya Gama jawabannya. Jadi ia menerima resiko diceramahi satu hari satu malam oleh Gama. Mendengarkan dengan seksama akan kalimat demi kalimat yang keluar dari bibir temannya itu.
"Anjing, man. Ini Kanadia Agraf! Bisa-bisanya, ya, lo nikahin cewek super model kayak dia? Jackpot, anjing!"
Gama masih tak bisa percaya bahwa dewi kampus tersebut telah bersuami dan yang menjadi suaminya adalah lelaki b******k yang sayang sekali tak lain dan tak bukan adalah temannya ini.
"Jadi, Mella gak tahu soal ini?"
Ini ketiga kalinya Gama bertanya dengan pertanyaan yang sama.
"Terus, motif lo baru cerita ini ke gue sekarang apa!"
Nah, itu dia yang ingin Jeri bahas. Kepala Jeri mendongak, mengedarkan pandangan ke sekliling kantin, menyapu seisi ruangan, dan ketika dirasa semuanya aman, Jeri menceritakan semuanya pada Gama dengan suara lirih. Berbisik-bisik.
Mengalir cerita dari bagaimana ia dan Kana yang tak ada bedanya dengan kucing dan tikus, lalu perjanjian yang mereka buat, tentang kebohongannya mengenalkan Kana sebagai sepupu pada Mella, dan yang terakhir adalah ciuman kemarin.
"s**t!"
Gama mengumpat. Matanya membelalak tak percaya. Banyak yang ingin Gama bahas dengan Jeri. Dua hal yang paling penting adalah kebohongan terbodoh karena mengenalkan Kana pada Mella— karena Gama yakin jika ini terbongkar maka akan menjadi permasalahan yang sangat panjang— dan yang kedua adalah— hei, bagaimana bisa Jeri merasa bersalah mencium istri yang ia nikahi secara sah di mata hukum dan agama?
"Kalau lo emang manusia normal, ya, bro, harusnya elo ngerasa bersalahnya karena belum mutusin Mella padahal udah nikah sama Kana!" Jeri melotot kecil pada Gama, memperingatkan lelaki itu untuk mengecilkan suara.
"Sekarang gini, dah, Jer. Kana ini statusnya istri, Mella cuman pacar. Tanggung jawab lo gedean kemana? Bahagiain istri apa— eh, salah, salah. Gimana, ya, Jer jelasinnya."
"Pokoknya, yang salah dari awal, tuh, elo. Harusnya pas lo tahu mau nikah sama cewek lain, lo kasih tahu langsung ke Mella. Putusin dia baek-baek."
"Tapi Kana gak masalah gue pacaran sama Mella."
"Ya berarti tugas lo gimana caranya Mella baik-baik aja dengan status lo yang sekarang." Gama berdecak sebal. "Gue punya temen napa g****k banget, ya. Udah nikah tiga minggu baru cerita sekarang."
"Terus ini gue gimana, Gam?"
"Dari tadi gue ngomong panjang banget kayak naga di iklan bear brand dan sekarang lo tanya lo harus ngapain?!?! Bener-bener kagak punya akhlak lo, Jer."
Jeri mendengus. "Saran lain selain gue harus ngomong jujur ke Mella, dong. Gue belum siap kalau bilang sekarang."
"Lo mau bilang kapan? Itu cuman bakal nunda putus lo doang, kali, Jer."
"Amit-amit."
"Lah? Elo emang mau gimana? Elo yakin mau cerai sama Kana?"
"Yakin, anjing. Dari dulu rencana gue juga gitu. Lo tahu sendiri, lah, gue sesayang apa sama Mella."
"Dan ngorbanin martabat orang tua lo? Kebahagiaan bokap nyokap lo?"
Astaga. Ini semakin rumit. Jeri tak dapat berpikir jernih dan peningnya semakin menjadi-jadi. Bahkan Jeri diberi pilihan yang jelas-jelas keduanya sama-sama tak ia mau. Jeri tak melihat jalan keluar dari masalah yang ia hadapi sekarang.
Apakah ini keputusan yang tepat untuk mengatakan pada Mella atas kebohongan yang selama ini ia tutupi? Rahasia pernikahan dengan perempuan lain itu bukan hal sepele. Namun, benar kata Gama. Menunda membicarakan ini dengan Mella hanya seperti menunda luka untuk gadis itu. Demi Tuhan, Jeri menyayangi Mella. Dan apabila saat ini ia bisa memilih, ia akan memilih bercerai dengan Kana. Tapi bagaimana perasaan orang tuanya?
"Tuh, pacar lo dateng, tuh."
Jeri menoleh ke belakang, menemukan Mella Melonica, kekasih yang ia cinta, datang ke arahnya dengan wajah ceria. Bibirnya melengkung, memamerkan senyum yang sangat manis. Matanya menunjukkan binar bahagia. Gadis itu berlari kecil, lalu mengambil duduk di samping Jeri, menyapa Gama sebentar, lalu tangannya memegang lengan Jeri.
"Jer, aku dapet A!"
Senyum itu. Suara merdunya. Semua yang ada pada Mella. Ia tak siap ditinggalkan gadis yang selalu menempati piroritas pertama dalam hidupnya. Jeri meringis. Mana bisa Jeri menyakiti hati perempuan itu?