mengapa harus panik

3055 Words
Ada kalanya seorang Kanadia Agraf berada di titik paling rendah dalam mencintai seorang Richo Dicardo. Bukan tentang hari kemarin dimana Richo membicarakan perasaannya tentang perempuan lain di hadapan Kana. Bukan mengenai itu. Ini tentang kejadian setengah tahun yang lalu. Ketika mereka berdua tidak pernah bertemu karena libur semester dan Richo harus pulang ke Australia menjenguk kakek dan neneknya disana. Dan statusnya sebagai sahabat, membuat Kana tak bisa banyak menuntut kabar walaupun Kana ingin tahu. Lalu secara tiba-tiba, tepat tengah malam ketika jam di ponsel Kana menunjukkan pukul setengah dua belas dan Kana tak tahu tepatnya jam berapa di Australia, Richo meneleponnya. Sangat tiba-tiba setelah satu bulan penuh keduanya tak pernah berkomunikasi. Kana senang bukan main. Bahkan hanya dengan melihat nama lelaki itu muncul di layar ponsel, Kana bersumpah tangannya gemetar. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Hingga ia memutuskan menggerakkan jemarinya untuk menggeser tombol hijau disana. Lalu suara merdu menyapa gendang telinganya. "Halo?" Kana memejamkan matanya. Menggigit bibir seiring ia merasa hatinya menghangat. Ia berdeham membersihkan tenggorokannya yang tiba-tiba terasa kering. "Ya, Cho?" Richo terdiam beberapa detik disana. Hingga tak lama terdengar lagi. "Lagi.. apa?" "Nothing to do. Kenapa, Cho?" "Gue mau... ngomong penting." Kana mendadak gugup. Sesuatu yang penting, katanya. Pikiran Kana bercabang. Tak tahu harus menebak apa. Apakah sesuatu yang baik atau buruk. Kana harap ini adalah tebakan pertama. "O-oke." "Apa... elo gak ngerasa aneh sama hubungan kita?' Kana diam. Tak menjawab. Membiarkan Richo berbicara hingga selesai dan ia tak ngin memotong. Jadi Richo kembali bersuara. "Gue selalu ada buat lo. Inget siapa yang pertama kali ada pas lo butuh? Atau inget, gak, siapa yang gue cari kalau gue butuh seseorang buat dengerin keluh kesah gue?" Jantung Kana berdegup kencang. Tangannya berkeringat. Ia meremas bantal yang ia pangku. Menyalurkan rasa panik dan gugupnya disana. "Apa elo gak nyadar kalau kita... we need... each other? It means... i love you and you do too." Senyum Kana melebar. Kini ia tak lagi berusaha menahannya. Ia mengedarkan pandangannya pada atap kamar warna biru mudanya. Merasakan perasaan senang yang membuncah luar biasa. Enam bulan lamanya ia memuja Richo dan hanya bisa bertahan sebagai teman dekat, akhirnya penantian Kana membuahkan hasil sesuai harapan. "Am i right, Kan?" "I-i think s-so." Kana tak sabar dengan kelanjutan percakapan mereka. Ia yakin jika saat itu ia berada di rumah sendirian atau mungkin jika kamarnya kedap suara, Kana akan berteriak sekencang-kencangnya. Menyampaikan pada rembulan dan angin malam bahwa Kana bahagia. Ada jeda lebih lama dari Richo sebelum pemuda itu kembali bersuara. "So... can we be more? Apa... lo mau... jalanin hubungan sama gue dengan status yang baru?" Shit. This is what Kana waiting for! "Halo? Kana? Are you still awake?" "Y-ya, i'm here. Wait. Eung— i'm j-just... shock. Gak nyangka lo bakalan ngomong kayak gini." Kana menggaruk hidungnya yang tak gatal. "Can i ask you?" "Of course." "Kenapa... tiba-tiba banget, Cho? We weren't keep in touch for a freaking month." "Ya... karena gue gak mau menunda-nunda lagi, i guess? Gue udah mau ngomongin ini dari lama tapi belum siap secara total. But now, here i am with all my mettle, i want you— no, no, i want us to be... a... what am i should call it? A couple? Hehe." Senyum Kana tak luntur barang sedetik. Ia tak bisa mengatakan apapun untuk mengutarakan kebahagiaan yang ia rasakan.  "Kanadia Agraf? You hear me?" "Y-yes, i heard you." "Okay. So... what's your answer?" "Eung— i'm not genuinely sure about this, but... try to give us a chance sounds great, right?" "Is it yes, Kan?" "Y-ya." Detik-detik berikutnya Kana mengernyit, dahinya berlipat karena tak ada suara Richo di seberang telepon. "Cho?" Tawa Richo terdengar. Tak tanggung-tanggung pemuda itu meledakkan tawa di tengah malam, di antara rasa senang yang Kana rasakan. Membuat hati gadis tersebut sedikit... merasakan firasat tak enak? Kana memaksakan senyum. Mencoba tidak berpikir aneh-aneh dan mengambil kesimpulan sendiri. "Cho, why?" "IT'S A PRANK, KAN! Hahahahahahaha." Jika hati memiliki suara, Kana yakin akan terdengar patahan dari sana. Perasaannya hancur. Lebur. Tak perlu butuh satu detik hingga cairan keluar dari sudut matanya. Ia menangis. Membiarkan setetes demi setetes air mata meluruh di pipinya. Kana tak berusaha mengusapnya. Ia tertawa. Ia melepaskan tawanya ke udara. Menertawakan kebodohannya. Menertawakan rasa percaya dirinya yang begitu tinggi. Siapa dia bisa membuat Richo Dicardo menyukainya?  Seiring dengan hatinya yang remuk, harga dirinya yang sudah tak terbentuk, ia mendengar Richo Dicardo menghela nafas kasar di sela-sela tawanya. "Kan, i truly am sorry. I'm kidding, okay? I'm sorryyyyy." Kana tertawa lagi. "Hahaha. It's okay, dude." "Are we still good?" "Sure. We are. It won't make anything changes between us." Kana mengusap air matanya. Menunduk dalam-dalam dengan ponsel masih di telinga. "But if i can beg you something, i want you to not do this s**t for twice. Not to me neither other girls. It'll hurts a lot. Hehe." "..." "Promise, Cho?" "... Kan, are you okay?" "I am f*****g great, Cho. You don't have to worry." Kana menggigit bibir bawahnya, menahan suaranya agar tak bergetar, agar isak tangisnya tak terdengar oleh pemuda di seberang sana. "You don't mind if i sleep first? It's already midnight." "Okay. Have a good sleep, Kan." "You too, Cho. Bye." Kana tahu. Malam itu adalah bukti bahwa Richo yang ia kenal sebagai lelaki baik nyatanya juga sama seperti yang lain. Tak berpikir ulang atas apa resiko yang ia lakukan. Akankah menyakiti perasaan perempuan atau sebaliknya. Richo tak sadar perbuatannya berhasil membuat Kana tak bisa tidur, sibuk menangisi perasaannya, menangisi harga dirinya, menangisi laki-laki tak tahu diri. Bertambah satu lagi alasan mengapa Kana benci dirinya sendiri. ✓ Tapi sekuat dan sekeren apapun reputasi seorang Kanadia Agraf, memang akan tetap dan selalu terlihat lemah jika sudah disangkut-pautkan dengan Richo Dicardo. Patah hatinya yang terjadi setengah tahun yang lalu dan kemarin lusa nyatanya belum menjadi tamparan bagi Kana. Karena lagi-lagi, untuk kesekian kalinya, Kana tak bisa benar-benar marah pada Richo. Di bawah teriknya matahari siang Jakarta, Kana rela berjalan kaki dari gedung fakultasnya ke fakultas Richo untuk mengantar bekal. Tadi pagi, Richo menghubunginya, menawarkan tumpangan ke kampus karena mereka ada di jadwal jam mata kuliah yang sama— tapi Kana menolak karena Richo akan banyak bertanya mengenai apartemen yang sekarang Kana tinggali. Lalu lelaki itu sempat memberitahu Kana bahwa ia lapar dan tak sempat sarapan yang tentu keluhan Richo membuat Kana menyempatkan belok ke warung terdekat. Kana mendengus. Padahal Richo sudah memiliki kekasih sekarang. Mengapa pula Kana harus repot-repot membawakan bekal untuknya? Kana benci dirinya yang menjadi b***k cinta dari sahabatnya sendiri— apalagi sahabatnya itu sudah sold out. "Cho!" Kana berlari kecil di atas heel merah terangnya ketika menemukan Richo sedang berjalan ke arah lift. Lelaki itu berbalik, menemukan Kana menghampirinya. "Nih." Richo mengernyit ketika menerima bungkusan makanan di dalam plastik. "Buat aku?" Kana mengangguk-angguk dua kali. Richo tersenyum, tangannya bergerak mengusak rambut hitam legam milik Kana. "Makasih, ya?" Kana baru akan menjawab sama-sama ketika ada teriakan perempuan di belakang punggungnya memanggil nama Richo. Kana menoleh, ia berbalik badan, dan menemukan perempuan bertubuh mungil, rambut kurus, dan t**i lalat di dekat bibirnya yang membuat wajah gadis itu terlihat lebih manis. Kana mencoba mengingat dimana ia bertemu dengan perempuan ini karena ia merasa tak asing. Ah, Indri Utari. Kekasih dari Richo Dicardo-nya. "Kak, nanti aku ada rapat di Okum. Jadi kamu pulang duluan aja, oke? Gak perlu ditungguin karena bakal lama." Richo terlihat berpikir sebelum menjawab. "Berapa lama emang?" "Bisa empat jam atau lima jam." Indri meringis. Perempuan itu memang terlihat imut. Benar-benar tipe seorang Richo. "Atau lebih." "Lama banget?" "Iya, soalnya acaranya kan udah dekeeeet." "Aku tungguin, deh, pokoknya—" "Ih, pulang aja, gak papa." Merasa bahwa pembahasan Richo dan Indri tak akan segera berakhir, Kana memutuskan berdeham mengalihkan perhatian dua insan tersebut. Berpamitan untuk undur diri yang diiyakan dengan cepat oleh Richo serta senyum dari Indri. Kana melangkahkan kakinya keluar gedung. Dadanya sesak. Tak bisa dipungkiri ia memang sedih. Tapi melihat betapa Richo berusaha semaksimal mungkin menjaga Indri dan sangat protektif kepada gadis kecil itu, mau tak mau Kana harus mengakui bahwa Richo terlihat bahagia. Dan kebahagiaan Richo adalah kebahagiaan Kana. ✓ "Jadi, kenapa bisa pacar aku yang cantik banget ini tiba-tiba dapet A padahal kemarin lusa bilangnya kamu ngerasa gagal presentasi?" Jeri tersenyum menggoda Mella. Dengan kedua tangan memegang kemudi, matanya sesekali melirik pada gadis yang duduk di jok sampingnya. Mella tersenyum lebar. Ia membalikkan badan menghadap Jeri. "Serius, Jer, waktu itu emang aku gagal presentasi. Ada dua pertanyaan dari dosen yang gak bisa aku jawab. Gimana gak panik? Aku aja hampir nangis. Terus dosennya juga bilang kalau aku terlihat sangat-sangat gugup jadi mengurangi nilai di segi penampilan. Bayangin, deh!" "So, how about the A you've got?" Kana tertawa. Ia mengedikkan bahu. "Don't really know. Mungkin karena power point yang aku bawain sesuai keinginan dosen? Karena waktu itu emang aku nyiapin materi sejak sebulan yang lalu. Inget, gak, waktu aku minta kamu nemenin cari buku buat referensi di perpus kota?" Jeri manggut-manggut. "Inget." "Nah, ya itu." Jeri tersenyum. Tangan kirinya melepas setir, meraih kepala Mella dan mengecupnya. "Glad to hear that, babe. I'm proud of you." "Thank you." "So, mau aku traktir apa hari ini?" "Gaaaak. Hari ini aku yang traktir." Jeri memajukan bibir bawahnya tapi kepalanya mengangguk. "Okay, your turn." "Ke Okum, ya, Pak." Jeri tertawa. "Siap, deh, Neng." ✓ Letak Okum alias Omah Kumpul sebenarnya jauh dari kampus. Jika ke J&G hanya membutuhkan waktu tidak sampai lima menit dengan mengendarai sepeda motor, maka jarak dari kampus ke Okum adalah tiga puluh menit. Belum terhitung macet dan lampu merah. Okum sendiri adalah kafe yang didesain vintage di setaip ruangannya dengan ruangan terbuka. Tidak ada menu makanan berat disana. Tipe kafe yang sering dikunjungi para kaum milenial untuk memotret dan mengisi halaman instragram. Hari itu, Okum tak begitu ramai. Mungkin karena ini masih hari rabu pukul lima sedangkan biasanya pelanggan akan datang bergerombol ketika hari sabtu dan minggu. Lima orang yang terdiri dari Richo, Indri, dua laki-laki, dan satu perempuan lainnya dari organisasi Indri berada di tengah-tengah ruangan. Mengambil duduk di meja melingkar berisi enam kursi. "Aku udah bilang bakalam lama, ya, Kak. Awas kalau ngeluh." Indri mengepalkan tangan dan menunjukkan ke depan wajah Richo membuat cowok itu tertawa gemas. "Kalau ada kamu gak bakal kerasa lama, kok." "Alah, gombal banget ngomongnya."  Berkebalikan dengan apa yang Indri ucapkan, pipi gadis itu merona. Lain lagi dengan Jeri dan Mella yang duduk di kursi paling ujung dekat jendela. Keduanya sibuk membuka buku menu. Mella membolak-balikkan kertas disini. Bingung ingin memesan apa. "Jer, disini yang enak pesen apa?" "Lah, mana aku tahu. Aku kira kamu pernah kesini?" Mella menggeleng dan meringis. "Ini pertama kali." "Ya udah pesen menu spesialnya aja apa." Mella mengangguk setuju. "Iya, deh." Gadis dengan dress cokelat muda itu mengangkat tangannya, memanggil pelayan dengan suara sedikit berteriak bertepatan dengan seorang perempuan di meja tengah memanggil pelayan yang sama. Jeri tentu ikut menoleh. Lehernya memanjang berusaha mengamati situasi. Matanya memicing menatap perempuan yang sedang mengacungkan tangan di meja tengah. Bukan, ralat. Bukan perempuannya.Tetapi lelaki di samping perempuan itu. Dahi Jeri berkerut, hingga ingatan ketika Kana berada di kantin fakultasnya dengan lelaki itu beberapa minggu lalu muncul di bayangannya. Itu.. Richo, bukan, sih? Richo yang bersama Kana di kantin Fakultas Hukum. Richo yang membuat Kana menangis tempo hari. Richo yang Kana bilang jahat karena memacari perempuan lain. Setiap pergerakan Richo yang saat ini sedang merapikan ramput Indri memunculkan rasa kesal di hati Jeri. Dirinya ingat benar bagaimana malam itu Kana melamun di kamarnya, menangis sesenggukan di pelukannya, terisak, hingga tertidur. Jeri berdecak tak suka melihat Richo muncul di hadapannya. "Jer, kenapa?" Jeri menoleh menatap perempuan yang memanggilnya. "Kenapa, Mel?" "Kamu kenapa kok ngeliatnya gitu amat?" "Ngeliat siapa?" Mella mengernyit. "Ya kamu ngeliat siapa kok tatapannya kayak benci gitu." Jeri mengedikkan bahu. "Ngarang, deh. Orang aku biasa aja." Usai memesan makanan pada pelayan, Mella bercerita mengenai hari ini. Segala sesuatunya ia beritahukan kepada Jeri. Setiap hari mereka memang begini. Selalu bertukar cerita walau sesepele apapun. Menghabiskan waktu dengan mendengarkan keluh kesah satu sama lain. Tapi bedanya, sore itu fokus Jeri tidak disana. Matanya sering melirik ke meja tengah. Menatap Richo yang terkadang menumpukan kepala di bahu Mala, memainkan jemarinya, berbisik, atau apapun. Jeri tak peduli jika ada orang yang memergoki pergerakannya dan malah menyimpulkan bahwa Jeri menyukai sesama jenis. Haha. Kurang kerjaan saja. "Jadi menurut kamu gimana?" Jeri terkesiap. Pandangannya kembali kepada Mella yang sedang mengaduk-aduk mojitonya. "Hah? Apanya?" "Aku ke Los Angeles minggu depan, sayaaaang." Berapa banyak cerita Mella yang ia lewatkan? Mengapa tiba-tiba gadis itu bilang akan ke Los Angeles? "Gak papa, kali, ya? Soalnya, kan, juga acara keluarga." Oh, benar. Ia ingat kemarin malam Mella sudah membicarakan ini dengannya. "Tapi ujian kamu gimana? Mau ijin aja?" Mella mengangguk. "Lagian udah dikasih izin sama dosennya. Ganti jadwal gitu." "Ya udah, berangkat aja." Jeri mencomot kentang gorengnya. "Seminggu doang, kan?" "Maksimal dua minggu." Jeri mengangguk-angguk. Pikirannya bercabang. Jika Richo disini sedang bermesraan dengan kekasih barunya, apa kabar Kanadia Agraf yang sekarang entah dimana? Apa jadinya hati gadis itu jika tahu adegan menye-menye ini? "Makannya udah selesai, kan? Pulang, yuk?" Mella yang sedang menyeruput es batunya jadi bergegas berdiri ketika Jeri beranjak dari kursi. "Eh, tumben ngajak pulang duluan?" "Hehe. Capek banget. Pengen pulang." Jeri mengambil jaket yang ia sampirkan di bahu kursi, memakainya dengan cepat, merogoh kunci mobilnya, lalu mengambil tangan Mella untuk digenggam. Cowok itu sengaja melewati kursi Richo. Dan secara sengaja, Jeri menendang kaki kursi pemuda tersebut— yang notabene-nya tak pernah ada urusan dengan Jeri— membuat Richo mengangkat kepala dan menoleh. "Sori, bro. Gak sengaja." ✓ Usai mengantar Mella hingga depan pagar rumah gadis itu dan memberi kecupan di pipi sebagai ucapan selamat malam, Jeri menambah kecepatan aventadornya, berharap ia segera sampai di rumah karena ia ingin... ingin apa? Bahkan setelah memarkirkan mobil dan melewati koridor hingga memasuki lift, Jeri berlari. Membuat nafasnya memburu karena kelelahan. Sampai di depan pintu apartemennya, Jeri cepat-cepat memasukkan kata kunci.  "Kan?!" Untuk pertama kalinya, Jeri masuk ke dalam apartemen dan langsung mencari Kana. Sebelum-sebelumnya mana pernah. Dan bahkan dengan seenak jidat, lelaki itu menginjak karpet ruang tengah yang bulunya setebal dosa Jeri dengan sepatu kotornya.  "Kan!" Teriakannya menggema di seluruh ruangan. Saking paniknya, Jeri lupa menghidupkan lampu ruangan. Jadi dengan tergesa-gesa ia kembali ke samping pintu utama, menekan saklar lampu. "Kana!" Tak ada suara. Jeri jadi melirik jam tangannya. Pukul delapan. Harusnya Kana sudah di rumah karena tadi pagi gadis itu mengatakan bahwa hari ini ia hanya memiliki kelas pagi. Jeri membuka kamar mandi tamu, mencari ke dapur, naik ke tangga, mengetuk pintu Kana dan tak mendapat jawaban, membuat Jeri kembali turun ke ruang tengah.  "Kemana, sih, nih anak." Dua hal yang membuat Jeri bingung hari ini. Pertama, dimana Kanadia Agraf berada. Karena selama Jeri dan Kana menikah, tak pernah sekalipun Kana belum berada di rumah ketika jam sudah menunjukkan pukul tujuh. Lalu alasannya yang kedua ; mengapa Jeri sepanik ini mencari Kana? Toh, tak akan terjadi apa-apa pada perempuan itu. Kana bisa keluar main kesana dan kemari dan tak memiliki kewajiban berpamitan pada Jeri sebelum pergi. Kana juga tak akan diculik orang lain karena— hei, Kana itu bisanya merepotkan orang! Tak ada penculik yang mau menculik manusia seperti dia— Kana juga tak mungkin diculik wewe gombel atau kuntil anak karena perempuan itu jauh lebih menyeramkan dari seribu macam jenis hantu di Jakarta. Jadi, sekali lagi, apa yang dikhawatirkan Jeri? Kana juga tak akan bunuh diri karena patah hati, kan? Karena ini sudah hari ketiga setelah gadis itu galau tempo hari. Jadi harusnya jika memang memiliki niat bnuh diri, kemarin-kemarin saja saat hari H. It's too late, bruh. Jeri mengeluarkan ponselnya berniat menghubungi Kana. Tapi yang ada ponselnya malah terancam mati dalam hitungan menit membuat Jeri berlari menaiki tangga dan masuk kamar untuk mengisi baterai. Jeri duduk di tepi ranjang dengan ponsel terhubung charger. Jika Mella tahu kebiasaan Jeri yang satu ini, pasti cewek itu akan memarahinya habis-habisan. Dua jari jempol Jeri bergerak cepat di atas layar ponsel. Mencari nomor telepon Kana yang sampai sekarang belum juga tersimpan dalam kontak teleponnya. Tak butuh waktu lama hingga ia menekan tombol telepon dan menyalakan pengeras suara. Terhubung. "Halo?" Suara Kana menyapa telinganya. Jeri berdiri. "Heh, lo dimana, sih?" Tak ada jawaban. Yang ada telinga Jeri malah berdenging karena suara gemerisik di seberang sana. Lelaki itu menajamkan telinga. Mendengar suara dentum musik yang keras hampir mengalahkan konser band 1975 favoritnya. "Lo dimana, b***k?" "Bentar-bentar." Jeri tebak Kana mencari tempat yang sedikit sepi karena ia bisa mendengar suara yang tak sekeras sebelumnya. "Lo dimana? Kenapa apartemen sepi?" tanya Jeri sekali lagi. "Ngapain, sih, kepo amat?! Kalau lo laper, gue udah masakin udang asam manis. Tinggal lo angetin." Jeri menggertakkan gigi-giginya sebal. "Siapa yang laper, sih?! Lo, tuh, dimana, Kanaaa?" "Di Swill. Kenape?" "Ngapain lo malem kamis nge-Swill?" Kana berdecak. "Suka-suka guelah?" "Pulang." "Orang gue baru berangkat, masa balik sekarang?" Kali ini Jeri yang berdecak tak suka. Lelaki itu tak tahu apa tepatnya yang membuat Jeri tiba-tiba merasa kesal dan panik begini. "Lo kalau galau mendingan nangis di rumah, gak usah sok acara mabuk-mabuk segala!" "Jer, kalau lo masih mau ngomong gak penting, sori, gue gak ada waktu buat ngeladenin. Bye!" Telepon diputus sepihak. Jeri ternganga tak percaya. Ia menjauhkan ponselnya dari telinga. Menatap horor ke arah layar telepon yang sudah kembali seperti semula. Jeri mendengus. Tangannya bergerak mengacak-acak rambutnya sendiri. Anjing, Jer, lo ngapain, sih?! batin lelaki itu sebal. "Bodo amat mau dia galau. Mau dia mabuk. Bodo amat." Lelaki itu melemparkan tubuhnya ke atas ranjang. Masih tanpa melepas sesuatu. Jeri memejamkan matanya yang terasa berat. Tapi pikirannya tak bisa diajak kerja sama. Otaknya malah berlari memikirkan ini dan itu. Kana, Kana, Kana. Tiba-tiba nama Kana memenuhi pikirannya. Ada rasa cemas ketika mengetahui gadis itu berada di kelab malam— walaupun Jeri tahu Kana sudah biasa berhubungan dengan alkohol. "Apa gue jemput aja?" Jeri bermonolog. Tapi kemudian ia menggeleng cepat. "Gak, gak. Ngapain amat, dah, ngurusin cewek kayak Kana?" Jeri bangkit dari ranjangnya, melepas sepatu dan kaus kaki, melemparnya ke sembarang arah, mengambil kaos dan celana rumahan di dalam lemari, lalu berganti baju. Lelaki itu bahkan terlalu malas untuk cuci muka dan menggosok gigi. Ia melirik jam dinding. Jam sembilan. Oke baiklah. Jeri tiba-tiba memiliki ide cemerlang. Ia mencabut ponselnya yang baru terisi daya baterai lima puluh persen itu. Jemarinya mengetik nama Papa Kana di kontak dan meneleponnya. Sembari tersenyum licik, Jeri menyapa sang mertua. "Halo, Pa? Hehe." "Halo, Jer?" Jeri memikirkan kalimat yang santun untuk mengobrol dengan orang tua. Dia diam sebentar sebelum melanjutkan. "Papa lagi ngapain? Maaf, nih, Jeri ganggu malem-malem." "Enggak ganggu,  kok. Ada apa? Tumben telepon malem-malem?" "Ini, Pa. Jadi Kana sekarang lagi di kelab. Jeri udah nyuruh dia pulang tapi anaknya gak mau." "Loh? Kana masih suka ke kelab?" "Baru kali ini, sih, Pa. Gak tahu kenapa tiba-tiba Kana disana. Jeri udah ngelarang tapi Kananya gak mau dengerin. Dia malah marah-marah katanya Jeri ikut campur." Dari sini, Jeri bisa mendengar bahwa Papa Kana menceritakan isi teleponnya kepada Mama dan Mama langsung marah-marah menggerutu tingkah laku Kana. Jeri menyeringai puas. "Ya sudah. Besok pagi Papa ke apartemen kamu, ya, sama Mama. Biar Papa urus." "Jangan lupa marahin, ya, Pa. Biar dianya kapok."  Hihi. Jeri terkekeh geli. Tak sabar menanti hari esok. "Iya, nak." "Oke, Pa. Makasih banyak, ya. Ditunggu kedatangannya besok." "Iya. Kamu tidur saja sekarang." "Iya, Pa. Selamat malam. Salam buat Mama." Ketika sambungan akhirnya terputus, Jeri tertawa terbahak-bahak. Ia merebahkan punggungnya di kasur dan tertawa ouas dan licik. Kana, Kana. Gak mau nurut, sih, lo, sama gue. Mampus, kan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD