PELARIAN DRAMATIS

1413 Words
"Mau pergi ke mana kamu, hah?!" hardik Hadson dengan kejam, menarik paksa tali tas selempang Keyli. "Sejak kapan keberanianmu sebesar ini, hah?! Apa kamu sudah bosan hidup?" bisiknya penuh ancaman di dekat telinga Keyli yang hampir kehilangan napas. Keyli meronta sekuat tenaga, mencoba melonggarkan jeratan tali selempang di lehernya sebelum kegelapan merenggut kesadarannya. Namun, sia-sia. Tubuhnya terpojok, tak ubahnya tikus yang terperangkap. Kedua tangannya meraba apa pun di sekitarnya, sesekali melayangkan pukulan membabi buta ke arah tubuh kokoh Hadson. Wajahnya pucat pasi, kekurangan oksigen mulai merenggut vitalitasnya. Ajaibnya, secercah belas kasih masih bersemi di hati Hadson. Ia melonggarkan lilitannya, seolah puas telah mempermainkan nyawa istrinya yang tengah mengandung. Keyli terbatuk-batuk hebat, paru-parunya berusaha keras menghirup udara. Tangannya gemetar, tubuhnya lemas tak berdaya menghadapi kegilaan suaminya. Dengan kasar, Hadson menghempaskan tas itu ke samping, lalu mencengkeram rahang Keyli penuh intimidasi. "Kamu pikir bisa lari dariku? Istri macam apa kamu ini, hah?! Aku takkan membiarkanmu pergi ke mana pun. Lebih baik kamu mati di tanganku daripada harus berpisah darimu." Ucapan sadis itu membakar amarah Keyli. Ia mendorong tubuh Hadson sekuat tenaga, meraih vas bunga di meja terdekat, dan menghantamkannya ke belakang kepala pria itu. Hadson tersungkur kesakitan, dan dalam kesempatan emas itu, Keyli berlari keluar rumah. Raungan kesakitan Hadson mengiringi kepergiannya, membuktikan betapa kerasnya pukulan Keyli hingga vas itu pecah berkeping-keping di belakang kepalanya. Pintu terbuka lebar, pandangan Keyli liar menyapu sekeliling. Beberapa kali perutnya terasa mengencang, seolah bayi dalam kandungannya turut merasakan bahaya. Kemudian, matanya tertumbuk pada sebuah mobil pikap dengan bak terbuka yang tertutup terpal biru. Tanpa ragu, ia berlari dan menyelinap masuk ke bawah terpal, napasnya tersengal-sengal. Tak lama kemudian, suaminya keluar rumah, berlarian panik mencari istrinya. Sunyi senyap, tak ada jejak mencurigakan. Hadson mengumpat geram sambil bertolak pinggang, matanya menjelajahi setiap sudut jalan. "Aku akan menemukanmu. Kau takkan bisa lolos dariku, Keyli!" sumpah serapahnya menggema di udara malam. Keyli menggigit bibir bawah, memejamkan mata erat-erat, takut jika Hadson menemukannya bersembunyi di balik terpal mobil pikap. Sayangnya, tas berisi dompet dan ponselnya telah hilang. Padahal, di sana tersimpan sejumlah uang, identitas diri, serta dokumen-dokumen penting. Segera ia merogoh saku celananya, teringat pernah menyelipkan beberapa lembar uang di sana. Keyli menghela napas lega, uang di sakunya masih utuh. Setidaknya, sisa uang ini bisa membawanya pergi jauh dari neraka ini. Sinar matahari yang menyilaukan menembus celah terpal mobil yang melaju tanpa tujuan, membangunkan Keyli dari tidurnya yang gelisah. Setelah mobil bak itu berhenti, diam-diam Keyli keluar dan mencari angkutan umum. Bus mulai bergerak, bersamaan dengan perasaan lega yang perlahan menyelimuti benak Keyli. Akhirnya, ia berhasil melepaskan diri dari cengkeraman suaminya setelah bertahun-tahun terperangkap dalam kehidupan yang penuh siksaan. "Kita aman, Sayang," bisiknya pada bayi dalam perut sambil bersandar lelah di kursi bus. Dalam perjalanan yang melelahkan, Keyli tertidur pulas. Ia terbangun saat bus berhenti di sebuah rest area yang ramai. Dengan sisa uang di tangan, ia turun untuk sekadar membeli air minum. Keyli berdiri di dekat tiang lampu, menghabiskan sebungkus roti kecil dan sebotol air sebagai pengganjal perutnya yang kosong sejak semalam. Masa depannya suram dan tak pasti namun, Keyli bertekad untuk bertahan demi kelahiran bayinya. "Hai." Suara parau seorang pria membuyarkan lamunan Keyli. Ia terkejut, alam bawah sadarnya yang masih waspada bereaksi cepat. Keyli menatap curiga pria tampan yang justru terlihat menyesal telah mengganggunya. Pria itu tersenyum ramah dan berkata, "Maaf. Saya tidak bermaksud mengejutkan Anda." Jari telunjuknya menunjuk ke arah seorang wanita hamil besar yang duduk di kursi panjang, tersenyum hangat kepada pria itu dan juga Keyli. "Dia istri saya," ucapnya. Mendengar itu, ekspresi Keyli berubah, ketegangan di wajahnya mereda. Ia membalas senyuman wanita hamil itu, lalu kembali menatap pria di hadapannya. "Sebenarnya, sejak di perjalanan, istri saya memperhatikan Anda," pria itu memulai percakapan dengan nada lembut. "Dia bilang kepada saya ada penumpang yang sama dengannya." Sambil mengisyaratkan perut besarnya dengan senyuman tulus, Keyli mengerti maksud pria itu. "Tapi sendirian." Keyli menjawab dengan anggukan kepala. "Sebenarnya, saya tidak ingin mengusik ketenangan siapa pun. Tetapi istri saya ingin mengajak Anda duduk bersama. Siapa tahu ...." pria itu menggantungkan kalimatnya, seolah Keyli yang tersenyum mengerti maksud tersiratnya. Akhirnya, Keyli mendapatkan teman baru. Kini ia duduk bersama seorang wanita hamil seperti dirinya. "Maaf, kita belum berkenalan sebelumnya." "Keyli," ucapnya ramah. "Hazel," balas wanita hamil itu. "Liam," suami Hazel tak lupa memperkenalkan diri. "Rasanya menyenangkan sekali bertemu dengan sesama ibu hamil. Aku jadi tak sabar ingin segera bertemu dengan malaikat kecilku," ujar Hazel bahagia, disambut kecupan hangat dari suaminya. Keyli hanya membalasnya dengan senyuman tulus. Hazel yang mengenakan jaket panjang hangat segera melepasnya. "Maafkan aku, hari akan semakin gelap dan kamu pasti kedinginan. Pakailah ini," pinta Hazel sambil menyodorkan mantelnya kepada Keyli. Keyli melihat Hazel lalu menolaknya halus. "Tidak. Aku baik-baik saja." "Kamu harus menjaga bayi dalam perutmu," Hazel memaksa dengan lembut. Melihat itu, Liam tak tinggal diam. Ia melepas jaketnya sendiri dan mengenakannya pada Hazel. "Benar kata istriku." Hazel tersenyum tulus. Melihat perhatian Liam pada Hazel, Keyli tak punya alasan lagi untuk menolak. Ia pun mengenakan mantel milik Hazel. "Terima kasih banyak." Keyli merasa tidak enak hati. "Maaf jika merepotkan." "Kami tidak keberatan sama sekali," sahut Hazel. Mereka bertiga pun menjadi akrab dengan cepat. Bahkan Liam mencarikan tempat duduk untuk Keyli agar dekat dengan Hazel, sehingga mereka bisa saling berbagi pengalaman mengingat usia kehamilan mereka yang hampir sama. Berbagi memang penting bagi para ibu hamil. Bus kembali melanjutkan perjalanan. Kini Keyli duduk di bangku seberang Liam, sementara Hazel duduk di dekat jendela. Meski begitu, mereka masih bisa mengobrol meski Liam berada di antara mereka. "Setelah perjalanan ini berakhir, kamu harus berjanji memberitahuku di mana kamu akan melahirkan, supaya aku bisa melihat malaikat kecilmu juga ....," ucap Hazel. Meski benak Keyli kosong, ia menjawab dengan anggukan kepala dan senyuman hangat. "Emh, kira-kira berapa lama lagi kita akan sampai?" tanya Keyli. Liam melihat jam tangannya lalu berkata, "Sepertinya sampai matahari terbenam, bahkan mungkin lebih lama." Setelah bercanda dan berbagi cerita, tanpa terasa matahari mulai merunduk di ufuk barat. Senja merah mulai mewarnai langit dengan indahnya. Sementara Hazel tertidur pulas mungkin karena kelelahan, Liam menoleh ke arah seberang, tempat Keyli masih menatap jalanan dengan tatapan kosong. Di tengah rasa cemas, tiba-tiba Liam menyodorkan sebuah kartu kepada Keyli. Spontan, Keyli menoleh dengan tatapan penuh tanya. Ia tak langsung menerimanya sebelum mendapat penjelasan. Liam tersenyum lembut kemudian berkata, "Saya tidak bermaksud mencampuri urusan pribadi Anda." Liam memberi jeda. "Hanya saja, kartu ini bisa Anda gunakan untuk menginap di hotel sekaligus di rumah sakit nantinya untuk persalinan Anda," jelasnya tulus. Keyli masih ragu menerima kartu yang disodorkan kepadanya. Ia terdiam, terpaku melihat kebaikan Liam yang begitu tiba-tiba. "Mungkin Anda tidak membutuhkannya, tapi ...," Mata Liam tertuju pada perut Keyli. "Malaikat kecil itu membutuhkannya." Suasana di antara mereka menjadi hening sejenak. "Aku tidak butuh belas kasihan siapa pun," pikir Keyli. Ia akan mencari pekerjaan apa pun untuk biaya penginapan dan persalinan sederhana. Liam menarik kembali tangannya sambil menarik napas, berusaha merangkai kata agar tidak menyinggung Keyli. "Saya tidak memberikan belas kasihan kepada siapa pun. Anggap saja ini kado untuk kelahiran bayi Anda, sebab kita tidak tahu apakah akan bertemu lagi atau tidak," ucap Liam hati-hati. "Jadi ...," Kembali menyodorkan kartu tersebut. "Simpan saja, siapa tahu ketika bayi Anda lahir membutuhkan ini." Barulah Keyli termenung menatap kartu itu, tertera nama hotel dan rumah sakit yang mewah di sana. "Jangan khawatir, itu milik keluarga besar saya. Anda akan diperlakukan dengan baik jika menunjukkan kartu ini," imbuh Liam, membuat Keyli menoleh ragu kepadanya. "Milik keluarga?" Keyli ragu, batinnya bertanya-tanya mengapa pria ini terlihat sederhana dan memilih naik bus umum alih-alih jet pribadi jika properti itu milik keluarganya. Liam hanya menjawabnya dengan senyuman hangat. "Jangan berpikir yang tidak-tidak. Saya tidak akan menjebak wanita kuat seperti Anda. Sebaiknya Anda jaga diri dan bayi Anda baik-baik." "Terima kasih banyak." Hanya kata-kata itu yang sering terucap dari bibir Keyli untuk Liam dan Hazel. Liam tersenyum menganggukkan kepala, lalu tak sengaja melihat tali sepatunya lepas. Ia pun membungkuk keluar kursi untuk mengikatnya dengan leluasa. Sementara Keyli memperhatikannya sejenak sebelum tiba-tiba bunyi rem bus berdecit sangat nyaring, setir dibanting tak beraturan membuat semua penumpang terhempas dan terpental. Hingga akhirnya bus itu terguling beberapa kali, mengundang suara benturan keras yang mengerikan. Tak terkecuali Keyli yang spontan melindungi perutnya demi keselamatan bayinya, meski nyawa seolah sudah di ujung tanduk. Tubuhnya terpental keluar dari kursi bersama beberapa penumpang lainnya, termasuk Liam yang ikut terlempar tak beraturan. Serpihan kaca berserakan di jalanan, darah berceceran bagai lukisan mengerikan di atas aspal. Bus itu benar-benar mengalami kecelakaan tragis. Entah bagaimana nasib para penumpang dan sopir di sana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD