Suara sirine ambulans dan mobil polisi meraung membelah malam di area kecelakaan bus yang mengerikan. Di tengah kekacauan, orang-orang di sekitar lokasi bahu-membahu membantu mengeluarkan para korban dari reruntuhan bus nahas itu, bergegas memindahkan mereka ke rumah sakit.
Di sebuah kamar jenazah yang dingin dan sunyi, sepasang suami istri paruh baya bersama putra sulung mereka berusaha tegar, meski air mata tak mampu mereka bendung saat melihat jasad putra bungsu mereka terbujur kaku, menjadi korban tak selamat dalam tragedi itu.
"Liam ...." Tangis Keith pecah, tubuhnya bergetar hebat, seolah tak mampu lagi menopang kesedihan yang menghantam. Suami dan putra sulungnya sigap menahan tubuhnya yang lunglai. "Liam ...."
"Sayang, kuatkan hatimu ...." Suaminya berusaha menghibur, meski hatinya sendiri remuk redam melihat jasad putra tercinta.
"Liam, Pa. Kenapa dia harus pergi saat dia akan kembali?" sesal ibu Keith yang dahulu mengusir putra bungsunya karena memilih menikahi wanita yang tak direstuinya.
Suaminya, Paul, hanya bisa memeluk istrinya erat, merasakan penyesalan yang mendalam menusuk kalbunya.
Leonor tertunduk pilu, kedua tangannya bertumpu lemah pada tepi keranjang jenazah Liam. Sebagai seorang kakak, ia merasa gagal menjaga adiknya.
Di tengah duka mendalam yang menyelimuti keluarga Liam, seorang polisi menghampiri mereka dengan langkah pelan. "Maaf mengganggu. Saya Anderson, dari kepolisian setempat yang menghubungi Anda tadi."
Semua mata yang sembap tertuju pada dua sosok polisi di hadapan mereka. Anderson mengeluarkan sebuah dompet dari kantong plastik yang dibawanya. "Saya menemukan dompet ini dari seorang wanita hamil, di dalamnya ada foto Mr. Liam memegang papan nama bertuliskan Hazel." Ia berhenti sejenak, menyapu pandangannya ke seluruh anggota keluarga yang berduka. "Saya rasa, wanita hamil itu pasti istrinya. Selain itu, kami juga menemukan kartu identitas hotel dan rumah sakit milik keluarga ini di pakaian korban."
Semua saling bertukar pandang penuh kebingungan. Mereka belum pernah bertemu dengan istri Liam. Hanya Leonor yang pernah bertemu, itupun hanya sekali dalam waktu singkat saat Liam diam-diam ingin memperkenalkan calon istrinya itu. Dalam benaknya, Leonor hanya mengingat nama panggilannya, Hazel namun, belum mengenali betul wajahnya.
Anderson kemudian menyerahkan dompet itu kepada Leonor, yang langsung menemukan foto Liam sesuai identifikasi polisi. "Hanya foto itu yang kami temukan di dompetnya. Uang dan kartu lainnya sudah tidak ada. Mungkin ada pencuri yang memanfaatkan kesempatan dalam kecelakaan ini," terangnya.
Leonor yang menggenggam erat dompet itu mendongak, menatap polisi itu dengan mata penuh harap. "Bagaimana kondisinya?"
"Kritis. Namun, demikian, cucu Anda selamat," jawab polisi tersebut, menyampaikan kabar bahagia di tengah lautan duka.
Keluarga Leonor menunggu dengan perasaan kalut di ruang tunggu rumah sakit. Mereka dilanda kebingungan, tak tahu bagaimana harus bersikap setelah dahulu tak merestui pernikahan Liam dan wanita bernama Hazel itu.
Beberapa saat kemudian, Dokter Monica datang sambil menggendong bayi mungil yang cantik, ditemani seorang polisi.
Keith yang duduk cemas di sofa langsung berdiri, jantungnya berdebar kencang. Semua mata terpana pada bayi mungil yang kini berada dalam gendongan Keith.
"Cucuku ...." Keith mendekap lembut bayi itu. "Oh, Liam ...."
Keindahan keponakannya terasa begitu asing bagi Leonor, seolah mimpi yang tak pernah ia bayangkan. Sensasi dingin yang tak pernah ia rasakan sebelumnya tiba-tiba merayapi kulitnya, menusuk hingga bulu romanya berdiri tegak. Bibirnya membeku, tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Hanya tatapan dingin yang terpancar dari matanya, sebuah perpaduan beku antara benci yang membara, amarah yang tertahan, kehilangan yang menganga, dan sebuah perasaan asing yang untuk pertama kalinya mengguncang jantungnya.
Sementara itu, di ruangan berbeda, perlahan mata Keyli terbuka samar-samar. Kesadarannya mulai pulih, dan hal utama yang terlintas dalam benaknya adalah bayi dalam perutnya. Seketika ia terduduk, tanpa menyadari kepalanya yang diperban, tangan kanannya yang terbalut gips karena retak, hingga sengatan nyeri menyetrum sekujur tubuhnya. Kakinya pun terasa sakit akibat luka-luka. Namun, rasa sakit fisik itu tak sebanding dengan kepanikan yang menyeruak saat ia meraba perutnya yang terasa datar.
"Bayiku?!" Ketakutan mencengkeram hatinya, seolah dunia runtuh menimpanya. "Di mana bayiku?! Di mana bayiku?!" teriak Keyli histeris. Satu-satunya alasan Keyli bertahan hidup adalah bayinya. Ia bisa gila jika kehilangan buah hatinya. Beberapa suster dan seorang dokter bergegas masuk ke ruangannya.
"Tenangkan diri Anda," seru seorang dokter, berusaha membaringkan Keyli yang meronta dibantu tiga suster. "Bayi Anda baik-baik saja."
"Saya ingin bertemu dengan putri saya. Saya mohon ...." pinta Keyli dengan nada lega.
Dokter mengangguk sambil tersenyum. "Tentu. Tapi sebelumnya, Anda harus tenang agar suster bisa memeriksa luka-luka Anda."
Tiba-tiba, Keyli teringat Hazel dan Liam. Ia pun berniat menanyakan kondisi kedua temannya itu, berharap mereka bernasib baik seperti dirinya, sehingga Keyli bisa mengucapkan terima kasih sekali lagi. "Sus, apa Anda tahu korban seperti saya bernama—"
"Nona Hazel," suara Dokter Monica memotong ucapan Keyli, yang secara spontan menoleh ke arah sumber suara.
Mata Keyli tertuju pada seorang wanita paruh baya yang menggendong bayi, ditemani seorang pria paruh baya dan seorang pria yang lebih muda, dengan tatapan tak terbaca.
Semua mata membeku, saling bertukar pandang dalam suasana canggung karena pertemuan pertama yang terjadi dalam situasi yang kurang baik.
"Nona Hazel, keluarga Anda ingin bertemu," Dokter Monica memperjelas maksud ucapannya.
Keyli mengerutkan kening, tak mengerti maksud ucapan itu. Bibirnya sedikit terbuka, lidahnya terasa kelu. Bola matanya bergerak liar, mencari jawaban atas panggilan nama yang bukan miliknya namun, ditujukan padanya. Hazel adalah teman yang baru saja ia temui sebelum kecelakaan terjadi. Lalu, mengapa dirinya dipanggil dengan nama Hazel?
Di tengah kebingungannya, keluarga Liam mendekat, sementara Keyli merasa asing karena tak mengenal mereka semua. Kemudian, Keyli menoleh ke arah Dokter Monica, lalu bertanya, "Di mana anak saya?" mencoba mengalihkan perhatian dan lebih fokus pada kondisi bayinya.
"Dia sangat mirip denganmu, Hazel," jawab Keith sambil tersenyum hangat kepada Keyli.
Hazel. Mendengar dirinya dipanggil lagi dengan nama Hazel membuat Keyli tertegun, tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
Belum sempat Keyli mempertanyakan semuanya, Dokter Monica menunjukkan wajah putri Keyli kepada ibu kandungnya. "Lihatlah, dia sangat mirip dengan Anda."
Mata Keyli teralihkan oleh bayi mungil yang digendong Dokter Monica, mengabaikan pertanyaan-pertanyaan yang sekilas melintas di benaknya. "Sayangku," Keyli hanya bisa menatap penuh bahagia, ingin sekali menggendong bayinya namun, karena kondisinya yang tak memungkinkan, ia hanya bisa membelainya dari gendongan orang lain.
"Ikutlah bersama kami," ucap Keith kepada Keyli.
Mata Keyli seketika teralihkan oleh suara itu, bertanya-tanya dalam hati siapa sebenarnya mereka semua.
"Bagaimanapun, dia adalah cucu saya," lanjut Keith, membuat Keyli membeku, menatap wanita paruh baya itu.
"Kami keluarganya Liam," ucap Leonor sambil diam-diam mengingat wajah Hazel yang pernah sekali ia temui dulu. Ia merasa ada yang berbeda dari pertemuan pertamanya dengan Hazel namun, Leonor tak yakin, sebab saat itu ia belum begitu mengenali wajah Hazel dengan detail.
Mendengar nama itu, Keyli memanggil nama orang yang telah menolongnya. "Li-Liam?" Bibirnya bergetar menyebut nama itu. "Ba-ba-bagaimana kondisinya? Di mana dia? Da-dan bagaimana dengan kondisi is—" mata Keyli berkaca-kaca, berharap pasangan suami istri itu selamat, begitu pula dengan bayinya.
"Maafkan kami, Hazel." Paul menggelengkan kepala penuh penyesalan.
Hazel? Kenapa mereka terus-terusan memanggilku Hazel? batin Keyli, masih belum bisa memahami situasi.
"Ap-apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Keyli dengan mata basah dan suara bergetar, masih belum menyadari bahwa keluarga Liam menganggap dirinya adalah istri Liam, yaitu Hazel.
"Liam—" Paul menarik napas dalam, lalu melanjutkan ucapannya, "Liam tidak terselamatkan, Hazel," sambungnya, sementara istrinya hanya bisa menangis tersedu-sedu.
"Ap-apa?" Keyli sangat terkejut mendengar berita duka ini, bahkan rasanya sulit bernapas. Air matanya jatuh begitu saja, tanpa bisa ditahan.
Tapi bagaimana bisa mereka menganggap bahwa dirinya adalah istri Liam? Jika dia dianggap sebagai Hazel, lalu bagaimana dengan Hazel yang asli? Di mana dia? Bagaimana kondisinya saat ini? Apakah masih hidup atau bernasib sama seperti Liam?
Tangis Keyli pun pecah, tak tertahankan lagi. Mereka adalah orang-orang baik terakhir yang ia jumpai. Oh, astaga.
Bayi dalam gendongan Dokter Monica pun ikut menangis, membuat Keyli tersadar bahwa emosinya akan memengaruhi bayinya. Ingin sekali Keyli menggendongnya, tetapi Dokter Monica memberi saran, "Sebaiknya saya membawanya kembali ke ruangan supaya lebih tenang." Kemudian, beliau menganggukkan kepala pamit, meninggalkan Keyli bersama keluarga Liam.
Keith duduk di tepi tempat tidur, lalu menggenggam tangan kiri Keyli. "Maafkan kami, Hazel. Tuhan telah menghukum kami dengan mengambil Liam untuk selamanya. Biarkan kami menebus kesalahan kami kepadamu, Hazel. Ikutlah bersama kami," pintanya dengan nada memelas.
Keyli menggeleng-gelengkan kepala, bermaksud memberi tahu bahwa apa yang disangka keluarga Liam adalah salah. Dia bukan Hazel. Bagaimana cara Keyli mengatakan kenyataan ini kepada keluarga yang sedang berduka hebat kehilangan Liam? Sanggupkah keluarga ini menerima kabar buruk lainnya? Melihat kondisi ibu Liam saja, Keyli merasa terpukul, seolah tak mampu mengatakan bahwa dirinya bukanlah Hazel yang mereka maksud.
Di satu sisi, ia sedang mencari tempat persembunyian dan perlindungan demi kelangsungan hidupnya bersama putrinya. Namun, di sisi lain, tidaklah baik memanfaatkan kondisi duka dengan menggunakan identitas orang lain, apalagi orang yang sudah sangat baik padanya. Haruskah Keyli memilih menggunakan identitas orang lain demi menyelamatkan hidupnya dari kejaran suaminya? Keyli dibuat tak mampu berpikir jernih saat ini. Bahkan, ia tak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah.
Keyli menatap iba ibu Liam yang tersedu-sedu penuh penyesalan di hadapannya. Ia merasa bahwa akan lebih baik menjadi Hazel sementara waktu demi ketenangan ibu Liam, alih-alih mencari perlindungan lain. Pikirnya dalam hati.