Malam yang Terbuka dan Sentuhan yang Membekas

1485 Words
“Maafkan aku,” lirih Keyli, suaranya bergetar bukan hanya karena dingin malam yang menusuk tulang, tetapi juga karena keterkejutan yang membungkam akal sehatnya. Di hadapannya, Leonor berdiri dengan torso telanjang yang memamerkan pahatan otot perut sempurna, sebuah pemandangan maskulin yang tak terduga. Celana panjang hitam berbahan sutra yang basah melekat di tubuhnya, dengan jelas mempertegas setiap lekuk jenjang kakinya. Perasaan Keyli bercampur aduk antara malu, kagum, dan salah tingkah. Ia segera memalingkan wajah, sebuah isyarat bisu bahwa pemandangan itu terlalu intim dan vulgar, meskipun tanpa disadarinya, pakaian Keyli yang basah juga tak kalah mempertontonkan lekuk tubuhnya, bahkan bra hitam yang ia kenakan terlihat jelas di balik kain tipis piyamanya. “Bra hitam juga cocok untukmu,” goda Leonor dengan nada rendah yang menggelitik, membuat mata Keyli membelalak dan bibirnya terbuka tanpa suara di balik wajah yang memerah. Sebuah respons spontan terhadap keintiman yang tak terduga. Ketika Keyli berniat melayangkan protes atas ucapan Leonor yang blak-blakan, pria itu dengan sigap melemparkan piyama handuk putih tebal yang biasa tersedia di sekitar kolam. Protes Keyli urung terlontar, ia lebih memilih untuk segera membungkus tubuhnya dengan handuk lembut itu, meskipun gerakannya sedikit terhambat oleh penyangga tangan yang membatasi ruang geraknya. “Sopan sekali ucapan Anda,” celetuk Keyli akhirnya, berusaha menutupi kegugupannya dengan nada sinis. Leonor hanya berdiri kokoh di sana, seolah tak terpengaruh oleh sindiran Keyli, kemudian dengan gerakan membantu memakaikan piyama itu dengan benar, menyesuaikan dengan penyangga tangan Keyli yang membuatnya kesulitan memasukkan satu lengannya ke dalam lengan piyama. Sentuhan Leonor, meskipun hanya sebatas membantu, terasa asing dan menimbulkan sensasi aneh di kulit Keyli. “Aku mulai curiga, Liam sudah memilih wanita aneh sepertimu,” ujar Leonor enteng, tatapannya menyelidik namun tanpa nada menghakimi. “Aku? Aneh?” balas Keyli tak terima, nada suaranya meninggi sedikit karena merasa tersinggung dengan penilaian Leonor yang tiba-tiba. Leonor hanya menyunggingkan senyum tipis yang menyimpan arti ganda, seolah menyadarkan Keyli bahwa situasinya memang tidak lazim. Berada di kolam renang tengah malam, basah kuyup, dan baru saja tertangkap basah mengamati seorang pria yang sedang berganti pakaian bukanlah perilaku yang wajar. “Apa kamu selalu begini setiap malam?” goda Leonor lagi, kali ini dengan nada yang lebih lembut, seolah ingin mencairkan ketegangan di antara mereka. Keyli kembali ingin membela diri, menjelaskan alasan mengapa ia berada di luar selarut ini, namun ia mengurungkan niatnya. Ia hanya menghela napas panjang, mengakui dalam hati bahwa memang sulit baginya untuk terlelap di rumah mewah ini, sebuah tempat yang terasa asing dan tidak aman baginya. “Tanganmu bagaimana?” tanya Leonor tiba-tiba, nada suaranya menunjukkan kecemasan yang tulus. Perhatian Leonor pada kondisinya membuat Keyli sedikit terkejut. Barulah Keyli menyadari mengapa ia tadi begitu kesulitan untuk mencapai tepi kolam. Ia lupa sepenuhnya bahwa tangannya masih terbalut penyangga, sebuah fakta yang berkontribusi besar pada kejadian memalukan yang baru saja dialaminya. “Hanya sedikit ngilu,” jawab Keyli, nada suaranya mulai kembali normal, meskipun rasa sakit di tangannya yang belum sepenuhnya sembuh mulai terasa kembali. “Terima kasih,” imbuhnya tulus, menyadari kebaikan Leonor yang telah menolongnya. “Sebaiknya kita ke perapian, udara ini cukup membuat tulangmu terasa nyeri,” ajak Leonor, sebuah tawaran yang disambut baik oleh Keyli. Mereka pun berjalan berdampingan menuju ke dalam rumah, meninggalkan dinginnya malam di belakang mereka. Ruangan perapian menyambut mereka dengan kehangatan yang menenangkan. Cahaya jingga dari kayu bakar yang menyala menari-nari di dinding, menciptakan suasana damai. Mereka berdua duduk di depan perapian, berusaha mengeringkan pakaian yang basah dan menghangatkan tubuh yang menggigil. Keheningan yang tercipta terasa lebih nyaman dibandingkan dengan kecanggungan di tepi kolam tadi. Tak lama kemudian, seorang pelayan datang membawakan minuman hangat mengepul dan sepiring kue-kue ringan, seolah mengerti kebutuhan mereka untuk menghangatkan diri dan mungkin berbincang. Aroma cokelat dan kayu manis dari minuman hangat itu memenuhi udara, menambah kenyamanan suasana. “Coba aku lihat penyangganya,” tawar Leonor, gerakannya lembut saat membuka piyama putih yang menutupi penyangga tangan Keyli. “Apa masih sakit?” tanyanya lagi, tatapannya fokus pada bagian tangan Keyli yang tampak sedikit membengkak. Entah perasaan macam apa yang tiba-tiba menghipnotis Keyli. Perlakuan lembut dan perhatian tulus dari Leonor adalah sesuatu yang sudah lama tidak pernah ia rasakan. Tatapan mata Leonor yang menunggu jawaban terasa begitu intens, seolah menembus pertahanan dirinya. “Su-sudah mereda,” jawab Keyli gugup, berusaha menepis rasa aneh yang tiba-tiba menyeruak dalam dirinya. Ia mencoba mengingatkan dirinya sendiri bahwa ia masih berstatus istri orang, seorang wanita yang sedang bersembunyi mencari keselamatan dari kekerasan suaminya. Perasaan aneh ini tidak seharusnya ada. “Aku tidak yakin, tadi kamu seperti kucing liar yang panik. Sepertinya dokter harus memeriksanya besok,” ucap Leonor penuh perhatian, tanpa menyadari bahwa perhatiannya yang tulus itu telah berhasil mengetuk pintu hati Keyli yang selama ini tertutup rapat. “Ah, ya. Tentu,” jawab Keyli, berusaha keras menghilangkan perasaan yang dianggapnya tabu itu. Ia menarik kembali piyama menutupi penyangganya, seolah menciptakan jarak fisik dan emosional antara dirinya dan Leonor, sebuah batasan yang ia yakini harus dijaga. “Apa sebenarnya yang kamu lakukan tengah malam ini?” tanya Leonor, melempar pertanyaan dengan nada santai namun tetap mengandung keingintahuan. “Aku sulit untuk tidur,” jawab Keyli jujur, tanpa berusaha menutup-nutupi kenyataan yang memang menyiksanya setiap malam di rumah ini. “Apa karena Liam?” tebak Leonor, namun kali ini tebakannya meleset jauh dari kebenaran yang Keyli sembunyikan. Sesaat Keyli menatap mata Leonor, mencari kejujuran dan pemahaman di sana. Kemudian, ia memaksakan sebuah senyuman palsu dan menganggukkan kepala, sebuah kebohongan kecil untuk menghindari pertanyaan lebih lanjut yang bisa membongkar rahasia kelamnya. Leonor, yang peka terhadap perubahan ekspresi Keyli, memilih untuk tidak melanjutkan topik ini lebih jauh. Ia khawatir pertanyaannya justru akan membuat adik iparnya itu semakin tertekan. Ia lalu mengambil secangkir minuman hangat dan dengan hati-hati menyerahkannya kepada Keyli. “Terima kasih,” ucap Keyli tulus, menerima gelas itu dan bersama-sama mereka menyeduh minuman hangat itu, menikmati kehangatan bara api yang memberikan ketenangan semu di hati mereka. Merasa tidak nyaman berlama-lama dalam kebersamaan yang canggung ini, Keyli yang masih menggenggam gelas minumannya yang tinggal separuh berniat untuk bangkit dan pamit kembali ke kamar. Namun, lagi-lagi kecerobohan seolah menjadi bagian tak terpisahkan dari malam ini. Tanpa sengaja, kakinya tersandung karpet tebal di dekat perapian, membuatnya kehilangan keseimbangan. Minuman hangat dalam genggamannya tumpah, mengenai Leonor yang masih duduk tenang di sana, dan tubuh Keyli ikut menimpa pria itu. “Oh ya ampun?!” seru Keyli terkejut dan panik. Dalam posisi telungkup di atas tubuh Leonor, mata mereka kembali bertemu, namun kali ini dengan tatapan yang sarat akan emosi yang berbeda. Bagi Keyli, ini adalah puncak dari malam yang serba salah. Ia segera menjaga jarak, terduduk dengan rasa bersalah yang luar biasa atas kecerobohannya yang bertubi-tubi. “Aku benar-benar tidak sengaja, maafkan aku, maafkan aku,” ucapnya berulang kali sambil spontan mengelap bagian piyama Leonor yang basah dengan satu tangannya yang bebas. Ada apa dengannya malam ini? Mengapa ia begitu ceroboh dan gugup di dekat pria ini? “It’s okay, it’s okay,” ucap Leonor dengan nada penuh kesabaran, mungkin karena ia menganggap Keyli sebagai adik iparnya, sehingga ia tidak merasa marah atau terganggu dengan kejadian ini. Namun, reaksi Leonor yang tenang justru memicu gelombang ingatan pahit dalam benak Keyli. Ia teringat akan setiap kali ia melakukan kesalahan kecil di hadapan Hudson, suaminya. Bahkan hanya menumpahkan sedikit minuman akan berujung pada bentakan kasar, makian, atau bahkan tamparan, meskipun ia sudah berusaha membersihkannya. Jantung Keyli berdebar kencang, matanya fokus ingin menghilangkan bekas tumpahan itu secepat mungkin dari piyama Leonor, sebuah respons otomatis yang dipicu oleh trauma masa lalunya. Gerakannya begitu cepat dan panik, mencerminkan ketakutannya untuk kembali merasakan sakit fisik. “Hazel?” panggil Leonor dengan nada suara yang sedikit lebih tinggi dan menekan, seolah berusaha menggugah kesadaran Keyli bahwa pria di depannya bukanlah Hudson, melainkan Leonor. Orang lain, bahkan seseorang yang baru ia kenal beberapa hari ini. Keyli terhenti seketika, tatapannya bertemu dengan mata Leonor. Begitu pula sebaliknya. Mata Keyli berkaca-kaca, menelan ludah dengan rasa takut yang kembali menyeruak. Ia takut akan reaksi marah, takut akan siksaan fisik seperti yang biasa ia terima. Namun, kali ini prasangkanya salah. “It’s okay…” ucap Leonor lembut namun tegas, bibirnya mengukir senyum tipis yang menenangkan. Tatapannya yang dalam seolah ingin meyakinkan Keyli bahwa tidak semua laki-laki bersikap kasar dan kejam seperti suaminya. Mata mereka masih saling terkunci, membeku dalam keheningan yang sarat akan makna. Mereka berdua berusaha menerima sesuatu yang belum pernah dirasakan sebelumnya, sebuah kelembutan dan perhatian yang tulus tanpa tuntutan. “Maafkan aku,” untuk kesekian kalinya Keyli mengucapkan kata maaf, suaranya tercekat, “ak-aku… tidak sengaja su-” Jari telunjuk Leonor tiba-tiba mendarat lembut di bibir Keyli, sebuah sentuhan ringan yang seketika membungkam kata-katanya. Kelembutan di atas kesalahan yang baru saja ia lakukan terasa begitu asing dan canggung, namun di saat yang sama juga menimbulkan kehangatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Malam yang penuh dengan kecerobohan dan ketegangan ini berakhir dengan sebuah sentuhan yang membekas, meninggalkan jejak pertanyaan dan perasaan baru di hati Keyli.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD