JEJAK DI BALIK TIRAI

1410 Words
Malam itu membentang seperti kanvas beludru bertabur intan, sunyi namun menyimpan kehangatan di dalam sebuah rumah mewah. Aroma masakan yang menggugah selera menari-nari di udara, sebuah simfoni kelezatan yang selalu berhasil membangkitkan selera siapa pun yang duduk di meja makan megah itu. Keluarga Hoxander, seperti tradisi yang tak pernah lekang, telah berkumpul untuk menikmati santap malam bersama. Di tengah gemerlap peralatan makan perak dan porselen halus, Keith Hoxander, Memecah keheningan dengan nada penuh harap. “Hazel,” ucapnya lembut namun sarat akan antusiasme, menyebut Keyli dengan nama panggilan yang dianggap adalah menantunya, “apakah kamu sudah menemukan nama yang indah untuk cucuku?” Kerutan halus di sekitar matanya semakin terlihat seiring dengan senyum lebar yang menghiasi wajahnya, membayangkan kehadiran anggota keluarga baru yang akan mewarisi nama besar Hoxander. Keyli, yang duduk di seberangnya, hanya mampu membalas tatapan penuh harap itu dengan senyum canggung. Sebuah perasaan aneh menyeruak di hatinya. Memberi nama bagi keturunan keluarga ini terasa seperti memasuki wilayah yang bukan haknya, sebuah peran yang ia emban dengan berat hati. “Kenapa, Sayang? Ada yang mengganggu pikiranmu?” Paul, suami Keith yang penuh perhatian, menyahut dengan nada lembut, merasakan kegelisahan yang samar terpancar dari raut wajah istrinya. “Hanya saja … belum ada nama yang benar-benar pas di hati,” jawab Keyli lirih, berusaha menyembunyikan ketidaknyamanan yang kian menggerogoti perasaannya. Setiap kata yang terucap terasa seperti benang kusut yang semakin mempererat kebohongan yang ia pikul. Di ujung meja, Leonor Hoxander, putra sulung keluarga itu, menyantap makan malamnya dengan tenang. Setiap suapan tampak terukur, gerakannya anggun dan tanpa tergesa-gesa. Namun, di balik ketenangannya, tatapan matanya sesekali mencuri pandang ke arah interaksi Keyli dan ayahnya, seolah ada benang tak kasat mata yang menghubungkannya dengan percakapan tersebut. Ekspresinya sulit dibaca, menyimpan misteri yang tak terpecahkan. Keith kembali memfokuskan tatapannya pada Keyli, suaranya kini terdengar lebih tegas namun tetap mengandung sentuhan sayang. “Coba pikirkan nama yang secantik dirinya, Hazel. Dan jangan pernah lupakan untuk menyematkan nama keluarga ini,” ia memberikan jeda, memastikan setiap kata meresap dalam benak Keyli, “Hoxander.” Ucapan itu terlontar dengan keyakinan yang tak tergoyahkan, sebuah deklarasi bahwa bayi yang dikandung Keyli adalah penerus garis keturunan mereka, pewaris kejayaan keluarga Hoxander. Keyli terbungkam. Kata-kata Keith bagaikan palu godam yang menghantam relung hatinya. Bagaimana mungkin ia menyematkan nama itu pada darah dagingnya? Tidak ada ikatan biologis, tidak ada pertalian darah antara bayinya dan keluarga Hoxander. Senyum palsu kembali terukir di bibirnya, sebuah topeng untuk menyembunyikan badai emosi yang berkecamuk di dalam dirinya. Ia memilih untuk menundukkan kepala dan melanjutkan makannya dalam keheningan yang menyesakkan. Usai drama kecil yang sarat akan ketegangan itu, Keyli mengasingkan diri ke dalam kamarnya. Duduk di depan meja rias yang dipenuhi dengan botol-botol parfum mewah dan peralatan kosmetik mahal, ia mengambil sebuah buku catatan kecil. Dengan hati-hati, ia mulai menuliskan setiap detail pengeluaran yang pernah ia nikmati di rumah megah ini. Harga setiap hidangan yang ia santap, biaya listrik dan air yang ia gunakan, bahkan kamar tidur yang ia tempati pun ia hitung sebagai sewa. Sebuah harapan samar tumbuh di hatinya, suatu saat ia akan mampu mengembalikan semua pemberian dan fasilitas yang telah diberikan keluarga Hoxander padanya. Ia ingin bebas dari belenggu hutang budi yang terasa semakin mencekik. Pandangannya kemudian tertuju pada ponsel pintar terbaru yang tergeletak di atas meja dan sebuah kartu hitam elegan dengan tulisan perak "American Express". Hatinya mencelos. Memiliki dua benda mewah itu saja tak pernah terlintas dalam mimpinya, namun kini keduanya terhampar nyata di hadapannya. Kehidupan macam apa ini? Sebuah kehidupan yang terasa terlalu mudah, terlalu nyaman untuknya yang terbiasa dengan kerasnya perjuangan. Andai saja benar ia adalah bagian dari keluarga konglomerat ini, andai saja kebohongan ini adalah kenyataan, pastilah ia tidak akan gentar menghadapi dunia yang kejam di luar sana. Tiba-tiba, sebuah nama meluncur dari bibirnya, lirih namun pasti. “Scarlet.” Nama itu terasa pas, seperti sebuah jawaban atas kerahasiaan yang melingkupi kehamilan dan identitasnya. “Scarlet …,” ia mengulanginya, merasakan keindahan dan kekuatan dalam nama itu. “Scarlet Hoxander?” Sebuah keraguan menghantam benaknya. Ia tidak mungkin memberikan nama belakang keluarga orang lain pada putrinya. “Tapi …,” matanya terpejam rapat, merasakan kebohongannya kini semakin dalam, bahkan telah menyeret nama calon buah hatinya. Sebuah rasa bersalah yang besar menghimpit jantungnya. Malam-malam di rumah mewah ini selalu terasa panjang dan penuh dengan kegelisahan bagi Keyli. Pikirannya terlalu riuh untuk diajak beristirahat. Mungkin rasa bersalah yang terus-menerus menghantuinya sejak ia hadir di keluarga ini tanpa undangan, tanpa kejujuran. Ia merasa seperti seorang penyusup yang menikmati kemewahan yang bukan haknya. Kali ini, Keyli memutuskan untuk keluar kamar, mencari udara segar di sekitar kolam renang yang luas. Seperti biasa, suasana di luar sunyi dan hening, seolah kolam renang itu menjadi teman tidur bagi semua penghuni rumah kecuali dirinya. Cahaya rembulan memantul di permukaan air kolam yang tenang, menciptakan kilauan perak yang memukau. Udara malam yang dingin terasa menenangkan bagi benak Keyli yang kalut. Dengan kedua tangan terlipat di depan, ia berjalan perlahan di tepi kolam, mengitari permukaannya yang luas berharap rasa lelah akan segera menghampirinya dan membawanya menuju alam mimpi. Tanpa sengaja, matanya menangkap siluet bayangan di balik tirai putih jendela yang terbuka sedikit. Sosok seorang pria, tampak sedang bergerak. Instingnya mengatakan bahwa itu adalah Leonor, sedang melepaskan pakaiannya dan bersiap untuk tidur. Kesadaran bahwa dirinya sedang diperhatikan membuat Leonor, yang memiliki kepekaan tinggi terhadap lingkungannya, bergerak cepat. Ia menarik tirai jendelanya hingga tertutup rapat. Keyli tersentak, rasa malu menyeruak dalam dirinya karena ketahuan mengintip, meskipun sebenarnya ia hanya tidak sengaja menangkap bayangan itu. Namun, rasa bersalah dan tidak enak hati membuatnya kehilangan keseimbangan. Langkahnya menjadi ceroboh, dan dalam sekejap, kakinya terpeleset. Tubuhnya limbung dan tercebur ke dalam kolam renang dengan suara yang memecah keheningan malam. Suara air yang jatuh dengan keras itu sontak menyita perhatian Leonor. Dari jendela kamarnya di lantai atas, ia menyipitkan mata, berusaha memastikan siapa gerangan orang yang berada di kolam renang pada jam selarut ini. Sebuah firasat aneh mendorongnya untuk segera menghampiri. Sementara itu, Keyli yang panik berusaha meraih tepi kolam dengan gerakan-gerakan tak beraturan. Ingatannya tentang berenang sangat minim, ia bukanlah seorang perenang handal. Bukannya mendekat ke tepi, tubuhnya justru terasa semakin jauh, seolah ia hanya berenang di tempat. Kepanikan melandanya tiba-tiba, membuatnya semakin sulit untuk berpikir jernih. Sungguh situasi yang memalukan dan menakutkan. Leonor, dengan gerakan anggun dan tanpa suara, melompat ke dalam kolam. Tubuhnya membelah permukaan air dengan mulus, seperti seorang atlet renang yang menikmati ketenangan malam. Tanpa ragu, ia meraih tubuh Keyli yang tengah meronta-ronta. Dalam sekejap, tubuh mereka saling menempel begitu dekat, dinginnya air malam meresap hingga ke tulang sumsum mereka. “Apa yang kamu lakukan?” tanya Leonor dengan nada heran bercampur khawatir. Ia tidak habis pikir dengan kebiasaan aneh Keyli yang selalu saja menimbulkan kejadian tak terduga di setiap malam. “Aku baik-baik saja, aku baik-baik saja,” jawab Keyli dengan nada panik, berusaha meyakinkan dirinya sendiri dan Leonor. Namun, pinggangnya yang menempel erat pada tubuh Leonor, ditambah dengan debar jantung pria itu yang terasa begitu dekat, justru mengkhianati kata-katanya. Jarak mereka terlalu intim, menciptakan sensasi yang membingungkan dan tak seharusnya ada. Dengan tatapan aneh yang sulit diartikan, Leonor melepaskan tangannya yang melingkar di pinggang Keyli. Tindakan itu justru membuat Keyli hampir kehilangan keseimbangan dan kembali tenggelam. Spontan, tanpa permisi, Keyli merangkul erat leher Leonor. Dinginnya air kolam yang menusuk tulang terasa sedikit terabaikan oleh kehangatan tubuh pria itu. Sebuah peristiwa yang sungguh memalukan, membuat Keyli terbatuk-batuk karena menelan air, sementara Leonor hanya diam dan tenang, berusaha mengimbangi tingkah aneh Keyli. “Are you okay?” tanya Leonor lagi, nadanya kini lebih lembut dan penuh perhatian. “I am fine, I am fine,” jawab Keyli lagi, tanpa sadar semakin mengeratkan pelukannya pada Leonor, mencari pegangan di tengah dingin dan rasa malu yang menderanya. Setelah Keyli bisa sedikit tenang dan menyadari bahwa pegangan tangannya adalah tubuh Leonor yang basah dan dingin, mata mereka bertemu. Oh, tidak. Akal sehat Keyli berteriak untuk menjauh, namun tubuhnya seolah menolak untuk tenggelam. Ada sesuatu dalam tatapan mata Leonor yang membuatnya terpaku, sebuah campuran antara keheranan, kekhawatiran, dan … entahlah, Keyli tidak mampu mengartikannya. Leonor tidak mengatakan apa pun. Ia hanya menarik napas panjang, lalu dengan hati-hati mengangkat tubuh Keyli yang menggigil naik ke tepi kolam. Keheningan malam kembali merayap, hanya menyisakan suara tetesan air dari pakaian mereka yang basah dan debar jantung Keyli yang masih berpacu kencang. Malam itu, riak di kolam renang tidak hanya membasahi tubuh, tetapi juga mengguncang ketenangan hati Keyli, meninggalkan jejak pertanyaan dan perasaan yang tak terduga.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD