Leonor mendorong perlahan pintu kamar Liam, sebuah ruang yang telah lama membisu, menyimpan jejak kehadiran yang kini hanya tinggal kenangan. Di ambang pintu, waktu seolah berhenti berputar, membawa Leonor kembali pada realita pahit bahwa sosok yang pernah mengisi kamar ini dengan tawa dan kehangatan takkan pernah kembali. Sebuah keheningan yang menyesakkan menyambutnya, namun di balik keheningan itu, tersembunyi bisikan-bisikan memori yang tak lekang oleh waktu.
“Ini kamar Liam?” lirih Keyli, pandangannya menyapu setiap sudut ruangan. Langkahnya terasa ringan saat memasuki kamar itu, seolah tertarik oleh aura lembut dan hangat yang masih terpancar, bagai jejak terakhir karakter Liam yang pernah ia dengar dan bayangkan. d******i warna putih yang luas memberikan kesan lapang dan bersih, sebuah kanvas polos yang dihiasi dengan sentuhan elegan dari furnitur mahal. Setiap elemen dalam ruangan itu berpadu harmonis, menciptakan atmosfer nyaman yang seolah menyambut siapa pun yang berada di dalamnya. Keyli bisa membayangkan bagaimana Liam menghabiskan waktu di sini, dikelilingi oleh ketenangan dan kedamaian.
Mata Keyli kemudian tertuju pada deretan pigura foto yang berjajar rapi di atas nakas. Setiap bingkai menyimpan sepotong kisah, merekam momen-momen indah yang terukir dalam memori. Senyum bahagia, tatapan penuh kasih, dan kehangatan persahabatan terpancar dari setiap foto, memberikan gambaran sekilas tentang kehidupan Liam yang penuh warna. Keyli merasakan sentuhan melankolis menyelimutinya, membayangkan betapa berartinya kenangan-kenangan ini bagi orang-orang yang mencintai Liam.
“Dia pasti sangat mencintaimu,” ucap Leonor tiba-tiba, suaranya pelan namun sarat akan emosi yang mendalam. Kata-kata itu bagai anak panah yang menusuk tepat ke jantung kebohongan Keyli.
Keyli hanya mampu menyunggingkan senyum yang ambigu, sebuah ekspresi yang berusaha menyembunyikan ketidaknyamanan dan kebingungan yang berkecamuk dalam dirinya. Ia meraih salah satu pigura, menatap lekat-lekat wajah Liam yang tersenyum hangat di dalamnya. Sejujurnya, ia tidak mengenal pria ini, apalagi merasakan cinta yang mendalam padanya. Sentuhan dingin pigura di tangannya terasa ironis, mengingat kehangatan yang terpancar dari foto itu. Dengan hati-hati, ia meletakkan kembali pigura itu, berusaha menghindari tatapan Leonor yang terasa begitu mengawasi.
“Pasti Liam akan sangat bahagia jika kalian berdua berada di kamar ini bersama,” imbuh Leonor, suaranya datar namun menyimpan kerinduan yang tak terucapkan. Ada nada melankolis yang terselip di antara kata-katanya, seolah ia sedang membayangkan sebuah kenyataan yang takkan pernah terwujud.
“Kamu benar, akan terasa indah jika Liam berada di sini,” sahut Keyli, berusaha menimpali dengan nada yang sama. Dalam benaknya, ia berandai-andai, jika saja Liam masih hidup, ia tidak akan terjebak dalam identitas palsu ini, menjalani kehidupan orang lain di bawah bayang-bayang kehilangan. Lamunannya terbuyarkan oleh sebuah objek yang menarik perhatiannya di atas meja kerja. Sebuah kotak musik bola kristal bersalju, dengan alas kayu yang tampak antik dan berharga. Di dalamnya, terdapat patung kecil sepasang kekasih yang saling berhadapan, tangan mereka saling menggenggam erat, sebuah representasi miniatur dari pertemuan yang penuh kasih.
Dengan rasa ingin tahu, Keyli mengambil kotak musik itu. Jari-jarinya memutar kenop kecil di bagian bawah. Seketika, lampu kecil di dalam bola kristal menyala, memancarkan cahaya lembut yang menerangi butiran-butiran salju buatan yang mulai berterbangan di dalam cairan bening. Bersamaan dengan itu, patung sepasang kekasih itu mulai berputar perlahan, seolah menari dalam kerinduan yang mendalam, mengisyaratkan harapan akan pertemuan indah yang dinanti-nantikan.
“Bagus sekali,” gumam Keyli, tanpa sadar berdecak kagum. Keindahan dan keajaiban kotak musik itu sejenak membuatnya terlupa akan situasi tegang yang sedang dihadapinya. Namun, ia tidak menyadari bahwa Leonor sedang mengamatinya dengan tatapan penuh tanda tanya besar, sebuah kerut samar terlihat di antara alisnya.
Bukan kah benda itu adalah kado darinya untuk Liam? Sebuah hadiah yang ia berikan dengan penuh cinta dan harapan. Itulah mengapa benda itu berada di kamar Liam, menjadi salah satu barang yang paling berharga baginya. Tidak ada seorang pun yang berani memindahkannya, seolah mereka semua berharap suatu hari nanti Liam akan kembali ke kamar ini, bersama dengan istrinya.
Pemandangan Keyli yang begitu tertarik dengan kotak musik itu menimbulkan kebingungan dalam benak Leonor. Bagaimana mungkin seorang istri tidak mengenali hadiah yang pernah ia berikan kepada suaminya?
Leonor melangkah mendekati Keyli dengan gerakan perlahan namun penuh kewaspadaan. Kecurigaan yang sempat mereda kembali menggantung pekat dalam benaknya, bagai kabut dingin yang merayap.
“Itu adalah benda paling berharga milik Liam,” ucap Leonor, suaranya tenang namun mengandung penekanan yang sulit diabaikan.
“Oh ya? Cantik sekali,” sahut Keyli tanpa menyadari bahwa ia telah jatuh ke dalam perangkap kecurigaan Leonor. Kekagumannya yang tulus terhadap kotak musik itu justru menjadi bumerang baginya.
Perlahan tapi pasti, Leonor mengulurkan tangannya dan mengambil kotak musik itu dari tangan Keyli. Tatapannya tertuju pada bola kristal itu, seolah mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk dalam benaknya. Setelah beberapa saat, ia menoleh kembali ke arah Keyli dan melontarkan sebuah pertanyaan yang menusuk.
“Seberapa besar kamu mencintai Liam?”
Keyli hanya mampu membalas tatapan Leonor dengan senyum datar yang dipaksakan. Di balik senyum itu, ia berusaha menyembunyikan kepanikan yang mulai menyeruak. Sementara itu, mata Leonor menatapnya dengan intens, penuh dengan kecurigaan yang belum sepenuhnya terbaca oleh Keyli. Ada sesuatu yang mengganjal dalam benak Leonor, sebuah ketidaksesuaian antara sikap Keyli dan gambaran seorang istri yang kehilangan suaminya.
“Aku masih teringat jelas ketika Liam begitu bahagia menerima kado darimu, Hazel,” ujar Leonor, suaranya lembut namun menyimpan ketajaman yang tersembunyi. Ia mengamati bola kristal di tangannya dengan seksama, seolah benda itu menyimpan kunci jawaban atas keraguannya. Kata-kata Leonor itu bagai petir yang menyambar kesadaran Keyli. Seketika, ia menyadari betapa cerobohnya ia telah mengambil benda itu. Bodoh. Sangat bodoh.
“Ten-tentu saja aku ingat barang ini,” jawab Keyli dengan cepat, berusaha memutar otaknya untuk merangkai kata-kata yang meyakinkan. “Hanya saja … aku kira Liam merahasiakannya dari kalian karena hubungan kita …,” Keyli menggantungkan kalimatnya, mencoba memberikan kesan bahwa hubungan mereka dengan Liam mungkin tidak direstui sepenuhnya oleh keluarga. Ia menyadari betapa berbahayanya situasi ini. Seharusnya ia lebih berhati-hati dalam bertindak dan menyentuh barang-barang di kamar Liam. Jika ia terus melakukan kesalahan sekecil ini, sama saja ia sedang menggali kuburannya sendiri.
Mata Leonor masih menyelidik, mencari kebenaran di balik kata-kata Keyli. Setelah beberapa saat yang terasa bagai keabadian, Leonor mengulurkan kembali kotak musik itu kepada Keyli.
“Liam tidak pernah merahasiakan apa pun dariku, Hazel,” ucap Leonor, memberikan jeda singkat sebelum melanjutkan dengan nada yang lebih tegas, “jadi jangan pernah menutupi apa pun di depanku.” Tekanan dalam suaranya jelas terasa, sebuah peringatan yang dingin dan menusuk.
Keyli menganggukkan kepalanya sekali, berusaha menunjukkan bahwa ia mengerti dan menerima peringatan itu. Tampaknya, penjelasannya yang terburu-buru itu berhasil diterima oleh Leonor, meskipun Keyli merasakan bahwa kecurigaan itu belum sepenuhnya hilang. Mulai saat ini, ia harus lebih berhati-hati dalam setiap interaksinya dengan Leonor, setiap kata dan tindakannya akan diawasi dengan seksama. Tiba-tiba, suara dering ponsel Leonor memecah kebekuan suasana yang tegang ini, memberikan Keyli sedikit ruang untuk bernapas.
Leonor merogoh saku jasnya dan mengeluarkan ponselnya. Ia kemudian berbalik dan berjalan menjauh, mencari tempat yang lebih privat untuk menerima panggilan tersebut. Sementara Leonor berbicara dengan seseorang di ujung telepon, Keyli menghela napas lega. Dengan gerakan cepat dan hati-hati, ia meletakkan kembali bola kristal itu di tempat semula, berharap kebodohannya kali ini tidak menimbulkan kecurigaan yang lebih besar di benak Leonor. Namun, dalam hatinya, Keyli tahu bahwa ia sedang berjalan di atas tali tipis, dan setiap langkahnya harus diperhitungkan dengan cermat.