Keyli dan Leonor, dua figur yang terjalin dalam jaring-jaring takdir yang rumit, bergerak dalam harmoni yang dipaksakan, menyusuri lorong-lorong megah kediaman yang menyimpan segudang rahasia. Langkah mereka, meskipun beriringan secara fisik, dipisahkan oleh jurang emosional yang dalam. Di satu sisi, Keyli, dengan segenap upayanya menyunggingkan senyum tipis dan menjaga ketenangan yang rapuh, berjuang keras untuk menutupi gejolak ketidaknyamanan yang mencengkeram hatinya. Aura dingin yang terpancar dari Leonor bagaikan kabut tebal yang merayap, membungkus setiap sudut ruangan dan menusuk hingga ke sumsum tulang Keyli.
Keheningan yang tercipta di antara mereka terasa begitu pekat, sarat akan pertanyaan-pertanyaan yang tak terucap dan kecurigaan yang tersembunyi. Leonor, dengan tatapan mata yang tajam dan menusuk, akhirnya memecah kebekuan dengan sebuah pertanyaan yang terasa bagai anak panah yang meluncur tepat ke jantung pertahanan Keyli.
“Bagaimana kehidupanmu dengan Liam?”
Pertanyaan itu, meskipun terdengar sederhana, mengandung bobot yang luar biasa bagi Keyli. Otaknya bekerja keras, berputar mencari jawaban yang sekiranya dapat memuaskan keingintahuan Leonor tanpa membongkar kebohongan yang sedang ia bangun dengan susah payah.
“Semua terlihat menyenangkan,” jawab Keyli akhirnya, berusaha menyunggingkan senyum yang meyakinkan, meskipun jantungnya berdebar kencang bagai genderang perang di dalam hatinya.
Namun, Leonor bukanlah lawan yang mudah menyerah. Matanya yang dingin terus mengamati setiap perubahan ekspresi Keyli, mencari celah kelemahan dalam pertahanannya. Pertanyaan berikutnya meluncur dengan tenang, namun tetap menyimpan ketajaman yang mengintimidasi.
“Apa dia baik?”
Kali ini, tanpa ragu sedikit pun, Keyli menganggukkan kepalanya dengan penuh keyakinan. Pertemuannya yang singkat dengan Liam telah meninggalkan kesan positif. Liam telah membantunya dalam perjalanan tragis itu. “Sangat baik,” jawab Keyli dengan suara yang lebih mantap, berharap ketegasan dalam jawabannya dapat mengakhiri interogasi singkat ini.
Akan tetapi, rasa ingin tahu Leonor tampaknya belum terpuaskan. Ia kembali melontarkan pertanyaan, kali ini mencoba menggali lebih dalam tentang fondasi hubungan Keyli dan Liam.
“Liam tidak cerita banyak tentangmu, bagaimana kalian saling mengenal?”
Pertanyaan ini bagaikan batu sandungan besar di tengah jalan yang sedang dilalui Keyli. Langkah kakinya terhenti seketika, tubuhnya membeku di tempat. Ia tidak memiliki jawaban yang kredibel untuk pertanyaan ini. Bagaimana mungkin ia menceritakan awal mula pertemuannya dengan seseorang yang bahkan tidak pernah benar-benar ia kenal?
“Ada apa?” desak Leonor, suaranya meninggi sedikit, menandakan ketidaksabarannya. Setiap pertanyaan terasa bagai palu godam yang menghantam pertahanannya, mengancam untuk mengungkap identitas palsunya.
Dalam keadaan terdesak, Keyli harus bertindak cepat. Otaknya berputar mencari cara untuk mengalihkan perhatian Leonor. Ia mencoba memanfaatkan kelemahan manusia, yaitu rasa iba.
“Ti-tidak. Hanya saja …,” Keyli berpura-pura memasang wajah sedih, air mata buatan menggenang di pelupuk matanya. Ia berharap ekspresi duka yang dibuat-buat ini dapat mengisyaratkan bahwa ia belum siap untuk membuka diri dan menceritakan hubungannya dengan Liam, sebuah hubungan yang sebenarnya tidak pernah ada.
“Kamu belum ingin menceritakannya?” tebak Leonor, dan tebakannya tepat sasaran. Ada sedikit nada kelembutan dalam suaranya kali ini, mungkin karena ia melihat kerapuhan yang ditunjukkan Keyli.
Keyli mengangguk perlahan, wajah duka itu adalah perisainya, sebuah lapisan pelindung untuk menyembunyikan kebingungan dan ketakutannya.
“Ok, kamu ingin melihat tempat favorit Liam?” Leonor akhirnya mengalah, mengganti topik pembicaraan dengan sesuatu yang lebih ringan, atau setidaknya tampak lebih ringan di permukaan.
Leonor kemudian berjalan menuju sebuah ruangan yang entah mengapa terasa tidak asing bagi Keyli. Sebuah kilatan ingatan yang mengerikan melintas di benaknya. Ruangan penyiksaan malam itu. Seketika, tubuh Keyli membeku di ambang pintu. Matanya bergerak liar, memutar kembali rekaman mengerikan yang tersimpan jelas dalam benaknya. Ia melihat Leonor, dengan tatapan mata yang dingin dan tanpa ampun, melakukan pembantaian kejam terhadap seseorang yang tak berdaya. Darah membasahi lantai, dan teriakan kesakitan menggema di udara.
Namun, pemandangan yang menyambut matanya saat ini sangatlah berbeda. Ruangan itu tampak suci dan tertata rapi. Rak-rak buku besar menjulang tinggi, dipenuhi dengan jilid-jilid tebal yang tampak kuno dan berharga. Sebuah meja kerja yang elegan dengan kursi-kursi berukir menghiasi tengah ruangan. Ornamen-ornamen mahal terpajang di setiap sudut, memancarkan kemewahan dan ketenangan. Dan di celah jendela itulah, Keyli mengingat dengan jelas, ia mengintip kengerian yang terjadi di dalam ruangan ini.
Ke mana jejak-jejak penyiksaan malam itu menghilang? Apakah semuanya sengaja dibersihkan sebelum kedatangannya? Mustahil. Tidak ada seorang pun yang tahu bahwa ia telah mengintip ruangan ini malam itu. Rasa bingung dan curiga berkecamuk dalam benak Keyli.
“Masuk,” ajak Leonor, suaranya datar namun mengandung sedikit nada memerintah. Tampaknya, Leonor menyadari kebingungan dan ketakutan yang terpancar dari wajah Keyli. “Kenapa kamu terlihat takut?”
Pertanyaan itu membuat Keyli tersentak. Ia harus segera menguasai dirinya dan mencari jawaban yang masuk akal.
“Apa Liam suka berada di sini?” tanya Keyli, berusaha mengalihkan perhatian dan melangkah masuk ke ruangan dengan langkah ragu. Setiap inci ruangan itu terasa mengancam, meskipun penampilannya begitu tenang dan damai.
Leonor menganggukkan kepalanya dengan anggun. “Kami sering bertukar pendapat di sini. Liam sangat menyukai ketenangan ruangan ini untuk membaca dan berpikir.”
“Ta-tapi, malam itu …,” Keyli bergumam pelan, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa apa yang dilihatnya malam itu adalah kenyataan, bukan sekadar ilusi atau mimpi buruk.
“Malam?” Mata Leonor mulai mengintrogasi, menatap Keyli dengan intens. Ia melangkah mendekat, dan Keyli dapat merasakan ketegangan yang meningkat di udara. “Malam apa, Hazel?” Leonor berusaha masuk ke dalam psikis Keyli, mencoba memanipulasi ingatannya dan mengubah apa yang pernah dilihatnya di ruangan ini. Ada semacam kekuatan sugesti yang kuat dalam tatapan matanya.
Keyli secara refleks melangkah mundur, menjauhi Leonor yang terus mengejarnya dengan pertanyaan-pertanyaan yang semakin membuat Keyli merasa terpojok. “Maafkan aku, aku mungkin berhalusinasi.” Ucapan itu terlontar begitu saja, sebagai upaya terakhir untuk melindungi dirinya.
“Apa maksud perkataanmu?” Leonor terus menyudutkan Keyli, langkahnya mantap dan mengancam, seolah siap memangsa wanita muda itu kapan saja. Aura dominasinya semakin kuat, membuat Keyli merasa seperti seekor rusa yang terperangkap di hadapan serigala. “Apa yang kamu lihat?”
Kini, Keyli benar-benar terpojok di sudut dinding, tidak ada jalan untuk melarikan diri. Tatapan mata Leonor semakin intens, mencoba menembus pertahanan mental Keyli.
“Kamu melihat Liam?” Leonor mencoba mengecoh, menggunakan nama Liam sebagai umpan untuk mengalihkan perhatian Keyli dari apa yang sebenarnya ia lihat.
“Tidak, tapi aku melihatmu berlumuran darah menyiksa seseorang dan ada mayat yang …,” Keyli menutup mulutnya rapat-rapat dengan satu tangannya, menyadari betapa bodohnya ia telah keceplosan mengatakan apa yang sebenarnya ia lihat di ruangan ini. Matanya membulat karena terkejut dan ketakutan, menatap Leonor dengan rasa bersalah dan panik. Tatapan mata mereka bertemu, dan Keyli merasakan ada sesuatu yang aneh, sesuatu yang melebihi batas normal interaksi antar manusia. Mata Leonor memancarkan intensitas yang dingin dan menusuk, seolah-olah dapat membaca setiap pikiran dan ketakutan Keyli.
Menyadari betapa dekatnya jarak di antara mereka, Keyli berniat untuk menghindar, mencoba menciptakan ruang aman di antara dirinya dan Leonor. Namun, pergerakannya terhenti ketika kedua tangan Leonor tiba-tiba terulur dan memenjarakan tubuh Keyli di antara dinding dan dirinya.
“Berlumuran darah?” tandas Leonor, suaranya rendah dan serak, namun mengandung ancaman yang terselubung. Ia berpura-pura tidak mengerti, namun tatapan matanya mengisyaratkan sebaliknya.
Keyli menelan ludah dengan susah payah, berusaha merangkai kata-kata yang tepat agar Leonor melepaskan penjara tangannya. “A-aku tidak tahu pasti …,” jawabnya terbata-bata, mencoba menyangkal apa yang telah ia katakan.
Kepala Leonor sedikit miring, tatapannya menukik tajam ke dalam bola mata Keyli, seolah mencoba menghipnotisnya, menanamkan keraguan dalam ingatannya, bahwa apa yang dilihat Keyli bukanlah dirinya. “Kamu baru saja mengatakan aku berlumuran darah?”
Sungguh, kini otak Keyli benar-benar kacau balau. Kondisi terperangkap oleh kedua tangan Leonor, ditambah dengan pertanyaan-pertanyaan yang meragukan kewarasannya dan penglihatannya, membuat jantungnya berdebar kencang, seolah ingin meledak keluar dari tubuhnya. Ia merasa seperti mangsa yang terpojok, menunggu saat-saat terakhirnya.
“Bukankah malam itu kamu menabrakku tiba-tiba?” cecar Leonor dengan suara lembut, namun tetap mengandung nada dominan yang membuat Keyli merasa semakin tertekan.
“Ah iya,” kepala Keyli mengangguk-angguk dengan cepat, berusaha meyakinkan Leonor dan dirinya sendiri bahwa ingatan mengerikan itu hanyalah imbas dari pikirannya yang kacau.
Salah satu ujung bibir Leonor tertarik ke atas, membentuk senyuman tipis yang dingin. Senyuman itu menandakan bahwa ia berhasil meruntuhkan ingatan sesaat Keyli, menanamkan keraguan dalam benaknya tentang apa yang sebenarnya terjadi.
“Iya, benar. Aku sepertinya sedang tidak fokus atau mungkin pengaruh dari obat sehingga membayangkan hal yang tidak-tidak,” Keyli menggigit bibir bawahnya, mencoba meyakinkan dirinya bahwa apa yang dilihatnya malam itu hanyalah halusinasi. Tentu saja, jauh di lubuk hatinya, ia tahu bahwa itu tidak mungkin. Ia ingat dengan jelas saat ia menabrak Leonor di lorong, dan kepanikan yang melanda semua orang setelah kejadian itu.
“Maaf,” ucap Keyli lirih kali ini, memberikan isyarat halus bahwa jarak di antara mereka sudah terlalu dekat dan membuatnya tidak nyaman.
Mata Leonor melirik posisi tubuh mereka, lalu berdehem pelan dan berkata, “Sorry, adik ipar.” Ia membenarkan posisinya, memberikan ruang bagi Keyli untuk bernapas. Begitu pula Keyli, yang berusaha keras untuk bersikap normal dan menyembunyikan kegugupannya.
“Jika ingin bercerita katakan saja. Rahasiamu aman bersamaku,” ucap Leonor tiba-tiba, mencoba mencairkan suasana yang membeku. Ada nada kehangatan yang dipaksakan dalam suaranya.
“Okay,” jawab Keyli singkat, menganggukkan kepalanya meskipun dalam hatinya ia tahu bahwa ia tidak mungkin bisa mempercayai Leonor dengan rahasia terbesarnya, yaitu bahwa ia bukanlah adik iparnya.