Sementara itu, di belahan kota yang lain, Hudson tidak pernah putus asa mencari keberadaan istrinya selama ia belum melihat tubuh Keyli dengan mata kepalanya sendiri.
Mentari pagi yang mulai merayap naik di ufuk timur seolah menjelma menjadi bara semangat baru yang membakar tekad Hudson. Langkahnya mantap menuju rumah sakit tempat para korban kecelakaan bus dilarikan, sebuah tempat yang menyimpan kemungkinan pahit namun harus ia hadapi. Bagaimana pun kondisi Keyli nantinya, cacat atau sempurna, hidup atau terluka, ia telah berjanji pada dirinya sendiri untuk menerimanya, asalkan benar mayat wanita hamil yang dimaksud temannya adalah Keyli.
Namun, takdir sekali lagi memainkan ironinya. Dugaan Hudson meleset jauh dari kenyataan pahit yang terbentang di hadapannya. Setelah dengan jantung berdebar ia menyaksikan peti mati dibuka di dalam dinginnya lemari pendingin kamar mayat, terungkaplah bahwa wanita hamil yang meninggal bukanlah Keyli, melainkan Hazel yang asli, istri Liam yang tragis, sebuah wajah yang asing di mata Hudson. Sekilas, secercah kelegaan menyusup ke dalam hatinya yang cemas karena bukan wajah Keyli yang terbujur kaku di sana, namun kelegaan itu segera sirna digantikan oleh kebingungan dan kekhawatiran yang lebih besar.
"Apa ada korban lain yang hamil seperti dia?" tanya Hudson kepada petugas penunggu kamar mayat dengan nada penuh harap yang nyaris putus asa, menggantungkan sisa-sisa harapannya pada jawaban pria di hadapannya.
"Tidak ada," jawab petugas itu singkat, bagai palu godam yang menghantam harapan Hudson hingga berkeping-keping.
Hudson dan teman polisinya saling melempar pandang penuh kebingungan dan rasa penasaran yang semakin besar. "Lalu di mana istri Anda sebenarnya, Mr. Hudson?" tanya sang polisi, ikut merasakan keputusasaan sahabatnya.
Hudson berusaha keras mencari-cari jawaban atas pertanyaan yang menghantuinya siang dan malam. "Tidak mungkin dia menghilang begitu saja. Jika memang dia masih hidup, pasti bayiku sudah lahir sekarang," terawang Hudson dengan nada putus asa yang menggantung di udara dingin kamar mayat, membuat petugas itu tiba-tiba teringat akan detail kecil yang mungkin penting.
"Oh ya, ada satu korban selamat dalam kondisi melahirkan," celetuk petugas kamar mayat itu tiba-tiba, bagai setitik cahaya di tengah kegelapan, membuat Hudson dan teman polisinya tak sabar mendengar penjelasan selanjutnya, secercah harapan kembali menyala redup dalam hati Hudson yang terluka.
"Di mana dia sekarang?" kejar Hudson dengan nada mendesak, tak ingin kehilangan jejak sekecil apapun.
"Tapi beliau tidak mungkin orang yang Anda cari, karena dia adalah keluarga pemilik rumah sakit ini yang kebetulan naik bus itu," terang petugas itu, berusaha meluruskan kesalahpahaman yang mungkin timbul, tetapi Hudson tidak begitu menggubrisnya, hatinya telah terpaku pada kemungkinan bahwa istrinya masih hidup dan mungkin saja wanita itu adalah Keyli. Ia segera mengeluarkan ponselnya dengan tangan gemetar dan menunjukkan foto wajah Keyli kepada petugas itu, sebuah wajah yang selalu menghiasi mimpinya.
"Apa dia yang ada di foto ini?" Hudson menyodorkan layar ponsel yang menampilkan wajah Keyli yang tersenyum lembut, sebuah senyuman yang selalu mampu menghangatkan hatinya.
Petugas itu dengan seksama berusaha mengingat-ingat wajah korban selamat yang merupakan keluarga pemilik rumah sakit ini, mencoba menghubungkannya dengan wajah di layar ponsel. "Emh …," petugas itu memberi jeda sejenak, berusaha mengingat dengan pasti, "sebenarnya saya tidak terlalu tahu pasti, saya tidak terlalu memperhatikannya saat itu sebab tidak semua orang bisa melihatnya karena privasi keluarga. Tapi sepertinya tidak mungkin, dia sudah memiliki suami, namun suaminya tidak selamat dalam kecelakaan itu."
"Nama? Pasti kamu tahu namanya," kejar Hudson dengan nada tidak putus asa, enggan menyerah pada kemungkinan sekecil apapun, berpegang teguh pada harapan yang mulai menipis.
"Tentu semua pegawai di sini tahu nama menantu pertama pemilik rumah sakit ini. Nyonya Hazel. Ketika itu, semua pegawai rumah sakit membicarakan tragedi yang menimpa keluarga pemilik rumah sakit ini," jelas pegawai itu cukup detail, tanpa menyadari kebingungan yang semakin melanda hati Hudson, yang kini terperangkap dalam labirin nama dan identitas yang membingungkan.
"Hazel?" Hudson menarik napas panjang, merasakan kebingungan yang semakin mencengkeram hatinya bagai tali yang mengikat erat. Ia memijat dahinya dengan frustrasi, mencoba mencerna informasi yang baru diterimanya, mencoba mencari korelasi antara Hazel dan Keyli.
"Apa kamu pernah mendengar nama Keyli ketika tragedi itu terjadi?" tanya Hudson lagi, berharap ada petunjuk lain yang bisa membawanya pada istrinya.
"Keyli?" petugas itu mengingat-ingat lagi, mengerutkan keningnya dalam-dalam, kemudian menggelengkan kepala perlahan.
"Mungkin bagian administrasi bisa membantu Anda," imbuhnya, menyarankan Hudson untuk mencari informasi lebih lanjut di tempat lain, sebuah saran yang terasa seperti jalan buntu.
"Mr. Hudson, data yang ada di administrasi sama persis dengan data yang Anda pegang sekarang," tutur teman polisi itu dengan nada prihatin, menepuk bahu sahabatnya dengan simpati, "sepertinya Nyonya Keyli tidak berada di dalam bus ketika kecelakaan itu terjadi." Mendengar ucapan temannya, Hudson kembali merasakan frustrasi yang mendalam, namun hal itu tidak membuatnya menyerah untuk menemukan Keyli, baik dalam keadaan hidup maupun mati.
"Sebarkan informasi buron di tempat di mana bus itu terakhir berhenti dan juga di area sekitar sini. Bagaimanapun caranya, aku harus menemukannya. Dia istriku, dia telah mengambil semua yang aku miliki. Bahkan darah dagingku," tekannya dengan suara pelan namun tegas, matanya memancarkan tekad yang membara di tengah keputusasaan yang mulai merayap, sebuah janji yang ia ikrarkan pada dirinya sendiri.
Sementara Keyli, yang masih terperangkap dalam jaring-jaring kebohongan keluarga yang menyimpan rahasia kelam, terus memerankan perannya sebagai ipar palsu dengan hati-hati. Usai kunjungan dokter yang memeriksa lengannya, Keyli memilih duduk di halaman belakang yang berbeda dari malam itu, ditemani bayinya yang menggemaskan dalam kereta dorong. Pengasuh putrinya berada cukup jauh, memberikan Keyli ruang untuk menikmati waktu berdua dengan buah hatinya. Mata Keyli menatap wajah mungil putrinya dengan senyum manis yang tulus, sebuah senyum yang mampu mengusir sedikit kegelapan dalam hatinya. "Apa kamu suka tinggal di sini?" tanya Keyli lirih, seolah putrinya yang masih terlalu kecil itu mengerti setiap ucapannya. Ia tersenyum melihat putrinya yang juga memandangnya dengan mata bulatnya yang polos, "ya, sayang ...," menghela napas panjang, "seharusnya kita tidak di sini sekarang," jedanya terasa berat, "Mama berjanji, setelah Mama sembuh sepenuhnya, Mama akan membawamu pergi dari tempat ini dan kita akan hidup berdua untuk selamanya, jauh dari semua kepura-puraan dan ketakutan."
"Kamu di sini rupanya," suara parau Leonor tiba-tiba mengejutkan Keyli, membuatnya tersentak dan kepalanya menoleh cepat ke sumber suara, berharap percakapan intimnya dengan putrinya tidak didengar oleh siapapun. Menyadari keterkejutan Keyli, Leonor pun merasa bersalah, "aku tidak bermaksud mengejutkanmu."
Keyli hanya membalas dengan senyuman tipis yang dipaksakan, matanya menyimpan rasa penasaran yang tak terucapkan tentang malam mengerikan itu. Kemudian Leonor duduk di kursi taman dekat kereta dorong, menjaga jarak yang sopan.
"Hai cantik," sapa Leonor lembut sambil mengusap pelan pipi bayi mungil itu dengan jari telunjuknya,
"aku membawakan sesuatu untukmu," ia kemudian memberikan sebuah ponsel pintar terbaru dan sebuah black card American Express kepada Keyli.
Keyli tak langsung menerima uluran tangan Leonor. Ia bergantian memandangi Leonor dan kedua barang mewah itu dengan ekspresi bingung bercampur curiga, lalu menolak tawaran itu dengan sopan,
"aku tidak bisa menerima semua ini."
Leonor mengerutkan keningnya, "kenapa?"
"Ak-aku tidak ingin memiliki balas budi dengan siapapun," Keyli mengungkapkan isi hatinya dengan terus terang, meskipun ia tak berani menatap lama mata Leonor yang menyimpan misteri, "aku diterima di sini saja sudah sangat bersyukur."
Leonor sangat yakin bahwa adik iparnya yang palsu ini masih menyimpan ketakutan terhadapnya setelah kejadian malam itu, namun ia merasa belum tiba saatnya wanita yang dianggapnya adik ipar ini mengetahui kebenaran tentang siapa sebenarnya keluarganya dan apa yang mereka lakukan di balik tembok rumah mewah ini.
"Oke, setidaknya kamu ambil ponsel ini sebagai permintaan maafku karena sempat mencurigaimu yang tidak-tidak," bujuk Leonor dengan nada persuasif,
"jika kamu tidak memiliki ponsel, bagaimana jika terjadi sesuatu atau kamu membutuhkan sesuatu tetapi kamu tidak bisa menghubungi siapapun," rayunya, mencoba memainkan peran sebagai kakak ipar yang perhatian,
"minimal untuk putrimu. Bagaimana jika dia sedang rewel dan kamu sendirian? Apa kamu bisa menenangkannya saat ini?" imbuhnya, menunjuk bayi yang tertidur lelap di kereta dorong.
Keyli menarik napas panjang lalu menghempaskannya keluar dengan senyuman menyerah yang dipaksakan, "Okay," katanya pelan, berusaha menepis rasa takutnya dan meyakinkan dirinya sendiri bahwa keluarga ini mungkin saja benar-benar keluarga baik-baik, "demi putriku," ucapnya meyakinkan diri sendiri dan Leonor.
Leonor mengangguk sekali lalu berkata dengan nada datar, "dan kamu juga bisa menggunakan mobile banking jika membutuhkan sesuatu. Sudah aku siapkan juga, aku pastikan kamu tidak akan kekurangan sedikit pun."
"Tapi —"
"No, no," potong Leonor cepat, "mungkin kamu tidak membutuhkan apapun untuk dirimu sendiri. Tapi keponakan cantikku ini memerlukan segalanya yang terbaik," ujarnya sambil mengusap lembut tangan bayi mungil itu dengan senyum yang tampak tulus.
"Terima kasih," pasrah Keyli, menerima kartu hitam itu dengan perasaan campur aduk.
"Aku belum sempat mengajakmu berkeliling setiap sudut rumah ini, sepertinya aku punya waktu untuk menunjukkan setiap bagian rumah ini supaya kamu tidak tersesat nantinya," ujar Leonor, sebuah ajakan yang justru membuat Keyli membeku di tempatnya, bayangan ruangan mengerikan itu kembali menghantuinya.
"Ada apa, Hazel?" tanya Leonor, menyadari perubahan ekspresi Keyli, "kamu tidak tertarik?"
Tak ingin Leonor mencurigai apapun lagi, mau tidak mau Keyli mengangguk dan menyetujui ajakan tersebut dengan senyum yang dipaksakan. Kemudian Leonor melihat pengasuh yang berdiri tak jauh dari sana untuk menjaga putri Keyli selama mereka berkeliling rumah.