TINGGAL NAMA

1495 Words
Sunyi senyap mencengkeram ruang tengah kediaman Hudson, sebuah keheningan yang lebih pekat dan mencekam dari gulita malam itu sendiri. Hanya bias kekuningan yang merayap dari lampu lantai, setia menemani kesendirian yang menyesakkan, cahayanya meredup seolah turut merasakan kelam yang menggumpal di relung hatinya. Di genggamannya yang erat, pigura kayu terasa dingin membeku, namun menyimpan bara amarah yang tak kunjung padam, membakar setiap sudut perasaannya. Di balik kaca bening yang memisahkan masa lalu dan kini, tersenyum Keyli, istrinya. Dulu, senyum itu adalah mentari yang menghangatkan setiap inci harinya, kini menjelma menjadi bara api yang mengipasi dendam dan rasa tidak terima yang menggerogoti akal sehatnya. Tiba-tiba, keheningan yang menyesakkan itu terkoyak oleh getaran halus dari saku celananya. Dengan gerakan enggan, Hudson merogoh dan melihat nama asing tertera di layar ponselnya. Dengan suara serak yang tercekat di tenggorokan, ia menjawab panggilan itu, “Halo?” “Sepertinya istri Anda terekam kamera pengawas di sebuah terminal bus,” suara seorang pria di ujung sana terdengar samar namun sarat informasi. Tubuh Hudson yang semula lesu dan terkulai di sofa menegang seketika, bagai pegas yang tiba-tiba ditarik. Harapan yang tadinya setipis benang laba-laba kini menebal menjadi seutas tali yang bisa ia genggam erat, menariknya keluar dari jurang keputusasaan. “Di mana?” tanyanya dengan nada mendesak, napasnya tercekat oleh antisipasi yang membuncah. “Lokasinya akan segera saya kirimkan melalui pesan singkat. Anda bisa melihat sendiri rekaman itu dan memastikan apakah wanita itu benar istri Anda,” jelas suara itu singkat dan to the point, sebelum sambungan telepon terputus, meninggalkan Hudson dalam pusaran harapan yang bergejolak dengan kecurigaan yang mencengkeram. Sementara itu, di sebuah mansion mewah yang baru pertama kali ia injak, Keyli yang duduk di kursi roda baru saja tiba di rumah keluarga Liam. Matanya terbelalak tak percaya melihat setiap detail kemewahan yang terpancar. Baru saja menginjakkan kaki di sana, Keyli sudah disambut dengan hidangan makan malam yang begitu mewah dan berkelas. Sedangkan putrinya, disambut dengan hangat oleh seorang pengasuh berpengalaman yang tersenyum ramah, memberikan rasa aman dan nyaman. Paul, ayah Liam, tak sungkan-sungkan mengambilkan berbagai hidangan ke piring Keyli, memperlakukannya seperti menantu sendiri, sebuah kebaikan yang membuat hati Keyli sedikit terharu. “Kamu tahu apa ini?” Paul menyodorkan sepiring Potluck Macaroni and Cheese ke hadapan Keyli, aromanya yang gurih dan menggoda membuat perutnya keroncongan. Keyli hanya tersenyum canggung sambil menggelengkan kepala, matanya meneliti hidangan asing namun tampak begitu lezat itu. Sementara itu, Leonor, ibu Liam, melirik ke arah Keyli diam-diam, sorot matanya penuh observasi dan sedikit kecurigaan. Tanpa curiga sedikit pun, Paul menjawab sendiri pertanyaannya dengan nada ceria, “Ini makanan kesukaan Liam.” Keith kemudian tersenyum hangat dan berkata, “Pasti Liam tidak mau merepotkanmu untuk memasakkannya. Cobalah,” berusaha mencairkan suasana yang sedikit tegang. Keyli hanya tersenyum canggung, merasa sedikit tertekan dengan perhatian yang begitu besar dan tatapan menyelidik dari Leonor. Ia mengambil sesendok macaroni dan cheese itu dan melahapnya perlahan. Seketika, kelezatan makanan tersebut meledak di dalam mulutnya, rasa gurih keju berpadu sempurna dengan lembutnya macaroni, menciptakan sensasi yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. “Kamu menyukainya juga?” tanya Keith tak sabar mendengar penilaian dari wanita yang dicintai putranya, berharap Keyli memiliki selera yang sama dengan Liam. Keyli menganggukkan kepala dengan antusias, matanya berbinar-binar menikmati rasa yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia kembali menyuapkan sesendok lagi, namun gerakannya terhenti ketika Leonor tiba-tiba berkata dengan nada datar namun menusuk, “Bukankah kamu tidak suka dengan semua jenis keju, Hazel?” Seketika, semua mata di meja makan tertuju kepada Leonor, menciptakan keheningan yang canggung dan penuh tanya. “Liam juga pernah mengatakan hal seperti ini sebelumnya,” imbuh Leonor dengan nada penasaran yang tak bisa disembunyikan, tatapannya menyelidik ke arah Keyli, mencoba mencari kebohongan di matanya. Jantung Keyli berdebar kencang, ia berusaha memutar otak mencari alasan yang masuk akal untuk menutupi kebohongannya, menyadari bahwa ia telah melakukan kesalahan besar. “Sekarang keju telah menjadi bagian dari hidupku,” jawabnya dengan senyum dipaksakan, berusaha terlihat meyakinkan, “Dengan begitu, Liam akan selalu ada dalam hidupku selamanya,” bohongnya, berharap alasannya terdengar romantis dan tidak mencurigakan di telinga keluarga Liam. Suasana di meja makan menjadi sedikit dingin dan tegang, bayangan kecurigaan terasa semakin pekat, sebelum akhirnya Keith dengan sigap mencairkan kembali kebekuan itu dengan lelucon ringan. “Mama akan membuatkan menu kesukaan Liam setiap hari untukmu, Sayang,” ujarnya dengan senyum lebar, berusaha mengembalikan keceriaan di antara mereka. Dan mereka semua kembali menikmati hidangan makan malam yang tersaji, meskipun bayangan kecurigaan masih terasa samar di udara, terutama bagi Keyli yang merasa semakin terpojok dengan kebohongannya. Usai makan malam yang penuh dengan kejanggalan tersembunyi, Keyli berniat untuk pergi ke kamar putrinya yang sudah tertidur lelap di kamar bayi. Namun tiba-tiba Leonor datang menawarkan diri untuk mengantarnya, memegang bagian belakang kursi roda Keyli dengan tatapan yang sulit diartikan. “Akan aku antar,” ujarnya dengan nada ramah namun sorot mata yang penuh observasi dan sedikit dingin. Kepala Keyli menengok ke belakang, menatap Leonor dengan senyum sopan namun penuh penolakan halus, merasa tidak nyaman dengan perhatian yang berlebihan dan tatapan menyelidik itu. “Tidak perlu. Tidak usah repot-repot,” ujarnya berusaha bersikap sopan dan mandiri. “Tidak apa-apa,” balas Leonor bersikeras, kemudian mulai mendorong kursi roda Keyli menuju kamar yang telah disiapkan untuknya, tanpa menghiraukan penolakan Keyli. Leonor membukakan pintu kamar Keyli dan mendorong kursi roda tersebut masuk ke dalam. “Terima kasih,” ucap Keyli dengan nada sungkan, merasa semakin tidak nyaman dengan situasi ini. Leonor berdiri di depan kursi roda Keyli, menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan, campuran antara rasa ingin tahu dan kecurigaan. Mentari pagi menyapa dengan sinarnya yang dingin dan menusuk, cahaya itu adalah secercah harapan yang rapuh di tengah kegelapan yang melingkupi Hudson. Semalaman ia tidak bisa memejamkan mata, pikirannya berkecamuk dalam pusaran harapan menemukan Keyli dan amarah yang terus membara seperti bara yang tak pernah padam. Terminal bus yang tertera di pesan singkat kini berdiri kokoh di hadapannya, sebuah bangunan ramai dengan hiruk pikuk aktivitas pagi yang kontras dengan kekacauan di dalam dirinya, namun bagi Hudson, tempat itu adalah kunci untuk membuka misteri kepergian Keyli yang berani dan memberontak. Setelah menunggu dalam gelisah yang mencengkeram, seorang petugas keamanan dengan wajah datar dan tanpa ekspresi mengantarnya ke sebuah ruangan gelap yang dipenuhi jajaran monitor CCTV yang terus merekam setiap sudut terminal. Di sana, layar-layar menampilkan berbagai aktivitas manusia, tanpa menyadari drama yang tengah berkecamuk dalam hati Hudson. Jantung Hudson berdebar semakin kencang saat seorang petugas memutar ulang rekaman sesuai dengan waktu yang ditentukan. Matanya terpaku pada satu sosok: seorang wanita hamil dengan gerak-gerik yang begitu familiar, sebuah siluet yang tak mungkin salah. Itu Keyli. Tidak ada keraguan sedikit pun. Wanita yang selama ini ia cari, wanita yang telah meninggalkannya dengan berani dan memberontak, kini terlihat jelas di layar, seolah mengejek keputusasaannya dan membangkitkan kembali amarah yang sempat mereda. "Ke mana bus itu pergi?" tanya Hudson dengan suara tercekat, menunjuk ke arah bus yang dinaiki Keyli di rekaman. Petugas yang sedari tadi membantunya menghela napas pelan, raut wajahnya berubah menjadi sendu, seolah ikut merasakan beban yang kini menghimpit Hudson. "Bus tersebut mengalami kecelakaan tragis sebelum sampai tujuan," jawabnya dengan nada prihatin yang menusuk jantung Hudson bagai ribuan jarum. Kepala Hudson tersentak, menoleh ke arah petugas dengan tatapan tajam dan tak percaya, matanya menyipit penuh curiga. "Apa?" Suaranya meninggi, bercampur antara keterkejutan yang membungkam dan penolakan yang memberontak terhadap kenyataan pahit yang baru saja ia dengar. "Apa maksud kamu?" "Setelah meninggalkan pemberhentian pertama, bus itu mengalami kecelakaan maut di luar kota. Banyak penumpang yang menjadi korban jiwa," terang petugas itu lebih lanjut, nada suaranya semakin lirih. Dengan gerakan cepat Hudson merogoh ponselnya yang terasa dingin dan licin di genggamannya. Ia mencari kontak seorang teman lama yang bekerja di kepolisian, seseorang yang mungkin bisa memberikan kejelasan di tengah kebingungan yang melandanya. "Halo? Ini aku, Hudson. Bisakah kamu membantuku melacak informasi tentang korban selamat dari sebuah kecelakaan bus?" tanyanya terburu-buru. "Ya, tentu, Hudson," jawab suara familiar di ujung sana, terdengar sedikit bingung namun siap membantu sahabatnya yang tampak begitu terpukul, kemudian Hudson m] Hudson yang baru saja menutup teleponnya mencoba mengingat kembali pertengkaran sengit yang menjadi awal dari kepergian Keyli yang berani dan memberontak. Ponselnya berdering lagi, jantungnya berdebar kencang saat mengangkat panggilan itu, berharap cemas akan kabar yang akan ia terima, kabar yang akan menentukan sisa hidupnya. "Hudson? Saya sudah mendapatkan informasi yang kamu minta," suara temannya dari kepolisian terdengar serius, tanpa basa-basi yang tak perlu, langsung menuju inti permasalahan. Napas Hudson tercekat di tenggorokan, ia tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun, hanya mampu menunggu dengan jantung berdebar kencang. "Lalu ...?" "Bus dengan nomor polisi yang kamu kirimkan memang mengalami kecelakaan parah. Daftar penumpangnya sudah keluar. Ada beberapa korban selamat, dan sayangnya, cukup banyak yang meninggal dunia." Hudson menggenggam erat ponselnya, buku-buku jarinya memutih menahan gejolak emosi. "Apa kamu punya daftar semua penumpang yang kamu maksud?" Hening sejenak di ujung sana, waktu terasa berjalan lambat dan menyiksa, bagai jarum jam yang berputar dengan kejam di atas luka hatinya. "Sebaiknya kamu datang ke rumah sakit." Ujar temannya dibalik telepon.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD