Dinding kamar Keyli terasa menyesakkan, seolah memenjarakan setiap isak tangis yang tak mampu ia bendung. Malam demi malam, bayangan putrinya menari-nari di pelupuk mata, memicu gelombang kerinduan yang mengikis jiwanya hingga ke tulang. Setiap hembusan napas terasa berat, sesak oleh duka yang menggunung. Ia mencengkeram erat bantal yang basah oleh air mata, berharap itu adalah tubuh mungil putrinya yang bisa ia peluk. Kerinduan itu bukan lagi sekadar rasa, melainkan sebuah siksaan yang merobek-robek hatinya, membuatnya merasa kosong, hampa, seolah sebagian dari dirinya telah direnggut paksa. Esok paginya, sebelum fajar sepenuhnya merekah dan kota masih diselimuti embun tipis, Keyli sudah bangkit dengan tekad yang menggebu. Sebuah perasaan campur aduk antara harapan tipis dan kegelisahan

