Satu

1381 Words
- New York City - Namaku Vhenathy Ravhe, ayahku telah tiada setahun lalu. Kakakku telah menikah beberapa tahun lalu dan saat ini aku tinggal hanya bertiga dengan Ibu dan adikku. Menghidupi Ibu dan adikku tidak terlalu sulit karena pekerjaanku. JC Corp, sebuah perusahaan besar yang dapat memberikanmu kehidupan mewah jika sudah mencapai puncak karirmu. Perusahaan ritel terbesar di Amerika. Saat ini aku bekerja di sana menjadi Kadiv bagian infentori, penghasilanku cukup untuk menghidupi Ibu dan adikku yang saat ini masih bersekolah. Di usiaku yang kini menginjak 25 tahun harus bekerja keras mengejar impianku, mimpiku yang ingin menjadi wanita kaya raya dengan kerja kerasku sendiri. Dengan begitu Ibuku akan bahagia karena aku dapat menyekolahkan adikku hingga impiannya menjadi seorang dokter tercapai. Dan JC Corp menjaminkan semua itu jika aku bekerja keras, tentu saja aku akan melakukan semampuku. Siang ini aku harus pergi menemui beberapa klienku dan diperbolehkan untuk pulang setelah menemui dan berhasil meyakinkan para klienku. Restoran Griflid menjadi tujuan utamaku, restoran mewah yang terletak dekat dengan tempat tinggalku. Panas terik matahari tergantikan dengan hawa dingin saat memasuki restoran mewah itu. Memesan tempat duduk di dekat jendela dan menunggu hingga klienku datang. Sebelum bertemu dengan mereka tentu saja aku harus merapikan penampilanku. Rambut panjang pirangku sedikit bergelombang, hingga aku harus menguncirnya tinggi. Iris biru muda karena gen dari mendiang ayahku ini benar-benar mengingatkanku padanya. Setelah selesai merapikan penampilanku, aku kembali ke meja makan dan menunggu hingga akhirnya mereka datang. "Selamat siang, Miss Ravhe. Maaf membuatmu menunggu lama," ujar seorang pria paruh baya yang datang langsung menyodorkan tangannya untuk bersalaman. "Tentu tidak masalah, Tuan Cameroon," jawabku sambil menyambut uluran tangannya dan terrsenyum seperti biasa. "Bisa kita langsung saja, karena aku memiliki janji penting lainnya?" tanya Tuan Cameroon dengan wajah sedikit terlihat bersalah, dan tentu saja aku mengangguk cepat. "Tentu saja, saya tahu Anda orang yang super sibuk. Terima kasih untuk tetap datang," jawabku sesopan mungkin dan wajahnya kali ini terlihat berseri. "Baiklah, tentang permasalahan retur ke supplier sebesar lima miliar dolar memang jarang terjadi, tetapi kami bisa menanggungnya dengan beberapa jaminan, beberapa barang dari perusahaanku harus masuk ke dalam daftar gudangmu. Dan yang kedua kalian harus menahan beberapa bulan beberapa barang yang memang harus dikirimkan. Dan menggantikannya dengan barang-barang dari perusahaanku. Semua itu harus berjalan agar lima miliar itu kembali dan tidak menjadi beban perusahaan kami." aku mengangguk sambil terus mendengarkan permintaannya. Semua yang pria itu minta sudah aku ketahui sebelumnya, karena hanya dengan cara itu beban pengembalian barang ke supplier dapat teratasi tanpa harus perusahaan JC yang merugi. meskipun lima miliar bukanlah apa-apa bagi perusahaanku karena perusahaan itu mendapatkan laba 15 miliar per hari. Semua pembicaraan tentang pekerjaanku berlalu dan selesai dalam 30 menit, tidak membutuhkan waktu lama aku bisa membuat mereka menyetujui beberapa kontrak dengan kami. Tentunya saja bukan karena aku cantik, aku tidak memiliki kelebihan pada wajahku. Mungkin otakku saja yang terlalu berlebihan. Tuan Cameroon kembali mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan, aku membalas uluran tangan itu dengan senyuman ramah. Pria paruh baya itu berterima kasih lalu pergi meninggalkanku sendiri. Pekerjaanku ternyata selesai lebih cepat, semua laporan yang harus aku berikan ke kantor tidak terlalu banyak. Lebih baik aku memberikannya esok hari pada Tuan Fernandes, sebaiknya sekarang aku pergi berbelanja ke supermarket untuk nanti malam. "Permisi." aku mendongak saat suara lembut itu menyapa pendengaranku. Kini di hadapanku berdiri soerang pria tampan dengan senyum lembut menatap diriku. Aku memberikan senyuman ramahku lalu bertanya. "Ada yang bisa saya bantu, Tuan?" tanyaku. "Maukah kau menikah denganku?" Aku terdiam sambil mengerjapkan kedua mataku, apa aku salah dengar? Atau orang yang kini di hadapanku yang sepertinya kepalanya terbentur sesuatu. "Maaf?" tanyaku sambil menatap bingung pria tampan yang berada di hadapanku. "Bagaimana jika kita bicarakan sambil menikmati makan siang," tawarnya, dan aku hanya mengangguk untuk mendengarkan penjelasannya. Senyuman ramah terpatri di wajah tampannya, aku tidak mengenal pria itu sebelumnya. Di restoran semewah ini sudah pasti ia adalah pria kaya raya. Sedangkan aku? Aku saja memakai uang perusahaan untuk bisa berada di sini. "Aku tidak sedang bercanda ataupun sedang bertaruh. Pertama kali aku melihatmu, kau merupakan tipe idealku. Jadi aku tidak akan membuang kesempatanku untuk menikahimu," katanya langsung dan tentu saja membuatku bertambah bingung dengan ucapannya. Untuk kali ini saja otakku berpikir lama, sepertinya sinyal di kepalaku sedang terjadi gangguan hingga sulit mencerna perkataannya. "Kau pasti kebingungan dengan semua perkataanku," kekehnya sambil menatapku lekat-lekat. "Tentu saja, kita baru saja bertemu dan kau langsung melamarku. Siapa yang tidak akan terkejut?" jawabku sambil menatap iris matanya yang terlihat berbinar-binar. "Aku mengerti, aku hanya orang luar yang langsung saja menerobos kehidupanmu. Aku tidak akan menarik kata-kataku, aku tetap melamarmu dengan menerima semua tuntutan yang kau inginkan. Kita bisa membangun sebuah rumah tangga dari awal, bukankah terdengar indah?" Sama sekali tidak! Hampir saja aku berteriak di depan wajahnya, syukurlah aku hanya berteriak dalam benakku. "Kita memulainya dari awal, mencoba saling mengenal dan saling memahami. Aku tidak akan memaksamu untuk mengerti diriku atau mengenalku, setidaknya aku bisa hidup berada di sisimu untuk selamanya." pria itu kembali menjelaskan. Terdengar begitu manis namun begitu menusuk untukku, aku tidak bisa menjawab begitu saja. Lagi pula siapa pria di hadapanku ini, aku bahkan tidak mengetahui namanya. "Jika kau ragu karena kau memiliki impian untuk kau capai, maka aku akan mendukungmu." Aku terdiam sejenak, aku tidak pernah mendengar pria yang akan mendukung impian wanitanya. Atau apa aku salah dengar? "Kau tahu? kematian itu ada di sekitar kita. Kita tidak akan tahu kapan kita menutup mata. Lalu, semua orang memiliki impian dan tujuan dalam hidup. Maka, selagi kau bisa menggapai impian dan tujuan hidupmu, gapailah. Aku akan membantumu, karena itu menikahlah denganku." Untuk pertama kali dalam hidupku, aku menemukan pria ideal yang selama ini aku impikan. Aku tidak peduli ia sekaya apa, tetapi jika ia ingin membantu impian dalam hidupku ... maka aku akan senang hati menerimanya. "Jadi, apa jawabanmu?" tanyanya sekali lagi untuk meyakinkan. "Baiklah, aku menerimanya," jawabku sambil tersenyum menatap pria di hadapanku. "Jawaban bagus, karena aku tidak menerima penolakan," ujarnya sambil tertawa kecil, entah mengapa senyuman pria itu menular kepadaku. "Ahh, kita belum berkenalan. Namaku Daniel Romero, bekerja di beberapa perusahaan karena aku bekerja menjadi pengirim dokumen penting untuk para CEO-CEO tidak tahu diri itu," jelasnya, aku mengernyitkan dahi. Memang ada pekerjaan seperti itu, tidak heran ia bisa memasuki restoran mewah ini. Karena penghasilan mereka yang bekerja di bidang itu justru sangat besar melebihi penghasilan seorang pilot sekalipun. Dan ia berkata apa? beberapa perusahaan? Sudah pasti ia menjadi orang kaya secara tidak langsung. "Apa kau termasuk orang penting yang harus memenuhi semua undangan?" tanyaku hati-hati. Jika ia termasuk orang penting, maka hidupku tidak akan lagi damai seperti seharusnya. Dan sudah pasti aku akan menolak pria yang justru membuat impianku pergi menjauh. "Tidak, aku bukan orang yang penting untuk memenuhi semua undangan itu. Tenang saja jika yang kau takutkan aku akan membawamu masuk ke dalam kehidupan sosialita, aku tidak akan melakukannya. Aku tahu kau hanya beramibisi pada impianmu," terangnya. Aku kembali tersenyum, pria di hadapanku benar-benar mengetahui diriku. Apa ia selama ini mengenalku? "Aku tidak mengenalmu sebelumnya, jadi jangan salah sangka. Aku bukanlah seorang penguntit yang mencari tahu siapa dirimu. Aku memang bisa melakukannya, tetapi aku lebih suka mengetahuinya langsung darimu. Semua yang aku tahu karena tercetak jelas di wajahmu." Aku kembali terkekeh. "Baiklah, aku mengerti. Namaku Vhenathy Ravhe, kau bisa memanggilku Vhena. Aku bekerja di JC Corp sebagai Ketua divisi Infentori, dan usiaku 25 tahun," jawabku sambil menatap pria di hadapanku yang terlihat sedikit terkejut lalu menutupinya dengan cepat. "Nama yang unik, baru pertama kali ini aku mendengar nama seperti itu," ucapnya sambil kembali menatapku berbinar-binar. Namaku memanglah unik karena itu pemberian mendiang ayahku, tetapi aku cukup menyukainya karena berbeda dari nama orang lain. "Besok aku akan melamarmu secara langsung kepada orangtuamu, setelah itu kita akan menikah." "Setelah itu?" jawabku membeo. "Ya, aku akan mempersiapkan pernikahan kita dalam empat hari," jawabnya santai. "Tidakkah terlalu cepat?" "Tidak," jawabnya sambil tersenyum manis ke arahku. "Tapi–" "Kau tahu, jika seseorang menemukan sebuah permata dan meninggalkannya hanya untuk mengambil alat untuk menggalinya, sedangkan ia bisa mengambilnya dengan tangan. Sebelum orang itu kembali, permata itu akan hilang dicuri orang lain." protesanku terpotong oleh kalimatnya yang membuatku terdiam. Sekarang aku yakin, pria di hadapanku ini tidak akan menyia-nyiakan apa pun dalam hidupnya. Tetapi apa yang di katakannya memang ada benarnya, jadi aku harus menjawab apa untuk kali ini? "Baiklah." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD