Dua

1261 Words
Hari yang begitu terik, meski rasanya sama saja saat berada di dalam mobil. Waktu makan siang sudah tiba dan aku memilih untuk berhenti sejenak di satu restoran mewah yang tentu saja tidak terlalu ramai. Saat memasuki restoran aku memerintahkan para anak buahku untuk tetap di luar. Saat ini aku memang hanya ingin sendiri meski hanya sejenak, mengambil tempat duduk dekat jendela adalah pilihanku untuk melihat keadaan di luar. Saat aku mengedarkan pandanganku. Aku melihat seorang wanita yang memasuki restoran dengan pakaian kerja formalnya. Cantik, satu kata yang keluar dari dalam otakku begitu saja. Entah mengapa aku melihat wanita itu begitu cantik meski tidak ada yang memerhatikannya. "Ada yang ingin Anda pesan, Tuan?" tanya seorang pelayan pria sambil memberikanku buku menu. "Saloya Ignesia," jawabku sambil memberikan buku menu itu pada sang pelayan. "Baiklah, Tuan. Mohon tunggu sebentar," jawab pelayan itu sambil membungkuk hormat lalu meninggalkanku. Rambut pirangnya yang bergelombang membuatnya terlihat sexy, atau itu menurut penglihatanku karena sekali lagi tidak ada yang memperhatikannya bahkan mencuri pandang dengannya. Wanita itu bangkit dan menuju ke arah toilet, aku tidak tahu apa yang ia lakukan, tetapi itu membuatku penasaran. Seorang pelayan menghampiriku dengan menu yang sudah kupilih tadi. Minuman berwarna hitam itu tersaji di depanku dengan aroma yang begitu menenangkan. Saloya Ignesia, salah satu menu andalan di restoran ini. Minuman berupa arak hitam dengan campuran madu, dan sedikit rempah-rempah untuk meningkatkan stamina. Untuk rasanya disamarkan dengan bunga lavender dan juga campuran lemon sehingga wanginya terasa seperti aroma terapi. Aku menyesap sedikit minumanku sambil menunggu wanita itu kembali datang ke mejanya dengan rambut pirangnya yang terkuncir. Semua itu membuatnya semakin terlihat sexy di mataku, sial aku merutuki sifat mesumku yang tidak pernah hilang. Tidak lama seseorang datang menghampirinya, apa pria itu kekasihnya? Aku harap tidak, karena aku sama sekali tidak ingin mengotori tanganku untuk mengambil wanita itu. "Selamat siang, Miss Ravhe. Maaf membuatmu menunggu lama," kata pria itu dan kini aku yakin jika pria itu bukanlah kekasihnya. "Tentu tidak masalah, Tuan Cameroon," jawab wanita itu, entah mengapa suaranya membuatku rindu akan sesuatu. "Bisa kita langsung saja, karena aku memiliki janji penting lainnya?" tanya pria itu dan aku mulai ikut mendengarkan. Hanya dalam waktu 30 menit wanita itu benar-benar membuatku terpaku dan takjub kepadanya. Wanita itu begitu pintar sehingga dapat membuat kontrak yang aku dengar begitu penting untuk sebuah perusahaan hanya dalam waktu 30 menit. Dan aku yakin ia sudah mengetahui semua syarat-syarat yang diajukan pria itu kepadanya, karena aku dapat mendengar suaranya yang tidak terkejut sama sekali saat pria itu mengajukan beberapa persyaratan. Cantik dan pintar, aku yakin wanita itu lebih memiliki ambisi dalam karirnya. Aku harus mendapatkannya. Aku bangkit saat wanita itu juga bangkit untuk meninggalkan restoran. Berjalan mendekat dan langsung berdiri di hadapannya. Jantungku berdegup kencang saat melihat iris birunya yang begitu damai dan berbinar karena semangat. "Permisi," sapaku begitu saja, dan wanita itu mendongak langsung menatap ke arah mataku. "Ada yang bisa saya bantu, Tuan?" tanya wanita itu lembut namun, tegas. Lagi-lagi jantungku berdegup kencang. "Maukah kau menikah denganku?" perkataan itu meluncur begitu saja dari bibirku. 'Sial, aku bukan ingin mengatakan itu, Dasar Bodoh!' batinku berteriak. Wanita itu berkedip beberapa kali lalu memiringkan sedikit kepalanya, lihatlah betapa imut dirinya yang seperti itu. "Maaf?" tanyanya yang kini semakin ingin membuatku mendapatkannya. "Bagaimana jika kita bicarakan sambil menikmati makan siang." Aku berdoa agar ia mau duduk bersamaku. "Aku tidak sedang bercanda ataupun sedang bertaruh. Pertama kali aku melihatmu, kau merupakan tipe idealku. Jadi aku tidak akan membuang kesempatanku untuk menikahimu." Aku mencoba untuk meyakinkan dirinya dan sepertinya berhasil. "Kau pasti kebingungan dengan semua perkataanku." Entah mengapa sifat dinginku terhadap wanita kini menghilang di depan wanita itu, sial. "Tentu saja, kita baru saja bertemu dan kau langsung melamarku. Siapa yang tidak akan terkejut?" jawabnya. "Aku mengerti, aku hanya orang luar yang langsung saja menerobos masuk ke kehidupanmu. Aku tidak akan menarik kata-kataku, aku tetap melamarmu dengan menerima semua tuntutan yang kau inginkan. Kita bisa membangun sebuah rumah tangga dari awal, bukankah terdengar indah?" Mengapa aku bisa mengatakan hal itu dengan mudah? "Kita memulainya dari awal, mencoba saling mengenal dan saling memahami. Aku tidak akan memaksamu untuk mengerti diriku atau mengenalku, setidaknya aku bisa hidup berada di sisimu untuk selamanya." Sial, bukan itu yang ingin kukatakan. Sejak kapan aku menjadi seperti seorang yang romantis? "Jika kau ragu karena kau memiliki impian untuk kau capai, maka aku akan mendukungmu." Lagi-lagi aku tidak bisa mengendlaikan mulutku, sial. "Kau tahu? kematian itu ada di sekitar kita. Kita tidak akan tahu kapan kita menutup mata. Lalu, semua orang memiliki impian dan tujuan dalam hidup. Maka, selagi kau bisa menggapai impian dan tujuan hidupmu, gapailah. Aku akan membantumu, karena itu menikahlah denganku." Sepertinya otakku bekerja karena melihat wajahnya yang begitu terlihat bahwa dirinya wanita yang ambisius. "Jadi, apa jawabanmu?" Dengan semua perkataan bodohku, aku ingin mendengar jawabannya. "Baiklah, aku menerimanya." Aku sama sekali tidak menyangkanya, kini aku mengerti ia bukan wanita bodoh seperti yang lainnya. Aku tersenyum dan menjawabnya, "Jawaban bagus, karena aku tidak menerima penolakan." Ya, aku tidak menerima penolakan setelah hal bodoh yang kukatakan padanya. Bagaimana bisa wibawaku hilang di hadapannya? "Ahh, kita belum berkenalan. Namaku Daniel Romero, bekerja di beberapa perusahaan karena aku bekerja menjadi pengirim dokumen penting untuk para CEO-CEO tidak tahu diri itu." Untuk saat ini lebih baik aku menutupi siapa diriku sebenarnya. "Apa kau termasuk orang penting yang harus memenuhi semua undangan?" Tunggu, wanita itu benar-benar menanyakan hal itu? Ada dua kemungkinan yang dapat kutangkap dari pertanyaan itu. Melihat dari reaksi wajahnya sepertinya ia tidak menyukai hal-hal yang berbau sosialita meski dirinya berambisi untuk menaikkan karirnya. "Tidak, aku bukan orang yang penting untuk memenuhi semua undangan itu. Tenang saja jika yang kau takutkan aku akan membawamu masuk ke dalam kehidupan sosialita, aku tidak akan melakukannya. Aku tahu kau hanya beramibisi pada impianmu," jawabku dan aku dapat melihat jika jawabanku adalah benar. Wanita itu tidak menyukai hal-hal berbau seperti itu, mungkin uangku akan aman jika ia tetap menjadi wanita seperti itu. Meski aku memang sudah kaya raya, tetapi aku tidak menyukai wanita yang memiliki sifat pemborosan. "Aku tidak mengenalmu sebelumnya, jadi jangan salah sangka. Aku bukanlah seorang penguntit yang mencari tahu siapa dirimu. Aku memang bisa melakukannya, tetapi aku lebih suka mengetahuinya langsung darimu. Semua yang aku tahu karena tercetak jelas di wajahmu," kataku dan wanita itu kembali terkekeh. "Baiklah, aku mengerti. Namaku Vhenathy Ravhe, kau bisa memanggilku Vhena. Aku bekerja di JC Corp sebagai Ketua divisi Infentori, dan usiaku 25 tahun," Aku membeku saat mendengar nama wanita itu dan juga di mana ia bekerja. Ravhe, tidak salah lagi dan aku tidak mungkin salah dengar. Dan ia bekerja di salah satu perusahaanku? Mengapa aku bisa sampai lupa jika pria tua itu meminta putrinya untuk bisa bekerja di salah satu perusahaanku? Dan bagaimana bisa dia adalah putri dari pria itu? "Nama yang unik, baru pertama kali ini aku mendengar nama seperti itu," kataku untuk menutupi keterkejutanku. Aku tidak ingin ia tahu jika aku mengenal mendiang ayahnya yang telah meninggal. "Besok aku akan melamarmu secara langsung kepada orangtuamu, setelah itu kita akan menikah." Aku melihat wajahnya yang mulai terlihat panik. "Setelah itu?" "Ya, aku akan mempersiapkan pernikahan kita dalam empat hari," jawabku santai. "Tidakkah terlalu cepat?" "Tidak." "Tapi–" "Kau tahu, jika seseorang menemukan sebuah permata dan meninggalkannya hanya untuk mengambil alat untuk menggalinya, sedangkan ia bisa mengambilnya dengan tangan. Sebelum orang itu kembali, permata itu akan hilang dicuri orang lain." Aku tidak ingin berlama-lama menundanya. "Baiklah," jawabnya setelah beberapa saat menunggu. Aku tersenyum dan menatap iris biru muda miliknya seperti pria tua itu, Dragnile Ravhe. Pria tua yang sudah dua puluh tahun lebih mengabdi kepada keluargaku. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD