Peluh membasahi sepasang pria dan wanita di dalam kamar bernuansa biru. Warnanya biru, sebiru langit. Konon menurut sang empunya, inspirasi lebih mudah datang saat berdiam diri di kamar dari pada studio miliknya. Di dinding tergantung tiga gitar yang saling berjejeran. Terlihat beberapa helai pakaian berserakan di lantai. Di atas lampu tidur juga terdapat bra yang teronggok manis. AC kamar yang bekerja dengan baik bagai tak berfungsi, kalah dengan panasnya aktifitas mereka.
"Maaf." Daya mengartikan pandangan Kavka seakan tengah berkata maaf. Daya yakin tatapan pria yang ia kenal hampir seumur hidupnya itu berkata demikian. Dia yakin betul itu, seratus persen yakin.
Daya meremas seprai seiring gerakan Kavka yang semakin liar. Pasti telapak tangannya akan berbekas cakaran kukunya sendiri. Matanya memperhatikan Kavka yang mengeluarkan erangan erangan aneh yang sialnya terdengar seksi dan semakin membakar tubuhnya. Hampir seumur hidup mereka bersahabat, tapi Daya belum pernah mendengar jenis suara itu.
Tubuh liat Kavka terus bergerak di atas Daya. Oh Tuhan! Daya terhipnotis. Padahal ini bukan pertama kalinya ia melihat tubuh Kavka. Apa karena sebelumnya Daya tidak pernah terlalu mengamati d**a bidang, bahu kokoh, serta perut dengan otot menggiurkan itu ya?
"Kav!"
Kepala Daya terhempas ke belakang. Dorongan kuat Kavka tadi membuat dirinya meledak. Kepalanya pening, sensasi yang luar biasa.
"Astaga, Kavka!" pekik Daya lagi. Kavka bergerak semakin cepat dan konstan, menggoda Daya yang sudah mendapatkan puncak dengan mudah. Pinggul Kavka menghentak kuat diiringi geraman. Geraman yang mirip seperti hewan buas, tubuhnya juga bergetar sampai akhirnya jatuh di atas tubuh Daya.
Mulut keduanya bungkam. Hanya terdengar bunyi napas yang menderu serta suara detak jantung. d**a mereka naik turun saling bersentuhan, berusaha menormalkan napas.
Kavka sadar lebih dulu. Ia segera bangkit memisahkan dirinya yang dari tadi terbenam dalam milik Daya.
Daya menarik selimut untuk menutupi tubuhnya hingga kepala. Napasnya masih tersengal, anak anak rambut menempel pada wajahnya yang berkeringat. Kepalanya pening. Sialan! What the hell did i just do! Umpatnya dalam hati.
"Gue balik ke kamar ya." suara berat Kavka membuat Daya makin merutuk. Bahkan suara itu membuat dirinya meleleh. Gawat!SOS!Daya menuju gila.
"Ay...Day..Daya.." panggilan khas Kavka saat berusaha mendapatkan perhatian Daya. Sama seperti saat ini, menunggu sampai Daya memberi jawaban.
Dengan gusar, Daya menurunkan selimut hingga hanya wajahnya yang terlihat. Ia perbaiki selimut, tangannya meremas kuat selimut seakan takut tubuhnya masih terlihat.
"Kenapa Kav?" satu satunya pertanyaan dalam benak Daya saat ini.
Kavka menunduk memungut pakaiannya. Otot otot lengan serta bahu lebar pria itu sungguh... Damn it, Daya! Daya mengutuk dirinya lagi. Ini bukan saat yang tepat untuk mengagumi seluruh keindahan tubuh Kavka yang kokoh itu. Walaupun sampai saat ini Daya masih bisa merasakan kokohnya pria itu di dalamnya.... Astaga! Daya merasa frustasi. Cukup Daya, cukup.
Kavka memakai boxernya, pakaiannya ia kumpulkan untuk dibawa kekamarnya. "Bukannya lo paling nggak suka sempit sempitan tidur dalam satu ranjang?"
"Hah?...Oh. Iya." Daya membenarkan perkataan Kavka. Tapi tunggu dulu. Bukan itu maksud pertanyaan Daya.
Kavka melangkah meninggalkan kamar Daya. Tidak lama, pria itu kembali. Kepalanya sudah nongol dari balik pintu,"Day.. Pipis dulu sana, pee after s*x bagus buat kesehatan."
Pee after what????? wajah Daya langsung memerah. Mereka memang baru melakukan seks. Demi semua Dewa Dewi Olimpus! Haruskah Kavka berbicara sevulgar itu?
"Sana.. Sana." Sudahlah, Daya menyerah. Tadinya dia ingin menanyakan hal lain. Tapi biarlah, lebih baik Kavka kembali ke kamarnya. Mengingat bahwa mereka baru saja melakukan seks sudah cukup memusingkan. Tunggu...Seks.. sebentar... "Kavkaaaaa!!!!!!" Daya memekik keras. Dia tidak peduli satpam di ujung jalan bisa mendengar pekikannya.
Kavka datang masih dengan hanya celana boxer serta tumpukan pakaian di tangan. "Kenapa sih, Day?" Lo mau besok pagi ditegur Pak RT gara gara teriak kayak orang hutan gini?"
"Masa bodoh sama Pak RT! Bilang sama gue kalau lo tadi pakai kondom!" Daya tahu jawaban dari pertanyaannya ini sembilan puluh persennya adalah tidak. Toh masih ada sepuluh persennyakan? Daya masih boleh berharap. Siapa tahu Kavka memang pakai kondom.
"Hah?" Kavka memiringkan kepala.
"Hah!Hah! Pakaikan Kav?!" desak Daya. Dia memijit pelipisnya ketika melihat Kavka merespon dengan mengangkat bahu lalu menggeleng.
Oke, Kavka nggak pakai kondom. Daya menarik nafas, mencoba mencari kemungkinan lain yang dapat menenangkan hati. "Lupain kondom. Lo... nggak ngeluarin di dalemkan?" ini pertanyaan omong kosong. Jelas jelas tadi Kavka membiarkan dirinya tertanam lama.
Daya mendesah pasrah. Siapa tahu Kavka tadi emang ngeluarin di luar. Mungkin Daya yang tidak sadar karena keenakan. Daya menyemangati dirinya sendiri seperti orang t***l.
Kavka memiringkan wajah tampannya yang saat ini terlihat seperti iblis dimata Daya. Pria itu memangangguk. Nah! Untunglah..... Daya menarik napas lega.
Selang beberapa detik kemudian, entah kenapa Daya merasa anggukan Kavka sangat mengganggu."Kav, anggukan lo itu maksudnya...di luarkan?" tanyanya penuh harap.
"Enggak."Kavka menggeleng."Di dalem." jawabnya ringan cenderung tidak berotak.
"Gila ya lo Kav!!" Daya langsung bangkit dari ranjang, tidak peduli dengan tubuh telanjangnya. Sedangkan Kavka gelagapan, ia segera menutup mata bagaikan pria polos paling suci yang tidak tahu diri.
Daya tidak peduli, ia membuka lemari pakaian dengan kasar. Mengambil kaos dan celana jeans asal.
Sambil memakai pakaian, mulut Daya tidak berhenti mengoceh. Semua isi kebun binatang sudah hampir dia sebutkan.
"Lo ngapain diem aja!" seru Daya pada Kavka yang berdiri sok polos dengan wajah ditutup. Belum lagi Kavka sialan itu berdiri menyandar hanya menggunakan boxer bodohnya.
Kavka mengintip, memastikan Daya telah berpakaian."Ya terus gue harus gimana? Lo mau kemana?" Kavka malah banyak tanya.
"Apotik! Cepat pakai baju! Anterin gue!"
Seakan belum puas membuat Daya murka, Kavka malah bertanya lagi."Apotik? Ngapain? Jam segini?"
Daya mengacak rambutnya. Dia tidak percaya kalau Kavka ini adalah Kavka sang pengacara muda handal yang selalu memenangkan kasusnya.
"Beli pil pencegah kehamilan. Zaman sekarang ada yang namanya Apotik 24 jam, Kavka. Dan kenapa gue harus cari tuh pil sekarang juga? Karena ada cowok sialan yang ngajak seks tapi NGGAK pakai kondom." terang Daya, dadanya naik turun persis tuas pompa air manual untuk mengontrol emosinya.
Kavka menggaruk tengkuk.
"Gue nggak bisa bayangin bakal lahir gabungan Daya dan Kavka. Dunia nggak bakal tentram." lanjut Daya, untuk saat ini. Hamil anak Kavka pasti hanya akan menyulitkan mereka.
Kavka tertawa terbahak."Sebentar." Dia langsung berlari ke kamarnya dan mengambil celana training serta kaos sembarangan. Sudah cukup membuat Daya mengamuknya, Kavka tidak akan membiarkan Daya menunggu lama dan menyulut emosinya lagi.
———
Daya meneguk ludah saat melihat urat urat tangan Kavka yang sedang membuka tutup botol. Dia tidak pernah tahu kalau urat di tangan bisa semenggiurkan ini. Sama seperti tadi saat Kavka menumpukan tangan pada ranjang saat berada dalam dirinya. Seks pertama mereka. Dayaaa! Seriously? Daya menampar bibirnya sendiri. Penggunaan kata pertama berarti secara tidak langsung dia mengharapkan seks kedua, ketiga, ke empat sampai ia lupa menghitungnya. Fix, Daya memang sudah tidak waras.
"Nih.." Kavka memberikan botol minuman air mineral dan pil yang tadi dia beli.
Daya menelan pil tersebut. Ia mendesah lalu memyandarkan kepala ke jendela.
"Kav.."
"Ya?" jawab Kavka sambil menjalankan mobil.
Daya menatap keluar jendela. Jalanan masih ramai meski hampir pukul tiga pagi. Oh.. Daya baru ingat kalau hari ini tanggal 1 mei, hari libur nasional. Mungkin itu juga salah satu alasan masih ramainya kendaraan berlalu lalang.
"Yang tadi itu... Apa Kav?....Kenapa?" tanya Daya tanpa memalingkan wajah dari jendela.
"Yang tadi apa Day?" Kavka balik bertanya.
"Kavka. Gue tahu lo ngerti pertanyaan gue." geram Daya. Tidak bisakah Kavka berhenti mempermainkan dirinya?
Kavka terkekeh. Dia suka menggoda Daya yang sedang serius. "Ya... Lo nya juga kenapa mau tadi?"
Daya kalah telak. Pertanyaannya malah menjadi boomerang. Wajah Daya memerah karena malu. Kavka ada benarnya. Tapi, bukankah wajar jika Daya mempertanyakan alasan Kavka yang memulai malam bodoh ini?
Kavka menepikan mobil, ia menarik Daya agar menatapnya. Wajah merah Daya membuatnya ingin tertawa, Daya terlihat lucu. Kavka selalu suka setiap melihat sisi lain dari Daya yang selalu terlihat sebagai wanita kuat itu.
Kavka berdeham, tangannya langsung menangkup pipi Daya. Menekan kedua pipi berisi Daya hingga bibirnya maju persis paruh bebek.
"We are married anyway. Memangnya perlu alasan kalau mau nidurin istri sendiri?"
Daya mengerjap tak percaya, pendengarannya pasti salah. Hampir dalam satu tahun pernikahan mereka, Baru kali ini Kavka menyebutkan dirinya sebagai istri.
Melihat mata besar Daya yang terbelalak membuat tawa Kavka terlepas. Tangannya tidak tahan untuk tidak mencubit pipi Daya dengan keras. Rambut Daya juga Kavka acak saking gemasnya.
Setelah puas, Kavka kembali menjalankan mobil, ia menoleh pada Daya. "Gue laper, Day. Kita makan sate kambing Cak Imin yuk?"
Daya tidak menjawab. Terserah Kavka, Daya sedang kebingungan setengah mati. Jawaban Kavka tidak memuaskan, tidak menolong. Daya tidak pernah sebingung ini selama masa persahabatan mereka yang hitungannya hampir sama dengan usia Daya dan Kavka. Dua puluh delapan tahun jika ditambahkan dengan umur pernikahan mereka yang hampir setahun.
Daya kembali bersandar ke jendela. Kembali ke tiga jam yang lalu, Kavka pulang dengan wajah pucat seperti mengidap anemia. Setelannya tidak serapi bisanya. Dia mengetuk ngetuk pintu kamar Daya heboh. Daya yang baru saja tertidur awalnya enggan membukakan pintu karena tidur pada malam hari adalah hal yang mewah baginya. Biasanya dia baru bisa tidur di pagi atau siang hari karena malamnya dia baru bisa bekerja di studio.
Namun ketukan Kavka makin brutal. Kalau terus dibiarkan, Daya takut pintunya akan berlubang. Dengan mata setengah terpejam Daya membukakan pintu. Kavka terlihat kacau, Daya membuka mata seutuhnya. Ia mengendusi Kavka, tapi tidak mencium bau alkohol sedikitpun.
Kavka memaksa masuk seperti biasa, pria itu duduk di atas ranjang Daya."Lo kenapa sih?" tanya Daya heran. Tapi Kavka hanya menggeleng, Kavka menarik tangan Daya lalu meletakkan di atas dahinya.
"Lo sakit?" Daya merasakan suhu tubuh Kavka yang panas. Kavka menggeleng, ia menarik Daya agar duduk disebelahnya dan langsung memeluk tubuh Daya dengan erat.
"Lo kenapa sih? Capek? Kan gue udah bilang, jangan gila kerja deh. Lo nggak perlu ambil banyak kasus sekal-"
Kavka membungkam Daya dengan bibirnya. Mebuat tubuh Daya kaku selama beberapa menit. Namun bibir Kavka tidak menyerah, pria itu terus menyesap menggoda sampai akhirnya Daya menyerah. Bibirnya ikut merespon dan membalas.
Perlahan, Kavka membaringkan tubuh Daya. Tangan kanannya meremas ujung gaun tidur, tangan kirinya membelai lembut wajah Daya. Mata Kavka menggelap, tatapannya membuat Daya menggigit bibirnya. Bolehkah?
Mata Daya terpejam, kepalanya mengangguk lemah memberi izin yang disambut Kavka dengan menarik pelan gaun tidur Daya hingga benda itu lolos dari atas kepala.
"Day..Daya."
Panggilan Kavka mengembalikan Daya,"Udah sampai." ucapnya sambil membuka sabuk pengaman. Parkiran di pinggir jalan penuh. Kavka terpaksa memarkirkan mobil sedikit jauh dari sate kambing Cak Imin. Mereka harus berjalan sekitar seratus lima puluh meter lagi.
"Daya!" panggil Kavka mengejutkan Daya lagi. Ia mendekat pada Daya dan membukakan sabuk pengamannya. "Mikirin apa lagi sih? Ayo turun, Gue takut kita nggak kebagian tempat duduk. Yang parkir aja rame banget gini."
Daya terkesiap, "Hah? Iya iya! Bawel Lo!" perut Daya juga keroncongan. Padahal tadi dia sudah makan malam. Kavka sialan, semuanya gara gara Kavka! Sudah menguras tenaga, fikiran... eh masa iya isi perutnya juga?
Dari kejauhan kursi kursi Cak Imin terlihat penuh. Tapi langkah Kavka dan Daya tidak surut. Mereka terus maju demi perut keroncong serta sate kambing kesukaan mereka.
Mereka terus berjalan. "Day.." Panggil Kavka tiba tiba. Nada panggilannya serius.
"Hm?"
Kavka membasahkan bibirnya yang tiba tiba terasa kering. Ada sesuatu yang seharusnya ia sampaikan pada Daya. "Sebenernya gue-"
"Ada meja kosong Kav! Tuh pas kursinya ada dua! cepetan!" potong Daya, perempuan itu sudah menghambur duluan dengan langkah cepat. Takut meja kosong mereka yang berharga direbut orang.
Kavka tersenyum masam, ia segera menyusul Daya..