"Lin, Ibu mana?"
Daya bergabung duduk di sofa bersama adiknya Olin yang sedang asik nonton drama korea.
"Di kamar, shalat." jawab Olin. Ia menyodorkan snack kentang kepada Daya.
Daya memasukkan tiga snack kentang sekaligus ke dalam mulutnya. "Shalat?" mulutnya kesusahan bertanya karena penuh. Ia melirik jam tangan. Tumben sekali Ibu baru shalat jam segini?
Olin menatap Daya,"Shalatnya udah dari tadi. Hari ini doanya panjang kali. Tadi habis dicengcengin ibu ibu komplek." Olin mendesah lelah melihat kakaknya yang menjadi sumber masalah di rumah ini malah mengerutkan kening. "Semua perempuan yang seumuran sama mbak di komplek ini udah pada nikah. Udah pada ngasih cucu, malah ada yang cucunya udah masuk TK." celetuknya cuek.
Topik ini lagi... Daya memutar bola matanya. Kenapa sih semua aspek di hidup ini harus dijadikan ajang balapan? Perempuan itu kalau umur udah di angka dua puluh empat tahun tapi belum nikah, pasti digunjingin satu RW. Bayangin aja gimana Daya yang udah dua puluh delapan tahun. Bukan cuma digunjingin, tapi juga dilihatin pake tatapan jijik seolah Daya itu punya penyakit kulit mengerikan.
"Day, Yuk! Katanya mau makan sate kambing Cak Imin!" ajak Kavka yang tiba tiba muncul dan ikut gabung di sofa.
"Nah ini dia bujang lapuk dari komplek sebelah." ejek Olin tanpa repot memutar kepalanya menghadap Kavka. Di TV sedang ada scene Park Seo Joon, aktor favoritnya.
Kavka mendengus, datang datang bukannya ditawari minum. Malah diledek begitu. "Bujang lapuk? Enak aja lo. Gua ini high quality jomblo."
Masih dengan mata yang tertancap pada layar TV, Olin merasa belum puas mengoloki Kavka. "Cih! Muka ganteng, badan bagus, sama duit lo yang banyak itu percuma, Kak."
Drama yang Olin tontonpun habis. Olin memilih untuk menonton episode berikutnya esok hari. Dia tidak mau buru buru menyelesaikan dramanya. Biar bisa perlahan dan lama menikmati visual Park Seo Joon katanya.
"Ah udah ah, mau naik aja. Bisa ketularan jomblo gue gara gara deket lo sama Mbak Daya." Olin beranjak dari sofa menuju kamar.
Bukannya tersinggung, Kavka malah tertawa. Adik Daya itu memang mulutnya pedas. Bahkan sekalipun mulut mulut pedas ibu komplek digabung, pasti bakal kalah telak sama mulutnya Olin.
Diam diam Daya memikirkan perkataan Olin. Ibu memang tidak pernah mengungkit ungkit soal pernikahan. Ibu tidak mau membebani Daya. Ibu juga selalu bilang tidak apa, mengatur jodoh memang bukan kuasa manusia.
Tapi sayangnya, ucapan mulut dan keinginan hati Ibu berbeda. Bukan sekali Daya mendapati ibu sedang mengusap air mata sehabis membeli sayuran di tempat langganan yang sama dengan ibu ibu lainnya. Bukan sekali juga Daya melihat ibu terlihat muram sehabis memenuhi undangan pernikahan anak anak temannya.
Daya beranjak dari sofa,"Sebentar, mau lihat Ibu dulu." membuat Kavka ikut bangkit, mengikuti Daya menuju kamar Ibu.
"Assalamualaikum, Bu." Daya mengetuk. pintu pelan. Ibu tidak menoleh, masih sibuk berdoa.
"Amiiiin." Daya dan Kavka serentak mengusap wajahnya. Bersamaan dengan Ibu yang melakukan hal sama.
"Kita bantu aminin. Biar semua doa ibu terkabul." Daya duduk dilantai, memeluk Ibunya yang tersenyum hangat dengan erat. Begitupun Kavka, ia ikut duduk di sisi Ibu yang lain.
"Ada Kavka juga." Ibu menyentuh wajah Kavka, pria itu sedikit meringis,"Sudut bibir kamu kenapa?"
Sontak Daya juga ikut mengalihkan pandangannya ke arah Kavka. Sudut bibir Kavka memang sedikit memar, dia baru sadar. Kemeja Kavka juga kusut, ada sedikit noda di lengan bajunya. Bukan Kavka banget. Biasanya dia bisa mencak mencak kalau setelan kerjanya kusut, apalagi kotor begini. "Kenapa lo? Di pukulin keluarga korban dari klien lo?"
Tangan Kavka langsung menjulur menggapai kepala Daya. "Enak aja! Gue nggak pernah sembarang ambil kasus ya!" belanya tidak tidak terima.
Ibu merentangkan tangan menengahi keduanya."Daya.." tegur Ibu sambil mencubit ringan perut Daya.
Merasa menang, Kavka menjulurkan lidah pada Daya. Ia beralih pada Ibu, tangan ibu ia genggam."Nggak kenapa kenapa, Bu. Biasa anak laki." jelasnya dengan lembut.
Ibu tersenyum, mengangguk mengerti. Tiba tiba ibu teringat sesuatu,"Hari ini sidang putusan perceraian Valdokan?"
Kavka mengangguk lesu. Valdo kakaknya sudah resmi bercerai dengan Iren. Pernikahan mereka sudah berumur delapan tahun. Tidak ada yang tahu tentang keretakan rumah tangga mereka sampai akhirnya Valdo datang berlutut di depan Mami. Memberi kabar kalau berkas perceraian mereka akan segera disidangkan.
Ibu juga sangat menyayangkan perceraian ini. Baik Valdo dan Kavka sama sama dekat dengan Ibu. Meskipun sifat keduanya berbeda. Ibu masih ingat saat Valdo yang pendiam datang memperkenalkan Iren, cinta pertama yang akan dipinangnya."Tapi Mami baik baik ajakan?" tanya Ibu yang sebenarnya lebih mengkhwatirkan kondisi Mami Kavka, sahabatnya.
Raut wajah Kavka berubah muram."Mami ngurung diri di kamar sejak kemarin. Sibuk nyalahin diri sendiri." Kavka berhenti sejenak, perkataan maminya tadi malam masih terngiang jelas di kepala."Mami bilang semua salah Mami. Mami berandai kalau saja aku sama mas Valdo punya keluarga yang bahagia. Mas Valdo pasti nggak akan cerai karena punya gambaran bagaimana membangun keluarga yang baik. Dan aku juga nggak akan selalu menghindar tiap Mami bahas soal pernikahan."
"Kav! Udahan ah laper!" sela Daya. Lengan Kavka sudah ditarik sampai pria itu mau tidak mau berdiri.
Sepersekian detik berikutnya, Daya sudah bertengger di atas punggung Kavka. "Day!Ah berat!" gerutunya. Daya memang luar biasa. Sudah membuat lengannya sakit, eh Kavka juga masih harus dipaksa menggendongnya.
Namun Daya tetaplah Daya."Sampai pagar ajaa! Let's go!" serunya. Satu tangannya melingkar mantap pada d**a, sedangkan satu tangan lagi mengepal ke udara. Masa bodoh dengan rintihan Kavka. Buat apa tubuh kekar itu kalau gendong perempuan saja nggak sanggup. Ya... walaupun Daya memang punya berat badan lebih dibanding perempuan lain. Tapi siapa peduli? Toh Kavka sahabatnya ini. Lain soal kalau pacar, Daya bakal mikir seribu kali dulu sebelum naik ke punggung dan matahin tulang tulang pacarnya.
Daya menepuk pundak Kavka,"Eh iya. Bukannya Jo juga janji mau kesini." tanyanya. Jo juga merupakan teman mereka, sudah lima tahun. Berawal karena duduk di deretan bangku yang sama saat penerbangan ke Thailand.
"Nggak." jawab Kavka. Anehnya menurut Daya, nada bicara Kavka barusan sangatmengganggu. Terdengar kesal dan,"Dih ketus." protesnya. Daya berbalik ke arah Ibu lagi untuk pamit,"Buu! Kita pergi sebentar ya!"
Belum mendapat anggukan dari Ibu, mereka sudah berjalan keluar. Suara perdebatan masih terdengar dari kamar. Ibu terkekeh melihat keduanya. Bagaimana mungkin kedua sahabat itu masih sama dari dulu, cara bercandanya, cara saling menenangkannya. Seperti yang dilakukan Daya tadi, mengalihkan Kavka dengan keisengannya agar Kavka tidak berlarut larut dalam kesedihan.
"Maaf lama ya, mbak mas." seorang pelayan datang membawa kain serta cairan pembersih, mengembalikan Daya dari ingatan satu setengah tahun lalu.
"Makin rame ni, Cak." basa basi Kavka. Oke itu hanya menurut Daya. Kavka memang aslinya supel. Semua orang akan betah berlama lama dengan Kavka. Bukan karena wajahnya yang enak dipandang, tapi juga karena Kavka selalu menghargai lawan bicaranya.
Pandangan Kavka dan Daya tertuju pada satu meja kosong yang baru saja ditinggalkan seorang pria dan wanita. Disanalah saat itu mereka duduk, meja yang menjadi saksi bisu ide konyol mereka.
"Apa kita nikah aja ya, Day?"
"Hah?" Daya terbatuk, tersedak potongan sate kambing yang belum sempat ia kunyah tiga puluh tiga kali.
Kavka spontan berdiri untuk menepuk nepuk punggung Daya."Pelan pelan dong Day!" pintanya khawatir. Ia mengisi gelas yang kosong dengan air putih yang berada di dalam teko."Minum dulu."
Daya meneguk air putih itu dengan bunyi glek yang besar. Gelasnya kosong secepat kilat.
Kavka jadi geram."Pelan pelan bisa kan, Day? Tuh air di teko masih banyak! Lo habisin deh tu nanti sama teko tekonya!"omelnya panjang kali lebar sama dengan khawatir banget lihat kelakuan Daya yang grasah grusuh. Baru juga tersedak daging kambing, masa iya juga harus tersedak air putih?
Daya mendengus, menatap Kavka dengan sebal. Gara gara siapa lagi dia jadi keselek begitu? Nikah? Kavka ngajak nikah? Kavka yang nggak mau nikah karena susah move on itu?
"Udah nggak apa?" Kavka bertanya lagi.
Lupain soal tersedak, Daya menyilangkan tangan dan bersandar ke kursi. Matanya menyipit, "Lo tadi bilang apa?"
Kavka dengan polos mengulang pertanyaannya."Udah nggak apa?"
Astaga... Daya mendesah. "Bukan, yang sebelumnya." ucapnya dengan gigi rapat. Kalau sampai Kavka masih belum ngerti juga. Bakal dia lempar sisa sate kambingnya ke muka sok polos itu. Lihat aja..
"Oh.." Kavka paham, dengan lancar dia mengulang pertanyaannya lagi. "Nikah. Ayo nikah sama gue, Day."
Kalau yang ngajak nikah barusan adalah pangeran berkuda putih alias makhluk Tuhan yang bisa dipastikan hanya ada di dongeng. Daya akan tersenyum malu sambil mengatakan iya. Tapi ini Kavka, sekali lagi Kavka saudara saudara.
Ajakan Kavka memang terdengar gila. Tapi Daya tertarik untuk mendengar alasan dibalik munculnya ide gila cowok satu ini.
"Kenapa gue harus nikah sama lo?" pertanyaan yang paling harus dan wajib Daya tanyakan.
"Karena kita nggak punya alasan buat nikah sama orang lain." Jawab Kavka ringan. Dia mulai menusukkan lidi yang sudah tidak ada dagingnya ke lontong.
Daya merasa alasan Kavka ada benarnya. Pernikahan memang hal terakhir yang ada di kamus mereka. Tapi dia ingin mendengar lebih,"Maksud lo?"
"Kita sama sama nggak punya pikiran tentang pernikahankan?" jelas Kavka.
Tepat sekali! Secara magis Daya mengangguk angguk mirip mainan anjing yang kepalanya goyang goyang di atas dashboard mobil.
Sepotong lontong masuk ke mulut Kavka, nafsu makannya yang tadi sempat hilang karena memikirkan Mami mulai kembali."Berarti aman. Kita nggak akan pernah tersakiti karena nggak berharap apapun dari pernikahan ini. Tujuan kita tuh cuma satu." Kavka berhenti dan meminum es jeruknya, lalu melanjutkan,"Jadi anak berbakti, bikin Mami dan Ibu seneng. Udah. Simple."
Mulut Daya menganga, satu tangannya terangkat menutup mata. Ia seolah melihat sinar terang dari balik punggung Kavka. Benar, solusi yang tepat. Ibu senang, Mami senang, begitupun mereka. Hanya perlu mencatatkan nama sebagai suami istri, dan hidup mereka tetap akan berjalan normal seperti biasa.
"Oke." setuju Daya dengan cepat. Ia mengulurkan tangan, Kavka menyambut uluran itu. Mereka berjabat tangan seperti baru saja menyetujui perjanjian besar antar dua negara.
"Ini pesanannya. Nggak pakai hati buat masnya. Ekstra lemak buat mbaknya." pelayan yang sudah hafal kesukaan Kavka dan Daya itu meletakkan piring sesuai tempatnya. Sontak Kavka dan Daya mengalihkan pandangan serta memori mereka dari meja itu. Keduanya tersenyum serentak pada pelayan.
——
"Kav, stick keju!" Daya menunjukkan sekantong snack besar pada Kavka yang sedang menonton bola.
Kavka menggeleng tak habis fikir,"Masih pengen ngemil? Masih belum kenyang? Tadi dua piring sate kambing kemana?"
"Di sini." Daya nyengir, menunjuk perutnya lalu membaringkan kepala di atas paha Kavka."Bukain." pintanya sambil menyodorkan bungkusan snack tersebut.
Meskipun mulutnya tidak berhenti ngomel, Kavka tetap menuruti perintah Daya. Kavka membuka bungkusan dengan mudah, ia langsung menyuapi mulut Daya yang sudah terbuka lebar.
"Day..." panggil Kavka ragu. Dia tidak menikmati pertandingan club sepakbola favortinya karena masih ada sesuatu yang mengganjal.
"Apa?" Daya menguap, matanya berair.
"Sebenernya, Gue tadi..."
Kavka merasakan snack kejunya tidak masuk ke mulut Daya. Ia melihat kebawah, ternyata perempuan itu sudah tertidur pulas.
"Ay... Day... Daya..." Kavka mencubit pipi Daya. Jangankan terbangun, Daya bahkan tidak terusik sama sekali. Kavka menghela napas. Lagi lagi harus mengangkat Daya ke kamar. Kegiatan yang hampir setiap hari dia lakukan. Kesalnya, tiap hari pula Daya tidak percaya kalau Kavka yang selalu memindahkannya ke kamar. Perempuan itu lebih percaya dirinya dipindahkan Jin dari pada Kavka.
Sampai di kamar Daya. Kavka membaringkan Daya dengan perlahan. Ia selimuti tubuh Daya hingga tertutup sempurna.
Kavka berjongkok di samping ranjang Daya, "Siapa lagi yang bisa ngangkat badan lo tiap hari selain gue?" desahnya sambil tertawa. Sungguh Kavka tidak merasa berat sama sekali. Walaupun menurut Daya tubuhnya tidak langsing, tapi tidak menurut Kavka. Walaupun Daya naik dua puluh kilogram lagipun dia masih sanggup.
"Thankyou, Kav." ucap Daya pelan dengan mata masih terpejam.
Kavka tersenyum lalu mengelus kepala Daya.
"Kav.." Daya membuka matanya.
Kavka duduk di atas ranjang."Ya?" jawabnya.
"Gue nggak mau kejadian malam ini keulang lagi." pinta Daya. Dia merasa harus mengatakan ini. Batasan diantara mereka harus tetap jelas.
Kavka merasa tidak terima,"Kenapa?" tanyanya.
"Yang kita lakuin itu salah, Kav." Daya yakin itu adalah kesalahan. Cukup satu kesalahan, tidak boleh ada kesalahan lainnya.
Kavka menatap Daya tajam."Kita udah nikah, Day. Nggak ada yang salah kalau kita have sex."
"Alasan kita nikah bukan untuk itu." Daya menyahut cepat. Tampaknya Kavka memang harus diingatkan.
Kavka terdiam, Daya benar. Sejujurnya diapun tahu kalau yang tadi mereka lakukan salah. Tapi ada alasan yang sulit dijelaskan. Lagipula, rasanya sulit untuk berjanji tidak mengulang. "Tapi itu nggak akan ngerusak tujuan nikah kita." Maaf Daya, kali ini Kavka merasa egonya harus diikutkan.
Daya hanya menghela napas dan membatin. Tapi itu bisa menimbulkan harapan dalam pernikahan kita, Kavka. Harapan yang akan merusak segalanya.