"Kav! Bangun!" Daya mengguncang bahu Kavka yang tidur dengan posisi duduk bersandar pada ranjang.
Daya membuka tirai, Berharap Kavka akan terbangun karena silaunya sinar matahari. "Kaaav! Udah siang! Nggak kerja apa!" Daya mencoba lagi.
"Hmhhh?" Hah!! Sinar matahari tampaknya berhasil membangunkan Kavka, matanya terbuka sedikit demi sedikit.
Tapi Kavka belum berdiri juga. Dengan geram Daya menarik lengan pria itu mencoba membangunkan seutuhnya. "Kaaav! Bangun! Udah telat!" usaha Daya lagi. Bukannya kenapa, Kavka itu paling benci kalau telat kerja. Di hidupnya, tidak boleh ada jadwal yang miss, semenit saja udah bisa bikin dia berubah jadi hulk. Apalagi hari ini yang sudah terlat berjam jam? Hii.. Daya ngeri sendiri ngebayanginnya.
Akhirnya Kavka terbangun. Daya menghela napas lega. Tapi, langkah Kavka bukan menuju pintu, melainkan..."Hmmhhh..." Kavka membaringkan tubuhnya ke kasur Daya dan mengeluarkan suara nyaman karena akhirnya bisa merasakan kasur.
Kaki Daya menghentak hentak. Pagi pagi sudah dibikin pusing. "Hih!!Kav! Awas ya kalau lo nanti ngamuk ngamuk!" Daya ngamuk duluan. Yaaa, walaupun kasihan juga Kavka. Pasalnya entah pukul berapa mereka tertidur. Sisa malam mereka habiskan dengan berdebat, dan hebatnya tidak menghasilkan apapun alias nihil. Yang ada, mereka malah berhenti berdebat karena capek dan ketiduran.
Ini tidak bisa. Daya tidak boleh teriak teriak karena harus rekaman demo lagu terbarunya. Ia lalu mengingat ucapan guru yoganya. Pejamkan mata, tarik napas perlahan dan hembuskan dengan pelan.
Daya bermeditasi sambil membayangkan tengah berada di padang rumput luas. Tenang, damai.. Dan oke, ini terakhir kalinya. Masa bodoh nanti Kavka mau bangun atau tidak."Kavka, ini terakhir kalinya gue bangunin elo. Sekarang udah jam 11, lo telat. Telat banget malah. Jadi please, bangun."
"Gue cuti..." Kavka kembali tidur, "Day, tutupin gordennya dong."
Daya merasa pendengarannya salah."Cuti?" tanyanya memastikan. Kavka nggak mungkin ambil cuti kalau nggak ada kepentingan yang mendesak.
Kavka mengangguk. Emosi Daya hanya terbuang sia sia hari ini. Sudah cukup urusan Kavkanya, dia harus mandi dan kebawah untuk mulai rekaman di studionya. "Tidur di kamar lo sendiri. Gue mau mandi."
Kavka bangun dengan berat. Mulutnya sudah mau protes kalau dia tidak perlu pindah, sekedar lihat mandi saja seharusnya tidak masalah. Merekakan sudah... Ah Kavka memutuskan untuk menelan pikiran itu sendiri saja . Daripada Daya ngamuk lagi, berdebat lagi. Matanya masih ngantuk berat..
"Jo ngundang kita ke grand opening restorannya nanti malam." Daya memberitahu Kavka tentang undangan yang mereka terima saat Kavka di depan pintu kamar.
"Hm." jawab Kavka seadanya. Satu tangannya terangkat lalu terus berjalan.
"Nggak ada hm hman, Kavka. Alasan sibuk lo itu nggak berlaku malam ini." Daya mengejar Kavka hingga ke depan pintu kamarnya.
Kavka tidak peduli, kedua tangannya menutup telinga."Gue mau tidur seharian."
———
"Kavka." Daya tersenyum menunjukkan deretan giginya. Ia sedang mencontohkan bagaimana cara tersenyum yang lebar karena Kavka sepertinya lupa cara tersenyum. Baru lima menit mereka berada di acara grand opening restoran jo, tapi muka Kavka persis baju yang belum distrika, kusut.
Padahal tadi Daya udah ikhlas buat pergi sendiri. Daya langsung pergi setelah ketuk pintu kamar Kavka tiga kali dan dicuekin. Tapi ketika sampai di halaman rumah, si Kavka malah udah siap dan menunggu di dalam mobil.
"Kalau gini, mending nggak usah pergi lo." Daya mendengus sebal pada Kavka. Matanya Kavka itu lho, bisa bikin orang orang kabur saking sinisnya. Tiga perempuan yang tadinya senyam senyum sambil ngiler lihatin Kavka saja sampai lari terbirit b***t.
Kavka melihat arlojinya,"30 menit." ucapnya singkat. Mereka harus sudah pulang dalam waktu tiga puluh menit lagi, perut Kavka mual berada di tempat ini. Bukan mual karena sakit, tapi mual karena sebentar lagi mau tidak mau akan bertemu si Jo.
"Seenaknya. Ketemu Jo juga belum!" protes Daya. Kalau tahu Kavka bakal seribet ini mending dia kabur jauh jauh dari Kavka.
"Daya!" Seorang pria dengan setelan rapi menyapa Daya dengan senyuman ramah dari kejauhan.
"Jo!" seru Daya. Sudah satu setengah tahun lebih tidak bertemu Jo, bahkan pernikahan Daya dan Kavka saja dia tidak datang. Kerinduan Daya langsung terobati. Bagaimanapun juga, Jo, Kavka dan dirinya pernah sangat begitu dekat.
Jo memeluk Daya,"Thankyou udah dateng Day."
Daya melepas pelukan mereka dengan wajah merengut,"Ya datenglah. Emangnya lo yang nggak dateng ke nikahan gue."
Jo mengangkat bahu,"Gimana mau datang. Gue nggak diun-"
"Gue ke toilet Day." potong Kavka. Dia melengos dari Jo dan pergi begitu saja. Suasana menjadi canggung, kalau saja acara ini tidak penuh. Sudah bisa dipastikan Daya akan menarik kuping Kavka dan memaksa pria itu untuk lebih sopan pada tuan rumah."Sorry Jo."pinta Daya. Terlepas dari masalah apapun yang ada diantara mereka. Seharusnya Kavka bisa lebih bijaksana. Kalau Kavka memutuskan untuk bertemu lagi dengan Jo artinya dia juga harus bersikap lebih menerima. Bukan bertindak kasar seperti ini.
"It's okay." balas Jo tenang. Kekhawatiran Daya tampaknya hanya berlaku untuk Kavka. Bahkan Jo biasa saja, pria itu tidak tersinggung sama sekali.
"Kalian kenapa sih?" tanya Daya penasaran. Kavka itu susah sekali buat tidak suka orang lain, apalagi ini Jo. Jo yang selalu Kavka jadikan tempat curhat masalah percintaan dengan mantan kekasih satu satunya dulu. Daya saja sampai dijadikan pilihan kedua waktu itu, cuma kebagian susah pas Kavka dan mantannya itu putus.
"Tanyain Kavka aja, Day." Jo memberikan senyum lebarnya. Daya mengerti dan tidak mau membahas lebih dalam. Inikan hari penting buat Jo. Masa harus bahas Kavka terus? Lagipula mereka sudah dewasa. "Nyanyi dong, Day." lanjut Jo sambil melirik kearah panggung restorannya.
Daya mendelik."Hah?Gila lo Jo."
"Ayolah, Day. Siapa tahu panggung restoran gue bisa jadi stage pertama lo." bujuk Jo.
"Noooo." tolak Daya, tangannya ikut mengibas ngibas menolak permintaan Jo.
"Kenapa sih Day? Nyanyiin lagu lo sendiri. Jangan bikinin lagu buat orang lain terus." Jo mencoba membujuk Daya lagi, bujukan yang Jo tahu sudah banyak orang lakukan pada Daya.
Kavka tiba tiba muncul,"Gue tunggu di mobil." bisiknya pada Daya. Ia pergi lagi keluar restoran.
Daya hanya bisa tersenyum sungkan pada Jo. Kavka sudah seperti penampakan setan yang tiba tiba muncul lalu pergi. "Sorry ya Jo." ucap Daya tidak enak. Lebih baik dia pulang. Sebelum Kavka bertindak lebih menyebalkan. "Selamat buat restoran baru lo. Lain kali gue kesini lagi tanpa Kavka yang nyebelin itu." ucap Daya sambil memeluk Jo yang tertawa mendengar ucapannya. "Siap. Gue tunggu."
———
Suara musik metal mengalun keras dalam mobil. Kavka mengetuk ngetukkan jari pada kemudi sambil ikut bernyanyi. Sampai ada suara ketukan pada jendela mobil, iapun menurunkan volume dan menurunkan jendela.
"Brother. Lo mau pulang gitu aja setelah lama nggak ketemu gue?" Sapa Jo sambil bersandar pada body mobil.
Dimana Daya? Kenapa malah Jo sialan itu yang muncul. Kavka mencoba tidak peduli dan hanya diam saja, ia meraih ponsel untuk menghubungi Daya.
Jo mendesah. "Come on, Kav. Masa sambutan lo setelah pertengkeran hebat kita satu setengah tahun lalu cuma ini?" tanyanya dengan senyum miring.
Rahang Kavka mengeras mengontrol emosi. Dia terus berusaha menelepon Daya.
"Lo bahkan nggak ngundang gue ke nikahan lo dan Daya." ucap Jo kecewa."Daya..." Jo lalu tertawa keras."Emang licik lo, Kav." lanjut Jo dengan tawa makin keras.
Kavka masih sabar. Dia tidak mau menyebabkan masalah dan membuat Daya khawatir. Dia hanya butuh Daya segera datang dan pergi jauh jauh dari tempat ini.
Jo menghentikan tawanya."Oh ya..dan.. Luna. Lo udah tahu tentang Luna?"
Kavka terdiam, jarinya yang dari tadi sibuk menghubungi Daya juga ikut berhenti.
Jo makin semangat. Ia bahkan mencondongkan tubuhnya ke arah Kavka ," Oh wait! Dilihat dari gelagat lo ini, lo udah tahu. Atau jangan jangan.. Lo bahkan udah ketemu dia lagi?"
Napas Kavka terdengar kasar, wajahnya memerah."Let me give you some advice. Pertama, mind your own business. Kedua, obatin penyakit mental lo sebelum lo berakhir di rumah sakit jiwa."
Bukannya merasa tersinggung dengan ucapan Kavka, Jo malah terlihat puas."See. Menarik, Lo lebih tertarik waktu gue bahas Luna. Seriously man, lo nggak bisa miliki Daya dan Luna."
Sedetik kemudian.
Bugh!
Jo tersungkur di lantai halaman parkiran. Darah Kavka menggelegak, ia segera menarik kerah baju Jo dengan satu hentakan kuat. Satu tangannya kembali mengepal keudara untuk pukulan lainnya.
"Kavka!" pekik Daya sambil berlari menghampiri keributan itu. Sontak Kavka melepaskan Jo, membuat pria itu tergeletak di lantai.
Daya tanpa ragu langsung ke arah Jo dan membatu berdiri. "Lo nggak apa, Jo?" tanyanya khawatir. Ia lalu menatap Kavka yang sedang memalingkan wajah.
Jo mengibaskan tangannya. Pukulan Kavka memang menyakitkan. Tapi dia masih sanggup berdiri sendiri. "No, i am okay. We are okay. Tadi itu cuma pukulan kangen. Yakan, Kav?"
Pukulan kangen? Jo pasti bercanda. Hidung jo berdarah, sudut bibirnya juga. Daya meringis membayangkan perih yang Jo rasakan. "Maaf ya, Jo. Maaf banget. Kita ke rumah sakit ya."
Jo menggeleng, "Nggak separah itu kok, Day. Nggak apa."
Daya mendesah resah dan merasa tidak enak. "Kavka, minta maaf." pintanya pada Kavka.
"Kavka!" seru Daya lagi. Kavka benar benar kelewatan. Dia malah masuk mobil dan membanting pintu dengan kencang.
Daya berjalan cepat menyusul Kavka, ia berbalik sebentar ke arah Jo. "Jo. I am really sorry." ucapnya tulus sambil menyatukan kedua telapak tangan yang dibalas Jo dengan menggeleng dan tersenyum. Isyarat agar Daya tidak perlu khawatir.
Sampai di dalam mobil. Daya membuka jendela dan melambaikan tangan pada Jo seiring dengan mobil mereka yang perlahan meninggalkan halama parkir.
Baik Kavka maupun Daya masih diam. Kavka hanya fokus pada jalanan sedangkan Daya perlu menenangkan dirinya sebelum meledak akan tingkah konyol Kavka malam ini. Bukan konyol, tapi kelewatan, tidak wajar dan menakutkan. Daya merasa ngeri mengingat bagaimana hidung Jo mengeluarkan darah serta sudut mulutnya yang sobek.
"Lo kenapa sih!" bentak Daya. "Si Jo berdarah darah. Lo mukulin Jo sampai berdarah darah!" Daya mengulang ulang kalimatnya berharap Kavka sadar tingkah mengerikannya itu. Suaranya bergetar dan hampir menangis.
Tangan Kavka mencengkeram setir dengan kuat. "Guekan udah bilang kalau nggak mau datang ke acara sialan tadi!" bentaknya.
Daya terdiam. Kavka baru saja membentaknya. Rasanya sudah lama sekali Kavka tidak melakukan itu. Hanya beberapa kali, itupun saat Kavka dalam masa terpuruk karena mantan kekasihnya dan Daya memaklumi. Tapi sekarang? Kenapa malah dia yang jadi sasaran amarah Kavka?
"Day..sorry." ucap Kavka tiba tiba. Dia seketika merasa bersalah karena telah membentak Daya.
Daya tidak menjawab dan hanya melirik sebentar. Ia mendesah pelan, tangan kanan Kavka memar. Biarlah Kavka butuh waktu untuk menstabilkan emosinya, pikir Daya. Begitupun dirinya yang tidak mengerti dengan situasi membingungkan ini.
Beberapa menit kemudian. Mereka tiba di rumah. Daya langsung menarik tangan Kavka untuk duduk di meja makan. "Tunggu disini." perintah Daya.
Dengan patuh Kavka menuruti perkataan Day. Walaupun dia bingung, tapi dia tidak akan mengeluarkan satu kalimat protes apapun. Daya pasti masih terluka akibat bentakannya tadi.
Tidak lama, Daya kembali dengan satu kotak obat. Ia menarik kursi dan duduk di hadapan Kavka. "Tangan." pintanya.
"Tangan lo siniin!" ulang Daya tidak sabaran. Seketika Kavka langsung memberikan tangan kirinya.
"Yang kanan!"seru Daya.
Kavka bergantian memberikan tangan kanannya. Ternyata punggung tangannya memar. Dia tidak sadar, apa iya pukulannya sekeras itu? Atau mungkin akibat membuka pintu dengan kasar? Entahlah, Kavka tidak sadar sampai saat Daya mengolesi obat ke tangannya. Perih.
Daya memasukkan kembali salep yang digunakan dan menutup kotak obat. Ia berdiri, memunggungi Kavka,"Gue ngerti mungkin ada alasan tersendiri tentang amarah lo yang nggak ke kontrol tadi. Tapi tolong, make sure kalau lo nggak akan terluka kayak gini lagi. Gue nggak suka."
"Daya.." tiba tiba Kavka sudah memeluk Daya dari belakang. "Gue memang keterlaluan. Dan... Maaf udah ngebentak lo tadi."
Daya mencoba bergerak, tapi tangan Kavka memeluknya makin erat."Sebentar aja. Jangan kemana mana dulu." pinta Kavka sambil menghirup dalam dalam aroma tubuh Daya seakan tubuh itu mengeluarkan aroma penenang.
Deg Deg Deg..Daya sedikit berdebar. Rasanya ada yang aneh pada jantungnya. Padahal sudah tidak terhitung lagi banyaknya mereka berpelukan. Hanya saja kali ini... Daya menggeleng cepat. Pasti karena dia terlalu banyak marah akhir akhir ini. Ya, tidak salah lagi, yakin Daya.
"Day.." panggil Kavka.
"Hm?"
"Bikinin mie dong. Laper."
Apa? MIE?! Perasaan berdebar Daya langsung sirna. "Ih!" serunya kesal. Ia menginjak kaki Kavka hingga pria itu melepaskan pelukan mereka dan meringis kesakitan."Makanya jangan marah marah! Kitakan tadi bisa makan dulu sebelum pulang!" kesalnya. Diapun sama laparnya. Coba saja Kavka tadi bisa sabaran, mereka pasti pulang dengan perut kenyang. Argghh!Tuhkan jadi kesal lagi!
Daya mendecakkan lidah dan melirik Kavka tajam. Lebih baik dia masuk kamar, cuci kaki, tangan dan muka lalu tidur cantik. Biar saja mereka berdua kelaparan malam ini. Emosinya bisa naik turun kalau masih berada diruangan yang sama dengan Kavka.
Daya melenggang pergi. Meninggalkan Kavka yang terus memanggilnya. "Ay..Day..Dayaaaa."
Tiba tiba..
"K-kav..." ucap Daya terbata. Kotak obat yang dia genggam sudah jatuh. Tubuhnya tersandar pada dinding, satu tangannya terangkat karena dicengkram kuat oleh Kavka. Kejadiannya begitu cepat. Kavka tahu tahu sudah memenjarakan tubuh mereka.
Wajah Kavka sangat dekat, bibirnya berada tepat di depan bibir Daya.
"Kenapa susah banget jadi istri penurut sih?" bisiknya. Ia lalu menarik tangan Daya, dan mengalungkan ke lehernya...