"Jangan mie.." ucap Daya, suaranya mirip cicitan tikus terjepit. Daya memundurkan wajahnya yang sudah mentok di dinding itu. Kepalanya ia tundukkan. Dengan jarak sedekat ini..... mata, bibir, hidung serta hembusan napas Kavka membuat lampu peringatan bahayanya menyala.
"Hm?" alis Kavka yang tebal itu bertaut. Dia tidak paham dengan ucapan Daya. Kenapa jadi bawa bawa mie di posisi mereka yang sudah pas begini?
"Sup... Tadi Mami ngirimin sup. Tinggal dipanasin. Ng... jangan makan mie... ya.. makan sup aja." sahut Daya. Demi tuhan dia tahu kalau kalimat yang seharusnya diucapkan dengan biasa itu terdengar menggelikan. Seperti seorang perawan yang dihadapkan pada permasalahn 'bajunya mau dibukakan atau tidak'.
"Oh.." Kavka tertawa. Dia saja baru ingat kalau tadi meminta dibuatkan makanan. Padahal istri penurut yang dia maksud bukan...."Oke." putus Kavka. Perutnya juga perlu diisi setelah tadi mengeluarkan emosinya yang meluap luap pada Jo. Agenda menggoda Dayanya juga bisa dipending dulu. Kavka kemudian melepaskan Daya dari kungkungannya."Gue ganti baju dulu kalau gitu."
Daya menggigit bibir. Kavka mau ganti baju? Bajunya mau dibukakan atau tidak?Astaga! Daya mencubit pahanya sendiri. Kenapa pikirannya jadi kotor begini? Apa karena sebentar lagi dia akan menstruasi? Tapi rasanya hormon progesteronnya selalu bekerja dengan baik selama ini. Atau, hanya karena sudah pernah bercinta dengan Kavka sekali? Ya Tuhan, celaka tiga belas ini namanya, iba Daya pada dirinya sendiri.
Daya melihat Kavka sudah masuk ke kamar. Pintunya dibiarkan terbuka. Pria itu mulai membuka kancing kemejanya. Dari atas turun satu persatu terus hingga... Daya menutup matanya. Bahaya! Gawat! Celaka! Daya segera mengambil langkah seribu untuk pergi jauh jauh dari depan pintu kamar Kavka.
Dua puluh menit kemudia, Sup Iga kiriman Mami tadi sudah dipanaskan dan disiapkan di meja makan.
Daya mengetuk pintu kamar Kavka yang terbuka."Kav.." panggil Daya dengan pelan. Kavka tidak menoleh. Dia sedang serius membersihkan kamera kameranya.
Kavka dan kamera bukan sekedar tentang kecintaan Kavka pada dunia photography dan videography. Ada satu nama dan sejuta kenangan di dalamnya. Nama dan kenangan yang membuat Kavka pernah begitu hancur dan terpuruk.
Dulu kamera kamera itu hanya berisi satu objek, yaitu Luna. Cinta pertama dan satu satunya Kavka. Luna itu perempuan yang sangat cantik. Kalau kata Daya, mirip peri peri yang ada di buku dongeng. Pokoknya Luna itu anggun, beda sama Daya yang cuek banget. Jadi wajar saja Kavka jadi suka kamera dan selalu mengabadikan Luna dalam lensa kameranya.
Semua orang menyukai Luna. Termasuk Daya, Daya salut pada Luna yang bisa membuat Kavka akhirnya berani untuk menjalani suatu hubungan. Luna tidak peduli berapa kali penolakan yang Kavka berikan padanya. Dia terus sabar menghadapi Kavka hingga hubungan mereka berhasil dan bertahan lama. Rencana pernikahanpun sudah dirancang sedemikian rupa.
Namun pada akhirnya semua itu sia sia. Luna tiba tiba meminta berpisah dari Kavka karena akan menikah dengan pria lain. Tidak ada yang menyangka, perempuan yang bisa menumbuhkan Cinta lagi di hati Kavka itu meninggalkannya begitu saja.
Hari itu, kali kedua Daya melihat Kavka menangis. "Day, gue ditinggalin lagi." lirihKavka dalam pelukan Daya yang ikut menangis.
Pria itu menangis sama pilunya persis saat dulu Papi pergi meninggalkan rumah, Mami, Valdo dan dirinya yang masih belum mengerti apa apa. "Daya, dulu itu Papi suka bilang cinta ke Mami. Tapi tadi, Papi bikin Mami nangis. Papi bilang cintanya udah nggak ada. Terus... Papi pergi bawa tas besar banget." isak Kavka kecil yang masih Daya ingat betul sampai saat ini.
Kavka memasang kembali lensa kameranya dengan hati hati. Dia merasa sayang karena harus mengangguri benda benda kesayangannya. Dia terlalu disibukkan dengan pekerjaan akhir akhir ini sehingga hobinya tidak bisa tersalurkan dengan baik. Perjalanan dari rumah, kantor dan lokasi klien terlalu membosankan. Tidak ada satu objek menarikpun yang bisa ia abadikan.
Daya mengetuk pintu kamar Kavka lebih keras. "Kav.." panggilnya. Kavka sedikikit terkejut karena terlalu fokus pada kamera.
Kavka menatap Daya untuk beberapa detik. Daya sudah mengganti pakaian dengan sweater longgar, rambut dicepol asal serta kacamata bulat besar yang menutupi setengah pipi gembulnya. Menggemaskan seperti biasa. Tangan Kavka sudah gatal ingin menyalakan kameranya lalu memotret Daya.
Sayangnya, niat itu harus dikubur dalam dalam karena Daya paling tidak suka difoto. Gendut katanya, Kavka sampai bosan. Padahal Kavka ingin sekali menunjukkan pada Daya kalau dia itu cantik dan tidak perlu merasa insecure. Tubuh Daya itu memang tidak langsing seperti model victoria secret tapi tubuhnya berisi. Berisi pada bagian bagian yang tepat, seperti pipi, pinggul dan d**a. Hm.. Senyum Kavka secara refleks mengembang kebar sekali.
"Supnya udah gue panasin." ucap Daya. Tapi Kavka malah cuma senyam senyum saja. Bikin jengkel.
Daya mendekat, ia berteriak tepat di telinga,"Kavka!!!"
"Astaga!" Kavka mengusap usap kupingnya. "Bisa pecah gendang telinga gue!" protesnya. Kupingnya berdengung, bahkan dia yakin kalau lumba lumba juga bakal bisa dengar teriakan Daya saking nyaringnya.
Daya bertolak pinggang, "Lagian! Supnya udah gue panasin! Tapi karena kelamaan nungguin lo yang nggak nyahut nyahut! Nggak tahu deh sekarang masih panas apa enggak!" gerutunya emosi.
Kavka langsung nyengir,"Ya...sorry." ia mengedip ngedipkan mata sampai Daya tidak sanggup menahan tawa.
————
Daya keluar studio untuk membuat kopi. Matanya masih perlu terjaga karena belum puas dengan hasil rekamannya.
Lampu ruang kerja Kavka menyala. Kira kira apa yang sedang pria itu lakukan? Bukannya Kavka sedang cuti? batinnya penasaran. Daya kemudian mengetuk pintu untuk memastikan,"Ada kerjaan?"
Kavka menoleh kearah Daya untuk mengangguk, lalu ia kembali fokus pada berkas berkasnya.
Perhatian Daya tertuju pada sesuatu yang berbeda."Pena yang biasa lo pakai kemana?"
Kavka melirik penanya, seketika ia merasa tidak enak. "Gue lupa taruh dimana. Sorry..."
Pena yang mereka maksud adalah pena pemberian Daya saat Kavka resmi bekerja sebagai pengacara dan mendapat kasus pertamanya. Pena yang selalu Kavka gunakan. "Maaf ya, Day." ulang Kavka lagi. Dia sudah mencari cari pena itu seperti orang gila seharian, tapi pena itu tetap tidak ada.
Daya tersenyum,"Cuma pena, Kavka. It's okay." balasnya. Mau marah juga percuma, Kavka juga pasti tidak sengaja menghilangkannya."Yaudah lo lanjutin kerja. Gue juga masih harus nyelesain demo."
"Day..." tahan Kavka.
"Ya?" Daya melihat raut wajah gelisah Kavka. Raut yang biasa Kavka tunjukkan saat pria itu sedang gusar.
"Bisa temenin gue ngobrol sebentar?"
Daya langsung setuju dan mendekat ke meja Kavka. "Kenapa?"
"Menurut lo apa gue perlu ambil kasus ini?" Kavka mengarahkan laptopnya pada Daya. Layar itu memuat berita tentang seorang penjabat daerah yang dilaporkan istrinya atas KDRT.
Daya membaca berita itu dengan seksama. Beberapa kali ia meringis membayangkan hal mengerikan yang dialami oleh si istri tersebut.
"Gue pribadi udah ketemu sama istri di berita itu." terang Kavka. Daya mencondongkan tubuhnya makin dekat, tertarik dengan pembahasan ini. Sebenarnya Daya selalu suka saat Kavka membagi semua keresahannya.
"Terus? Apa yang bikin lo ragu? Kavka yang gue kenal nggak pernah ragu buat nolongin orang." tanya Daya bingung. Tapi Kavka hanya diam dan tampak tidak nyaman.
"Gimana kondisi si istri? Apa dia kelihatan sedang bener bener butuh pertolongan?" tanya Daya lagi dan mendapat anggukan dari Kavka. Kondisi si istri sangat menyedihkan, Kavka yakin siapapun yang melihat pasti akan langsung merasa tidak tega.
Kavka masih merasa harus memiliki dorongan yang lebih kuat untuk menolong perempuan itu. Dia diam untuk beberapa saat, hingga Daya kembali bertanya,"Apa karena lo belum pernah megang kasus kayak gini sebelumnya? Lo takut bikin dia nggak nyaman?"
Daya ada benarnya. Kasus perceraian yang biasa Kavka ambil hanya perihal pembagian harta gono gini. Tapi ini bukan hanya soal kemampuan Kavka dalam menyelesaikan kasus, ada alasan yang lebih kompleks dari pada itu.
"Udah coba nyaranin dia buat dipegang sama mbak Ruri?" Mbak Ruri adalah salah satu senior Kavka yang cukup akrab dengan Daya. Mbak Ruri itu ibarat wonderwoman, spesialisasinya memegang kasus kasus yang berhubungan dengan perempuan dan anak anak.
Kavka mengangguk, ia sudah menawarkan hal tersebut pada si istri. "Dia nggak mau. Dia ngerasa nggak nyaman sama orang lain."
"Jadi apalagi yang perlu lo pikirin?" Daya meletakkan tangan kirinya pada bahu Kavka. "Dia butuh bantuan, dan dia cuma nyaman buat percayain kasusnya sama lo." anjur Daya.
Kavka menyentuh tangan Daya yang berada di bahunya. Daya tersenyum, lalu tangan kanannya terulur untuk memeluk Kavka dari belakang. Dagunya ia sandarkan pada punggung Kavka,"Gue percaya apapun kekhawatiran lo bakal bisa teratasi dengan mudah. Lo tahu karena apa?"
Diam sejenak, lalu Kavka mengangkat bahunya sedikit dan menggeleng.
"Karena Kavka itu selalu bisa mengambil keputusan terbaik untuk siapapun." ucap Daya lagi sambil mengusap lengan Kavka.
"Thankyou, Day." ucap Kavka, Daya mengangguk.
"Kalau lo? Kapan mau berani ambil keputusan buat nerima tawaran produser waktu itu?" giliran Kavka yang bertanya. Geram dengan Daya yang selalu mendorongnya ubtuk melakukan yang terbaik tapi selalu bertindak sebaliknya pada dirinya sendiri.
Pelukan Daya merenggang, "Jadi penyanyi itu bukan buat gue, Kav. Gue udah cukup puas dengan karya karya gue yang dinyanyiin orang lain." Daya melepas pelukannya dan perlahan menjauh.
Tapi tangannya segera di tarik oleh Kavka."Bilang dulu kalau lo belum nyerah sama cita cita dari kecil lo itu." ucap pria itu serius.
"Kaaaav." Daya mencoba melepas tangannya.
"Bilang iya dulu." tegas Kavka.
Daya mendesah lalu dengan berat hati berkata."Iya."
"Iyanya yang bener." ejek Kavka, dia tahu Daya sudah mulai emosi.
"Iya!" seru daya, ia menyentakkan tangannya dengan keras hingga berhasil terlepas dari Kavka.
"Daaaay."
"Iya.iya.iya.iyaaa." jawab Daya malas, ia melangkah keluar sambil menutup kupingnya dari ocehan Kavka.
Ide jahil langsung terbesit dibenak Kavka,"Nanti gue tidur dikamar elo lagi ya?" usilnya sambil terkekeh menunggu jawaban Daya.
"iyaaa." jawab Daya asal. Kavka bersorak dan tertawa.
Daya terdiam, tunggu sepertinya ada yang salah. Seketika ia menggeram,"Lo ya,Kav!!!!"