Paginya kami bangun dengan kondisi tubuh yang segar.
"Selamat pagi anak-anak!" Sapa Ayyala.
"Selamat pagi." Jawabku tersenyum.
"Sepertinya istirahat kalian cukup." Kami mengangguk.
"Makasih sudah menerima kami." Ucap Angel sopan. Ayyala mengangguk.
"Ayo, sarapan!" Kami mengangguk, mengikuti nya.
"Aku tidak menyangka kalau kalian bukan dari planet ini." Pria muda itu bicara.
"Sepertinya kemarin aku sangat tidak sopan. Perkenalkan namaku Zavvaraz Deoran Assa. Panggil saja aku Zavva." Dia memperkenalkan diri.
"Soal kalian yang bukan tinggal disini itu sangat mengejutkan!" Kami hanya diam, tapi tetap menyimak celotehan nya.
"Pasti orang yang di incar itu adalah kalian?" Kami mengangguk.
"Oh, astaga!" Dia berseru kaget, kami juga ikutan terperanjat kaget.
"Aku adalah ahli sejarah dan profesor yang terkenal, aku tahu ada planet selain mars, yang juga memiliki kehidupan. Tapi kebanyakan orang tidak percaya, menganggap ku gila. Tapi saat melihat kalian, akhirnya kepercayaan ku itu nyata." Kami diam menyimak.
"Sayang, kita lagi sarapan, dan disini ada Daffa, kamu tidak ingin kan menghancurkan momen sarapan yang menyenangkan ini, kan?" Ayyala memegang lengan suaminya.
Rayn mengomel, karena tidak mengerti bahasa mereka, hanya bisa menebak arah pembicaraan.
"Untuk sementara waktu kalian tinggal disini saja dulu." Ayyala menawarkan.
"Apa kami masih di terima disini?" Tanyaku ragu.
"Tentu saja, rumah kami akan selalu terbuka untuk kalian." Jawab Ayyala tersenyum hangat.
"Terimakasih." Ucap ku sedikit membungkuk. Dia tersenyum mengangguk.
"Besok aku akan mengajak kalian bertemu dengan ahli sejarah legendaris. Pemilik pustaka utama terbesar di Lottus." Ucap Zavva.
Eh, pemilik pustaka? Apa pemilik pustaka itu kerabat nya?
"Kakak!" Adik nya Annea menarik-narik baju kakaknya.
"Eh, Daffa. Kakak lagi bicara dengan tamu kita. Kamu pergi ke tempat mama saja, ya?" Dia menggeleng.
"Aku mau sama kakak!" Rengek nya.
Ghina yang mendengar rengekan adiknya Annea pun menoleh.
"Hai!" Sapa Ghina sambil berjongkok, menatap adiknya Annea.
Walaupun bahasa mereka berbeda, Ghina terus berusaha untuk faham bahasa nya. Aku kasihan melihat wajah adiknya Annea, karena itu aku dengan senang hati menerjemahkan untuk nya.
"Nama kamu siapa?" Tanya Ghina. Aku menerjemahkannya ke adiknya Annea.
"Namaku Daffa." Jawabnya, dengan aku menerjemahkan bahasa nya ke Ghina.
"Oh, aku Ghina, salam kenal adik manis!" Ghina tersenyum lebar menatap Daffa. Daffa ragu-ragu untuk tersenyum.
"Waah, coba saja aku punya adik kecil manis seperti ini." Ghina bergumam.
"Bukankah kamu sudah punya adik?" Tanyaku.
"Emangnya Ghina punya adik?" Tanya Vino.
"Tentu saja punya, adik nya laki-laki juga." Jawabku mengangguk.
"Itu mah beda! Dia itu sudah besar, mana bisa di manjain seperti ini." Ucapnya.
"Lagipula umurnya dengan umur ku hanya berbeda dua tahun saja." Lanjutnya.
"Eh, kalian!" Panggil Annea. Kami menoleh menatap nya.
"Kenapa?" Tanyaku heran.
"Aku mau mengajak kalian melihat kota ini, ayo!" Ajaknya semangat.
"Eh, adik mu diajak?" Tanyaku, menunjuk Daffa.
"Terserahlah. Ayo!" Dia berjalan dengan riang, sambil menggendong adiknya.
"Bagaimana caranya, dia mengajak kita melihat kota ini?" Bisik Vina kepada ku, setelah di terjemahkan oleh Angel. Aku mengangkat bahu, tidak tahu.
"Tunggu apalagi? Ayo!" Ajaknya menaiki tangga lebih dulu.
"Eh, tunggu!" Kamu ikut menaiki tangga menyusul nya.
"Kenapa kita disuruh kesini, Zell?" Tanya Vino berbisik. Aku mengangkat bahu, aku juga tidak tahu kenapa dia mengajak kami ke tempat ini.
"Kalian pasti bingung bukan, kenapa aku mengajak kalian kesini?" Tanyanya menatap kami tersenyum, seakan-akan dia sudah tahu kalau kami pasti bingung, karena di ajak ke tempat ruangan kosong yang tidak ada apa-apa ini.
"Sebentar, aku akan menunjukkan sesuatu kepada kalian!" Dia menghentakkan kakinya ke lantai.
Beberapa detik setelah itu lantai yang kami pijak bergetar pelan, bahkan dinding yang menutupi seluruh ruangan itu terbuka, seolah-olah seperti jendela. Kami akhirnya bisa melihat pemandangan dari luar, karena tembus pandang.
"Wow, keren!" Seru Ghina antusias. Aku mengangguk setuju.
"Gimana keren bukan?" Tanya Annea tertawa. Kami berlari menuju dinding transparan itu. Ternyata kota ini berbentuk mangkuk atau cawan.
Dan ternyata ruangan yang kami pijak ini mengambang di atas bangunan di bawahnya.
Di kota ini ada dua macam jenis, ada yang hanya tingkat dua, ada juga yang tingkat tiga. Biasanya rumah yang hanya tingkat dua itu untuk penduduk biasa. Dan yang tingkat tiga seperti rumah Annea ini adalah pemilik orang-orang penting dan kaya.
"Wah, berarti anak ini orang kaya, dong?" Aku menyenggol perut vino. Dasar tidak sopan.
"Eh, anne. Kenapa disini cat rumah nya warna putih?" Tanyaku ragu.
"Itu bukan cat." Jawabnya santai.
"Eh, bukan ya?" Aku jadi salah tingkah. Dia mengangguk, "tentu saja, disini tidak lagi menggunakan cat. Mungkin kata cat itu sudah menjadi legenda." Jawabnya tersenyum.
"Oh, gitu ya?" Dia mengangguk.
"Nah, disini itu rumah ini dari luar terlihat hanya satu. Dia seperti mangkuk atau cawan yang sangat besar. Tapi dari dalam sebenarnya ada tiga tingkat. Yang paling bawah itu terbuat dari batu pualam, yang di tengah atau yang dibawah kita ini, aku tidak tahu terbuat dari apa. Dua bangunan ini lebih banyak ke teknologi. Seperti bangunan yang kita pijak ini. Dari dalam kita menyangka kalau ini tembus pandang, seperti kaca biasa. Tapi dari luar ini hanya bangunan biasa yang bisa mengambang." Jelas nya.
"Eh, apa aku boleh bertanya?" Tanya Ghina.
"Tentu saja. Silahkan!" Dia mengangguk.
"Eh, apa disini belajarnya masih menggunakan buku? Maksudku kalian belajarnya menggunakan komputer atau apa? Karena dilihat-lihat kota kalian sangat maju. Mustahil kalau kalian masih menggunakan buku." Annea mengangguk. "Benar, kami sudah tidak menggunakan buku lagi atau kertas untuk menulis. Bahkan kami tidak menggunakan alat tulis, yang bernama pensil." Jelasnya senang hati.
"Heh, anak ini cukup pintar, ya." Gumam Rayn. Aku menjitak kepalanya. Anak ini bisa tidak berlaku sopan?!
Menurut ku, mungkin kalian berpikir kenapa aku seenaknya menjitak kepala orang, padahal baru kenal?
Entahlah, sejak kami terdampar di planet asing ini, planet yang kami kira tidak ada penduduk ini, membuat kami menjadi lebih dekat.
"Eh, emangnya kamu pintar?" Tanya Ghina menatapnya remeh.
"Apa maksudmu?" Tanya Rayn tersinggung.
"Kalau memang kamu pintar, seharusnya kamu di sekolah dapat rangking satu." Jawab Ghina. Rayn memelotot, dia tidak suka di sangkut-paut kan dengan sekolah.
Ghina hanya nyengir tanpa merasa bersalah.
"Oh ya, ngomong-ngomong sekolah kita apa kabar?" Tanya Ghina cemas.
"Kamu mencemaskan sekolah kita?" Tanya Rayn.
"Tentu saja!" Jawab Ghina Ghina marah.
"Daripada kamu mencemaskan sekolah, lebih baik kamu mencemaskan keadaan kita." Ghina melotot, aku ikut menatap tajam ke arah Rayn. Bagaimana bisa anak itu bicara ngelantur di saat-saat seperti ini.
"Dasar tidak punya hati! Tentu saja aku memikirkan sekolah kita! Apalagi sekolah kita hancur lebur!" Bentak Ghina. Rayn tertawa cekikikan.
"Kenapa kamu tertawa seperti itu?!" Tanya Ghina tersinggung.
"Hahaha, kamu berpikir kalau sekolah kita hancur?" Tawa Rayn lepas.
"Tentu saja!" Ghina membentak, tidak terima karena di tertawa kan seperti itu.
"Eh, aku akan memberitahukan sesuatu kepada mu." Bisik Rayn.
"Kamu tidak perlu cemas, karena aku melakukan trik kecil ke sekolah kita." Jawabnya santai.
"Maksud kamu?" Tanya Ghina mulai tertarik, sejenak dia melupakan kekesalannya tadi.
"Apa kamu ingat saat pertama kali kita bertemu dengan orang tua aneh itu?" Tanya Rayn, membuat aku juga ikut penasaran.
"Mana aku ingat!" Jawab Ghina ketus.
Sepertinya aku ingat. Saat itu kami sedang belajar, dan tiba-tiba angin kuat menghancurkan isi kelas. Kami di suruh bergabung di lapangan, saat itu juga suara dentuman keras membuat lubang besar di tengah lapangan, dan tiba-tiba kami semua tertidur karena saat angin kencang mulai reda, ada angin susulan yang menerpa wajah kami, angin itu sangat lembut, membuat kami semua tertidur. Dan saat terbangun, seperti ada yang mengulang waktu, membuat waktu kami terulang kembali. Yang membedakannya adalah, hanya kami yang berada di sekolah itu.
"Aku ingat, tapi bagaimana bisa itu terjadi?" Tanyaku heran.
"Atau jangan-jangan kamu bisa memanipulasi ruang dan waktu?" Tanyaku curiga. Dia mengangkat bahu tidak menjawab. Dari diamnya berarti tebakan ku benar.
"Tapi apa hubungannya dengan sekolah kita?" Tanya Ghina masih tidak mengerti. Vino menepuk jidatnya pelan.
"Tentu saja ada hubungannya, Ghina. Rayn sudah tahu kalau akan ada bencana besar di sekolah kita, makanya dia mengulang waktu, membuat yang lain lupa dengan kejadian itu, dan mengecualikan kita." Jelas Vino.
"Kalaupun seperti itu, bagaimana dengan Miss Della dan orang tuanya Zella?" Tanya Ghina mencemaskan hal yang lain.
"Kalau tebakan ku tidak keliru, mereka mungkin baik-baik saja." Jawab Rayn.
"Dan kalau misalnya sekolah kita tidak kenapa-napa, berarti kita akan ketinggalan pelajaran dong?" Tanya Ghina. Rayn menggeleng.
"Tentu saja tidak, menurut ku orang tua Zella yang akan mengurus nya. Sepertinya mereka sudah lama merencanakan ini. Dan untuk Miss Della, sepertinya dia yang akan menahan orang tua aneh itu." Jawab Rayn serius.
"Kalau begitu, itu berarti sangat berbahaya dong?" Rayn menggeleng lagi.
"Apa kamu lupa, saat orang tua aneh itu menemui kita? Dia bilang kalau Miss Della itu anaknya." Aku juga mendengar nya, tapi aku belum bisa menyimpulkan bahwa Miss Della benar-benar anak orang tua aneh itu. Kemungkinan kami salah dengar, aku harus mendengar langsung dari mulut Miss Della.
"Tapi, tetap saja kan, itu semua hanya tebakan kamu saja. Mungkin saja tebakan kamu bisa saja keliru." Ghina masih tidak bisa percaya.
"Hey Ghin, tebakan ku tidak pernah meleset ya!" Seru Rayn tersinggung.
"Bisa saja hari ini tebakan mu meleset." Ghina masih bersikukuh dengan pendiriannya.
"Terserah kamu mau percaya atau tidak, aku tidak berharap kamu percaya. Tapi, menurut ku, sahabat baik kamu itu menyetujui kata-kata ku." Rayn menunjuk ku. Sebenarnya aku juga tidak percaya, tapi perkataan Rayn itu sangat masuk akal. Aku tidak bisa menyelanya lagi, dia itu sepertinya memang pintar, terlepas dari rambutnya yang berantakan, dan pakaiannya yang kusut.
Aku mengangguk ragu. Ghina menatap ku tidak percaya. Dia tahu anggukan ku itu tandanya aku menyetujui perkataan Rayn.
"Maaf, Ghin." Dia masih tidak habis pikir, bagaimana aku menyetujui anak berandalan ini?
"Eh, teman-teman. Sudah waktunya kita makan siang, ayo turun." Annea mencoba mencair kan situasi yang mulai tegang, walau tidak tahu kenapa.
Kami mengangguk. Setelah itu Ghina hanya diam saja tidak banyak bicara.
***
Malam nya kami makan bersama keluarga Annea. Ghina masih tidak berbicara sedikit pun. Aku menjadi merasa bersalah dengan nya.
Annea mencoba menghibur Ghina, dengan mengajaknya ke atap. Ghina hanya mengangguk pelan, tetap tidak berbicara.
"Ghin, aku minta maaf kalau aku menyinggung perasaan mu." Aku meminta maaf. Dia tetap diam, tidak menjawab sedikit pun.
Annea melihat itu pun, menjadi serba salah. Saat dia tidak tahu lagi bagaimana membujuk Ghina, mamanya memanggil nya turun, meninggalkan kami yang berada di situasi canggung.
"Heh, sebenarnya aku tidak marah kepada kalian, malah sebaliknya, aku marah pada diriku sendiri." Ucapnya pelan. Aku menoleh, menatapnya.
"Sebenarnya aku hanya ingin pulang, makanya aku membuat alasan agar kita bisa pulang." Lanjutnya. Untuk kota ini, Annnea tidak berbohong. Tempat ini sungguh keren saat malam hari. Tapi karena situasi yang sedang buruk, membuat suasana terasa tidak menyenangkan.
"Tidak, kami yang salah." Aku menggeleng.
Ghina menatap ku tersenyum, "kamu tidak salah kok, aku saja yang egois. Aku tidak memikirkan teman-teman ku, itu sebabnya aku diam, karena aku malu dengan kalian." Aku menatapnya, mataku berkaca-kaca.
"Aku hanya ingin pulang!" Dia menunduk, menangis. Angel yang duduk di samping kanannya mengelus punggung nya, mencoba menenangkan nya.
"Ghin, kita semua ingin pulang. Tapi kamu harus ingat kata-kata ku, setiap kesusahan pasti ada kemudahan. Setiap kita kehilangan arah, pasti ada jalan keluarnya. Dan ketahuilah, kalau kita terus berfikir positif, pasti ada hal-hal baik yang akan menghampiri kita." Rayn tersenyum, menghibur. Kata-kata anak itu sungguh bijak. Bukan hanya Ghina saja yang tenang, aku pun ikut tenang. Sebenarnya aku juga ingin pulang, malah amat sangat.
"Terimakasih, Rayn. Aku tidak menyangka kalau kalian sangat baik." Ucap Ghina pelan. Rayn hanya melambaikan tangan. Itu tidak masalah. Pas, saat Annea datang, kami semua sudah berbaikan. Akhirnya kami bisa menikmati malam yang indah ini, dan menikmati angin malam yang sepoi-sepoi, menerpa tubuh kami, membuat rambut kami ikut bergerak-gerak mengikuti arah angin.
***