episode 11

2492 Words
Akhirnya kami bisa keluar dari portal itu. Saat kami menginjak kan kaki di tempat yang aneh dan asing ini, aku sudah berhenti menangis. Walaupun begitu, aku tetap tidak bisa menatap wajah teman-teman ku, karena malu. Seharusnya aku tidak meronta-ronta seperti itu, tambah pula yang menarik ku adalah Rayn dan Vino, yang super ngeselin itu. "Zella." Panggil Rayn dan Vino bersamaan. "Aku mendongak, menatap mereka berdua. "Apa?" Tanyaku. "Maaf soal tadi." Ucap mereka pelan. "Untuk apa kalian meminta maaf kepada ku?" "Karena kami memaksa mu masuk, tapi itu tidak kulakukan atas keinginan kami sendiri." Jawab mereka. "Kami terpaksa melakukannya, karena ini perintah dari mama mu, kami tidak bisa menolaknya." Lanjut mereka dengan tatapan menyesal. "Haaah, sudahlah, kalau aku jadi kalian mungkin aku juga demikian." Aku melambaikan tangan. Sebenarnya aku sangat ingin marah tapi melihat wajah menyesal mereka, membuat hati ku luluh. "Teman-teman, kita ada dimana?" Tanya Ghina memecah suasana canggung. Aku menatap sekeliling, aku juga tidak tahu kami ada dimana sekarang. Tempat ini berbeda dari kota kami. Fasilitas nya, kursi yang berbentuk setengah mangkuk atau cawan mengambang beberapa meter. Mejanya sama seperti kursinya, hanya saja dia tidak setengah, dan di atasnya ada vas bunga berbentuk mangkuk atau cawan juga tapi versi lebih kecil. "Apa ini rumah dari salah satu kalian?" Tanyaku menatap mereka satu persatu. Mereka menggeleng. "Sepertinya kita tidak lagi berada di kota kita." Gumam Rayn. "Apa maksudmu?" Tanyaku tidak mengerti. "Sebentar!" Dia mengeduk isi dalam tasnya. "Coba lihat!" Dia menunjuk benda aneh yang pernah dia tunjukkan ke kami. "Sepertinya kamu selalu membawa benda aneh ini?" Tanya Ghina menatap bosan benda itu. "Hey, ini bukan sembarang benda!" Rayn membela diri. "Apa yang ingin kamu tunjukkan?" Tanyaku mencoba menengahi mereka. "Lihat!" Kami melihatnya, Ghina dengan terpaksa ikut melihat nya. Di sana tertulis, out of range. Atau diluar jangkauan. "Bagaimana ini?" Tanya Ghina panik. Kami menggeleng, belum ada solusinya. Ghina menangis, dia ingin pulang. "Ghin, tenang dulu, pasti ada jalan keluarnya, mungkin belum sekarang tapi aku yakin kita akan pulang. Jadi jangan nangis." Hibur Rayn. Tidak ku sangka ternyata Rayn punya humor yang baik. "Eh, teman-teman!" Panggil Angel. "Ada apa?" Tanyaku. "Sepertinya ada orang di sana." Angel memberi tahu. Benar yang dikatakan Angel, memang ada orang di sana. "Sepertinya mereka menuju kesini!" Lanjut Angel. "Apa kita sembunyi saja?" Tanya Ghina panik. "Atau kita kabur dari sini?" Ghina memberi usulan yang mustahil, akibat sifat lamanya keluar, yaitu gampang cemas, membuat dia membual yang aneh-aneh. "Haduh, Ghina! Itu mah hal yang mustahil untuk kita lakukan." Vino menepuk jidatnya. "Tapi aku hanya ingin memberi usul saja." Ghina cemberut. Aku tahu Ghina tidak bermaksud untuk membual seperti itu, gara-gara sifatnya yang mudah panik itulah mengakibatkan dia bicara seperti itu. "Usul mu tidak membantu!" Vina menyikut perut kakak kembarnya itu. "Sudah cukup!" Vina melotot ke Vino. "Teman-teman, coba tenang sebentar!" Angel melerai mereka. Aku juga mendengar suara ribut. Entah bagaimana caranya, aku mengerti bahasa mereka. Apa jangan-jangan kami masih di kota kami? Atau di negara kami? Tapi kenapa yang lain tidak mengerti bahasa mereka? "Pa, ma, sepertinya ada orang di ruang tamu." Aku mendengar suara anak perempuan memberitahukan kepada orang tua nya. "Biar mama dan papa lihat, kamu tolong jaga adik mu!" Orang tuanya menyuruh anak perempuan itu. Aku menahan nafas, begitu juga dengan teman-teman ku. "Siapa kalian?" Tanya seorang pria muda, mungkin dia lebih kecil dari papa ku. Aku diam tidak tahu ingin menjawab apa. Tidak ada yang bicara sedikit pun. Pria itu menatap kami menyelidik, seperti mengintrogasi kami. "Apa kalian tersesat?" Tanya wanita muda yang sangat cantik. Kami tetap diam. "Jangan takut, kami tidak jahat kok." Wanita muda itu seperti mengerti ekspresi wajah kami. "Aku juga memiliki anak yang seumuran dengan kalian, jadi jangan takut." Kami tetap diam. "Namaku Ayyala Naudia Assa, nama kalian siapa?" Tanya wanita itu. Melihat dari wajahnya, sepertinya wanita ini memang baik, sifatnya sangat ramah. Membuat ku mulai percaya. Saat aku hendak bicara, tiba-tiba mulut ku langsung tersumpal. Karena ada yang lebih dulu bicara. "Namaku Angel,ini teman-teman ku." Angel memperkenalkan dirinya dan menyebutkan nama kami satu persatu. "Nama kalian sungguh unik." Wanita itu tersenyum. Aku tidak tahu itu pujian atau bukan. "Apa kalian tinggal di tempat jauh?" Angel mengangguk. "Iya, kami tinggal di tempat jauh." Jawab Angel tersenyum. "Pantesan, mereka tidak mengerti bahasa kami." Wanita itu menunjuk Rayn, Vino, Vina dan Ghina. "Apa kamu mengerti bahasa kami?" Tanya wanita itu. Aku mengangguk. "Eh, apa say boleh tanya?" Ucap ku ragu-ragu. "Tentu saja, silahkan!" Dia tersenyum. Saat aku hendak bertanya, ada yang memotong ucapan ku. "Ma, mama bicara dengan siapa?" Tanya anak tadi, berjalan menuju kesini. "Mereka siapa?" Tanya gadis itu sinis. "Nah, ini putri kami." Anaknya memutar bola matanya. "Perkenalkan namanya Annnea Claudia Assa." Mamanya memperkenalkan putri nya. "Apa sih, ma, itu Daffa nangis tu!" Celetuk nya. "Ah, saya pergi dulu ya!" Pamit nya. Aku mengangguk. Setelah kepergian nya, hanya tinggal aku, gadis itu, papa nya dan teman-teman ku. Suasana nya berubah menjadi canggung. "Tadi kamu bukannya ingin bertanya?" Aku mengangguk takut-takut. "Apa yang ingin kamu tanyakan?" "Aku ingin tanya, ini ada dimana?" Akhirnya pertanyaan itu bisa keluar dari mulut ku. "Sepertinya kalian memang tersesat, kalian berada di kota Lottus, di mars." Aku tertegun mendengar jawabannya. Kami ada di mars?! Bagaimana bisa?! "Anne, tolong bawa mereka ke kamar!" Suruh papanya menatap gadis itu. Gadis itu melirik kami sebentar, lalu mengangguk. "Ayo ikut aku!" Kami mengikuti nya. Ternyata dia dengan papanya sama saja dingin sekali. Berbeda dengan mamanya yang lembut dan ramah. Kami berjalan beriringan mengikuti nya. Rayn di sebelah ku, tidak seperti biasanya, dia lebih banyak menatap isi rumah ini, seperti orang yang terpesona oleh hal baru. "Eh, Zell tadi mereka bicara apa?" Bisik Ghina. "Mereka bertanya, kita datang darimana. Dan menanyakan nama kita." Jawabku balas berbisik. "Tapi, kok kamu bisa mengerti bahasa mereka?" Tanya Ghina masih penasaran. "Aku tidak tau, Ghin." Jawabku menggeleng. "Wow, tempat ini sungguh keren!" Seru Rayn berdecak kagum. Aku menoleh, bisa-bisanya dia mengomentari rumah orang, dan juga, ini tempat yang sangat jauh dari rumah kami, bahkan jauhnya sampai keluar planet kami. "Ini kamar kakak laki-laki ku, kalian berdua boleh istirahat disini dulu." Tunjuk nya ke arah pintu berbentuk cembung. "Zella, dia bicara apa?" Bisik Rayn. Eh, kenapa semuanya nanya sama aku? Emangnya aku tempat penerjemah bahasa? "Dia bilang, kamu dan Vino tidur disini aja." Jawabku berbaik hati menerjemahkan bahasa gadis itu. "Ayo!" Ajak nya, aku dan yang lain menyusulnya. Dia mengetuk tiga kali daun pintu. Seketika pintu itu terbuka sendiri. Aku dna yang lain menatap terpesona, kami bahkan tidak berkedip sama sekali. Annea yang sadar dengan ekspresi wajah kami, tertawa kecil. "Silahkan masuk!" Dia mempersilahkan kami masuk. "Terimakasih!" Ucap ku senang. Dia hanya mengangguk tersenyum. Baru kali ini aku melihat dia tersenyum. Ternyata dia saat tersenyum sangat manis dan imut. Kami masuk ke dalam. Disini tempatnya sangat canggih, tapi semuanya berbentuk mangkuk atau cawan yang sangat indah. Bahkan Rayn dan Vino yang biasanya tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya, disini malah mereka yang antusias. "Waah, Zella Angel, Ghina, Vina! Ini baru namanya surga! Aku belum pernah merasa sangat senang seperti ini!" Seru Rayn antusias, mencoba menaiki kursi terbangnya. "Wow gila! Ini keren banget!" Dia sudah bermain saja dengan barang-barang yang ada di kamar itu. Ghina menepuk jidatnya, Vina menggeleng tidak percaya melihat tingkah kakak kembarnya, Angel hanya tertawa kecil antara malu dan lucu. "Ayo, kalian juga harus istirahat!" Kami menoleh ke arah tuan rumah. "Biarkan saja, selagi kakak ku tidak ada, tidak apa." Dia tersenyum, seolah-olah mengerti apa yang kami pikirkan. "Oh ya, di sana ada lemari pakaian untuk kalian berganti pakaian." Aku menerjemahkan bahasa Annea. Mereka mengangguk. "Bilang sama dia, tenang saja kami akan berganti pakaian." Balas mereka, dan aku harus menerjemahkannya ke Annea. "Biar aku yang terjemahkan ke mereka, kamu istirahat saja!" Angel dengan senang hati menggantikan posisi ku. "Teman-teman, kata Annnea setelah kalian berganti pakaian turun ke bawah, kita diundang makan malam oleh mereka!" Mereka berdua mengangguk. "Kami pergi dulu!" Mereka mengangguk tetap mencoba benda-benda yang belum di coba mereka. *** "Aku minta maaf soal tadi." Dia memohon kepada kami. "Tidak apa, itu bukan salah kamu." Aku menepuk-nepuk pundak nya pelan. "Oh ya, kita belum kenalan lebih baik. Namaku Annea Claudia Assa. Umur ku Lima belas tahun." Dia mengulurkan tangannya. "Aku Zella, ini Angel, yang di sebelahnya Vina, dan di sebelah kanan ku Ghina. Kami juga lima belas tahun. Salam kenal!" Aku menjabat tangannya. Yang lain ikut menjabat tangannya. "Sebenarnya tadi itu aku tidak bermaksud seperti itu, mungkin karena sifat ku lebih mirip papa ku, makanya aku kayak gitu." Aku mengangguk faham. "Eh, tapi seragam kalian tadi kok aneh? Di kota ini tidak ada yang memakai seragam itu lagi, seragam seperti itu seragam orang zaman dulu." Aku kaget, seragam zaman dulu?! Di kota kami seragam seperti ini sudah paling elit. Pantas saja saat aku ingin mengganti pakaian, pakaian nya seperti pakaian masa depan, sangat elit. "Apa jangan-jangan kalian bukan dari planet ini?" Dia menatap kami curiga. "Eh," aku tidak bisa berkata-kata, karena kami memang dari planet lain. "Jujur saja, aku tidak akan membocorkan nya." Kami masih diam. "Oh ya, ngomong-ngomong kenapa disini terasa sepi?" Tanya angel mengalihkan pembicaraan. "Itu karena pemerintah mengisolasi kami, katanya narapidana kabur dari penjara, dan dia sekarang menjadi buronan. Pemerintah juga bilang kalau dia itu sangat kejam dan jahat. Begitu!" Jelas nya. Kami manggut-manggut saja, walau tidak mengerti. "Oh, sudah waktunya makan malam, ayo ikut aku!" Ajaknya. Kami mengikutinya. "Eh, kita jemput dua cowok itu dulu, ya!" Dia teringat Rayn dan Vino. Aku mengangguk, Angel yang terus menerjemahkan bahasa Annea ke Ghina dan Vina. "Hai, ayo! makan malamnya sudah siap!" Dia mengetuk pintu kamar mereka tiga kali, tapi hanya keluar seperti digital berbentuk silang merah, dan di bawahnya tertulis pintu sedang di kunci dari dalam. "Iyaa, sebentar!" Balas mereka dari dalam, aku menerjemahkannya ke Annea. Pintu akhirnya terbuka. "Kalian kok lama sekali?" Tanya Ghina heran. "Yeah, kami bingung mau pakai baju apa, makanya lama.", Jawab Rayn. "Eh, kalian ternyata lebih parah daripada perempuan!" Ghina menggeleng, menatap mereka berdua dengan tatapan mengejek. "Ayo, anak-anak! Kalian pasti lapar? Sini gabung dengan kami!" Kami mengangguk sopan, setelah Angel menerjemahkan ke yang lain. Kami duduk di kursi terbang. Ternyata sangat mudah untuk duduk, karena kursi itu datang sendiri ke kita. "Eh, ini makanannya?" Bisik Ghina, seperti tidak selera saat melihat makanannya. "Ih, apa ini?! Ini lumpur?" Aku menyikut perut Rayn, itu sangat tidak sopan. "Kenapa, kok tidak di makan? Apa kalian tidak suka?" Tanya Tante Ayyala. "Eh, kami suka kok, Tan." Jawabku kaku. "Kok Tan, sih? Panggil saja aku Ayyala." Ucapnya tersenyum. Aku mengangguk patah-patah. Bagaimana bisa kami memanggil orang yang lebih tua dari kami, kami panggil nama. "Ayo, dimakan!" Dia tersenyum, aku mengangguk. Ghina menatap ku dengan tatapan menolak. "Biar aku yang coba dulu." Aku tersenyum ke arah nya. Aku menyendok kan sedikit saja ke dalam mulut ku. Wajah ku tiba-tiba cerah. Ini sangat enak! "Ghin, kamu coba dulu , enak banget loh!" Aku menyuruhnya dengan semangat. Dia mengangguk ragu-ragu, aku menoleh ke samping, ternyata Rayn sudah habis setengah nya saja. Yang lain juga sudah makan. "Bagaimana?" Tanyaku menatap Ghina. "Ini sangat enak, rasanya susah di deskripsikan, aku tidak tahu ini sup, atau apa, tapi ini sangat lezat!" Serunya antusias. "Benar kan? Apa aku bilang." Aku tersenyum, ikut menghabiskan makanan ku. "Sepertinya kalian lapar sekali, kalian tadi makannya lahap sekali." Wajah kami memerah, karena ketahuan kalau kami sangat lapar. Ayyala tertawa. "Eh, nonton yuk!" Ajak Annea. "Eh, oke." Kami pergi menuju ruang tengah, di sana terdapat benda berbentuk mangkuk atau cawan. "Sebentar!" Dia berjalan menuju benda itu. "Apa itu televisi nya?" Bisik Ghina. Aku mengangkat bahu. Dia seperti menekan panel-panel khusus. Dan saat dia selesai menekan panel-panel itu, layar seperti hologram muncul. Rayn di sebelah ku berdecak kagum. "Eh, kita mau nonton apa?" Tanya Vina bingung. Dan di terjemahkan oleh Angel ke Annea. "Kita lihat-lihat dulu." Jawab Annea. "Eh, sebentar!" Aku menahan Annea untuk terus mengganti siaran. Aku menghentikannya tepat di siaran berita terbaru. "Hey, kenapa kamu malah nonton berita sih?" Tanya Vino heran. "Diam dulu, kamu!" Aku menyuruhnya diam. "Coba kalian lihat!" Tunjuk ku ke arah televisi. Mereka menoleh ke arah yang ku tunjuk. "Lohha, untuk para penduduk Lottus! Saya reporter Anna akan menyiarkan siaran langsung dari istana dewan kota." Dia memperlihatkan istana yang sangat besar dan megah, tapi halaman nya sebagiannya sudah rusak seperti seseorang habis bertarung. "Disini saya meminta para penduduk untuk tetap di rumah, karena buronan yang sedang di incar sudah kembali dan sudah menguasai istana ini." Dia melihatkan pare penjaga istana pada tumbang. Di sana sebagian besar luka-luka, ada juga yang tewas. "Sekarang buronan itu akan menguasai stasiun kereta Lottus, dan pustaka utama Lottus, para patroli sedang memeriksa seluruh orang yang ada di ke dua tempat tersebut, karena mereka sedang mencari orang yang menurut kalian yang pantas di curigai, kalau tidak ada yang bisa mengaku, akan di beri sanksi yang sangat berat. Jadi, saya mohon untuk..." Suara reporter itu terputus, karena televisi nya di matikan oleh papa Annnea. "Anne, tolong bawa mereka ke kamar, sekarang!" Papa nya menatap tajam ke arah anaknya. "Baik, pa." Balas Annea menunduk. "Kalian, sudah saatnya untuk istirahat." Pria muda itu menatap kami. Kami mengangguk patah-patah. "Maaf soal papa ku tadi, ya? Papa ku bukan jahat, papa sedang banyak masalah di tempat kerjanya, ayahnya juga di isolasi di rumahnya, hanya orang yang di izinkan masuk baru boleh. Itu yang membuat papa banyak pikiran dan sedikit kasar." Dia menunduk meminta maaf kepada kami. "Sudahlah, tidak apa. Santai saja." Ucap Vina tersenyum dan di terjemahkan oleh Angel ke Annea. "Makasih. Oh ya, ngomong-ngomong soal berita tadi, orang yang di incar itu pasti kalian kan?" Tanya Annea memastikan. "Soalnya hanya kalian orang yang datang tiba-tiba, dan terlihat aneh." Lanjutnya. Kami terdiam, bagaimana dia bisa tahu? Tapi mungkin sepertinya dia bisa di percaya, baiklah saatnya mengakui yang sejujurnya. "Iya, kami memang bukan dari planet ini, kami dari bumi." Jawabku. Dia sedikit kaget, hanya sedikit. "Ternyata di buku sejarah yang ada di perpustakaan milik kakek ku ternyata benar." Gumamnya. "Aku memang suka sejarah, tapi aku tidak pernah percaya kalau bumi dan planet lainnya memiliki kehidupan."lanjutnya. Eh, ternyata pemikiran penduduk planet ini sama dengan pemikiran penduduk di bumi. "Eh, ternyata pemikiran mereka sama dengan kita." Bisik Ghina. Aku mengangguk setuju. "Kalau seperti ini, berarti kalian dalam bahaya, aku nanti akan bicara dengan mama dan papa ku." Aku mengangguk. "Sekarang kalian istirahat!" Kami mengangguk, berjalan menuju tempat tidur yang sudah di sediakan oleh mereka. Tempat tidurnya memang nyaman, tapi aku terus gelisah, entah karena orang tua aneh itu sudah tahu keberadaan kami, entah karena aku belum terbiasa tidur di tempat tidur berbentuk mangkuk atau cawan ini. Tapi, tidak lama kemudian mata ku berat, sebelum kesadaran ku habis total, aku masih sempat menatap teman-teman ku, mereka sudah pada tidur pulas, aku tidak tahu keadaan dua teman laki-laki ku itu, entah ngapain mereka di sana. Aku tersenyum kecil, dan akhirnya aku tidak bisa menahan kantuk ku lagi, akhirnya mataku terpejam, kami sangat lelah, kami memang sangat membutuhkan istirahat yang banyak. Lengang, hanya terdengar suara hewan malam. Aku tidak menyangka apa yang akan terjadi besok pagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD