BAB 4

1620 Words
            Seperti yang Nat duga, Cleo tersenyum manis pada Ramon. Senyum yang cukup lebar untuk memperlihatkan glitter yang tertempel pada gigi-giginya. Bersikap manis dan anggun layaknya seorang Ratu. Sesekali bercanda dan Ramon menimpali candaan Cleo yang luar biasa garingnya. Selera humor Cleo memang buruk!             Nat menggeleng tak percaya setelah peristiwa pertemuan tak sengaja antara dirinya dan Ramon di kafe itu bersama Cleo. Yang lebih tak dipercaya lagi adalah Ramon dengan gaya diktator menyuruhnya ikut pergi bersama Ramon. Dia sudah berada di dalam mobil mewah Porsche Cayman merah milik Ramon.             “Temanmu itu lumayan juga ya,” ujar Ramon yang sukes membuat pupil Nat melebar seraya melirik pada Ramon.             Lumayan. Maksudnya apa? Lumayan untuk diajak main-main ke dalam kamar?             Nat menggeleng, mencoba membuyarkan pikiran negatifnya. Kenapa sejak bertemu Cleo pikirannya selalu negatif sih?! “Maksud kamu lumayan untuk diajak kencan gitu?” tanya Nat curiga.             Ramon menyalakan mesin mobilnya dan menatap Nat sekilas. “Lumayan cantik.”             “Oh, jadi karena dia cantik kamu akan mengajak dia kencan begitu?” Ada tekanan dalam nada suara Nat.             Ramon mengernyit heran dan menatap Nat seakan Nat belum minum obat waras. “Kamu ngomong apa sih? Kan katanya dia model terus suka sama kegiatan amal yang sering diadakan di hotel mewah. Perpaduan yang bagus kan antara fisik dan kepribadian.”             Nat malah merasa gelisah, geli sekaligus lucu. “Omong kosong! Model apa sih, pemotretan aja nggak pernah. Kegiatan amal macam apa yang diadakan di hotel mewah kecuali bagi kaum jet set. Bantu sahabatnya yang terlilit hutang aja nggak pernah apalagi ikut kegiatan amal. Ya, mungkin kegiatan amal sebagai pajangan untuk menarik kaum p****************g berdonasi.” Cerocos Nat.             Ramon tersenyum. Dia tidak pura-pura bodoh. David pun bisa tahu kalau Cleo itu tipikal wanita yang selalu berkata baik soal dirinya, namun belum tentu yang dikatakan olehnya itu benar. Ramon hanya berpura-pura dan dia senang melihat ekspresi Nat yang seperti singa betina kekurangan makanan. Dan kalau Ramon melihat tubuh Nat yang kurus—Nat benar-benar mirip singa betina kurang gizi.             “Sebenarnya kita mau kemana?” tanya Nat mengalihkan perhatian dan ucapannya tentang Cleo dan tentang pikiran negatif sialannya.             “Ke konsoler pernikahan.”                                                      Nat tercengang. “Konsoler pernikahan?”             “Ya.”             “Buat apa?”             “Buat konsultasilah.”             “Konsultasi tentang apa?”             “Pernikahan kita.” Jawab Ramon santai sambil menoleh pada Nat.             Dalam hati Nat mengumpat dan menyebut semua teman-temannya dari kebun binatang.             “Aku nggak setuju soal pernikahan, Ramon.”             “Nggak bisa. Mau nggak mau, kamu harus nikah sama aku. Aku udah lunasin hutang kamu ke mantan kamu yang sinting itu.” Ramon menatap tajam Nat. “Dan itu jumlahnya nggak sedikit, Nat.” Lanjutnya dengan nada tajam.             Nat mengkerutkan tubuh pada sandaran jok mobil. “Aku nggak bisa nikah tanpa ada perasaan cinta.”             Ramon menghentikan mobilnya secara mendadak hingga kepala Nat nyaris terkena dashboard. “Kamu apa-apaan sih?!” gerutunya kesal.             Nat menatap Ramon heran.             “Kamu pikir aku cinta sama kamu gitu, jadi aku ngajak kamu nikah?”             Nat mengangguk polos. Kemudian menggeleng cepat. “Tapi kamu pasti punya motif tertentu.”             “Seantreo Singapur tahu soal skandal kita dan aku nggak nikahin kamu? Bahkan orang tua aku pun tahu soal ini. Apa kata mereka kalau kamu bukan kekasih aku? Tidur dengan kekasih aja di Indonesia udah dianggap nggak bermoral apalagi tidur dengan wanita asing yang dikenal hanya dalam waktu satu malam.”             Nat menatap Ramon dengan tatapan setengah menantang dan setengah ketakutan. Nat membuka kedua daun bibirnya dan hendak berkata bahwa sebenarnya mereka tidak tidur sama sekali. Dia hanya mengambil gambar setelah membuka kemeja Ramon yang tertidur pulas. Dan yang mengambil gambar pun Alpha. Tapi, Nat urung. Ramon pasti akan murka kalau dia tahu yang sebenarnya bahwa dirinya hanya dijebak oleh seorang wanita yang terlilit hutang dengan mantan kekasih berengseknya.             Beberapa menit berlalu dan mereka berhenti di depan rumah sakit swasta. Mata Nat semakin menyipit (karena matanya memang sudah sipit) dan menoleh pada Ramon yang santai sembari memarkir mobilnya. “Katanya mau ke konselor pernikahan?”             “Mau ke dokter gigi dulu.” Jawabnya acuh tak acuh.             Nat memutar bola mata jengah.             “Kenapa sih giginya? Bolong?”             Ramon menggeleng. “Sakit sedikit.”             Tiba-tiba ponsel Ramon berdering. Tertera nama dilayar, David.             “Ya, halo, Vid. Kenapa?” tanya Ramon dan Nat hanya menatap pria yang mengajaknya menikah itu.             “Apa? Kakek di rumah sakit? Sakit jantung Kakek kambuh?” ***             Ramon membatalkan semua rencananya termasuk pergi ke konselor pernikahan dan dokter gigi—saat David menelponnya dan memberitahu kalau Kakek sakit. Ramon akan pergi ke Indonesia dan langsung mengantar Nat pulang ke rumah. Nat melihat kekhawatiran di wajah Ramon. Entah kenapa melihat kekhawatiran di wajah pria itu membuat Nat seakan ikut merasakan apa yang Ramon rasakan. Nat tidak punya siapa pun bahkan melihat wajah kakeknya pun Nat tidak pernah. Dia hanya tahu wajah alamarhum ibunya dan ayahnya yang pecandu alkohol itu.             Saat sampai di depan rumahnya, Nat menatap Ramon dengan ekspresi bersimpati. “Kalau udah sampai ke Indonesia kabarin aku ya.” Kata Nat tulus.             Ramon tersenyum. Bukan hanya bibirnya, matanya pun menampakkan senyum. Bulu matanya yang lentik dan lesung pipitnya yang dalam dan menawan. Nat tidak bisa mengabaikan pemikat Ramon itu. Dan Nat tak pernah tahu bahwa Lanna pernah menyukai Ramon karena dua keindahan yang ada di wajah Ramon itu.             “Sampaikan salamku ke orang tuamu ya. Kamu kan calon istriku, mereka harus mengenal calon suami anaknya.” Kata Ramon agak cuek karena matanya fokus pada hal lain yang entah dia hanya berpura-pura fokus atau dia memang benar-benar mencari sesuatu.             Dahi Nat mengernyit. Dia tidak berkata apa pun dan memilih keluar dari mobil. Sebelum melesat masuk ke dalam rumah, Nat kembali berkata, “Hati-hati.” Ujarnya dengan nada suara dalam seakan Ramon akan pergi ke tempat yang jauh. Teramat jauh hingga Nat tidak bisa menjangkaunya. Padahal perjalanan yang ditempuh Ramon hanya membutuhkan waktu satu jam untuk sampai ke Indonesia. Ramon bilang dia pergi ke Indonesia menggunakan jet pribadi salah satu temannya. Seorang kaya raya keturunan chinesse. Salah satu keluarga terkaya di Singapura.             Ramon mengangkat jari jempolnya. “Oke,” katanya.             Di kamar Nat berbaring di atas ranjangnya. Permukaan bed cover ungu dengan motif garis-garis melengkung aneh yang cukup kasar dan semut-semut kecil yang berkeliaran. Nat menggaruk kulit tangannya karena gigitan semut hingga memerah. Bed covernya kotor dan kasar. Nat membelinya di pasar loak dan itu bekasan. Dan satu-satunya bed cover yang dimiliki. Kulit Nat memang agak sensitif semacam alergi. Bahkan ketika kecil dulu kulitnya sering memerah hanya karena olahraga pagi di sekolah.             Nat memejamkan mata. Dia membayangkan menikah dengan Ramon. Hidup enak dengan fasilitas mewah yang tersedia. Tinggal di rumah mewah dengan lampu berpendar-pendar indah. Setiap bulan bisa liburan ke luar negeri. Nat akan mengunjungi negara-negara  Eropa dan Asia. Bisa belanja barang branded di Orchad Road. Memasuki berbagai macam butik ternama di dalamnya; Prada, Manggo, Zara. Menikmati makanan enak di restoran mewah yang sering dikunjungi para ‘Crazy Rich Asians’. Restoran dengan hidangan western menikmati pancake dengan ayam goreng yang enak. Nat akan cepat dikenal publik Singapur sebagai istri pria Indonesia yang kaya. Cleo akan sering mengunjunginya dan bergosip soal wanita-wanita sosialita yang selalu mengejar pria kaya. Memuji keberhasilan Nat mendapatkan Ramon. Meminta Nat mendoakannya agar dia segera menikah dengan pria kaya seperti dirinya. Ah, enaknya hidup ini! Hidup dengan penuh kemewahan tanpa perlu bekerja keras karena Ramon akan memberikan uang jatah bulanan yang banyak atau mungkin sangat banyak.             Nat teringat novel Crazy Rich Asians. Dia tidak membaca sampai selesai dan dia juga tidak menonton film yang diadaptasi dari novel Kevin Kwan itu. Dia hanya melihat trailernya saja sekilas. Ya, sepertinya Nat mulai berangan-angan hidup di kalangan kaum jet set. Nat membuka mata secepat kilat, memelotot ke atap dan menggeleng dengan cepat.             “Berhentilah berkhayal, Nat.” Gumamnya pada diri sendiri.             “Khayalan selalu berbeda jauh dari realita.” Imbuhnya dengan nada ironi.             Nat bangkit, mengganti celana jeans dan blouse putihnya dengan celana pendek longgar dan kaos biru tua. Rumah Nat tidak besar. Hanya ada dua kamar tidur, satu ruang keluarga, satu toilet yang bersebelahan dengan dapur, dan ruang tamu. Cat rumahnya sudah mulai retak. Apalagi cat di toilet kumuh yang mulai berlumut. Nat jarang membersihkan toilet.              “Nat,” suara ayahnya menggelepar.                                 Nat berdiri di depan pintu kamarnya, menyenderkan sebelah kanan tubuhnya pada kayu pembatas pintu dan melipat kedua tangannya di tangan.             “Tristan bilang hutangmu sudah lunas.” Perawakannya yang tinggi dengan tubuh kurus kering mirip seperti tiang. Kepalanya botak dan memiliki wajah yang selalu masam. Nat sangat malas menatap wajah masam ayahnya itu. Usianya baru 55 tahun tapi dia terlihat seperti 68 tahun karena gaya hidup yang tidak sehat. Rokok dan alkohol.             “Ayah bertemu Tristan di mana? Klub?”             “Tristan mau bayarin Ayah minum. Jadi Ayah nurut sama dia. Tristan cerita kalau sekarang pacar kamu pria kaya, orang Indonesia.”             “Dia temen Alpha.”             “Tristan juga ngasih tahu foto kamu tidur sama pria Indonesia itu.”             Nat terdiam.             Terkadang ada binar cerah di mata ayahnya saat menyebut ‘pria kaya’ tapi binar cerah itu lenyap dalam beberapa detik saja berganti dengan wajah sedih. Apalagi setelah Tristan memberitahu soal foto Nat dan Ramon. Sebenarnya sangat menyakitkan bagi Ayah mengetahui ini semua. Tapi kecanduannya pada alkohol membuat dia lebih memilih egonya dibandingkan kebahagiaan putrinya. Tristan memanfaatkannya dan Ayah juga memanfaatkan Nat dan Nat memanfaatkan Ramon dan Ramon memanfaatkan Nat demi tujuan tertentu yang sampai sekarang masih menjadi teka-teki.             “Kapan kamu akan menikah dengan pria itu? Tristan bilang pria itu sudah menyebutmu sebagai calon istrinya.”             Nat tersentak mendengar pertanyaan tak terduga dari ayahnya itu. Dia membuka kedua daun bibirnya tapi semua kosa kata tertelan di tenggorokannya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD