None

1183 Words
Rere terus saja menempel padanya seperti lintah meskipun berulang kali Eka berusaha menyingkir. “ Aku cemas padamu. Apa kamu tidak sadar siapa yang kamu tabrak kemarin. Itu tuan Bumi, Eka. Aku takut kejadian buruk akan menimpamu.” Eka menatapnya datar, gadis satu ini lebay sekali. Buktinya tidak terjadi apapun padanya sampai detik ini. Dengan malas Eka berlalu dari hadapan gadis satu itu, Rere masih saja setia membuntuti. “ Tidak ada yang terjadi. Menjauh sana!” “ Kamu menyuruhku menjauh sedangkan tidak ada satupun yang mau berteman denganku disini.” Gadis satu itu meremas ujung seragam miliknya dengan menundukkan kepala. “ Baiklah kalau itu maumu. Terima kasih karena selama ini masih mau ditempeli lintah sepertiku.” Mata itu merebak seperti ingin menangis. Dengan senyum polosnya Rere mengambil nampan makannya, berniat pergi dari hadapan Eka. Eka mengumpat dalam hati, apakah yang dilakukannya ini termasuk tindakan Bullying?! “ Memangnya aku menyuruhmu pindah meja? Aku hanya berkata menjauh.” “ Apa?” “ Posisi seperti ini tidak nyaman buatku. Pindah kedepan!” tunjuk Eka pada bangku didepannya. Baiklah Rere paham. Senyum itu terbit lagi dengan cepat dia pindah duduk didepan Eka dan memakan makan siangnya kembali. “ Adikku telah keluar dari rumah sakit. Apakah kamu mau menjenguknya?” mata polos itu menatap Eka penuh harap.” Dia ingin bertemu dengan salah satu teman kerja kakaknya ini. Mau ya?” “ Ayolah hanya sekali. Dia harus tahu kalau kakaknya punya teman yang cantik.” “ Iya.” Baiklah hanya kali ini saja. “ Bagus sekali, besok sore ku jemput setelah itu kita jalan- jalan!” perubahan mood yang sangat cepat pada Rere sudah menjadi hal wajar di mata Eka kini. Dengan cepat gadis itu menghabiskan makan siangnya dan bersama kembali ke gedung produksi. Hari ini schedule eksport mingguan dan kuota dari packing masih kurang sekitar 1000 pcs sepatu. Baiklah ini namanya kerja sangat keras, belum lagi barang untuk yang masih berada di Line. Sialan kalau management dari para Supervisor seperti ini terus, mereka akan selamanya tersiksa dengan lembur sukarela yang selalu mereka jalani dan sepertinya Tuan Bumi yang terhormat itu tidak mau tahu apa yang sedang terjadi sebenarnya di produksi. Itu buruk sekali. Dan benar saja jam berdentang jam 23.00 dan proses QC belum usai, raungan amarah dari Kepala packing terdengar dengan keras pasalnya ada barang yang belum masuk kedalam sana dan masih tercecer di Line serta di QC. “ Memangnya kalian mau pulang jam berapa?! Apa sekalian saja kalian tidak usah pulang dan tidur disini!” suara keras dan gebrakan meja itu mengagetkan beberapa anak QC yang kebetulan berada didekatnya. Dan dari sudut mata Eka yang tajam, Rere terlihat cemas berulang kali dia mengamati jam digital yang terpasang didinding. “ Adikku dirumah sendirian.” Ucapnya pelan. Baiklah Eka mengerti itu terlebih lagi adik gadis satu ini baru sembuh dari sakit tapi gadis itu tidak berani untuk izin pulang terlebih dahulu. Tanpa pikir panjang, Eka meninggalkan meja kerjanya dan menghadap Supervisor yang tengah stock opname tersebut. “ Cantik.” supervisor berjenis kelamin pria itu mengerjap, menatap Eka sepersekian detik dengan kagum. ” Maksud saya, Ada apa Eka?” pria itu berdehem, menyadari aksi anehnya itu. “ Apakah bisa, anak produksi yang punya anak kecil dipulangkan saja. Lagipula dari data stock opname yang tadi bapak berikan tadi hanya perlu beberapa belas pcs saja, kan?” “ Iya memang benar.” “ Bagus. Berarti beberapa orang bisa pulang sekarang.” Gadis itu berlalu begitu saja. Lalu mulai merapikan meja kerjanya yang kosong. “ Apa yang kamu lakukan?” Rere menatap gadis yang mulai mengambil pengki dan sapu itu. “ Bersih- bersih. Ingat Deka dirumah sendirian sekarang.” Seakan teringat sang adik Rere lalu ikut membersihkan area kerjanya, meskipun beberapa pasang mata menatap keduanya. “ Tunggu apa yang kalian lakukan?” Supervisor itu mendekati Eka. “ Bersih- bersih. Bukankah tadi anda bilang bahwa barang hanya kurang beberapa belas pcs dan kami yang punya tanggungan anak kecil bisa pulang.” “ Tapi bukan seperti itu maksudnya. Quota eksport belum mencukupi.” “ Ada berapa orang disini yang punya anak dibawah usia 10 tahun?” Suara Eka mengalun keras. Beberapa karyawan wanita langsung angkat tangan dengan segera. Dengan cepat Eka menghitung jumlah karyawan yang single disini. “ 6 orang tersisa dari bagian QC , packing dan termasuk Anda. Bukankah itu cukup. Terlebih lagi barang dari Line sudah tersedia sekarang.” Tunjuk Eka pada salah satu meja dengan dua orang QC. “ Jadi kami bisa pulang sekarang.” “ Baiklah yang angkat tangan tadi bisa pulang.” Putusnya setelah bersiborok dengan manic abu itu. Dan pria satu itu tidak bisa berkata- kata lagi terlebih lagi dia merasa diintimindasi. Setelah seharian bekerja tanpa lelah akhirnya wanita satu itu bisa juga merasakan namanya rebahan dan dengan cepat manic abu itu tertutup dan terbang kealam mimpi. Hari itu adalah hari tersiang bagi Eka untuk membuka matanya. Perlahan mata itu menyesuaikan bias cahaya dari sang mentari sebelum beranjak membersihkan diri. Dengan perlahan gadis itu berselancar di dunia maya, mencari Klinik serta rumah sakit di daerah Bandung yang luas ini kemudian mencatatnya dalam note, hari libur seperti ini harus dipergunakan dengan baik. Dan ketukan pintu yang terus menerus terdengar itu membuat Eka bangkit dan membuka pintu. Seulas senyum lebar terpasang disana. “ Hai!” sapanya riang. “ Aku bawa Deka.” Tunjuknya pada anak laki- laki berusia 7 tahun. “ Hai kakak.” Sapanya riang pada Eka yang menatapnya tajam. “ Kami boleh masuk?” Eka belum menjawab pertanyaan itu tapi dengan semangatnya Rere mendorong tubuh Eka dan masuk kedalam rumah mungil itu. “ Mandilah, kami akan menungumu dengan tenang.” Usir Rere. Tanpa kata, Eka langsung masuk kedalam kamarnya dan bersiap diri. Hanya butuh waktu 30 menit bagi wanita satu itu untuk mandi dan bersiap diri, sedangkan wajahnya yang memang sudah bagus dari lahir, hanya dibubuhi dengan bedak tabur dan sedikit liptint supaya bibirnya tidak pucat. Ketiganya langsung berangkat dengan menggunakan taksi yang dipesan oleh Rere dan berhenti disalah satu Mall terbesar disana. Dengan semangat Deka menggeret dua wanita dewasa yang menggandeng tangannya itu ke area time Zone. Berbagai permainan ketiganya mainkan tanpa peduli tatapan beberapa mata yang menatap dua wanita dewasa yang tak punya malu itu bergoyang dengan gila diatas mesin dance. Selesai dengan time Zone, ketiganya memutuskan untuk nonton film. Ketiganya berjejer menatap satu persatu poster yang terpasang. Senyum bodoh Rere kembali terpampang saat menatap poster film romantic. “ Kita menonton film ini.” Putus Eka setelah melihat poster animasi. Dengan berat hati mengikuti langkah kedua orang itu untuk membeli tiket. Dan selama 60 menit kedua wanita dewasa itu berbaur dengan anak dibawah umur. Berulang kali Rere mengumpat dalam hati, menyesal mengajak Deka pergi nonton, dia tidak suka film seperti ini, dia ingin yang romantic. Sedangkan Eka, gadis iu fokus pada layar besar itu dengan memakan popcorn-nya, terlihat menikmati film animasi itu. Ketiganya keluar dari gedung Bioskop setelah 60 menit kemudian. Dengan riang Deka kembali menceritakan film anak yang barusan mereka tonton tadi pada Eka dan Rere yang hanya cemberut. “ Aku lapar!” bocah itu menunjuk lantai dibawah mereka yang khusus untuk menjual makanan. “ Ok kita makan.” Jawab Eka sekenanya. Mata abu itu berpendar mengamati keadaaan Mall yang bisa dikatakan sangat ramai saat weekend. Mungkin ada sekitar puluhan ribu manusia yang berada digedung bertingkat ini. Mungkinkah, mamanya berada diantara puluhan ribu manusia itu. Mana mungkin, mamanya bahkan masih koma tapi entah dimana keberadaannya. Dan mata abu itu menangkap mangsanya. Sosok itu berada dua lantai dibawahnya, memakai terusan berwarna navy berjalan dengan anggun dengan membawa beberapa barang belanjaan. Seulas senyum yang dulu sangat Eka sukai itu terpasang tatkala beberapa anak yang berlarian menabrak tubuhnya tanpa sengaja. Mama?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD