2. Keluarga Lain

1171 Words
Ini adalah hari pertama Bian menginjakkan kaki di Bali. Laki-laki itu keluar hotel dengan senyum lebar. Sudah tidak sabar untuk bertemu Aycel. Di depan sana sudah ada mobil yang menunggu. Bergegas laki-laki itu berjalan mendekat dengan kedua tangan penuh menenteng paper bag. Dibelakangnya berjalan seorang sopir yang turut membantu menggeret kedua koper Miliknya. "Langsung ke rumah saja ya pak!" perintah Bian saat sudah duduk di kursi penumpang. Pandangan laki-laki itu mengarah ke arah luar jendela. Menatap rintik-rintik hujan yang mulai jatuh membasahi aspal jalan. "Iya tuan." Bian membalas dengan anggukan singkat. Laki-laki itu merogoh saku celana, mengambil benda pipih yang sejak tadi bergetar namun ia abaikan. Bian membuka kolom pesan dan mendapati pesan menumpuk serta panggilan tak terangkat dari sang istri. Laki-laki itu membalas singkat dan kembali memasukan benda pintar itu ke dalam saku kemeja. Saat mobil berhenti di sebuah rumah bercat putih, Bian segera keluar dan berjalan memasuki bangunan megah itu dengan langkah lebar. Tepat saat pintu terbuka laki-laki itu mendapati Aycel tengah bermain sendirian di ruang tengah dengan televisi yang menyala. Gadis kecil itu tampak tekun hingga tidak menyadari kehadirannya. Bian yang ingin memberikan kejutan segera berdehem pelan. Laki-laki itu tersenyum geli saat pekik terkejut keluar dari bibir tipis putrinya. Kedua tanganya sudah terentang lebar, siap menerima pelukan gadis tujuh tahun itu yang kini berlari kencang ke arahnya. "Acel kangen banget sama ayah. Kenapa baru datang sekarang?" Bian menarik kedua sudut bibir ke atas. Laki-laki itu mencium kening putrinya sayang sebelum menjawab pertanyaan yang gadis cantik itu ajukan. Memang sebelumnya ia berjanji akan datang dalam waktu seminggu setelah kepulangannya ke Jakarta . Namun ia baru bisa tiba di rumah setelah telat dua hari dari waktu yang sudah dijanjikan. "Ayah masih harus menyelesaikan pekerjaan dulu kemarin, jadi baru bisa sampai rumah hari ini. Aycel gak marah kan sama ayah?" Gelengan ringan yang terasa membuat Bian tersenyum kecil. Ia tahu putrinya tidak akan bisa marah terlalu lama dengannya. Laki-laki itu membawa sang putri duduk di atas sofa saat lelah berdiri dengan tubuh Aycel yang berada dalam gendongannya. Tak berselang lama Rere datang dengan tiga gelas teh hangat dan setoples kue kering. Perempuan itu melemparkan senyum hangat sebelum ikut duduk di samping anak dan suaminya. "Aku gak nyangka mas bakal datang secepet ini." "Mas tahu kamu udah kangen makanya mas datang lebih cepet, tapi nggak buat Aycel. Putri kita sempet marah karena mas telat datang," goda Bian dengan kerlingan mata menggoda. Lelaki itu berucap lirih karena takut akan terdengar putrinya. Rere sendiri mengangguk dengan senyum malu-malu. Perempuan itu mengenggam jemari suaminya yang bebas dan mengelusnya dengan lembut. "Bagaimana kabar yang di sana? Apa akan baik-baik aja kalau mas sering menginap di luar akhir-akhir ini?" "Semuanya baik. Gak ada yang perlu dikhawatirkan." Rere menaikkan alis dengan pandangan memicing. Masih belum puas dengan jawaban sang suami. Lebih tepatnya perempuan itu tidak percaya dengan yang suaminya katakan. "Mas pergi dengan alasan kerja jadi gak mungkin ada yang curiga," ungkap Bian menenangkan. Karena alasan itulah yang selalu ia gunakan saat datang mengunjungi Rere dan putrinya di luar kota. Laki-laki itu tahu istrinya tengah mengkhawatirkan sesuatu. Dan hanya dengan kalimat penenang lah yang bisa sedikit mengurangi kecemasan perempuan itu. Sedangkan Rere memilih mengangguk mengerti. Perempuan itu berpindah duduk di samping sang putri yang sejak tadi asyik bermain barbie, sama sekali tidak mempedulikan kedua orang dewasa di sampingnya yang tengah sibuk berbincang. Rere mengambil alih Aycel ke dalam pangkuan dan menimbulkan protes kecil yang gadis itu keluarkan. "Bunda. Acel mau dipangku ayah aja. Acel masih kangen sama ayah," tolak Aycel sebelum bangkit dan pindah duduk di pangkuan sang ayah. Rere sendiri menggeleng menolak keinginan sang putri. Perempuan itu tetap memangku Aycel walaupun sempat mendapat penolakan. "Ayah kan baru pulang kerja sayang, masih capek. Jadi Aycel sama bunda aja ya?" Rayuan lembut itu membuat Aycel mengangguk setuju walau pun dengan bibir mencebik kesal. Namun biarpun begitu gadis kecil itu hampir tidak pernah menolak perintah sang mama. Sama seperti sekarang. Aycel anak yang penurut. Tak sekalipun menuntut banyak kepada orang tuanya. Bahkan gadis kecil itu tidak pernah memaksa sang ayah untuk segera pulang saat laki-laki itu tidak datang ke rumah selama bebulan-bulan walaupun sesekali merajuk seperti kali ini. "Ayah, jadi kan ajak Aycel sama bunda liburan?" "Jadi dong. Memangnya Aycel mau liburan kemana?" tanya Bian penasaran. "Kalau Aycel minta gak jadi liburan tapi mau ajak ayah sama bunda ke tempat lain aja gimana?" Bian tampak menimang kemudian mengangguk kecil. Laki-laki itu menatap lamat wajah sang putri yang kini menampilkan keraguan. "Aycel?" panggi Bian saat tak mendapat jawaban apapun dari sang putri. "Tapi ayah janji gak boleh marah?" Bian kembali mengangguk. Memilih menurut karena cukup penasaran dengan kalimat yang akan putrinya ungkapkan. "Mau ke Jakarta, ke rumah kakek sama nenek. Apa sudah boleh ayah? Aycel pemgen ketemu mereka." Bian teridam, tidak tahu harus menjawab apa. Ini sangat sulit untuknya. Putrinya sudah pernah mengajuakn permintaan ini namun ia tidak memiliki keberanian untuk mengiyakan dan saat ini pun ia juga belum berani mengabulkan keinginan sang putri. Ada banyak hal yang dirinya pertimbangkan. Salah satunya adalah hati kedua orang di dekatnya ini yang harus ia jaga. Juga istri dan anaknya yang lain. "Kalau kita liburan ke tempat lain aja gimana?" tawar Bian hati-hati. Tak ingin membuat gadis kecil itu bersedih karena penolakan. Namun raut sendu yang putrinya tampilkan sudah menjawab semuanya. Gadis kecil itu jelas kecewa dengan jawabannya. "Tapi Aycel mau ke Jakarta Ayah." Rere yang sejak tadi menjadi pihak pendengar kini tidak bisa lagi hanya diam. Perempuan itu memeluk tubuh sang putri dari samping. Berusaha untuk menenangkan hatinya sendiri yang turut merasakan kecewa mendengar jawaban sang suami. Namun ia tidak boleh menujukkan kesedihan di depan sang putri, pun ia tak boleh egois. "Gimana kalau ke kebun binatang yang di Jogja. Aycel katanya mau lihat gajah kan?" Harap cemas Rere mananti jawaban sang putri. Dan anggukan pelan yang Aycel keluarkan berhasil membuat Rere tersenyum lega. Perempuan itu semakin mengeratkan pelukan. Berterima kasih dengan pemakluman yang selama ini putrinya berikan. "Sekarang biarin Ayah bersih-bersih dulu ya. Aycel bantu bunda siapin makan malam, mau?" "Mau. Ayo bunda." Aycel menggeret tangan sang bunda berjalan menuju dapur. Raut sedih yang tadi bernaung di wajah cantik itu kini berganti dengan binar cerah dan senyum lebar. Namun tidak untuk Bian. Hati laki-laki itu merasakan perih karena lagi-lagi harus mengecewakan putrinya. Tak ada pilihan lain karena di keluarga besarnya tidak ada yang bisa menerima Aycel dan Rere seperti dirinya. *** Pesan dan panggilan yang tidak terbalas membuat Ayu dirundung cemas. Perempuan itu duduk di bibir ranjang dengan gelisah. Suaminya hanya membalas pesan sore hari tadi dan malam ini tidak ada lagi pesan yang masuk ke dalam ponselnya. Ayu jelas khawatir karena tidak biasanya Bian seperti ini. Apalagi sejak sore tadi ponsel laki-laki itu tidak bisa dihubungi. Ayu memghembuskan nafas panjang. Perempuan itu akan kembali melakukan panggilan namun urung saat suara langkah kaki kecil sang putri terdengar mendekati kamar. Ini sudah masuk jam tidur putrinya. Dan Ayu jelas memilih menidurkan Ila terlebih dahulu sebelum kembali menghubungi nomor sang suami. Setidaknya ia membutuhkan jawaban Bian untuk menenangkan kekhawatiran yang semalam ini menganggu pikirannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD