Bab 7 - Buang Jauh-jauh Perasaanmu

1736 Words
Raut wajah sedih bercampur kecewa terlukis di wajah Krystal saat ini. Dengan langkah gontai gadis itu menyusuri jalan sepanjang Distrik Mission. Ia khawatir dengan keadaan Airin. Adik seayahnya itu pasti akan panik jika tidak bertemu dengannya. Krystal sudah terlalu lama meninggalkan Airin di sana seorang diri. Ryan berjalan mengikuti Krystal. Pemuda itu telah mengetahui permasalahan yang sedang dialami gadis itu. Ia benar-benar tidak menyangka jika Paul akan setega itu memperlakukan Krystal. Kabar mengenai kondisi kesehatan Airin juga cukup mengejutkan Ryan. Padahal ia baru saja pergi bekerja seminggu, tetapi telah terjadi masalah besar seperti ini. Ia dapat melihat kekhawatiran dalam diri Krystal. Meskipun gadis itu tidak menunjukkan hal tersebut di hadapannya, tetapi Ryan paling tahu seperti apa kedekatan Krystal dengan adik satu ayahnya tersebut. Selama ini Krystal yang selalu melindungi Airin dan Ryan selalu melihatnya dengan jelas. “Tenanglah, Krys. Pasti ada cara untuk menyembuhkan Airin,” hibur Ryan seraya menggenggam tangan Krystal. Langkah Krystal terhenti. Ia menoleh dan memaksakan seulas senyuman di wajahnya. “Terima kasih, Ryan,” cicitnya seraya melepaskan genggaman tangan pemuda itu, lalu kembali melanjutkan langkahnya. Ryan mengembuskan napasnya perlahan. Ia tahu jika ucapannya tidak akan bisa menyelesaikan permasalahan apa pun. Akan tetapi, tidak ada hal lain yang bisa dilakukannya sekarang selain memberikan dukungan kepada Krystal agar gadis pujaannya itu bisa menyadari bahwa ia akan selalu menemaninya dalam hal apa pun. Beberapa menit kemudian, keduanya tiba di rumah sakit. Namun, Krystal kembali dihadapkan dengan sebuah masalah yang pelik. Ketika ia baru saja memasuki ruangan tempat di mana Airin dirawat, tiba-tiba saja seorang perawat memanggilnya. Krystal diminta untuk menandatangani formulir persetujuan untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut terhadap pasien. Akan tetapi, Krystal juga diminta untuk memberikan sejumlah uang jaminan untuk dapat memulai rangkaian proses pemeriksaan tersebut. Krystal dapat memahami kesulitan rumah sakit. Pasalnya, Airin tidak memiliki jaminan kartu asuransi kesehatan sehingga pihak rumah sakit tidak dapat melakukan penanganan sesuai prosedur yang berlaku karena dikhawatirkan pihak keluarga pasien tidak bisa membayar biaya atas tindakan tersebut. Selama ini Roselia Hills—ibu kandung Airin—tidak pernah mengurus dan merawat putrinya selayaknya seorang ibu. Wanita itu bahkan tidak mengurus dokumen keluarga dengan benar sehingga tidak mengherankan jika nama Airin tidak tercantum dalam pencatatan kependudukan. Krystal benar-benar tidak tahu harus bagaimana lagi mengatasi hal tersebut. Tubuh Krystal terasa lemas. Saat ini pikirannya benar-benar kacau. “Maaf, apa bisa memberikan saya sedikit waktu? Saya mau melihat kondisi adik saya sebentar?” pinta Krystal. Perawat tersebut mengangguk, lalu membiarkan Krystal untuk mempertimbangkan hal tersebut. Sepeninggalan perawat tersebut, Krystal melangkah ke ranjang milik Airin. Di dalam ruangan tersebut terdapat lima pasien lainnya. Karena keterbatasan ekonomi, Krystal terpaksa memilih kamar dengan tipe terendah yang dimiliki pihak rumah sakit. Ia tahu jika Airin pasti akan merasa tidak nyaman berada dalam satu ruangan dengan orang asing. Sejak kecil Airin memang jarang bersosialisasi dengan sesamanya karena Roselia sering mengurung putrinya di kamar. Jika bukan karena Krystal, mungkin seumur hidupnya Airin tidak akan bisa melihat dunia luar. Akan tetapi, karena terlalu sering berada di dalam rumah, Airin sangat takut jika bertemu langsung dengan orang asing. Gadis kecil itu merasa lebih nyaman berada dalam kamarnya sendiri. Krystal benar-benar mengkhawatirkan Airin. Kondisi gadis kecil itu tidak terlalu baik. Tubuhnya terlihat lemah dan pucat. Meskipun demamnya telah menurun, tetapi Airin tampak tak berdaya di atas tempat tidurnya. Ryan yang senantiasa berada di sisi Krystal sejak tadi dapat melihat kesulitan yang dihadapi gadis itu. “Krys—” “Aku tau apa yang mau kamu katakan, Ryan. Tapi … aku tidak ingin terus-menerus berhutang padamu.” Krystal langsung menyela ucapan Ryan sebelum pria itu memulai pembicaraannya. Pandangan Krystal masih tertuju kepada sosok Airin yang saat ini sedang terlelap. Diusapnya kening adiknya dengan lembut. Hatinya terenyuh melihat ketidakberdayaan adik semata wayangnya tersebut, tetapi ia sendiri tidak mampu untuk melakukan sesuatu untuk meringankan rasa sakit yang dirasakan gadis kecil tersebut. “Jangan keras kepala, Krys. Aku tau kamu tidak mau membebaniku. Tapi, aku melakukan hal ini demi Airin. Mungkin sekarang yang bisa kubantu hanyalah untuk pemeriksaan awal, tetapi hal ini setidaknya jauh lebih baik daripada tidak melakukan apa pun, bukan? Kalau kamu tidak memerlukan bantuanku, apa sekarang kamu punya uang?” Ryan mencoba membujuk Krystal. Harga diri gadis itu memang terlalu tinggi untuk sekedar memohon padanya. Namun, sikap keras kepala Krystal akan membahayakan keadaan Airin sehingga Ryan memilih untuk lebih dulu menawarkan bantuan untuknya. Krystal terdiam. Ia tidak bisa menjawab Ryan karena tidak ada lagi yang tersisa dari dirinya. Gaji yang didapatnya beberapa hari yang lalu juga telah diambil Paul. Kalung peninggalan ibunya yang merupakan satu-satunya harapan juga sudah tidak ada lagi karena ulah kakak tirinya tersebut. “Lihatlah … Kamu sudah tidak memiliki apa pun, bukan? Apa lagi yang ingin kamu pertahankan dari sikap keras kepalamu itu?” Ucapan Ryan memang terdengar menusuk, tetapi pemuda itu tidak berniat untuk melukai hati Krystal. Ia hanya ingin Krystal sadar bahwa Krystal membutuhkan uluran tangan darinya. Sepasang manik mata emerald milik Krystal terpejam erat. Buliran bening yang menggenang di pelupuk matanya akhirnya bergulir turun membasahi kedua pipinya. ’Ryan benar … Apa lagi yang aku pertahankan dan sombongkan? Airin membutuhkan penanganan secepatnya. Aku tidak bisa menundanya lagi,’ batinnya. Pandangan Krystal beralih kepada Ryan. Ia segera menyeka air matanya dan tersenyum tipis. “Terima kasih, Ryan. Tapi, aku pasti akan mencari cara untuk mengembalikan uangmu secepatnya,” tukasnya. Sudut bibir Ryan terangkat tipis. “Kamu tidak perlu mengkhawatirkan keadaanku. Uang masih bisa aku cari. Lihatlah tubuhku dan ototku ini. Masih kuat, bukan?” ucapnya seraya menyombongkan otot lengannya kepada Krystal. Gadis itu terkekeh kecil, lalu suara kekehan tersebut perlahan menghilang. Krystal kembali memandang Ryan dengan sorot mata sendu. “Iya, kamu yang paling hebat. Tapi, aku tidak ingin menghabiskan uang hasil keringatmu. Semua itu jerih payahmu, Ryan. Dan aku tau kalau kamu juga memerlukannya,” timpalnya dengan penuh pengertian. “Kamu tau kan kalau aku tidak memiliki siapa pun untuk kunafkahi saat ini? Jadi … aku bebas menggunakan uangku untuk apa pun,” tutur Ryan dengan bangga. Krystal tersenyum mendengar ketulusan Ryan. Pemuda itu memang sebatang kara. Sejak kecil Ryan diadopsi oleh orang tua angkatnya, tetapi keduanya telah tiada dalam kecelakaan maut yang terjadi lima tahun yang lalu. Kini Ryan hidup hanya untuk dirinya sendiri saja. Akan tetapi, Krystal tidak ingin mengambil kesempatan dari orang baik seperti Ryan. Meskipun saat ini Ryan tidak memiliki kepentingan darurat, tetapi ia tahu jika Ryan bekerja siang dan malam mengumpulkan uang adalah untuk mendapatkan tempat tinggal yang lebih layak dibandingkan rumah peninggalan orang tua angkatnya saat ini. Apalagi usia Ryan sudah cukup untuk berumah tangga. Jika ia menemukan seorang gadis yang ingin dinikahinya, Ryan pasti membutuhkan sejumlah uang untuk mempersunting gadis itu. “Tidak. Hutang tetaplah hutang. Aku tidak akan mengambil kesempatan darimu. Aku tidak mau dinilai sebagai gadis yang tidak tahu malu dan terus menempel padamu seperti parasit, Ryan,” ujar Krystal. Ryan terkekeh kecil. “Aku tidak masalah kamu terus menempel padaku seperti parasit. Malah aku berharap kamu terus berhutang padaku agar kamu ….” Ucapan Ryan terhenti sejenak. Netra teduhnya memandang wajah tirus Krystal yang tampak pucat. Ia berpikir jika gadis itu semakin kurus dibandingkan seminggu yang lalu. Hatinya terasa sakit melihat penderitaan yang dialami gadis pujaannya tersebut. Ia berpikir jika saja ia memiliki uang yang banyak, ia ingin menyelesaikan semua kekhawatiran gadis itu. Sayangnya, angannya itu entah kapan baru bisa terwujud. Akan tetapi, Ryan tidak ingin menyerah begitu saja. Ia yakin jika suatu saat nanti ia bisa mewujudkan impiannya tersebut. Krystal tersentak ketika tangan Ryan tiba-tiba mengusap wajahnya. Pandangan lekat pria itu membuatnya gugup. Seolah dapat membaca pikiran Ryan, Krystal buru-buru memalingkan wajahnya. “Ryan, jangan berpikiran yang tidak-tidak,” ucapnya mengingatkan. Senyuman tipis kembali mengembang di bibir Ryan. Ia menghela napas pelan, lalu berkata, “Krys, aku tau kalau selama ini kamu sengaja menghindar dariku setiap kali aku ingin mengungkapkan perasaanku. Tapi, sekali ini saja aku ingin kamu mendengarnya.” “Ryan—” “Mungkin sekarang aku tidak memiliki rumah yang layak, kendaraan pribadi ataupun kemewahan yang diinginkan seorang wanita, tapi aku akan berusaha untuk bekerja lebih keras lagi untuk memberikan kebahagiaan yang kamu inginkan, Krys.” Sorot mata Ryan yang teduh membuat hati Krystal terenyuh. Ia hampir saja terbawa oleh ketulusan yang diberikan pria itu untuknya. Jika saja ia tidak mengingat bahwa dirinya hanya akan membebani hidup pria itu, Krystal mungkin akan menerima pria itu. Krystal memejamkan matanya sejenak. Perasaannya saat ini terasa sangat berat, tetapi ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri dan Ryan. Tidak ada perasaan khusus yang dimilikinya terhadap pria itu. Selama ini Ryan terus terpaku pada dirinya seorang saja dan Krystal merasa bersalah karena terus membiarkan hal itu. “Ryan, aku tau seperti apa perasaanmu padaku. Aku sangat berterima kasih. Tapi, sebaiknya kamu buang jauh-jauh perasaanmu itu,” ucap Krystal dengan nada yang terdengar sangat kejam bagi Ryan. Namun, pemuda itu malah tersenyum seolah sudah bisa memprediksikan respon yang akan diberikan Krystal padanya. “Aku hanya menganggapmu sebagai kakak dan sahabat. Kamu pasti tau itu,” lanjut Krystal lagi. Kalimat sangat sederhana, tetapi sangat melukai hati Ryan. Pemuda itu menundukkan sedikit wajahnya. Ia mencoba untuk tetap tersenyum agar wanita itu tidak merasa terbebani dan merasa bersalah. “Saat ini aku lebih membutuhkan uang daripada cinta,” ungkap Krystal dengan pikirannya yang realistis. Ia tidak bisa hidup hanya dengan cinta saja. Meskipun ia tahu jika Ryan pasti akan berjuang untuk mendapatkan uang yang dibutuhkannya, tetapi saat ini ia tidak bisa menunggu dan ia tidak tahu harus sampai kapan menunggu Ryan mendapatkannya. Dihadapkan dengan masalah Airin, Krystal baru menyadari jika uang adalah prioritas utamanya saat ini. Ia tidak masalah jika dikatakan sebagai wanita materialistis karena hal itulah yang menjadi masalah utamanya sekarang. “Maaf, sepertinya kata-kataku sudah keterlaluan. Tapi, aku berharap kamu tetap mau membantu Airin saat ini. Aku akan mencari cara untuk mengembalikan uangnya padamu secepatnya,” ucap Krystal dengan keegoisan yang dimilikinya. Ryan menghela napas pelan. Ia menepuk pelan lengan Krystal. “Aku pergi mengurus administrasinya dulu,” ucapnya. Tanpa banyak berbicara, ia berjalan meninggalkan ruangan tersebut. “Nona, Anda terlalu kejam. Pemuda itu sangat baik. Kasihan dia,” ucap salah seorang penghuni rumah sakit yang berada dalam bilik tepat di sebelah Airin. Wanita paruh baya itu mendengar semua percakapan mereka dan ia sangat menyayangkan tindakan penolakan Krystal. Krystal tersenyum tipis. Ia tidak menanggapi ucapan pasien paruh baya itu dan hanya memandang kepergian Ryan dengan tatapan sendu. ‘Ini semua demi kebaikanmu, Ryan. Suatu saat nanti kamu pasti akan menemukan seseorang yang jauh lebih baik dariku dan pastinya mencintaimu,’ batinnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD