Bab 6 - Harapan Satu-satunya Telah Pupus

2234 Words
Krystal bergegas keluar dari ruangan milik Martin Clark setelah Kaizer telah menghilang dari pandangannya. “Ke mana dia? Cepat sekali dia menghilang,” gumamnya saat mengitari ke sekelilingnya dan tidak menemukan siapa pun di tengah koridor yang sedang ia susuri saat ini. Padahal Krystal baru saja keluar beberapa detik setelah Kaizer, tetapi pria itu sudah tidak kelihatan batang hidungnya. Keadaan yang terlalu sepi dengan beberapa pintu yang tertutup rapat di sisi-sisi koridor tersebut membuat jantung Krystal berdegup cepat. ‘Ke mana semua orang?’ Krystal mencoba mempertajam indera pendengarannya untuk mencari sumber suara. Ia berpikir jika saat ini pasti dirinya berada dalam gedung kasino, tetapi anehnya tidak terdengar suara keramaian yang biasa terjadi di atas meja pertaruhan. ‘Sepertinya aku ada di lantai yang berbeda,’ terka Krystal di dalam hati. Ia pun memutuskan untuk mencari lift untuk mengetahui keberadaannya. Namun, tiba-tiba ia mendengar suara derap langkah cepat di belakangnya. Jantung Krystal ikut berpacu dengan cepat. ‘Ya Tuhan. Apa jangan-jangan Martin kembali lagi?’ Wajah Krystal berubah pias. Ia segera mempercepat langkahnya tanpa berani menoleh ke belakang. Akan tetapi, langkah di belakangnya semakin mengejarnya hingga akhirnya sebuah tangan besar mencengkeram pundaknya untuk menghentikan langkahnya. Refleks, Krystal berbalik badan dan telah mengangkat tinggi kepalan tangannya dengan ancang-ancang untuk memukul orang tersebut. “Krys, ini aku.” Suara sosok tersebut menghentikan ayunan kepalan tinju Kyrstal. Gadis itu menghela napas lega setelah melihat dengan jelas sosok yang dikenalnya tersebut. “Ya ampun, Ryan. Aku pikir tadi siapa.” Seorang pemuda dengan penampilan kusut tampak berusaha menyunggingkan seulas senyuman di wajahnya. Dia adalah Ryan Spencer, teman sepermainan Krystal sejak kecil sekaligus tetangga yang tinggal dalam komplek yang sama. "Apa kamu baik-baik saja? Apa b******n itu berhasil menyentuhmu?" tanya Ryan seraya memegang bahu Krystal dan memperhatikan kondisi gadis itu dari atas kepala hingga ke bawah kaki. Krystal tersenyum kecil, lalu menggeleng. "Aku baik-baik saja. Ada yang membantuku keluar tadi," jawabnya. “Syukurlah, Krys. Aku benar-benar khawatir dengan keadaanmu,” ucap Ryan yang ikut menghela napas lega. “Bagaimana kamu bisa ada di sini?” tanya Krystal dengan kening yang tampak mengerut atas keberadaan Ryan. Krystal menatap pemuda itu dengan penuh selidik. Ia tahu jika pengamanan di dalam kasino yang dikelola Martin Clark sangat ketat. Tidak sembarang orang bisa memasuki tempat tersebut. Apalagi dengan penampilan Ryan yang kumal seperti saat ini. Krystal menebak jika pemuda itu baru saja pulang dari tempat kerjanya. Ya, pria itu bekerja sebagai kuli bangunan dan selalu pulang setiap akhir pekan untuk beristirahat. “Ceritanya sangat panjang. Nanti aku ceritakan setelah kita keluar dari sini,” jawab Ryan seraya menarik pergelangan tangan Krystal agar gadis itu mengikuti langkahnya. Krystal tidak menolak. Ia berpikir ucapan Ryan ada benarnya. Ia harus pergi dari kasino tersebut sebelum Martin berubah pikiran dan kembali menangkapnya. Meskipun tadi Kaizer sudah menyelamatkannya, tetapi bukan berarti Martin tidak akan kembali menjalankan niat jahatnya tersebut. Krystal tidak tahu jika Martin kini telah terbujur kaku di salah satu sudut kasino tersebut atas perbuatannya sendiri. Ryan menuntun langkah Krystal untuk mengikuti jalur yang ia datangi sebelumnya. Mereka menggunakan tangga darurat untuk menuruni lantai gedung tersebut. Dengan peluh bercucuran dan wajah yang panik, keduanya sampai di lantai terbawah gedung. “Ryan, untung kamu sudah sampai. Cepatlah pergi sebelum mereka datang,” ujar salah seorang wanita kenalan Ryan yang menunggu mereka di luar pintu darurat paling bawah. “Terima kasih, Samantha,” tutur Ryan sebelum mereka meninggalkan tempat tersebut. Ia segera membawa Krystal keluar dari gedung kasino melalui pintu belakang yang sepi. Sinar yang hangat langsung menerpa wajah Krystal sesaat mereka keluar dari gedung tersebut. Sontak, ia mengangkat satu tangannya ke atas untuk menghalangi silaunya cahaya saat menghujam wajahnya. Perlahan gadis itu menengadahkan wajahnya ke atas, terlihat wajah mentari yang berada tepat di atas kepalanya. “Ternyata sudah tengah hari,” gumamnya. Ia tidak menyangka sudah menghabiskan setengah hari waktunya di dalam kasino tersebut. Ia mulai mengkhawatirkan kondisi Airin yang kini masih berada di rumah sakit. “Syukurlah kita bisa bebas keluar dari sana,” gumam Ryan seraya menarik napas panjang. Ia tidak melihat kekhawatiran Krystal dan kembali meneruskan langkahnya hingga mereka berada di ujung gang yang berada lebih dekat dengan keramaian kota. Krystal berdeham kuat untuk mengalihkan perhatian Ryan padanya. Ketika pemuda itu menoleh, Krystal memberi isyarat mata melalui lirikannya dengan mengarah kepada pergelangan tangannya yang masih digenggam Ryan. Sontak, Ryan melepaskan genggamannya. Wajahnya tampak merona merah. Ia tidak menyadari jika masih memegang pergelangan tangan Krystal hingga saat ini. Ia menggaruk kepalanya dengan gugup dan berkata, “Maaf, aku—” “Terima kasih sudah membawaku keluar, Ryan,” sela Krystal yang tidak ingin memperpanjang masalah tersebut. “Tidak perlu berterima kasih padaku. Sudah sewajarnya kan aku menolongmu?” cicit Ryan dengan wajah tersipu malu. Ia tampak salah tingkah atas rasa terima kasih yang diucapkan Krystal untuknya. “Bagaimana kamu bisa tau aku ada di dalam kasino?” selidik Krystal. Ryan mengulum senyumnya. Ia pun menceritakan hal yang terjadi kepada gadis itu secara ringkas sembari berjalan menuju keramaian. Sesuai dugaan Krystal, pemuda itu memang baru pulang dari lokasi kerjanya tadi pagi. Dalam perjalanan pulangnya itu, tak sengaja Ryan melewati kasino dan melihat Paul yang membawa Krystal yang sedang tidak sadarkan diri masuk ke dalam gedung. Karena hal itulah, Ryan langsung menerobos masuk ke dalam kasino untuk menyelamatkan Krystal, tetapi sayangnya, dengan penampilannya yang berantakan, Ryan tidak diizinkan masuk oleh penjaga depan gedung. Ryan pun mencari cara. Ia teringat jika ia memiliki salah seorang sahabat yang adiknya bekerja sebagai petugas kebersihan dalam gedung kasino tersebut dan mencoba menghubunginya. Akhirnya Ryan diminta menunggu sembari adik sahabatnya itu mencari informasi keberadaan Krystal. Setelah memastikan letak keberadaan Krystal, Ryan diminta untuk masuk melalui jalur belakang gedung ketika sedang berada dalam pergantian shift penjagaan. “Aku jadi berhutang budi padamu, Ryan,” timpal Krystal dengan tersenyum kikuk. Ia tidak menyangka pria itu akan menyelamatkannya tanpa berpikir panjang. Padahal ia bisa saja terluka apabila ketahuan oleh para pengawal Martin. Krystal tidak ingin memiliki hutang budi lagi dengan Ryan. Pemuda itu sudah banyak membantunya sejak dulu. Sudah tak terhitung banyaknya hal yang dilakukan Ryan untuknya, termasuk masalah keuangan yang selalu menjadi beban pikiran Krystal. Namun, bagi Ryan, hal tersebut merupakan sebuah kebanggaan tersendiri baginya. Diam-diam ia menaruh perasaan terhadap Krystal, tetapi ia terus menyembunyikan perasaannya dari gadis tersebut. Ia tidak ingin merusak hubungan persahabatannya dengan Krystal. Ia takut gadis itu menolak dan memilih untuk menjauh apabila ia membuat pengakuan tersebut. Padahal Krystal juga telah bisa membaca hal tersebut dari segala ekspresi dan gerak-gerik yang selalu ditunjukkan Ryan padanya. Namun, gadis itu berpura-pura tidak tahu demi menjaga hubungan baiknya dengan Ryan. Pasalnya, Krystal hanya menganggap Ryan sebagai teman dekat dan kakak yang bisa diandalkan. Ia tidak ingin mengecewakan hati pemuda itu dengan penolakan yang diberikannya. Bukan karena Ryan tidak baik, tetapi sebaliknya. Pria itu terlalu baik untuknya. Krystal tidak ingin menyeretnya dalam masalah yang merundungnya. Siapa lagi kalau bukan Paul dan ibu tirinya yang selalu mencari masalah untuknya. Krystal tidak ingin Ryan terlibat bersamanya. Ia tahu keuangan pria itu tidak terlalu baik. Ia tidak ingin masalah Paul dan Roselia ikut menyita keuangan Ryan. Apalagi kini Airin yang mengidap sebuah penyakit yang bisa menghabiskan banyak uang untuk pengobatannya. Krystal tidak ingin Ryan ikut menanggung hal tersebut. Cukup dirinya yang menerima permasalahan itu. “Ah, ya ampun! Kalungku!” Krystal baru saja teringat jika ia membutuhkan kalung peninggalan ibunya untuk mendapatkan uang berobat Airin. Ia baru sadar jika ia belum mendapatkan kembali kalungnya dari Paul. “Kalung apa?” tanya Ryan dengan bingung. “Apa kamu melihat Paul?” Krystal tidak menjawab pertanyaan Ryan dan malah berbalik bertanya kepada pemuda tersebut. “Mungkin dia masih di dalam kasino,” ucap Ryan dengan ragu. Ia memang belum melihat Paul keluar dari gedung kasino, tetapi ia juga tidak yakin. “Memangnya ada apa, Krys? Kalung apa maksudmu?” tanya Ryan dengan bingung. “Itu … Haish!” Krystal tidak sempat untuk menjelaskan kepada Ryan. Ia kembali berlari menuju kasino, tetapi Ryan mencegahnya. “Apa yang mau kamu lakukan?” hardik Ryan. “Nanti aku jelaskan. Aku mau mencari Paul dulu.” Krystal menepis cengkeraman Ryan dari pergelangan tangannya, lalu kembali berlari menuju gedung tersebut. Ryan mengesah panjang. Ia tidak bisa berbuat apa pun untuk mencegah sikap keras kepala gadis itu. Ia hanya bisa mengikutinya dari belakang untuk memastikan keselamatannya. Langkah kaki Krystal terhenti sesampainya ia di depan pintu masuk kasino. Terlihat sosok Paul yang berjalan dengan langkah gontai dan wajah kusut dari dalam gedung tersebut. “Paul!” teriak Krystal dengan wajah nanar. Amarah telah meluap di dalam dirinya dan dengan langkah cepat ia menghampiri kakak tirinya tersebut. Paul mengernyitkan keningnya. Ia memperhatikan penampilan Krystal yang masih terlihat segar, lalu menyeringai sinis. “Lihatlah, kalau kamu menurut dan melayaninya, dia tidak akan mengurungmu kan?” “b*****h!” maki Krystal dengan penuh amarah. Ia tahu jika Paul berpikir dirinya sudah menyerahkan tubuhnya kepada Martin Clark. “Apa dia memberimu uang?” selidik Paul yang masih ingin memeras Krystal. Gadis itu menggemertakkan giginya rapat-rapat. Ia mengutuk kakak tirinya itu berulang kali di dalam kepalanya. Bisa-bisanya pemuda itu masih berpikir untuk mengambil uangnya setelah memperlakukan dirinya seperti barang dagangan. Namun, ia berusaha meredam emosinya saat ini karena masih ada hal penting yang harus ia utamakan. “Mana kalungku?” Krystal menengadahkan tangannya kepada Paul. “Kalung?” Paul tersenyum mencibir. “Paul, jangan pura-pura tidak tau! Di mana kalungku?” teriak Krystal dengan nada suara yang mulai meninggi. Bukannya menjawab, Paul malah mengembuskan napasnya dengan kasar. Ia melirik Ryan yang berdiri di belakang Krystal dengan wajah penuh permusuhan. “Wah, sekarang kamu menjadi pengawal adik kesayanganku ini, Ryan? Apa dia juga membayarmu dengan tubuhnya?” ledeknya. Wajah Ryan menggelap. Ia langsung mengepalkan tinjunya ke arah Paul dan membuat tubuh pria itu terhuyung ke belakang. “Berengsek! Jaga mulut kotormu itu dengan baik. Bisa-bisanya kamu menjual adikmu sendiri, b******n! Orang sepertimu tidak sepantasnya hidup di dunia ini,” bentaknya dengan amarah yang menggebu-gebu. Bukannya membalas pukulan Ryan, Paul malah tertawa terbahak-bahak. Ia menyeka darah yang mengalir dari sudut bibirnya, lalu berkata, “Kalian memang pasangan serasi. Tapi, aku sarankan padamu untuk bermain-main saja dengan wanita sialan ini atau kamu akan sial tujuh turunan kalau menikahinya.” “Kau—!” Ryan hendak kembali melayangkan tinjunya ke arah Paul, tetapi Krystal mencegahnya. “Lepaskan aku, Krys. Aku harus memberi pelajaran pada mulut kotor b******n ini.” Ryan melepaskan cekalan tangan Krystal dari pergelangan tangannya. “Sudahlah, Ryan. Masih ada hal yang ingin aku tanyakan pada b******n ini,” tukas Krystal dengan tegas. Akhirnya Ryan terpaksa mengurungkan niatnya tersebut dan mengembuskan napasnya dengan kasar karena tidak bisa melampiaskan amarahnya. Paul menyeringai tipis, lalu berkata, “Kamu benar-benar seekor anjing yang setia, Ryan. Apa yang Krystal minta, selalu saja kamu turuti. Aku tau kalau kamu menyukainya. Bagaimana kalau kamu memberiku uang, kamu bebas menidurinya nanti.” Kedua kepalan tangan Ryan mengerat. Wajahnya tampak memerah dengan amarah yang mendidih di dalam kepalanya. Namun, bentakan Krystal kembali menahan emosinya yang meluap-luap, “Cukup, Paul! Apa kamu tidak punya malu, hah? Apa hal seperti ini patut kamu banggakan?” “Ck, Adikku Sayang. Selagi kamu sedang bersinar, sebaiknya kamu manfaatkan tubuhmu dengan baik. Dengan begitu kamu bisa mendapatkan banyak uang dan aku bisa ikut menikmatinya,” cibir Paul yang membuat wajah Krystal ikut menggelap. “Tidak usah berpura-pura mengalihkan pembicaraan. Di mana kalungku?” hardik Krystal. Ia tahu jika Paul sengaja mengalihkan pertanyaannya tadi. Meskipun marah, tetapi Krystal masih membutuhkan jawaban dari Paul atas keberadaan kalung tersebut. Seringai sinis terbit di bibir Paul. “Kalung sialan itu cuma bawa sial saja. Aku sampai menghabiskan seluruh koinku di meja judi gara-gara kalung sialan itu,” jawabnya. Krystal terperangah syok. “Jadi kamu mempertaruhkan kalung itu?” “Memangnya apalagi yang aku punya kalau bukan kalung itu?” timpal Paul dengan santai. “b******n!” Karena kesal, Krystal langsung menendang aset berharga milik Paul dengan kakinya. Membuat Paul menjerit kesakitan dengan tubuh terbungkuk-bungkuk sembari memegang senjata berharganya tersebut. Pria itu tidak menyangka Krystal akan menendangnya secara tiba-tiba. “Apa kamu tau kalau Airin sangat membutuhkannya sekarang? Bisa-bisanya kamu malah menukarnya untuk berjudi! Orang sepertimu memang lebih pantas mati saja!” maki Krystal dengan amarah yang tak terkendali. Buliran kristal telah menggenang di pelupuk matanya. Harapan satu-satunya Airin kini telah pupus. Krystal sungguh tidak tahu lagi ke mana ia harus mendapatkan uang untuk pengobatan adiknya tersebut. Ia tidak mungkin bisa mengambil kembali kalung ibunya karena pasti memerlukan nominal uang yang cukup besar untuk menebusnya. Sementara itu di dalam sebuah mobil mewah, terlihat sosok Kaizer Lanzo yang sedang memperhatikan semua gerak-gerik Krystal. Sesekali seulas senyuman terbit di bibirnya dan membuat wajah Carlos terlihat semakin pias. “Kelinci liar itu ternyata sangat menarik,” gumam Kaizer. Carlos tahu jika alasan atasannya tersenyum itu adalah gadis yang tengah berdebat di depan gedung kasino milik mereka. Akan tetapi, ia tetap saja merasa aneh melihat Kaizer yang jarang tersenyum tiba-tiba memasang wajah cerah sejak tadi pagi. Carlos berpikir jika hal tersebut merupakan sebuah mukjizat yang langka. “Carl.” Panggilan Kaizer padanya membuyarkan lamunan Carlos seketika. “Coba kamu selidiki kalung apa yang gadis itu cari,” titah Kaizer. “Baik, Tuan.” Carlos tidak memiliki pilihan lain selain memenuhi perintah tersebut. Ia bergegas turun dari mobil ketika melihat Krystal yang telah pergi dari depan gedung kasino itu. ‘Kelinci liar, kamu tidak punya jalan lain lagi. Cepat atau lambat, kamu pasti akan masuk ke dalam genggamanku,’ batin Kaizer dengan seringai licik yang kembali terbentuk di sudut bibirnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD