11. Kehilangan itu, berat

2078 Words
Langkah Andrea gontai berjalan ke sana kemari tanpa arah. Dia hanya tidak ingin terkurung dalam vila itu lebih lama, dia ingin bebas. Wajah Andrea datar menatap satu titik tanpa memperhatikan apa yang dia lihat, langkahnya tidak berhenti. Tanpa terasa, Andrea sudah berjalan sangat jauh. Kepalanya menjadi kosong dan tidak lagi memikirkan apa pun. Dia tidak merasa lelah, walau kakinya sudah luka sekalipun dia tidak menghentikan langkahnya. Pikirannya yang kosong sama seperti hatinya itu membuat dirinya tidak punya pegangan lagi. Hanya ada satu pikiran yang dari tadi melintas di kepalanya, dia ingin pergi dari dunia ini. Dalam pikiran Andrea, dia tidak mau lagi hidup karena hidupnya yang sudah berantakan. Kehamilannya hanya akan membawa aib yang akan membuat keluarganya semakin membencinya, Calvin juga mungkin akan membencinya, semua orang akan membencinya. Jadi buat apa Andrea hidup jika dia tidak diinginkan oleh orang lain? Buat apa dia tetap terus hidup jika dia akan hidup sendirian selamanya? Anaknya ini juga tidak akan hidup dengan normal dan bahagia, semua orang akan mencemooh dirinya. Hujan deras dan kilatan petir tidak membuat langkah Andrea terhenti, dia bahkan tidak peduli pada itu semua. Andrea memalingkan wajah ke arah kiri dan melihat sungai yang lumayan besar terlentang di hadapannya. Andrea lalu sadar bahwa dia berada di atas jembatan sekarang. Entah apa yang membuat tiba-tiba saja dia menaiki sisi jembatan tersebut. Andrea melihat arus deras di bawahnya yang terlihat semakin jelas berkat cahaya kilatan di langit malam itu. Andrea menutup matanya, dia tahu ini adalah saat terakhirnya karena dia setelah ini dia tidak akan membuka matanya lagi. Andrea tersenyum merasa hatinya akan lega sebentar lagi. Tangan Andrea terlepas namun tiba-tiba Andrea merasa ada yang menahan tangannya membuatnya tersadar. “JANGAN BODOH, MBAK!” Andrea tidak tahu siapa yang menolongnya namun dia tahu itu adalah seorang lelaki karena suaranya. Andrea bergerak cepat untuk melepaskan tangannya yang ditahan oleh lelaki asing itu. Namun tenaganya ternyata tidak cukup kuat jika melawan lelaki itu, dengan cepat lelaki itu segera menarik Andrea dan membuat keduanya sama-sama terjatuh di trotoar jembatan itu. Andrea panik, dia melihat lelaki itu telentang di d**a naik turun dengan cepat mencoba mengambil oksigen sebanyak-banyaknya. Memanfaatkan hal itu, Andrea segera berlari menjauhi lelaki itu membuat lelaki itu terkejut dan mencoba mengejar Andrea. Andrea tidak tahu dia siapa, tapi yang dia takutkan adalah jika orang itu adalah orang suruhan Calvin yang mencarinya. Andrea juga tidak tahu bagaimana caranya Calvin dapat melacaknya karena dia saja berangkat berganti-ganti kendaraan umum agar susah di lacak Calvin. Tiba-tiba Andrea tersentak kaget karena pandangannya tertutup sebuah cahaya lampu yang sangat terang. Dia segera mundur namun terlambat karena sisi depan mobil besar itu menyenggol tubuhnya membuat dia sedikit terlempar dan kepalanya mengenai trotoar. Andrea langsung pusing seketika, pandangannya mengabur dan tiba-tiba semakin gelap. “SIAL!!” Andrea hanya dapat mendengar kata itu ketika kesadarannya menurun dan semuanya berubah gelap. *** “Bagaimana keadaannya?” Bagas langsung berdiri menghampiri dokter ketika dokter itu keluar dari ruang ICU. “Syukurlah pasien dan bayi pasien tertolong. Pasien hanya terserempet mobil,” jawab dokter itu. “Ba-bayi?” tanya Bagas. “Anda tidak mengenal pasien?” tanya dokter itu lagi. Bagas menggeleng. “Pasien sedang hamil, setelah pasien sadar nanti tolong katakan pada pasien untuk dapat segera melakukan USG,” ujar dokter itu lagi. “Selain itu keadaannya baik?” Dokter itu mengangguk dan kemudian permisi pergi. Bagas menarik nafas lega, dia sangat khawatir tadi. “Bayi? Lalu kenapa dia mencoba bunuh diri?” Bagas penasaran. Dia pergi untuk menemui perawat guna menanyakan barang-barang pribadi milik wanita itu. Bagas memang sengaja tidak menghubungi polisi untuk kejadian ini, selain karena belum sempat, Bagas juga merasa agak bersalah karena membuat wanita itu berlari dan mengalami kecelakaan. Seorang suster datang dan membawakan keranjang berisi pakaian dan juga barang-barang wanita itu. Bagas mengangkat sebuah testpack yang ditemukan di kantong wanita itu. “Berarti memang dia sudah tahu kalau dia hamil,” gumam Bagas. Dia kembali mencari berharap menemukan KTP atau kartu identitas lainnya dari wanita itu namun dia tidak menemukan apa pun selain sebuah kartu masuk sebuah vila. Bagas berencana untuk mencari tahu sendiri mengenai wanita ini. Bagas kembali ke ruangan ICU dan mendapati bahwa wanita itu sudah di bawa ke ruangan rawat. Setelah menanyakan nomor kamar, Bagas segera menuju ke ruangan itu. Dia membuka pintu ruangan itu dengan perlahan dan melihat wanita itu masih tertidur, Bagas lalu mengambil tempat duduk dan duduk di samping wanita itu. Matanya memandangi wanita yang berwajah cantik itu, matanya masih tampak sembab yang menandakan bahwa dia sedang bersedih dan sering menangis. Akal Bagal berjalan mencoba untuk menghubungkan satu petunjuk ke petunjuk lainnya layaknya detektif. Dan kesimpulan yang dapat diambil Bagas adalah wanita itu stres karena hamil dan mungkin kehamilannya menimbulkan masalah sehingga dia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Bagas menggeleng pelan, dia tidak mengerti kenapa orang berpikir bahwa hidupnya akan lebih baik jika berakhir saja. Ingatannya kembali pada adik perempuannya yang juga mengambil hidupnya sendiri setelah mengalami depresi karena si kekasih menyebarkan video pribadi mereka. Hati Bagas kembali merasakan sakit ketika mengingat hal itu. “Para lelaki brengsekk seperti itulah yang tidak pantas hidup,” geram Bagas. Dia kembali memandang wajah pucat wanita itu, dia kembali mengingat bagaimana dia menemukan wanita itu. Saat dia sedang berkendara di bawah guyuran hujan deras tiba-tiba saja lampu depan mobilnya mati di bagian sisi sebelah kanan. Hal itu membuat Bagas harus menjalankan mobilnya secara lebih hati-hati. Namun saat sedang memperhatikan jalan, matanya menangkap sebuah sosok yang sedang berdiri di sisi tepi jembatan. Dengan cepat Bagas menghentikan mobilnya dan berjalan menuju ke arah sosok yang sepertinya wanita itu dengan perlahan. Ingatan mengenai adiknya yang melakukan hal yang sama membuat dia tidak bisa abai akan hal ini. Dalam pikiran Bagas, dia akan berbicara dan mencoba membujuk wanita itu agar mau turun dan membatalkan niatnya. Karena mau bagaimanapun sebuah kematian pasti akan menimbulkan luka bagi orang lain namun orang yang akan mengakhiri hidup seperti ini biasanya tidak akan terpikirkan hal itu. Namun sepertinya Bagas terlalu lambat karena wanita itu tiba-tiba saja melepaskan tangannya membuat bagas berlari dan untung saja masih dapat meraih tangan wanita itu. Sialnya wanita itu malah berontak dan menyebabkan Bagas hampir saja melepaskan tangannya. Dengan sekuat tenaga, Bagas menarik tangan wanita itu sehingga tubuh wanita itu terangkat dan keduanya sama-sama mendarat di trotoar itu. Bagas kehabisan tenaga dan tengah berusaha untuk menghirup udara sebanyak-banyaknya saat tiba-tiba saja wanita itu berlari dan tidak melihat ada sebuah mobil box yang berjalan ke arahnya. Wanita yang terkejut dengan kedatangan mobil itu kemudian diserempet oleh mobil itu yang tidak mau berhenti. “SIAL!” Bagas menghampiri wanita itu yang sepertinya sudah pingsan. “Hey! Bangun! Hey! Apa kamu bisa mendengar suaraku?” tanya Bagas sambil menepuk-nepuk wajah wanita itu. Bagas memeriksa nafas wanita itu dan syukurlah wanita itu masih bernafas. Dengan cepat Bagas membawa wanita itu ke mobilnya dan pergi ke rumah sakit terdekat. Ingatan Bagas buyar ketika ada empat orang yang masuk ke dalam ruangan itu. Bagas langsung berdiri saat melihat mereka. “Selamat malam, kami dari petugas kepolisian,” ujar salah satu pria. Bagas lumayan terkejut karena dia nyatanya belum melapor jika ada kecelakaan. “Selamat malam, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” tanya Bagas. “Kami ingin meminta keterangan saudara—“ “Bagas, Pak,” lanjut Bagas. “Keterangan saudara Bagas terkait dengan peristiwa kecelakaan ini,” lanjut Pak Polisi itu. Bagas mengangguk, “Baik, Pak.” Dia kemudian ikut keluar bersama Pak Polisi itu dan menuju ke sebuah ruangan interogasi. Di sana Bagas dicerca banyak pertanyaan dan Bagas menjawabnya dengan jujur. Setelah beberapa waktu Polisi yang awalnya curiga pada Bagas akhirnya tahu bahwa kecelakaan yang dialami oleh wanita itu bukanlah Bagas pelakunya. Namun mereka kesulitan untuk menemukan identitas dari wanita itu karena tidak ada apa pun yang dibawa oleh wanita itu kecuali sebuah testpack. Sementara Bagas menyimpan kunci vila itu, dia tidak memang tidak berniat untuk memberi tahu hal itu pada Polisi. Bagas ingin mencari tahu sendiri. *** Calvin menatap nanar boneka unicorn milik Andrea itu, dia masih berharap bahwa Andrea akan kembali sebentar lagi. Calvin masih berharap Andrea akan muncul dari pintu dengan senyum lebarnya dan menyapa Calvin dengan nada manjanya yang dulu dibenci Calvin namun sekarang menjadi hal yang paling dia rindukan. Dia bukan tidak berusaha mencari Andrea namun sepertinya wanita itu pergi dengan berpindah-pindah kendaraan membuatnya sulit untuk ditemukan. Hal itu tentu saja membuat Calvin semakin frustrasi, insomnia yang dia derita kini kembali lagi. Setelah penyakit itu hilang beberapa lama karena Andrea, kini insomnianya malah semakin parah. Sudah sebulan lebih dari kepergian Andrea dan Calvin mungkin hanya dapat tidur sekitar 30 jam. Malam ini dia kembali tidak bisa tidur karena selain insomnia dia juga dari tadi pagi sering mual-mual bahkan sampai muntah. Keadaan Calvin saat ini bisa dibilang mengenaskan. Dengan kumis dan jambang yang dibiarkan tidak terurus, badan yang semakin kurus, dan juga kantung mata yang semakin menebal membuatnya kehilangan pesonanya. “Calvin.” Suara seorang wanita muncul di depan pintu kamarnya. Suara itu adalah suara Maminya. Maminya tidak dapat menahan keterkejutannya melihat keadaan putranya yang terlihat tidak baik itu. Dia menutup mulutnya yang terbuka dengan tangan dan mendekat ke arah Calvin. Sementara lelaki tersebut memasang wajah marah dan kesal pada Maminya. “Calvin, apa yang terjadi sama kamu?” tanya Laura. Calvin mencebik kemudian tertawa miring. “Menurut Mami?” Dia membalas pertanyaan Maminya. “Kamu, jadi hancur begini hanya karena seorang wanita? Calvin sadar! Kamu bisa dapatkan wanita seratus kali lebih baik dari Andrea!” Suara Laura meninggi mencoba untuk membuat anaknya itu sadar. Calvin malah mengangguk dan lalu menatap Maminya sambil menggeleng. “Seribu wanita yang lebih baik dari Andrea pun tidak akan bisa merubah fakta bahwa aku mencintainya,” ujar Calvin dengan suara bergetar. Kerongkongannya bahkan kembali sakit karena hal itu. Silakan bilang kalau Calvin cengeng namun dia menangis berhari-hari karena Andrea. Laura menarik nafas panjang. “Mami gak akan membiarkan kamu terpuruk seperti ini, Calvin. Mulai sekarang, kamu akan kembali ke rumah dan Mami akan mencarikan psikiater terbaik untuk kamu agar kamu bisa segera mendapatkan perawatan,” ujar Laura yang lebih seperti memerintah. Calvin tertawa lagi, lebih tepatnya menertawai diri sendiri. “Sampai kapan aku akan jadi bonekanya Mami?” tanya Calvin. “Calvin!!” bentak Laura. “Kamu bukan boneka Mami, kamu anak Mami. Anak satu-satunya, tentu saja Mami harus memberikan semua yang terbaik untuk kamu. Dan menyingkirkan semua yang busuk dan tidak baik untuk kamu,” ujar Laura. “Ingat bahwa kamu punya tanggung jawab yang lebih besar daripada hanya untuk mengurusi kisah percintaan kamu dan juga wanita itu,” lanjut Laura. Calvin diam, dia tidak mau mengakui bahwa yang dikatakan Maminya itu benar. Jika dia egois seperti ini maka yang hancur bukan Cuma dia tapi juga seluruh perusahaannya dan karyawan yang menggantungkan hidup mereka pada Calvin. “Lagi pula kalau dia mencintai kamu, dia tidak akan pergi semudah itu,” lanjut Laura. Menohok tajam hati Calvin. *** Laura kembali masuk ke kamar anaknya yang kini sudah kembali tinggal dengannya di rumah mereka. Laura menyesal telah membiarkan anaknya pergi tinggal pisah dengannya. Akhirnya dia malah salah jalan dengan memilih perempuan yang salah untuk menjalin hubungan dengannya. Wajah Laura kembali memancarkan mimik terkejut lalu berubah menjadi sedih ketika dia melihat Calvin yang tertidur dengan wajah tidak tenang, tidak ada damai di sana. Putranya itu tertidur karena pengaruh obat yang dia minum namun tetap saja dia tidak bisa tertidur dengan nyenyak. Pembicaraan Laura dengan psikiater Calvin tadi sore membuatnya penasaran dan mencoba untuk melihat sendiri ketika psikiater Calvin berkata bahwa anaknya itu sudah menutup dirinya sehingga dia begitu susah untuk dikorek dan disembuhkan. Rasa bersalah sempat menghinggapi hati Laura namun kemudian dia kembali berpikir bahwa ini adalah hal yang benar. Bahwa yang dia lakukan sekarang adalah untuk kebahagiaan anaknya yang kelak akan disyukurinya. Calvin pasti akan sembuh sebentar lagi, dia yakin itu. *** “auch.” Aduan kecil itu membangunkan Bagas yang sedang tertidur di kursi samping kasur wanita misterius semalam. Wanita itu tampaknya sudah sadar dan tengah kesakitan, dia memegangi kepalanya. “Halo, apa kamu sudah sadar?” tanya Bagas. Wanita itu tidak menjawab, dia malah sedang meringis kesakitan sambil memegangi kepalanya. “Tunggu sebentar, aku panggilkan dokter,” ucap Bagas yang segera berlari keluar untuk menemui suster jaga juga dokter. Tidak lama kemudian mereka kembali dan dokter segera memeriksa keadaan dari wanita misterius itu. Setelah diberi obat, wanita itu kembali tenang. Dia sudah tidak berteriak kesakitan lagi. “Permisi Nona, nama Nona siapa? Karena kami tidak bisa menemukan kartu tanda pengenal Anda,” ujar di dokter. “Saya? Siapa?” Wanita itu kebingungan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD