Bagas menunggu wanita itu diperiksa dari luar ruangan, dia sebenarnya sudah diperbolehkan pulang namun dia masih bertahan di sana. Ada sesuatu yang menahannya agar tidak pergi yang tidak dia ketahui apa.
Cukup lama tim dokter melakukan pemeriksaan pada wanita itu, sampai Bagas tidak sengaja menyentuh kantongnya yang terdapat kunci vila wanita itu. Baru Bagas akan bergegas pergi, para dokter itu sudah keluar dari ruangan membuat Bagas menahan langkahnya.
Bagas tidak banyak bertanya karena dia sadar bahwa wanita ini bukanlah orang yang dia kenal. Namun dari banyaknya informasi yang didengar Bagas, wanita ini ternyata mengalami amnesia karena benturan yang terjadi pada kepalanya. Begitu para dokter itu pergi, Bagas lalu masuk kembali ke ruangan wanita itu.
Begitu Bagas masuk, dia melihat wanita sedang memegangi kepalanya seperti sedang frtustrasi.
“Hai,” sapa Bagas.
Wanita itu menoleh namun tidak menjawab sapaan Bagas. Bagas mendekat ke arah wanita itu.
“Boleh aku duduk di sini?” Bagas menunjuk kursi di samping ranjang wanita itu.
Wanita itu memandang Bagas dan kursi itu secara bergantian lalu mengangguk membuat Bagas lalu duduk di sana.
“Kamu ... benar-benar gak ingat siapa kamu?” tanya Bagas. Dia masih berpikir siapa tahu wanita ini hanya pura-pura saja hilang ingatan.
Wanita itu memandang Bagas lalu menggeleng, Bagas tidak dapat melihat kebohongan di sana. Bagas yakin jika wanita ini berbohong maka dia adalah seorang psikopat luar biasa.
“Aku ... aku hamil?” Wanita itu berkata dengan pandangan kosong. Mungkin dia kaget saat dia tahu kondisinya yang sedang hamil.
Bagas mengangguk, “Dari hasil pemeriksaannya seperti itu, untung saja kandungan kamu baik-baik saja.”
“Katanya, kamu menyelamatkan aku yang mau loncat dari jembatan?” tanya wanita itu lagi.
Bagas terdiam untuk sesaat.
“Itu artinya aku bersiap untuk mati, kan?” lanjut wanita itu.
“Itu bukanlah tindakan yang memberi solusi. Seharusnya kamu tahu bahwa akan ada orang yang sedih sekali kalau kamu tidak lagi ada di dunia.” Suara Bagas tercekat saat mengatakannya, ingatan tentang adiknya kembali membuat dia bersedih kembali.
“Tapi itu artinya, kehidupanku sebelumnya pasti sangat kacau,” ucap wanita itu.
“Tetap saja. Mati dengan cara seperti itu adalah tindakan yang salah,” balas Bagas.
“Kalau aku memang tidak bisa mati, maka ini adalah cara Tuhan untuk membuatku melupakan kehidupan lamaku,” lanjut wanita itu.
Tidak salah menurut Bagas. Wanita ini pasti punya masalah yang sangat berat yang membuatnya putus asa bahkan bayinya saja tidak bisa dia jadikan alasan untuk membuatnya kuat. Hilang ingatan mungkin adalah cara terbaiknya untuk memulai kehidupannya yang baru.
“Kalau seperti itu, aku tidak ingin kembali ke kehidupan lamaku. Kalau aku dikasih kesempatan hidup lagi maka ... aku yang lama sudah mati di jembatan itu. Saat ini adalah aku yang baru,” ucap wanita itu.
Bagas tertegun mendengar perkataan wanita itu.
“Aku tidak ingin mengingat kembali diriku yang dulu,” tandas wanita itu.
Wanita itu menghela nafas panjang dan kembali menatap Bagas, “Kamu mau gak nolong aku untuk hidup baru?”
***
Langkah Bagas terhenti di sebuah vila yang seperti ada di kunci yang sedang ia genggam. Bagas menyusuri vila itu dan kemudian berhenti di nomor seperti yang ada di kunci. Bagas menarik nafas panjang, tidak tahu apakah ini adalah langkah bijak atau langkah bodoh. Yang Bagas tahu, niatnya baik jadi pasti hasilnya pun akan baik-baik saja.
Bagas memasukkan anak kunci itu dan berhasil membuka pintu, membawanya ke dalam ruangan yang cukup berantakan.
“Sepertinya dia memang benar-benar sedang depresi.” Bagas mengamati setiap sudut di vila itu yang begitu berantakan.
Mata Bagas menangkap sebuah tas ransel begitu dia memasuki area kamar tidur, isi dari tas itu berantakan.
“Permisi!”
Suara dari luar membuat Bagas kaget namun dia segera keluar untuk menemui orang itu. Dua orang pria yang sepertinya petugas dari vila itu berdiri di depan pintu masuk.
“Kamu siapa?” kata seorang petugas.
Bagas tahu keduanya bersiap untuk menyerang Bagas, mungkin mereka pikir Bagas adalah orang jahat. Namun sikap keduanya kembali santai saat Bagas menunjukkan kunci dari vila itu.
“Mas ini siapanya Mbak yang kemarin?” tanya seorang pegawai bernama Agus itu, Bagas mengetahuinya dari tag nama yang ada di baju lelaki itu.
“Saya ... tunangannya,” jawab Bagas asal.
“Loh, yang kemarin ngaku pacarnya yang datang ngambil hape sama laptop itu siapa?” Agus bertanya-tanya sendiri.
Bagas cukup terkejut mendengarnya.
“Waduh, jangan-jangan maling ya.” Agus dan juga temannya itu kompak menepuk jidat mereka karena mereka kecolongan. Ketiganya langsung masuk dan memeriksa barang-barang. Ternyata maling itu hanya mengambil barang berharga milik wanita itu tapi tidak sempat mengambil barang milik vila.
“Saya mau lapor polisi dulu,” ujar si Agus.
“Eh, jangan mas! Gak perlu. Biar aja, Cuma laptop sama ponsel, gak masalah,” cegah Bagas.
Dia benar-benar tidak ingin melibatkan polisi lagi apalagi tempat tinggal wanita itu hanya Bagas yang tahu.
“Saya Cuma mau ngambil barang punya tunangan saya aja kok. Kalau ada yang hilang juga gak apa-apa,” lanjut Bagas.
Dia lalu menyuruh dua petugas itu untuk pergi lalu mulai menjelajahi vila itu dan mencari mungkin ada petunjuk mengenai identitas wanita itu namun nihil. Bagas lalu merapikan barang-barang wanita itu lalu pergi untuk mengembalikan kunci vila.
“Mbak, saya mau check-out,” ujar Bagas di meja resepsionis sambil menyerahkan kunci vila itu.
“Baik, atas nama Andrea di vila nomor tiga ya? Ini masih ada 30 hari lagi, yakin sudah mau check-out? Soalnya kami tidak ada sistem refund,” ujar resepsionis itu.
Bagas kaget saat mendengar nama dari wanita itu. Andrea.
“Waktu itu, apakah Andrea ada ngasih lihat KTP atau kartu identitas lainnya?” tanya Bagas.
Si resepsionis tampak terkejut sebentar lalu menggeleng. Bagas lalu menganalisis lagi vila ini dan menemukan bahwa vila ini memang biasanya dipakai untuk privat yang menyembunyikan semua informasi tamunya.
“Ya sudah. Saya Cuma mau check-out aja. Terima kasih,” ucap Bagas lalu berjalan kembali menuju mobilnya. Setidaknya sekarang dia sudah tahu siapa nama dari wanita itu, yaitu Andrea. Hanya saja petunjuk selanjutnya adalah mustahil karena Bagas tidak menemukan apa pun di vila yang ditempati oleh Andrea.
***
Sudah tiga hari wanita itu tinggal bersama dengan Bagas. Wanita itu diberi tawaran untuk tinggal di sebuah asrama sambil menunggu identitas sebenarnya ditemukan atau ingatannya kembali. Namun dia lebih memilih bersama dengan Bagas karena pria itu juga menawarkan rumahnya yang ternyata cukup besar itu untuk dia tinggali.
“Sarapan dulu, Gas.” Wanita itu memanggil Bagas yang baru saja keluar dari kamarnya dengan keadaan sudah mandi dan bersih.
Bagas tersenyum, “Kamu tidak perlu repot buat sarapan. Lagian di rumah ini Cuma ada kita berdua.”
Wanita itu menggeleng, “Anggap saja, balasan terima kasihku karena kamu sudah membantuku.”
Bagas mengangguk, “Ya sudah, ayo sarapan.”
Bagas dan wanita itu lalu mulai makan sarapan bersama, hanya nasi goreng dengan telur yang dibuat wanita itu tapi itu berhasil menghangatkan hati Bagas yang sudah bertahun-tahun selalu sarapan sendirian di rumah sebesar itu.
“Gas, boleh aku tanya sesuatu?” tanya wanita itu.
“Ya, silakan.” Bagas meminum kopinya.
“Kenapa kamu tinggal sendirian di rumah sebesar ini?” Bagas tahu itu pasti akan jadi pertanyaan semua orang ketika melihat Bagas.
“Orang tuaku meninggal saat kecelakaan sudah lama. Adikku ....” Bagas menarik nafas panjang.
“Meninggal beberapa tahun lalu,” lanjut Bagas.
Wanita itu tampak terkejut, “Maaf.”
Bagas menggeleng, “Tidak apa-apa.”
Lalu hening sebentar.
“Dia meninggal dengan cara hampir sama dengan kamu, meloncat dari jembatan,” ucap Bagas. Kesedihan tampak jelas di wajah dan matanya, betapa dia merasa bersalah karena tidak memperhatikan Adiknya itu.
“Mungkin sama seperti kamu, dia punya masalah yang sangat berat sampai tidak sadar bahwa ada aku yang akan bersamanya memikul masalah berat itu,” ucap Bagas lagi.
Tidak sadar, tangan wanita itu terulur dan menggenggam tangan Bagas.
“Karena itu waktu melihat kamu aku langsung cepat-cepat menarikmu. Setidaknya kalau aku tidak bisa menolong Adikku, maka aku bisa menolong orang lain,” lanjut Bagas.
“Kamu orang baik, Gas. Keluarga kamu pasti bangga sama kamu,” ucap wanita itu.
Bagas tersenyum, berdeham sebentar dan mengusap air matanya yang sempat keluar sedikit.
“Kamu ... benar-benar tidak ingat siapa nama kamu?” tanya Bagas.
Wanita itu bersandar di kursi dan menggeleng.
“Aku sudah coba mengingat sekuat tenaga aku tapi yang ada malah kepalaku jadi pusing dan sakit,” jawab wanita itu.
Bagas tersenyum, “Ya sudah, jangan dipaksakan.”
Bagas lalu menyeruput lagi kopinya saat tiba-tiba dia punya ide.
“Bagaimana kalau kita cari nama baru untuk kamu,” ucap Bagas.
“Nama baru?”
Bagas mengangguk.
“Nama apa yang paling kamu suka?” tanya Bagas.
Wanita itu berpikir sebentar lalu mengedikkan bahu, “Tidak tahu.”
Bagas berpikir sebentar lalu tersenyum, “Bagaimana kalau Nayla? Nama itu cantik.”
“Nayla ya? Bagus juga,” ucap wanita itu.
Wanita itu kemudian bangkit dan menjulurkan tangannya ke arah Bagas, “Kenalkan aku Nayla.”
Bagas terkekeh sebentar lalu menyambut uluran tangan Nayla, “Bagas. Bagas Baskara.”
***
Calvin tidak mengerti kenapa dari tadi dia bolak-balik hanya untuk muntah yang sangat sedikit ini, bahkan beberapa kali hanya air yang keluar. Rasanya dia sangat lemas sekarang namun dia masih harus memimpin rapat. Calvin memandang dirinya pada pantulan cermin, dia memijit pelan tengkuknya untuk mengurangi rasa mualnya.
Ingatannya kembali pada Andrea yang biasanya selalu ada untuk mengurusinya. Wanita itu bahkan rela untuk meninggalkan acara reuni yang sudah dia tunggu selama lima tahun itu hanya untuk mengurus Calvin yang sedang sakit. Sekarang dia hanya tinggal sendirian, tidak ada lagi gadis keras kepala yang bisa Calvin marahi dan bujuk.
Calvin sudah mengerahkan semua orangnya untuk mencari Andrea bahkan sampai ke kampung halaman Andrea tapi semuanya membuahkan hasil nihil. Andrea begitu susah untuk dilacak, dan begitu saja Calvin kehilangan Rea.
Calvin menatap gelang merah pemberian Andrea yang masih dia pakai, “You gonna live forever in me.”
Sebuah ketukan pintu membuat Calvin tersadar dan bergegas keluar karena sekretarisnya Dian sudah menunggu di depan.
“Pak, apa Bapak baik-baik saja? Bapak sudah lebih dari lima belas menit keluar dari ruangan rapat,” ucap Dian.
Calvin mengangguk, “Tolong hubungi dokterku saja dan katakan padanya aku ingin obat anti mual.”
Pria itu lalu kembali ke ruangan rapat dan memulai kembali rapat mereka. Sementara Dian pergi ke mejanya untuk mencari nomor telepon dari dokter Calvin.
“Nyari apa, Di?” tanya Widia.
“Buku catatan Andrea, dia bisanya nyimpen catatan dokter Pak Calvin kan? Aku mau nyari nomor telepon dokter pribadi Pak Calvin,” jelas Dian sambil tetap mencari di laci bekas meja Andrea.
“Lagian, tiba-tiba kelaur aja si Andrea,” ucap Widia.
“Gak tahu juga, sekarang kerjaan jadi lebih berat deh. Padahal yang biasa ngurus si bayi besar itu kan dia,” timpal Dian.
“Nah ketemu!” Dian mengangkat sebuah buku catatan kecil punya Andrea lalu mencari nomor telepon dokter pribadi Calvin.
“Lagian Pak Calvin kayak orang hamil aja pake acara mual-mual segala,” ucap Dian.
Keduanya lalu terkekeh bersama.
“Kayaknya semenjak Andrea pergi, Pak Calvin tuh jadi gampang sakit-sakitan deh. Minggu lalu aja aku telepon psikiater untuk dia, padahal bulan lalu aku sudah telepon psikolog,” ucap Dian.
“Apa menurut kamu, Pak Calvin begin gara-gara Andrea keluar? Mereka beneran punya hubungan ya?” ujar Widia.
Dian memandang Widia sebentar, sebenarnya dia juga merasa hal yang sama namun dia memilih untuk tidak membicarakannya karena mereka tahu kepribadian Calvin yang tidak segan-segan untuk memecat karyawannya. Bahkan beberapa karyawan yang keluar secara tidak hormat katanya sulit untuk mendapatkan pekerjaan kembali karena reputasi mereka dihancurkan oleh Calvin.
“Udahlah, lagian itu bukan urusan kita. Mau mereka berhubungan juga tidak masalah, toh dua-duanya single belum ada yang menikah," ucap Dian.
Widia terdiam.
“Udah ah, mending kamu balik ke ruang rapat gih. Aku mau buat janji temu dulu,” ujar Dian lalu mengangkat gagang telepon untuk menelepon dokter pribadi Calvin.
***
“Kamu beneran gak mual-mual gitu? Atau ngidam mungkin? Mau makan apa? Biar aku carikan,” ujar Bagas saat dia dan Nayla sedang duduk di ruang tamu sambil menonton pertandingan bola.
Nayla menggeleng, “Tidak sama sekali.”
“Biasanya kalau Mamanya gak mual dan ngidam, Bapaknya pasti yang ngalamin,” ucap Bagas sambil tertawa namun tidak lama kemudian dia sadar akan kesalahannya.
“Maaf,” ucap Bagas.
Nayla terkekeh, “Gak apa-apa. Ya aku hamil gini tentu pasti ada Bapaknya dong. Meski ... aku gak inget siapa dan sepertinya aku gak mau tahu siapa. Karena siapa pun dia, dia pasti orang yang tidak bertanggung jawab.”
“Nay,” panggil Bagas.
Nayla menoleh ke arah Bagas yang juga tengah menatapnya.
“Jangan dipikirkan lagi. Sekarang kamu adalah orang yang baru, jalani hidup kamu dengan sesuatu yang menyenangkan,” ucap Bagas.
Nayla mengangguk bersemangat sambil tersenyum.
“Besok, kita akan buat surat-surat baru untuk kamu. Kamu sudah punya nama belakang?” tanya Bagas.
Nayla berpikir sebentar, “Bagaimana kalau Nayla Adinda?”
“Nayla Adinda, ya? Bagus. Cocok sama kamu,” ujar Bagas.
Nayla langsung bersemangat lagi. Besok, dia akan menjadi manusia baru seutuhnya. Polisi dan rumah sakit sudah setuju untuk Nayla membuat identitas baru karena identitas lama Nayla tidak ditemukan dan juga dia tidak dapat mengingat masa lalu dan identitasnya sendiri.
“Makasih ya, Gas. Kamu baik banget mau nampung aku bahkan bantu aku banyak banget,” ucap Nayla tulus.
“Aku hanya menjalankan tugasku sebagai manusia,” ucap Bagas.
Nayla tersenyum dan kembali menjulurkan tangannya kepada Bagas membuat lelaki itu kembali tertawa.
“Mau berapa kali kita kenalan begini?”
Nayla ikut tertawa.
“Nayla. Nayla Adinda,” ucap Nayla.
“Bagas. Bagas Baskara.”