“Gas, ini makan buah dulu,” ucap Nayla sambil meletakkan semangkuk buah-buahan segar yang baru tadi dia beli.
Seharian dia bersama Bagas pergi mengurus semua surat-surat identitas baru untuk Nayla sehingga membuat keduanya begitu kelelahan. Bagas berbaring di sofa sambil memainkan ponselnya, membiarkan televisi menyala hanya agar suasananya tidak terlalu sepi.
“Makasih,” ucap Bagas sambil tersenyum.
“Kamu mau aku pijit?” tanya Nayla.
Bagas menyingkirkan ponselnya dan menatap Nayla dengan tatapan bingung.
"Memangnya kamu tahu pijit itu apa?” tanya Bagas.
“Aku kehilangan ingatan soal diriku, Gas. Bukan berarti otak aku kembali jadi bayi,” ujar Nayla.
“Ah, benar juga. Boleh deh,” kata Bagas.
“Gak ah, udah malas,” ucap Nayla.
Bagas bangkit dari posisi berbaring menjadi duduk dengan kaki bersila di atas sofa.
“Kamu merajuk?” tanya Bagas.
Nayla diam saja.
“Wanita itu sungguh-sungguh aneh. Kalau marah mereka diam, saat didiamkan malah marah,” ujar Bagas yang mau tidak mau membuat Nayla tertawa.
“Ya sudah, aku pijitin,” ucap Nayla sambil mulai memijit kaki Bagas.
Bagas memandang Nayla yang begitu serius memijit kakinya, wanita ini punya pesona yang mampu membuat Bagas betah untuk menatapnya lama-lama.
“Bagas,” panggil Nayla.
Bagas cepat-cepat kembali memperhatikan ponselnya dan berdeham sebagai jawaban.
“Kamu umurnya berapa?” tanya Nayla.
“Tiga puluh tahun. Kenapa?” balas Bagas.
“Kenapa belum menikah?” tanya Nayla lagi.
Bagas tersedak sendiri mendengarnya, dia terus batuk.
“Baru ditanya kenapa belum nikah saja seperti hampir mati,” ujar Nayla sambil membantu menepuk punggung Bagas.
“Jangan bertanya yang aneh-aneh. Aku belum menikah karena ya ... belum ada jodohnya,” jawab Bagas sambil mengelus dadanya.
“Rumah sebesar ini, kamu pasti kesepian tinggal sendirian.” Nayla memandang ke seluruh sudut rumah.
Bagas tersenyum miring, sepertinya tidak perlu dijelaskan juga sudah kentara.
“Tidak terlalu berasa, kok. Karena biasanya saat siang, aku sibuk di sanggar. Pulang hanya untuk tidur,” jawab Bagas.
“Kenapa tidak pindah atau renovasi rumahnya jadi lebih kecil saja?” tanya Nayla lagi.
“Rumah ini dibangun oleh orang tuaku. Aku tidak ingin mengubah apa pun dari rumah ini dan juga tidak ingin pindah,” jawab Bagas.
Bagas lalu mengambil sepotong semangka dan memasukkannya ke mulut, segar sekali rasanya.
“Nanti, setelah anak aku lahir. Apa kami masih bisa tinggal di sini?” tanya Nayla.
Bagas mengangguk, “Tentu saja. Selama kamu belum mau pindah, kalian masih bisa tinggal di sini.”
Nayla menghembuskan nafas lega mendengarnya. Dia masih bingung akan berbuat apa selanjutnya. Dia tahu dia harus segera mencari pekerjaan tapi dia bingung harus mencari pekerjaan apa. Nayla lalu kembali memijit Bagas tapi tiba-tiba saja kepalanya pusing dan sebersit bayangan muncul, tidak begitu jelas namun Nayla tahu itu adalah hal yang sama seperti yang dia lakukan sekarang.
“Nayla!” Bagas memegang pundak Nayla karena wanita itu tiba-tiba oleng dengan memegang kepalanya.
“Kamu baik-baik saja?” tanya Bagas lagi.
Nayla masih terdiam sambil memejamkan matanya, namun beberapa saat kemudian Nayla menggeleng, “Aku tidak apa-apa.”
“Aku lihat kamu sering tiba-tiba pegang kepala kamu begitu,” ujar Bagas.
“Iya, tiba-tiba saja pusing,” ucap Nayla.
“Apa kita ke dokter lagi saja?” tanya Bagas.
Nayla dengan cepat menggeleng. Bukan apa-apa, kemarin dia tidak sengaja melihat biaya rumah sakit yang dibayar bagas dan nominalnya lumayan. Dia tidak ingin membebani Bagas lebih banyak.
“Jaga kesehatan kamu, Nay. Ingat, kamu lagi hamil,” ucap Bagas.
Nayla mengangguk.
“Nih, makan buahnya dulu.” Bagas menyerahkan sepotong melon pada Nayla.
Nayla mengunyah buah itu dengan pelan dan mata yang mengawang.
“Kamu mikirin apa, Nay?” tanya Bagas.
“Lagi mikir aja, gimana ya kalau ternyata aku udah menikah dan punya suami?” kata Nayla tiba-tiba.
“Tapi kamu gak pakai cincin atau perhiasan apa pun waktu ketemu,” ujar Bagas.
Nayla terlihat berpikir sebentar, lalu menghembuskan nafasnya.
“Ya, walaupun sudah menikah. Pasti ada masalah besar yang bikin aku sampai nekat mau loncat dari jembatan itu. Mungkin suami aku bukan orang yang baik,” ujar Nayla.
Bagas menggenggam tangan Nayla, “Apa pun itu, kamu punya hak untuk tidak kembali ke masa suram itu dan hidup dengan lebih baik sekarang dan di masa depan.”
Nayla mengangguk.
“Gas, besok aku izin keluar ya,” ucap Nayla.
“Mau kemana?” Bagas kembali memakan potongan buah melon.
“Mau cari kerja. Aku mau kerja apa saja, aku gak bisa membebani kamu terus,” ucap Nayla.
Bagas lalu berpikir sebentar, “Aku punya pekerjaan buat kamu.”
“Oh ya? Apa?” tanya Nayla antusias.
“Kamu bisa tiap hari merawat rumah ini saja,” ujar Bagas.
Nayla terdiam mendengar ucapan Bagas.
“Atau kamu bisa kerja di sanggar. Kamu bisa jadi orang yang ngurusin pendaftaran dan juga operasional dari sanggar,” ucap Bagas lagi.
“Benarkah? Boleh?” Nayla kembali antusias.
Bagas tersenyum, “Tentu saja, boleh.”
“Terima kasih.” Nayla memeluk lengan Bagas membuat lelaki itu mendadak kaku. Nafasnya berhenti sepersekian detik, jantungnya berdebar keras sekali.
“I-iya. Sekarang sebaiknya kita tidur karena besok kita harus ke sanggar pagi-pagi karena ada ujian naik kelas.” Bagas bangkit dengan cepat, dia memutar-mutar badannya seperti orang kehilangan arah, lalu berjalan cepat menuju kamarnya.
“Kok dia mendadak aneh?” Nayla bertanya pada dirinya sendiri lalu tersenyum, dia akhirnya punya pekerjaan.
Nayla lalu bangkit membawa mangkuk buah yang sudah kosong itu dan mencucinya lalu kemudian mematikan lampu dan pergi tidur. Tanpa tahu bahwa Bagas yang tidak bisa tidur sekarang, Nayla masih ada di bayangannya sampai saat ini. Bagas heran kenapa bisa-bisanya dia menjadi seaneh ini.
***
“Pagi, Gas.” Nayla muncul dari dapur membawa roti yang sudah selesai dioleskan selai coklat.
“Pagi, Nay. Tidur kamu enak?” tanya Bagas sambil duduk di kursi meja makan.
“Enak banget. Sejak kamu benerin AC-nya jadi adem banget.” Nayla tersenyum karena beberapa hari ini tidurnya terganggu karena gerah dan baru semalam tidurnya nyenyak.
“Hari ini kita jadi ke sanggar kan?” tanya Nayla.
Bagas mengangguk membuat senyum semangat muncul kembali di bibir Nayla. Dia dan Bagas lalu menyelesaikan sarapan mereka dan bergegas untuk pergi ke sanggar Bagas.
“Sejak kapan Sanggar ini ada?” tanya Nayla.
“Sejak dari Masa Buyutku, sudah seratus tahun,” jawab Bagas.
Nayla memperhatikan sanggar tari tradisional itu, bangunannya sepertinya sudah direnovasi namun aksen budayanya masih sangat kentara.
“Dulu gak bertembok, sekarang udah aku tambahkan tembok dan juga AC. Biar kalo latihan gak terlalu gerah,” ujar Bagas lagi setelah melihat Nayla yang memperhatikan bangunan sanggarnya.
Nayla hanya mangut-mangut mendengarnya.
“Nanti kamu urus bagian pendaftaran juga operasionalnya ya. Kayak, mungkin ada alat musik atau kain penari yang harus diganti, AC atau pintu apa saja yang berhubungan dengan operasional sanggar ini,” ujar Bagas.
“Selama ini kamu sendiri yang ngurus?” tanya Nayla.
Bagas mengangguk, “Dulu itu tugas Ibu, lalu jadi tugas Adik, sekarang semuanya jadi tugas aku.”
Bagas menghadap ke arah Nayla, “Selamat, kamu orang pertama yang bukan keluarga yang mengelola sanggar ini.”
Nayla terkekeh sebentar, “Terima kasih untuk kepercayaannya, Pak Bagas.”
“Mas Bagas!” Sekumpulan anak-anak datang mendekat ke arah mereka.
“Eh, kok malah ke sini bukannya malah sekolah,” ujar Bagas.
“Pengen salam aja,” ujar seorang anak laki-laki.
“Eh, siapa nih?” tanya dia lagi setelah melihat Nayla untuk pertama kali.
“Oh, kenalin ini namanya Mbak Nayla. Dia akan bantu Mas sekarang,” jawab Bagas.
“Pacarnya ya, Mas?” tanya anak lain.
“Eh, bukan! Temen aja,” bantah Bagas.
“Halah, Mbakku juga begitu. Bawa pacarnya bilang ke Bapak kalau itu temennya,” ucap anak lainnya.
Wajah Bagas menjadi bingung harus menjelaskan apa.
“Eh, udah pergi sekolah sana! Nanti kalian terlambat,” ucap Bagas.
Kumpulan anak-anak itu lalu menyalami Bagas dan Nayla lalu pergi melanjutkan perjalan mereka menuju sekolah.
“Mereka itu anak-anak tari kelompok satu. Yang paling tinggi itu namanya Budi, anaknya baik tapi bawel,” ujar Bagas membuat Nayla tertawa.
“Ayo, aku jelaskan lebih lanjut soal tugas pekerjaan kamu.”
Bagas dan Nayla lalu masuk ke dalam bagian dalam sanggar yang sangat luas. Di sudut-sudut ruangan ada beberapa panggung dengan berbagai alat musik tradisional dan juga ada panggung kecil yang terletak di akhir bangunan itu.
Bagas membuka sebuah pintu yang ternyata di dalamnya ada sebuah ruangan yang lumayan luas hanya berisi dua meja dengan dua komputer dan juga dua buah sofa sedang di depan pintu.
“Nanti meja kamu yang sebelah sana.” Bagas menunjuk ke arah meja sebelah kanan. Dia lalu menuju meja itu dan menyalakan komputer di meja itu.
Neyla duduk di kursi meja itu sementara Bagas berdiri di belakangnya.
“Kamu tahu komputer atau kamu juga lupa dengan cara kerja komputer?” tanya Bagas.
“Aku masih ingat ini komputer dan cara kerjanya,” ujar Nayla tidak terima.
Bagas tertawa, “Baguslah kalau begitu.”
Bagas lalu kembali ke mejanya dan mengambil setumpuk kertas yang seharusnya sudah dia kerjakan dari minggu lalu namun tidak bisa karena dia harus mengurus Nayla.
“Ini ada laporan pembayaran manggung anak-anak dari beberapa minggu lalu. Tolong kamu buat per anak, dan ada yang pemayarannya baru masuk minggu lalu. Tolong kamu hitung pembayaran untuk anak-anak itu. Kita hanya mengambil 40 persen, 10 persen untuk transport dan 50 persen untuk mereka. Tolong kamu hitung ya,” jelas Bagas.
“Sebentar!” Nayla mencari-cari sekelilingnya, dia lalu menemukan kertas dan juga pulpen dan mulai mencatatnya.
“Hanya itu?” tanya Nayla lagi.
“Itu saja dulu, kalau kamu cepat kerjanya nanti aku tambahkan lagi,” ucap Bagas.
“Aku mau pergi ngecek panggung karena besok malam ada kelompok yang akan tampil. Kamu gak masalah kan aku tinggal sendirian?” Bagas bersiap membuka pintu.
“Oke.” Nayla mengacungkan jari jempolnya.
Sepeninggal Bagas, Nayla mulai bekerja sesuai dengan catatan yang sudah dia buat sebelumnya. Nayla bersyukur memakai catatan itu karena ternyata itu sangat memudahkan perkerjaannya.
Nayla memeriksa beberapa dokumen di komputer itu dan menemukan bahwa cara yang mereka pakai sangatlah ketinggalan jaman, jadi dia memperbaiki itu dan hasilnya jauh lebih baik. Dia bahkan kini menyediakan grafik tambahan untuk mengetahui apakah pendapatan mereka meningkat atau turun.
Nayla juga tidak tahu yang jelas rumus-rumus dari perangkat lunak hitung itu sudah ada saja di kepalanya jadi dia dengan mudah melakukannya. Bahkan kini, tidak sampai satu jam setelah ditinggalkan Bagas, Nayla sudah menyelesaikan pekerjaannya.
Nayla lalu memandang sekelilingnya dan menemukan beberapa hal yang tersangkut di hatinya. Nayla tidak suka ada yang berantakan, jadi dia mengambil beberapa dokumen dia tas meja Bagas membacanya dan paham apa saja dokumen-dokumen itu.
Nayla kembali ke mejanya dan mulai untuk membereskan segala pekerjaan Bagas. Nayla maklum jika berantakan karena ini bukanlah tugas Bagas yang sering dia kerjakan. Satu jam berlalu dan kini Nayla sudah menyelesaikan segala pekerjaannya. Tidak lama kemudian dia mendengar suara motor Bagas yang dimatikan.
“Kamu sudah lapar?” Bagas muncul dari balik pintu dan cukup terkejut melihat kantornya yang sudah berubah dari sejak dia tinggalkan beberapa jam yang lalu. Kini kantornya itu terlihat lebih rapi.
“Kamu yang bereskan? Jangan angkat yang berat-berat,” ucap Bagas sambil menaruh dua bungkus nasi campur yang tadi dia beli.
Nayla tersenyum, “Kamu suka?”
Bagas mengangguk, “Tapi nanti aku kesulitan kalau mulai bekerja lagi.”
Nayla menggeleng, “Semuanya sudah aku rapikan, Gas.”
Bagas terkejut dan menatap Nayla lagi.
“Sini!” Nayla menuju ke komputernya begitu juga dengan bagas.
“Lihat, ini sudah aku buat, ini untuk jadwal anak-anak ke depan, ini untuk pentas yang belum di bayar, ini untuk pentas yang sudah di bayar, ini daftar nama anak-anak itu udah di bagi per kategori umur dan juga kelompok tari mereka,” jelas Nayla.
“Kamu ... hebat sekali!” Bagas mengangkat jempolnya pada Nayla membuat wanita itu tersenyum bangga.
"Sepertinya kamu orang kerja beginian deh," ujar Bagas.
Nayla mengangkat bahu, “Aku gak tahu juga. Kata kamu jangan diingat lagi.”
Bagas tersenyum, “Benar! Lebih baik kita jangan sampai lupa makan, ayo makan!”
***
“Ganti!” Calvin menutup kembali tutup makanannya lalu mendorongnya menjauh dari hadapannya.
Widia terkejut sekaligus kesal lalu menarik kembali makanan itu dan membawanya keluar.
“Disuruh ganti lagi?” tanya Dian.
Widia mengangguk dengan wajah kesal. Sudah 4 kali Calvin menolak makanan yang disajikan padahal biasanya juga dia makan makanan dengan menu yang sama.
“Apa yang dia bilang?” tanya Dian lagi.
“Katanya Gak mau makan daging steak yang medium rare, mau yang matang. Aneh banget ‘kan? Benar-benar mirip orang ngidam,” ucap Widia kesal.
“Widia!” suara Calvin terdengar dari telepon intercom membuat Widia dan Dian panik.
“I-iya Pak?” sahut Widia.
“Tolong suruh koki saya untuk buatkan saya mi instan yang kuah saja. Gak pakai apa-apa ya, hanya mi instannya aja,” pinta Calvin membuat Widia dan Dian berpandangan dengan wajah heran.
“I-iya pak,” jawab Widia.
Dian memutuskan panggilan intercom itu dan memandang Widia yang tengah bertonggak pinggang sambil memijit dahinya.
“Dia kayaknya lagi ngehamilin cewek deh. Dia bener-bener kayak orang ngidam,” ujar Widia.
“Tuh kan, apa Gue bilang. Orang Kakak Ipar Gue juga pas Kakak Gue hamil dia yang ngidam,” tambah Dian.