14. Berpisah dan Perpisahan

2128 Words
Bagas dan Nayla masih memantau anak-anak tari yang sedang tampil di sebuah acara ulang tahun sebuah Bank di hotel. Nayla lumayan membantu saat mempersiapkan anak-anak itu untuk tampil. Anak-anak itu juga tampaknya bisa dekat dan malah cepat dekat dengan Nayla sehingga tidak sulit bagi Nayla untuk mengarahkan anak-anak kecil itu agar mau tampil dengan baik. Nayla berdiri di samping panggung melihat anak-anak kecil yang imut-imut itu sedang menari dan mengambil banyak perhatian penonton. Sebuah tangan menyentuh bahunya membuatnya menoleh dan mendapati Bagas tengah membawa sebuah kursi di tangannya. “Duduk dulu, orang hamil gak boleh capek,” ujar Bagas. Nayla lalu menuruti dan duduk di kursi itu sambil melanjutkan kembali menonton penampilan anak-anak sanggar itu. Nayla bahkan terkadang lupa bahwa dia sedang hamil, dia tidak mengalami gejala seperti orang hamil pada umumnya. Dia tidak gampang lelah, dia bisa makan dengan aman tanpa rasa mual, tidak juga mual pada waktu tertentu bahkan tidak ngidam. Nayla bersyukur karena anaknya sepertinya sangat memahami keadaan Ibunya yang saat ini sedang keseulitan, benar-benar anak yang baik. Nayl mengusap perutnya yang masih rata itu perlahan sambil tersenyum. Untung saja penampilan anak-anak itu berlangsung dengan baik dan lancar. Mereka mendapat banyak tepuk tangan bahkan Bagas sudah dihampiri oleh beberapa orang dan dimintai kontak karena mereka juga ingin merayakan acara dan ingin mengundang anak-anak itu. “Terima kasih untuk penampilan bagusnya hari ini, ya. Kalian hebat!” Nayla mengacungi jempolnya pada anak-anak itu. Mereka sudah kembali ke sanggar dan sedang menunggu anak-anak itu dijemput oleh orang tua mereka masing-masing. “Mbak? Siapanya Mas Bagas?” tanya seorang wanita orang tua dari salah satu anak sanggar. “Hah?” Nayla bingung harus menjawab apa. “Pacarnya Mas Bagas, Ma.” Anak itu menjawab. Wanita itu memandang Nayla dari ujung kepala hingga ke ujung kepala, membuat Nayla mati gaya. “Terus kata Mas Dimas, kita harus baik-baik sama Mbak Nayla karena ada adik bayi di perutnya Mbak Nayla sekarang,” lanjut anak itu. “Benar Mbak? Mas Dimas!” Wanita itu memegang dadanya dan juga menutup mulutnya dengan tangan. “Eh, gak begitu! Ini bukan anaknya Mas Dimas,” ujar Nayla. “Saya memang sedang hamil tapi bukan dengan Mas Dimas. Saya hanya kebetulan menumpang di rumah Mas Dimas dan kerja di sini,” jelas Nayla. “Tinggal serumah sama Mas Dimas?” Wanita itu memandang Nayla dengan tatapan yang penuh penghakiman. “Sementara saja kok, Bu. Nanti juga saya pindah,” lanjut Nayla. “Oh, permisi kalau begitu.” Wanita itu lalu mengajak anaknya pergi dengan wajah yang tidak puas. Nayla tahu bahwa ini adalah awal dari terciptanya gosip di luar sana. Nayla juga tidak bisa menyalahkan wanita tadi dan orang-orang karena bagaimana pun, dia tidak seharusnya tinggal serumah dengan Bagas. Walaupun orang tidak tahu kebenarannya, jika hanya terlihat dari luar, keduanya tetaplah salah. “Mikirin apa sih? Sampai aku panggil dari tadi gak nyahut?” Bagas berdiri di samping Nayla sambil memegang bahunya. “Bagas, aku harus pindah.” *** Calvin memandang psikiater dan juga psikolognya dengan tenang, sebenarnya dia sudah muak untuk pergi menemui keduanya. Maminya memaksa Calvin untuk terus mengikuti sesi terapinya ini. Bukan hanya Calvin yang menyerah, bahkan kedua orang di depannya ini juga sebenarnya sudah menyerah karena Calvin tidak mau bicara atau menunjukkan sikap apa pun. Dia hanya diam seperti batu sampai dua orang di depannya ini menjadi bosan sendiri. “Tidurnya kemarin bagaimana, Pak?” tanya psikiater Calvin yang bernama Jerol. Dia berusia sama dengan Calvin. “Seperti biasa, buruk,” jawab Calvin singkat namun jujur. “Apa yang membuat Pak Calvin susah untuk tidur?” tanya Jerol lagi namun sama seperti sesi-sesi sebelumnya, Calvin hanya diam tidak menjawab pertanyaan mereka. Cukup lama Jerol menunggu Calvin untuk menjawab, namun da berakhir menyerah. Dia menghembuskan nafas pasrah dan juga kesal. “Sebelumnya, apa yang bisa membuat Pak Calvin ini bisa tertidur dengan nyenyak?” tanya dokter Hasan-psikolog Calvin. Ingatan Calvin melayang pada sosok yang mampu membuatnya tertidur dengan lelap hanya dengan mencium harum dari tubuhnya. Dokter Hasan dapat menangkap dengan samar ada senyuman di wajah Calvin namun setelah itu senyuman itu lenyap. Dia yakin betul ada yang disembunyikan oleh kliennya itu. Setelah itu ruangan besar itu hanya ada bunyi detak jam yang beradu dengan bunyi nafas dari ketiga orang itu. “Oke, sudah satu jam. Saya permisi dulu kalau begitu.” Calvin bangkit dan berlalu menuju ke kamarnya. Tidak lama kemudian Laura masuk ke dalam ruangan itu untuk mengetahui hasil dari pertemuan kali ini namun yang dia dapatkan hanya tatapan tidak berarti dari kedua orang yang dia sewa dan juga gelengan kepala dari keduanya. Laura terisak sebentar, dia hampir menyerah sekarang. Dia tidak mengakui keadaan anaknya yang saat ini sekarat. “Pasti ada yang bisa kita lakukan,” ujar Laura. “Saya melihat sesuatu tadi,” ujar dokter Hasan membuat dokter Jerol dan juga Laura langsung mengalihkan pandangan mereka pada dokter itu. “Ketika saya bertanya mengenai apa yang bisa membuatnya tertidur nyenyak, Calvin merespons meski hanya dengan senyum tipis. Itu menandakan bahwa dia punya sesuatu yang bisa membantunya untuk tidur,” jelas dokter Hasan. “Apa itu?” tanya dokter Jerol. “Saya juga belum tahu apa. Kita harus menggali lebih dalam. Seperti apa kebiasaan Calvin dulu?” tanya dokter Hasan pada Laura. “Sesuatu yang membuatnya tertidur lelap?” Laura bertanya entah pada siapa. Pikirannya mulai kembali mengingat kebiasaan Calvin dulu dan kemudian Laura tersenyum, “Saya tahu apa.” *** Calvin baru selesai mandi dan ini adalah waktu yang paling dibenci oleh Calvin. Karena sebagaimana keras dia mencoba untuk tidur, tetap saja dia tidak bisa tidur dengan nyenyak. Tangan Calvin meraih laci meja kerjanya dan lalu mengambil botol obat dan langsung memakan obat itu. Obat itu sudah dikategorikan obat keras namun itu tidak berefek banyak pada Calvin. Dia bahkan hanya bisa tertidur 15 menit karena obat itu. Seperti biasa, malam-malam Calvin dia lewati dengan kembali bekerja dan juga mencari tahu tentang keberadaan Andrea. Tiba-tiba saja pintu kamar Calvin diketok membuat Calvin menengok ke arah pintu namun dia tidak beranjak karena dia tahu itu pasti Maminya. Pintu itu masih terketuk membuat Calvin tahu bahwa itu bukanlah Maminya karena Maminya pasti akan langsung masuk. “Masuk,” ucap Calvin yang kembali mengalihkan pandangannya ke laptop. Suara pintu itu terbuka dan kemudian tertutup lagi namun tidak ada suara sehingga Calvin kembali menatap ke arah pintu dan hampir terkejut melihat sosok di depannya. Sosok itu secara fisik hampir sama dengan Andrea tapi Calvin tahu dia bukanlah Andrea. “Siapa kamu?” tanya Calvin. “Saya Anne, saya diminta untuk ....” Wanita bernama Anne itu tidak melanjutkan kata-katanya dan berjalan menuju ke arah Calvin. Sepanjang perjalanannya, dia mulai membuka satu per satu kain yang menempel di tubuhnya dengan s*****l sehingga begitu dia sampai di hadapan Calvin, dia hanya tinggal menggunakan lingerie berwarna hitam transparan yang tercetak bagus di tubuhnya yang seksi itu. Calvin hanya terdiam memandang wanita yang sekarang menyentuh pundaknya dan mengusapnya pelan. Dia tersenyum puas melihat Calvin yang tidak menolaknya. “Aku akan memuaskanmu,” ujar Anne yang lalu mengusap d**a bidang Calvin dari luar kaos tipis yang dikenakan Calvin. Jemarinya dengan lembut mengusap turun sampai ke perut Calvin lalu turun menuju ke celana Calvin. Tangannya sudah hampir menyentuh inti Calvin saat dengan cepat Calvin menghentikan tangan wanita itu. Anne kaget dan menatap Calvin yang sedang tersenyum dengan senyuman mengejek yang kentara. “Kamu diminta Mamiku, kan? Kalau begitu pergi puaskan dia, bukan aku!” Calvin melepas tangan Anne dengan kasar membuat wanita itu mengadu. Calvin lalu bangkit dan pergi meninggalkan Anne sendiri. Langkah Calvin kembali ke ruangan yang tadi dia gunakan untuk terapi bersama dokter Hasan dan juga dokter Jerol. Benar seperti perkiraan Calvin, ketiganya dengan Mami Calvin berada di sana seolah menunggu sesuatu. Begitu Calvin membuka pintu dengan kasar ketiganya langsung bangkit dan kaget melihat Calvin yang malah datang ke ruangan itu bukannya sedang berhubungan dengan wanita suruhan mereka. “Ide siapa itu?” tanya Calvin sambil memandang ketiganya bergantian. Calvin tersenyum menyeringai yang membuatnya terlihat sangat menakutkan bahkan oleh Maminya sendiri. “Oh, ide Mami?” Calvin menatap Maminya yang memasang wajah paling kentara takut. “Kenapa?” Calvin maju ke arah Maminya membuat Laura mengambil langkah mundur setiap kali Calvin melangkah maju. “Mami pikir aku bisa sembuh dengan tidur dengan wanita sewaan Mami? Sampai kapan Mami akan berpura-pura bodoh seperti ini?” Laura dapat melihat rahang Calvin yang menegang menandakan bahwa anak lelakinya itu sedang marah. Mata biru Calvin benar-benar menunjukkan kemarahan, tangan Calvin dengan cepat meninju sebuah vas besar di sampingnya sehingga vas itu pecah berkeping-keping dan membuat tangannya berdarah. “Aku sudah melakukan semua yang Mami mau ‘kan? Mami ingin aku fokus pada pekerjaanku? Sudah ku lakukan! Tapi aku tidak akan selamanya menjadi boneka Mami yang akan tunduk pada perintah Mami lagi. Ingin aku sembuh? Bawa kembali Andrea-ku!!” Calvin berjalan kembali dan membanting pintu ruangan itu sebelum berjalan cepat menuju kamarnya. Calvin kembali bertemu dengan Anne yang sudah berpakaian lengkap lagi berada di depan pintunya. Wanita itu langsung melangkah menjauh begitu Calvin mendekat. Calvin tidak peduli, dia bersiap masuk ke dalam kamarnya namun dia menghentikan langkahnya sejenak. “Pergi! Dan jangan pernah kembali lagi,” ucap Calvin datar lalu masuk ke dalam kamarnya. Calvin ingin mengunci pintu kamarnya namun percuma karena Maminya tetap bisa masuk dengan semua akses yang dia punya. Calvin membuang dirinya ke atas kasurnya dan menatap langit-langit kamarnya dengan tatapan hampa. Air matanya kembali turun seiring dengan gundah yang kembali mengisi relung hatinya. Dia merindukan Andrea-nya, merindukan sikap manja wanita itu atau sikap pasrah wanita itu saat Calvin yang bertindak manja padanya. Calvin rindu Andrea yang selalu berani mengomel padanya namun begitu takut kalau Calvin sudah menatapnya. Senyum dan tawa wanita itu yang terekam jelas di kepala Calvin, wangi menenangkan dari wanita itu, semuanya. “Kamu di mana, Rea?” Calvin menutup matanya membuat air mata kembali jatuh. “Aku rindu kamu.” *** “Kenapa kamu yang harus tinggal di sanggar? Biar aku saja,” ucap Nayla pada Bagas yang bersikeras ingin pindah ke Sanggar karena Nayla bilang kalau mereka tidak bisa tinggal bersama. “Jangan, di sana tidak begitu nyaman. Kamu harus berada di tempat yang nyaman, Nay.” Bagas membantah, dia masih memasukkan bajunya ke dalam tas ranselnya. “Yang ada itu akan menambah pembicaraan miring soal kita,” ujar Nayla membuat Bagas menghentikan aktivitasnya. “Gas, akulah yang menumpang sama kamu dan juga ini rumah keluarga kamu. Kamu gak mungkin membiarkan orang asing tinggal di rumah keluarga kamu,” ujar Nayla. “Tapi di sana gak nyaman, Nay.” Bagas bersiap untuk kembali memasukkan barangnya namun tangannya ditahan Nayla. “Aku gak apa-apa kok kalau hanya tidak nyaman sedikit. Kalau kamu membiarkan aku tinggal di sini yang ada orang-orang akan semakin membicarakan kamu dan aku. Mereka bisa saja membenciku dan juga kamu. Tapi, kalau aku yang tinggal di sanggar, mereka pasti akan maklum,” jelas Nayla. Bagas terdiam. Nayla mengambil tangan Bagas dan tersenyum, “Aku akan baik-baik saja.” Karena itu Bagas membantu Nayla untuk membersihkan sebuah rumah kecil yang terletak di belakang sanggar. Awalnya rumah itu di gunakan sebagai gudang namun tadi saat Nayla bilang semuanya pada Bagas, Bagas sudah membersihkan rumah itu meski belum selesai semua. “Airnya sudah jadi, Nay,” lapor Bagas pada Nayla yang sedang memasang seprai untuk tempat tidurnya. “Makasih, Gas,” balas Nayla. Rumah itu sudah 90 persen selesai, hanya tinggal melakukan beberapa perbaikan di beberapa bagian rumah. Bagas tengah mengecat bagian luar rumah itu saat dia melihat Nay sedang mengangkat sebuah dus berisi rebana yang sudah tidak digunakan lagi. “Nayla!” Bagas segera meletakkan kuas cat dan bergegas menuju Nayla lalu merebut dus itu. Bagas lalu membawanya ke kamar lainnya yang mereka jadikan sebagai gudang. “Jangan bawa yang berat-berat, Nay. Ingat kamu itu lagi hamil,” ucap Bagas begitu dia kembali dari gudang. “Itu gak berat, Gas.” Nayla duduk di kursi sambil mengusap perutnya. Dia tidak bisa berbohong kalau dia kelelahan padahal hanya mengerjakan beberapa pekerjaan ringan. “Besok periksa, yuk!” Bagas duduk di kursi di depan Nayla. Nayla yang sedang memejamkan matanya untuk menetralisir nafasnya itu langsung membuka mata dan menatap Bagas. “Periksa apa?” tanya Nayla. “Periksa bayi kamu,” jawab Bagas. Nayla diam, dia tidak tahu harus berkata apa. Dia merasa terlalu merepotkan Bagas, bahkan untuk bayinya juga dia harus merepotkan Bagas. “Kamu tidak merepotkan, kok.” Bagas tersenyum sementara Nayla kaget karena Bagas seperti tahu isi kepalanya. “Aku juga ingin lihat dia, boleh?” tanya Bagas. “Mau lihat dia?” Nayla menatap ke perutnya. Bagas mengangguk. “Tapi ada yang harus diubah untuk aku bisa lihat dia,” ucap Bagas lagi. “Apa itu?” “Aku akan berpura-pura jadi Papanya, suami kamu.” Nayla tertawa, “Tidak akan ketahuan?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD