Laura memasuki kamar tidur anaknya dengan perlahan, matanya menyusuri setiap sudut kamar anaknya yang gelap. Hanya ada satu lampu meja temaram yang dinyalakan oleh Calvin. Wajah Calvin seperti biasa dilihat Laura, selalu gelisah dalam tidurnya.
Tangan Laura menyentuh dahi Calvin yang berkeringat padahal pendingin udara di kamarnya sudah dinyalakan dengan suhu yang cukup dingin. Kepala Calvin sesekali bergerak seperti sedang bermimpi buruk namun Laura tidak membangunkannya. Laura tahu bahwa kalau dia membangunkan Calvin maka anak itu tidak akan bisa tertidur lagi.
Segala cara sudah Laura lakukan untuk menyembuhkan Calvin, sayangnya anaknya ini seperti tidak mau sembuh. Hal itu tentu saja membuat Laura sangat khawatir dan sedih. Dia sekarang tahu kenapa Calvin begini, itu karena dia kehilangan wanita yang dia cintai.
Anaknya itu memanglah keras dan juga dingin luar dalam, namun sepertinya dia baru saja meleleh dengan hangatnya cinta. Sayangnya Laura tidak suka orang yang dicintai oleh Calvin, dia berharap Calvin bisa bersama wanita yang setara dengannya. Laura tidak mau keluarganya digosipkan atau dicemooh karena pewaris perusahaan keluarganya memiliki kekasih sekretarisnya sendiri. Cerita seperti itu hanya ada di dalam novel dan juga film.
Tapi bagaimana pun Laura adalah seorang Ibu yang sangat menyayangi anaknya. Dia sudah pernah menyuruh orangnya untuk mencari keberadaan wanita itu, tapi wanita itu hilang seperti ditelan bumi. Kini Laura tahu betapa pentingnya kehadiran wanita itu untuk Calvin.
***
“Ini.” Bagas menyerahkan sebuah kotak pada Nayla ketika mereka sedang beristirahat setelah para anak-anak sanggar yang berlatih sudah pulang.
“Apa ini?” tanya Nayla.
Bagas tidak menjawab, membuat Nayla mengambil kotak tersebut dan membuka bungkus kado kotak itu.
“Apa pun isinya, terima kasih,” ucap Nayla.
Nayla tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya melihat isi dari kotak kecil itu.
“Supaya kamu lebih gampang untuk menghubungi aku,” ujar Bagas.
Dia teringat kemarin saat Nayla harus berjalan dari rumah belakang sanggar sampai ke rumah Bagas karena air yang tidak mengalir. Hal itu membuat Bagas khawatir kalau-kalau Nayla akan celaka di tengah perjalanannya. Karena itu dia membelikan Nayla ponsel walau bukan yang paling mahal, setidaknya ponsel itu lumayan.
“Te-terima kasih.” Nayla menatap ponsel barunya dengan rasa syukur.
“Kamu banyak sekali membantu aku,” lanjut Nayla.
Bagas tersenyum, “Katanya amalan kita jadi banyak kalau menolong Ibu hamil.”
Nayla tersenyum mendengarnya sementara Bagas tertawa kecil.
“Ngomong-ngomong jadi kan sebentar kita periksa kandungan kamu?” tanya Bagas.
Nayla mengangguk, “Kamu yakin mau ikut?”
Bagas mengangguk mantap, “Ya masa Papanya gak ikut.”
Kali ini Nayla tertawa mendengar ucapan Bagas.
“Hati-hati kalau ngomong. Nanti ada yang dengar, dipikir kamu beneran bapaknya,” ucap Nayla sambil menepuk lengan Bagas pelan.
Bagas mengangkat bahu, “Aku tidak keberatan.”
Mata Bagas menatap Nayla tepat di matanya, rasa hangat menyelimuti hatinya lagi. Hati yang sudah lama sepi dan dingin itu kini menjadi berwarna dan hangat setelah ada Nayla.
“Nayla,” panggil Bagas pelan.
Nayla berdeham pelan.
“Nama belakangmu, Adinda memang bagus, tapi apa kamu keberatan kalau nama itu aku ganti dengan nama belakangku?” tanya Bagas.
Nayla tertegun sebentar, dia mencoba mencerna situasi yang ada.
“Kamu ... lagi menyatakan cinta?” tanya Nayla.
Bagas menggeleng, “Aku lagi melamar kamu.”
“Ngawur!” Nayla bangkit lalu menuju keluar meninggalkan Bagas yang sedang tersenyum miring. Bagas tidak menghitung ini sebagai penolakan.
“Aku janji ketemu dokternya jam tujuh malam jadi tolong jemput aku jam enam,” ujar Nayla sambil melambaikan tangan dan berjalan kembali ke rumahnya.
***
Bagas tidak melupakan janjinya sehingga jam 6 tepat dia sudah berada di rumah Nayla untuk menjemputnya untuk pergi ke dokter kandungan.
“Gas, kalau di dokter nanti ditanya buku nikah gak sih?” tanya Nayla.
“Kayaknya enggak deh,” jawab Bagas ragu-ragu.
“Mending kamu gak usah masuk aja,” ujar Nayla.
“Karena itulah aku bawa ini.” Bagas mengeluarkan sebuah kotak berwarna merah dan membukanya yang ternyata berisi cincin.
“Ini cincin siapa?” tanya Nayla.
“Punya Bapak sama Ibuku,” jawab Bagas.
Nayla terkejut dan agak ragu untuk memakainya, “Kamu yakin?”
“Pakai saja,” ujar Bagas yang lalu mengambil jari Nayla lalu memakaikan cincin itu pada Nayla.
“Pas kan di tangan kamu,” ujar Bagas sambil tersenyum melihat cincin Ibunya melingkar sempurna di jemari cantik Nayla.
Nayla tertegun melihat cincin di jari manisnya itu. Dia begitu suka dengan jari manisnya sekarang, begitu cantik.
“Ayo berangkat. Nanti kita terlambat,” ucap Bagas membuyarkan lamunan Nayla.
“Iya.” Nayla lalu mengambil tas kecilnya dan pergi bersama Bagas ke dokter.
Perjalanan mereka sebenarnya tidak jauh namun karena jam pulang kantor yang membuat jalanan padat, perjalanan mereka menghabiskan waktu setengah jam lebih. Begitu sampai di klinik, Nayla lalu masuk ke ruang administrasi.
Bagas menunggu di luar sambil melihat ke sekelilingnya yang berisi para pasangan yang sedang menunggu kelahiran calon buah hati mereka.
“Ayo, katanya sisa satu antrian lagi lalu kita.” Nayla berdiri di samping Bagas setelah keluar dari ruangan administrasi.
Bagas mengangguk dan mengikuti langkah Nayla berjalan menuju ke ruangan praktik dokter untuk memeriksakan kandungan Nayla. Sama seperti Bagas, sepanjang jalan Nayla dapat melihat para pasangan yang sedang mesra-mesranya karena sedang menanti kelahiran bayi mereka.
Tiba-tiba saja, tangan besar Bagas menggenggam jemari lentik Nayla membuat wanita itu terkejut. Dia hendak menarik kembali tangannya namun Bagas menahannya, dia lalu tersenyum ke arah tangan mereka yang saling bertaut lalu menatap wajah Nayla.
“Biar kamu dan bayi gak iri. Ingat, kalian punya aku,” ucap Bagas lalu kembali menoleh ke arah depan meninggalkan Nayla dengan pandangan haru dan kagum.
“Duduk dulu.” Bagas membersihkan tempat duduk di depan ruangan praktik dokter itu yang ada sampah di atasnya lalu membuat Nayla duduk di kursi itu.
“Gimana perasaan kamu?” tanya bagas.
“Aku gugup tapi juga gak sabar,” jawab Nayla. Dia membasahi dan menggigit bibir bawahnya berulang-ulang karena gugup.
“Hei,” tegur Bagas pelan.
Nayla memandangnya dengan tatapan heran.
“Kamu bisa melukai bibirmu,” lanjut Bagas.
“Pasien nomor delapan, atas nama Ibu Nayla Adinda.” Suara pengumuman di pengeras suara terdengar membuat Bagas dan Nayla beranjak dari kursi mereka dan masuk ke dalam ruangan yang berbau obat yang sangat khas itu.
“Ibu Nayla Adinda, ya?” sapa dokter itu.
Nayla mengangguk.
“Ini suaminya?” tanya dokter itu sambil menatap ke arah Bagas. Bagas tersenyum dan mengangguk mantap.
“Iya, dok.”
“Ini pemeriksaan pertama?” tanya dokter itu lagi.
“Sebelumnya sudah pernah periksa di rumah sakit,” jawab Nayla.
Bagas hanya diam memperhatikan bagaimana Nayla menjelaskan pada dokter itu bagaimana keadaannya dan juga perasaannya saat ini. Sangat mendetail sehingga membuat Bagas berpikir bahwa Nayla sepertinya adalah orang yang terbiasa bekerja dengan pekerjaan yang sangat terperinci dan juga teratur. Hanya saja Bagas tidak tahu apa pekerjaan Nayla dulu.
“Kalau begitu, kita USG lagi ya?” ujar dokter itu lagi.
Dia dan Nayla lalu bangkit dan menuju ke sebuah ranjang.
“Loh, Bapaknya gak mau lihat anaknya?” Dokter itu berbalik dan menatap Bagas yang masih duduk.
“Ah, iya. Mau lihat tentu saja.” Bagas lalu bangkit dan berdiri di samping Nayla.
Baju Nayla diangkat sedikit membuat Bagas kini dapat melihat kulit putih Nayla yang tidak bisa dia pungkiri begitu menggoda imannya. Bagas menelan salivanya hati-hati karena takut membuat suara, jantungnya berdebar semakin cepat.
Setelah suster selesai mengoleskan Gel di perut Nayla, dokter mulai memeriksanya. Mata mereka kini tertuju di monitor yang menampilkan gambar yang tidak begitu Bagas mengerti. Dia tidak pernah belajar biologi sebelumnya karena dia adalah seorang seniman dengan jurusan bahasa sewaktu SMA dan lulusan grafik desainer ketika kuliah.
“Nah, ini bayinya.” Dokter itu lalu menunjuk ke arah monitor membuat Bagas maju untuk melihatnya secara lebih dekat.
Bagas terpana melihat sebuah bentuk bayi di monitor itu. Hatinya begitu hangat melihat bayi itu bergerak pelan-pelan lalu terkadang cepat dan pelan lagi.
“Hai,” sapa Bagas.
Dokter lalu kembali memeriksa dari layar itu untuk mengecek semua keadaan bayi Nayla. Tanpa mereka sadari, rasa gugup menunggu hasil pemeriksaan dokter itu membuat jemari Bagas dan juga Nayla kembali bertaut, saling memberikan kekuatan.
Dokter itu menarik nafas panjang membuat Bagas dan Nayla saling berpandangan dengan tatapan penasaran namun juga takut.
“Sudah selesai. Nanti kalau mau fotonya, nanti bisa dicetak,” ujar dokter itu.
“Mau dok,” jawab Bagas.
Dokter itu kembali ke mejanya diikuti Bagas dan juga Nayla yang baru selesai dibersihkan dari gel yang dioleskan ke perutnya. Bagas dan Nayla lalu duduk kembali berhadapan denga dokter.
“Bapak merokok?” tanya dokter itu pada Bagas.
“I-iya. Kadang-kadang,” jawab Bagas.
“Kalau Ibu? Merokok atau minum alkohol?” tanya dokter itu lagi.
Nayla menggeleng, “Tidak pernah, dok.”
Dokter itu mengangguk-anggukkan kepalanya lalu menulis beberapa catatan kecil di kertas pasien Nayla.
“Bayinya ... memiliki ukuran yang tidak sesuai dengan usianya. Usia bayi sekarang empat bulan tapi ukurannya hanya seperti ukuran bayi satu bulan,” jelas dokter itu.
Bagas kembali menggenggam tangan Nayla karena tahu Nayla pasti kaget mendengar penjelasan dokter barusan.
“La-lau apa yang harus kita lakukan, dok?” tanya Bagas.
“Bapak, tolong jangan merokok di dekat Ibu dan Ibunya ... tolong jangan terlalu stres,” ujar dokter itu.
“Makanan untuk Ibunya juga tolong diperhatikan agar gizi bayi tercukupi,” lanjut dokter itu.
Bagas mengangguk, “Baik, dok. Akan kami usahakan agar begitu kembali bulan depan, semuanya sudah kembali normal.”
“Iya, Pak. Tolong dibantu Istri dan anaknya, ya. Ini saya resepkan beberapa obat dan juga vitamin untuk membantu Ibunya,” ujar dokter itu.
Setelah selesai konsultasi dengan dokter, Bagas dan juga Nayla keluar dari beranjak pulang. Bagas dapat memperhatikan dengan jelas wajah sedih dan kecewa Nayla.
“Kita belanja dulu, yuk.” Bagas mengambil helm dan menyerahkannya pada Nayla.
“Hah?” Nayla terlihat jelas tidak mendengar kata-kata Bagas.
Bagas tersenyum lalu maju mendekat ke arah Nayla dan memakaikan helm pada Nayla membuat wanita itu akhirnya tersadar juga dari semua lamunannya.
“Aku bilang, aku kita bikin kamu dan bayi jadi gendut,” ucap Bagas sambil tersenyum.
Nayla tersenyum singkat, membuat Bagas harus kembali menggenggam tangannya.
“Gak apa-apa, Nay. Bayi Cuma lagi belum bertumbuh dengan baik aja. Masih ada lima bulan untuk kita bikin dia sehat lagi,” ujar Bagas.
“Kita?”
Bagas mengangguk, “Kamu lupa? Aku kan Papanya.”
Bagas memeluk Nayla sambil mengusap punggung wanita itu.
“Kamu adalah Mama yang belum berpengalaman, Nay. Bukan Mama yang buruk,” ujar Bagas lagi.
Dia kembali melepaskan pelukannya dan menatap wajah Nayla.
“Kita pasti bisa, Nay. Kamu gak sendiri melewati ini semua. Ada aku juga,” ucap Bagas.
Nayla mengangguk. Bagas kembali memeluknya, “Jangan sedih lagi.”
Setelah itu keduanya lalu pergi ke pasar yang masih buka untuk membeli sayur dan juga buah, singgah di apotek untuk membeli s**u khusus ibu hamil bahkan singgah di sate favorit Bagas untuk makan malam.
Saat sedang makan Bagas menangkap Nayla yang sedang menonton iklan di televisi dengan serius, dia bahkan menelan ludah saat melihat iklan itu. Bagas berbalik dan menemukan Nayla sedang menonton sebuah iklan piza.
“Kamu ingin makan piza?” tanya Bagas.
Nayla tidak menjawab dia malah diam dan melanjutkan makannya, dia tidak enak jika harus terus meminta pada Bagas.
“Kamu pernah makan piza sebelumnya?” tanya Bagas lagi.
Nayla mengangguk, “Tapi aku lupa rasanya. Hanya saja iklannya kelihatan sangat menggoda.”
“Kalau begitu besok saja kita beli piza,” ujar Bagas.
Nayla menggeleng cepat, “Gak perlu, Gas. Mending uangnya kamu simpan untuk yang lain.”
Bagas tersenyum, “Bayi aku ingin makan piza ‘kan? Sebagai Papa yang baik, aku akan memenuhi semua keinginan dia.”
“Sungguh, jangan.” Nayla melambaikan tangannya.
“Hei, ingat kata dokter tadi?” Bagas mengangkat alisnya membuat Nayla terdiam.
Bagas mengeluarkan hasil USG yang dari tadi dia kantongi dan meletakkannya di atas meja sehingga kini dia dan Nayla dapat melihat foto hitam putih itu.
“Besok kita makan piza!”
***
Calvin kembali sibuk dengan pekerjaannya yang menumpuk. Dua penyanyi besar dari perusahaannya akan segera mengeluarkan single dan album mereka membuat Calvin tengah sibuk melihat rencana dari masing-masing tim mereka yang akan dia putuskan.
Calvin mengangkat gelas kopinya dan kemudian sadar bahwa kopinya sudah habis sehingga kini dia menekan tombol intercom untuk menghubungkannya dengan para sekretarisnya.
“Iya, ada teman aku yang lihat Andrea di kota itu. Katanya dia lagi di pasar gitu.” Suara Widia yang mengucapkan nama Andrea menahan Calvin untuk berbicara.
“Ngapain ya Andrea sampai di kota itu? Jauh banget.” Dian menanggapi.
Otak Calvin berputar cepat tahu bahwa ini mungkin kesempatannya untuk dapat mencari keberadaan Andrea, Andrea-nya.
“Widia,” panggil Calvin.
Terdengar suara kaget dari keduanya ketika suara Calvin terdengar di pengeras suara telepon intercom itu.
“I-iya pak?” sahut Widia.
“Ke ruangan saya sekarang!” ujar Calvin.
“Ba-baik Pak.”
Tidak lama kemudian sebuah ketukan pintu terdengar diikuti dengan pintu yang terbuka dan Widia yang masuk ke dalam ruangan Calvin. Widia pikir dia akan dimarah karena malah mengobrol ketika jam kerja.
“A-ada yang bisa saya bantu, pak?” tanya Widia dengan terbata-bata.
Calvin mengalihkan pandangannya yang tajam dari layar komputer ke arah Widia. Widia mengalihkan pandangannya ke tempat lain karena tahu dia bisa mati dengan tatapan itu.
“Kamu punya informasi di mana Andrea berada?” tanya Calvin.
Widia lumayan terkejut mendengar pertanyaan Calvin namun dia mengangguk. Calvin pasti sudah mendengar percakapannya dengan Dian tadi.
“Hanya info dari teman SMA kami, Pak,” jawab Widia.
“Katakan padaku semua yang kamu tahu,” ujar Calvin.
“Se-sekarang Pak?”
Calvin mengangguk.
Widia menelan ludahnya susah payah lalu mulai menjelaskan info dari teman SMA-nya yang berkata bahwa dia bertemu dengan Andrea kemarin malam di sebuah pasar di kota asalnya yang jauh dari tempat mereka sekarang.
“Minta informasi lokasi lengkapnya dan kirim ke saya secepatnya,” ujar Calvin.
Widia lalu menelepon teman SMA-nya itu dan meminta info detail dari kemunculan Andrea setelah sekian lama. Calvin lega karena setidaknya dia tahu, Andrea masih hidup. Setelah mendapat semua informasinya, Calvin menyuruh Widia keluar lalu dia menelepon orang-orang yang sudah dia tugaskan untuk mencari Andrea.
“Aku punya lokasi lengkapnya, sekarang juga cari tahu. Dia pasti tidak akan jauh dari sana!” Calvin berbicara di telepon sambil memandang foto Andrea yang dia pasang di ponsel satunya lagi.